“Menanglah, Nak, Mama Mendukungmu.” (Bag. 3)

 

fotoSelain menggambar, Stella juga sangat menyukai  komputer dan teknologi informasi. Di sela-sela kesibukannya menggambar, Stella selalu menyempatkan diri untuk bermain komputer dan internet di rental dekat rumah. Stella berkeinginan melanjutkan studi di bidang komputer.

Kecemasan Kembali Datang
Baru kebahagiaan ini mulai kami nikmati, tiba-tiba saat Stella duduk di kelas 5 SD, ia menderita penyakit “misterius”. Di tengah malam di bulan puasa tahun 2005, Stella menjerit dengan kerasnya. Ia meronta dan merintih sambil memegangi perutnya yang terlihat membusung. Aku sangat khawatir melihat keadaannya. Maka, pada malam itu juga aku melarikan Stella ke salah satu klinik 24 jam terdekat. Namun dokter di klinik itu tak sanggup menanganinya. “Bu, saya tidak berani menanganinya, kayaknya ini ada masalah di ususnya,” terang dokter itu.

 

Karena pengetahuanku terbatas dan biaya yang tak memadai, akhirnya aku memutuskan untuk bertahan di klinik itu semalaman. Besok paginya, salah seorang tetangga mamaku datang menjenguk. Ia kaget begitu melihat perut Stella yang membesar dengan wajah yang pucat. Ia lalu berkata, “Lu mah anak sakit bukan langsung dibawa ke rumah sakit.”

“Aku nggak punya uang. Untuk berobat di sini kan perlu uang muka,” kataku beralasan. “Udah sini aku anterin. Pokoknya ada duit atau nggak ada duit kalau sakit bawa aja ke rumah sakit. Ini anak bisa lewat,” ujarnya.

Segeralah pagi itu juga dengan diantar oleh tetangga mamaku, Stella dibawa ke rumah sakit swasta di Bogor. Di rumah sakit, dokter menyarankan agar dilakukan rontgen. Akhirnya setelah didiagnosis melalui rontgen,dokter mengatakan kalau usus buntu Stella sudah pecah dan harus segera dioperasi. Tanpa banyak pertimbangan langsung saja aku menyetujuinya. Namun begitu operasi selesai dilaksanakan dan melihat perincian biaya rumah sakit yang tidak sedikit, karuan saja pikiranku menjadi kalut.

Di tengah kegundahan ini aku teringat oleh kakak suamiku yang selama ini telah bermurah hati memberikan tunjangan hidup kepada kami. Dengan berat hati aku mencoba mengatakan yang sesungguhnya kepadanya. Tak kuduga ternyata kakak suamiku bersedia menanggung semua biaya pengobatan Stella. “Puji Tuhan, Engkau telah memberikan jalan keluar bagiku,” bisikku dalam hati.  

Setelah pulang dari rumah sakit, Stella harus menjalani rawat jalan dan beristirahat total selama satu bulan. Pelajaran sekolahnya memang banyak yang terlewati tetapi Stella mampu mengejar ketertinggalannya. Niatnya untuk sembuh sangatlah kuat, terlebih untuk membahagiakanku yang mengharapkannya kembali sehat dan ceria. Makanya dengan tekad yang kuat akhirnya ia sembuh dengan cepat.

foto  foto

Ket : - Jadwal kegiatan Stella setiap hari sangat padat. Ia sekarang memberikan les menggambar kepada anak-               anak yang jumlahnya sudah mencapai 20 orang. (kiri)
          - Sudah lebih dari 400 piala dikoleksi Stella. Karenanya, bila Stella tidak menang lomba, Lim Mei Ling tidak               merasa kecewa dan menganggap bahwa peluang itu memang milik peserta lain. (kanan)

Kembali Berlomba
Setelah pulih dan kembali ke sekolah, naluri untuk mengikuti lomba kembali meluap-luap. Kebetulan saat itu Majalah Bobo (majalah anak-anak –red) mengadakan lomba menggambar dengan tema “Coco Crunch”, segera saja Stella mengikutinya. Dan ternyata ia berhasil merebut juara II. Pada perlombaan berikutnya yang juga diadakan oleh “Bobo”, Stella berhasil meraih juara I. Tidak hanya itu, Stella juga sering memenangkan lomba yang diadakan oleh “Es Teler 77”. Sepuluh kali berlomba di Es Teler 77, 10 kali pula Stella menang dari juara I sampai juara III.

Sudah ratusan kali perlombaan menggambar diikuti oleh Stella, baik yang bersifat lokal maupun nasional yang diselenggarakan oleh stasiun-stasiun televisi swasta. Hal ini membuat nama Stella cukup dikenal di kalangan anak-anak dan remaja penggemar menggambar di Kota Bogor.

Kenyataannya, keadaan ini tidaklah selalu menguntungkan. Karena telah banyak dikenal orang, membuat Stella mengalami kesulitan untuk mengikuti lomba menggambar di Bogor. Alhasil aku sering dikecam oleh orangtua peserta lomba dan Stella pun menjadi lebih sering tidak menang.

Pernah suatu kali di tahun 2009, ketika Stella mengikuti perlombaan menggambar untuk kategori usia 13 tahun di Mal Botani Square, seorang ibu datang menghampiriku, lalu dengan ketus berkata, “Kenapa ikut lomba di sini. Apa nggak ada di tempat lain?”

 “Ini kan lomba umum, kenapa anak saya dilarang,” sanggahku. “Kan kamu sudah tahu anaknya selalu menang. Kasih dong kesempatan pada anak kita,” jawabnya.

Akhirnya aku pun menyadari keadaan ini. Meski hari itu Stella tidak menang, tetapi aku ikhlas memberikan kesempatan ini kepada peserta yang lain. Toh piagam dan piala yang dimiliki Stella sudah ratusan jumlahnya, yang sebagian di antaranya sudah rusak dan patah oleh ulah 2 kucing manis kesayangan Stella.

foto  foto

Ket : - Keakraban Lim Mei Ling dan Stella bagaikan dua bagian yang tak terpisahkan. Mereka sangat akrab dan              saling mengisi satu sama lainnya. (kiri)
          - Menurut Stella, setelah menjadi relawan Tzu Chi, ibunya kini lebih lebih sabar dan tenang. (kanan)

Selain berjiwa seni, Stella juga berhati lembut yang mudah iba bila melihat hewan terlantar di tepi jalan. Ketika ia menemukan seekor kucing yang lemah, hatinya langsung terpanggil untuk merawatnya di rumah. Sekarang kucing itu telah tumbuh besar dengan bulu yang halus dan nampak manis dipadani rompi berwarna merah.

Selain menyayangi hewan, Stella juga sangat gemar beribadah. Hampir setiap hari sepulang sekolah ia selalu pergi mengunjungi kelenteng, sekadar untuk menancapkan dupa dan memanjatkan doa.

Aku dan suamiku memang penganut agama Katolik, tetapi aku memberikan kebebasan kepada Stella untuk memeluk agama Buddha yang menurutnya telah memberikan ketenangan batin. Dharma – ajaran Buddha memang telah membentuk Stella menjadi anak yang pengertian dan tahu menghormati orangtua. Sejak kecil Stella tidak memiliki banyak keinginan yang membuatku bingung untuk memenuhinya. Ia bahkan lebih memilih berjalan-jalan ke luar rumah atau menggambar daripada membeli sebuah mainan.

Sekarang setelah ia aktif di wihara dan pandai membaca doa, ia semakin banyak memberikan pengetahuan Dharma kepadaku. Ia juga sering mengingatkanku untuk bervegetarian, terlebih bila aku mengenakan seragam relawan Tzu Chi.

Cerminan Anak Patuh
Stella memang berbeda dengan anak-anak yang lain. Di masa belia ia sudah sibuk mengajar ke sana-sini hingga larut malam demi memenuhi kebutuhan keluarga. Karena keterampilannya ini pula salah satu penerbit buku Grasindo mengontraknya selama 3 bulan untuk menggambar karikatur di buku tematik kelas 1 SD yang akan diterbitkan mereka.  

Sejak kecil Stella sangat dekat denganku. Ia merupakan cerminan anak yang penurut. Sampai-sampai untuk menentukan pilihannya, Stella selalu menyerahkannya kepadaku. “Terserah Mama.” Itulah kata-kata yang selalu diucapkannya kepadaku bila ia ingin memilih sesuatu. Tetapi aku tak ingin Stella terjebak dan menjadi sangat besar ketergantungannya padaku. Apa yang ia pilih, itulah yang harus ia rasakan. Demikian pula dengan kemenangan-kemenangan yang telah diukirnya, itu adalah prestasi untuknya. Aku hanya sebagai pendukung semangatnya. “Menanglah, Nak, Mama Mendukungmu.”   

Selesai    

 
 
Cemberut dan tersenyum, keduanya adalah ekspresi. Mengapa tidak memilih tersenyum saja?
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -