20 Tahun Tzu Chi Aceh: Setia, Sedari Dulu Hingga Kini
Di Perumahan Cinta Kasih Neuheun, para relawan selalu semringah berkegiatan Tzu Chi.
Serambi Mekkah?
Penuh berkah!
Serambi Mekkah?
Penuh berkah!
Begitu yel-yel para relawan Tzu Chi Aceh. Di bawah rindangnya pohon trembesi, puluhan relawan Tzu Chi pagi itu sudah terbakar semangatnya. Mereka membagikan bantuan bulanan pagi penerima bantuan Tzu Chi jangka panjang di Perumahan Cinta Kasih Neuheun, Aceh Besar.
Tak lupa, para relawan bersama warga juga menuangkan celengan bambu mereka untuk membantu orang lain dengan cara sederhana setiap harinya. Di gathering bulanan yang digelar pada Kamis 24 Oktober 2024 itu, Supandi, si motor penggerak Tzu Chi Aceh juga memperkenalkan tentang celengan segenggam beras yang konsepnya sama dengan celengan koin.
“Setiap hari kita sisihkan satu genggam beras. Kita terapkan 80 persen kenyang. Jadi setiap hari kita menimbulkan satu niat baik, masukkan dalam toples ini, dalam satu bulan akan penuh,” terang Supandi.
Beras yang terkumpul nanti akan dituang bersama-sama untuk membantu warga yang kesusahan. Desa Neuheun sendiri terbilang luas, terdiri dari lima dusun, yang di dalamnya ada tujuh komplek perumahan dengan jumlah 2.636 Kepala Keluarga (KK). Mayoritas warga bekerja sebagai petani, peternak, pedagang kelontong, dengan 80 persen ekonomi menengah ke bawah.
Selepas penuangan celengan, para relawan memilah barang yang bisa didaur ulang sebagai upaya melestarikan lingkungan.
Adalah Alfian, 64 tahun, relawan Tzu Chi yang merupakan salah satu kepala lorong atau ketua RT yang aktif di misi pelestarian lingkungan. Menjadi relawan Tzu Chi bagi Alfian merupakan salah satu cara untuk membalas kebaikan Tzu Chi.
“Dulu kami tinggal di tenda 1,5 tahun. Sudah itu langsung dibawa kemari, dikasih rumah, dikasih makan waktu itu 3 bulan. Makanya tertarik dengan pekerjaan Tzu Chi karena ada rasa kemanusiaan. Bantuan Tzu Chi sampai sekarang masih mengalir untuk warga, seperti yang kita lihat ini. Karena orang sudah bantu kita, kita harus bantu orang lain,” kata Alfian yang ketika tsunami kehilangan sang istri.
Sopyan, Keuchik atau Kepala Kampung Neuheun bersyukur dengan berbagai kegiatan Tzu Chi di Neuheun. “Alhamdulillah dengan bantuan rumah dari Tzu Chi, kami dapat tempat tinggal yang layak. Dan juga selama ini membantu bukan hanya rumah, juga dari segi kesehatan, sembako buat masyarakat saya yang berhak menerima,” katanya.
Gunakan Kesempatan Sebaik-baiknya
Usai memilah barang daur ulang, sebagian relawan yang merupakan warga perumahan kembali ke rumah masing-masing. Sebagian menuju gapura perumahan untuk mengecat gapura agar terlihat lebih indah. Di antara relawan itu, ada Huicin Sukimin (49), biasa disapa Akien, relawan dari Banda Aceh yang sebenarnya masih dalam masa pemulihan karena sakit.
Akien (tengah), semangatnya menginspirasi banyak orang.
“Masa kecil saya dulu di sini, jadi kalau sudah urusan terkait Neuheun itu saya semangat sekali,” tutur Akien.
Akien jadi relawan Tzu Chi sejak 2011. Waktu itu Tzu Chi Aceh menggalang dana untuk gempa dan tsunami Jepang 2011. Tak pikir panjang, ia pun membantu penggalangan dana itu dan jadi relawan Tzu Chi.
“Sebenarnya saya menjadi relawan itu tujuannya untuk berbuat kebajikan dan bermanfaat bagi orang banyak,” ujarnya.
Padahal sewaktu Akien mengajukan bantuan rumah ke Tzu Chi pascatsunami 2004, ia ditolak. Meski sedikit kecewa, namun Akien sama sekali tak dendam ataupun antipati. Ia anggap itu bukan rezekinya.
“Mungkin dengan penolakan tersebut, saya berhasil KPR rumah yang saya tinggali sekarang. Makin tahun makin meningkat, ekonomi mulai mapan,” katanya.
Selama jadi relawan, Akien sangat aktif, ia menangani banyak kegiatan, seperti pelestarian lingkungan dan dokumentasi kegiatan Tzu Chi.
Februari 2024, Akien didiagnosis kanker serviks. Setelah pengobatan, di bulan Mei ia dinyatakan bersih dari kanker. Namun Agustus 2024, kesehatannya menurun karena upaya pengobatannya ternyata berefek pada ginjal, bahkan kesehatan ginjalnya tinggal 8 persen. Ia dirawat di rumah sakit di Banda Aceh.
Karena tak ada perkembangan, ia kemudian dirawat di Penang, Malaysia. Ginjalnya kini membaik dan kondisinya sudah lebih fit. Ia pun tak menyia-nyiakan kesempatan untuk terus berbuat kebajikan bersama para relawan lainnya. Pada 13-14 Desember 2024 mendatang, Tzu Chi Aceh bakal menggelar layanan Kesehatan skal besar, dan Akien dipercaya menangani pendaftaran pasien.
Banyak berkah yang Akien rasakan selama jadi relawan. Karena jalinan jodoh dengan Tzu Chi, anaknya Victoria meraih beasiswa pendidikan di Hualien Taiwan dan sekarang bekerja di Tzu Chi Hospital PIK. Selain itu saat ia sakit, walau tak menggalang dana pengobatan, para relawan membantu dengan ikhlas.
“Ada yang transfer ke rekening anak saya, juga memberi angpau pada saya, memberi perhatian seperti memberi supplemen, obat, dan itu buat saya terharu. Padahal saya anggap selama ini saya bersumbangsih di Tzu Chi itu hanya kebajikan kecil. Ternyata akumulasi selama 13 tahun ini dampak ke masyarakat itu besar,” kata Akien haru.
Kesungguhan dan ketulusan Akien menginspirasi banyak orang, salah satunya Ronaldo.
Semangat Bodhisatwa Itu Tumbuh di Panteriek
Ketika tsunami terjadi, Ronaldo baru berusia 6 tahun. Keluarganya saat itu tinggal di sebuah ruko di Peunayong, Banda Aceh. Hari itu (26 Desember 2004) jadi hari yang terus diingatnya.
“Waktu itu jam 07.30 kami sekeluarga mau ke wihara. Nah, di situ gempa sampai bangunan di belakang rumah roboh. Lalu saya turun keluar rumah sama papa duduk di trotoar jalanan,” kenang Ronaldo.
Ronaldo merasa semakin berkembang dengan menjadi relawan Tzu Chi.
Sekitar 10-20 menit kemudian Ronaldo dan orang-orang yang berada di jalanan dikejutkan dengan teriakan, “air naik, air naik”. Situasi yang sudah mulai tenang berubah tak karuan. Orang-orang berlari ke segala arah menyelamatkan diri dari kejaran air.
“Saya sama papa lari ke Hotel Sultan dan sempat terpisah sama mama karena waktu itu mau ambil obat dan ketemu lagi karena mama mencari ke Hotel Sultan. Setelah itu kami naik ke lantai 5 dan selamat dari air tsunami berwarna hitam yang membawa material kayu, seng, mobil, motor, dan lain-lain,” katanya.
Setelah air surut, Ronaldo dan keluarganya mendatangi Wihara Dharma Bakti untuk mengungsi. “Keluarga inti aman semua, tapi kakek, nenek, om dan tante menjadi korban. Waktu itu hanya kakek yang ketemu dan dievakuasi tetapi meninggal karena terlalu banyak meminum air tsunami,” cerita Ronaldo.
Dalam suasana berduka, Ronaldo bersama orangtuanya lalu mengungsi ke Medan. Ruko yang jadi rumah tinggalnya, ditinggalkan. Hingga pada Juli 2005, Ronaldo sekeluarga kembali ke Banda Aceh. Karena ruko yang dihuni lebih dari satu kepala keluarga, Ronaldo dan keluarganya mendapat bantuan rumah di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Panteriek, dan menempatinya sejak Desember 2006.
“Kami senang tinggal di sana karena Tzu Chi memperhatikan hingga detail. Ada taman bermain, sekolahan, rumah ibadah, dan lain-lain. Pendampingan relawan juga enggak pernah terputus,” katanya.
Balas Budi
Tak cuma bantuan rumah, Tzu Chi juga memberi bantuan biaya pendidikan. “Saya jadi anak asuh Tzu Chi sejak 2010-2016, dari SMP sampai tamat SMA,” kata Ronaldo.
Pascatsunami, ayah Ronaldo bekerja sebagai tukang solder radiator dan ibunya bekerja sebagai penjahit. Karena itu Ketika dapat bantuan pendidikan, Ronaldo sangat senang karena itu yang dibutuhkannya.
Para relawan di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Panteriek selalu kompak dan menjalankan Tzu Chi dengan gembira.
“Jujur ketika saya dapat bantuan itu saya merasa harus balas budi. Karena waktu itu saya belum bisa mencari uang dan belum bisa bantu ini itu, maka saya pertahankan prestasi dan memotivasi diri saya untuk terus berprestasi,” ungkap Ronaldo bersemangat.
Tahun 2014, Ronaldo yang saat itu masih remaja harus menelan pil pahit karena ayahnya sakit dan meninggal dunia. “Ketika papa dimasukkan ke peti mati itu menjadi pengingat. Saya harus bisa merancang kehidupan saya sendiri, Di situ saya merasa takut karena waktu itu masih remaja dan tidak bisa buat keputusan,” kenang Ronaldo.
Sejak ayahnya meninggal, Ronaldo selalu berdoa untuk kehidupan ibu dan dirinya. Tahun demi tahun, ia yang tadinya terpuruk akhirnya bangkit.
“Yang buat saya bangkit adalah cinta kasih dari semua orang, terutama teman-teman dari vihara dan Tzu Chi,” ceritanya.
Pada 2022, Ronaldo diajak salah satu relawan mengikuti sosialisasi relawan Tzu Chi, tanpa pikir panjang, ia langsung mendaftar sebagai relawan Tzu Chi. Keinginan Ronaldo untuk jadi relawan bukan hanya balas budi semata, ia juga terinspirasi oleh Huicin Sukimin atau yang akrab disapa Akien.
“Beliau itu sangat bersemangat. Saya sangat salut dengan Akien Shijie yang sudah meluangkan waktu, tenaga, uang, dan lain-lain. Sementara beliau sendiri juga harus bekerja,” ungkapnya.
Walau tiap pekan hanya libur bekerja sehari, Ronaldo selalu menyempatkan diri berkegiatan Tzu Chi. Salah satu kegiatan yang rutin diikutinya adalah menjadi penerjemah Xun Fa Xiang (mendalami Dharma).
“Di Tzu Chi kesempatan untuk mengeksplor diri di bidang apa saja itu bisa banget dan gratis. Selain translator, bisa jadi jurnalis mendokumentasikan kegiatan relawan, membantu di sekretariat, ada saja pengalaman baru,” kata Ronaldo bersemangat.
Layanan Kesehatan di Meulaboh
Geliat cinta kasih Tzu Chi juga tampak di Meulaboh yang berjarak lima jam perjalanan dari Banda Aceh. Pagi baru menunjukkan pukul 8, warga berbondong-bondong ke SD Negeri Paya Peunaga di Perumahan Cinta Kasih Meulaboh.
Warga Perumahan Cinta Kasih Meulaboh bersyukur dengan layanan kesehatan Tzu Chi.
Layanan Kesehatan pada Minggu 27 Oktober 2024 tersebut melayani 1.000 pasien. Meski ramai, pengobatan berjalan lancar karena dukungan penuh Tzu Chi Medan yang menerjunkan 20 relawan Tzu Chi dan 50 relawan tim medis, termasuk dokter umum dan dokter spesialis. Selain itu ada juga 25 relawan dari Banda Aceh, 20 dari Kota Meulaboh, serta 25 relawan dari Perumahan Cinta Kasih Meulaboh.
Rata-rata warga mengeluhkan asam lambung dan asam urat, serta penyakit degeneratif lainnya. Azhari, Sekretaris Desa mengakui layanan kesehatan ini sungguh dibutuhkan warga.
“Memang luar biasa perhatiannya. Hanya Tzu Chi saja yang punya program pemberdayaan sampai tahap ini. Padahal kami sudah dikasih rumah sudah okelah terserah mau sehat mau tidak, gitu kan? tapi Alhamdulillah Tzu Chi ada perhatian yang lain misalnya melihat ada kelompok keluarga yang patut dibantu perbulannya, dibantu,” kata Azhari yang tinggal di Perumahan Cinta Kasih Meulaboh sejak 2013.
Tampak Supandi, sang penggerak relawan Tzu Chi Aceh membantu warga yang berobat.
Terus Bangkitkan Jiwa Kerelawanan Warga Aceh
Adalah Shu Tjheng, relawan Tzu Chi Medan yang jadi pembina Tzu Chi Aceh. Tzu Chi Aceh yang ada usai pembangunan perumahan cinta kasih memang masih butuh dukungan relawan Tzu Chi Medan. Semangat ini juga yang menjalar ke semua relawan Tzu Chi Medan, sebagaimana tampak pada layanan kesehatan bagi warga Meulaboh tersebut.
“Pertama masuk 2022-2023 itu saya masih wakil pembina, dan itu belum efektif karena masih Covid-19. Nah di 2024-2025 ini saya jadi pembina,” jelasnya.
Su Tjheng mempersilahkan warga Meulaboh yang datang berobat untuk bersumbangsih.
Shu Tjheng salut dengan dedikasi Supandi sebagai benih relawan Tzu Chi Aceh. Supandi yang beberapa hari pascatsunami Aceh sudah dikirim dari Tzu Chi Jakarta membantu warga Aceh, terus membangkitkan semangat kerelawanan di diri warga Aceh.
“Sehingga ketika saya masuk, saya menemukan semua ini tinggal dipanen, tinggal dituai, saya tinggal kasih sedikit pupuk, saya arahkan ke tempat yang matahari bersinar, dan semua itu jadilah,” kata Shu Tjheng.
Saat ini, sudah ada 10 titik komunitas relawan Tzu Chi di Aceh, mulai dari Banda Aceh, Neuheun, Meulaboh, Lhokseumawe, Bireun, Sabang, Kuala Simpang dan Langsa. Kini jumlah relawan sudah mencapai 400 lebih.
Di Perumahan Cinta Kasih Neuheun, para relawan giat memilah barang daur ulang.
“Niat saya adalah titik-titik, bukan kota, kenapa? Misalnya saja di Meulaboh, beberapa tahun yang lalu ada banjir, jadi di sini harus ada komunitas. Di Lhokseumawe atau Bireun jika terjadi musibah, bukan kita yang gerak, tapi komunitas itu bisa bergerak,” ujar Supandi.
Sejak Shu Tjheng menjadi pembina, berbagai pelatihan relawan dilakukan, juga sosialisasi bagi masyarakat. “Sebagai Pembina tugas saya hanya menjadi pengubung antara Medan dan Jakarta dengan Aceh, jadi komunikasi, bisa melakukan kegiatan, menjalankan misi-misi Tzu Chi secara rutin. Karena ladang berkah di sini juga cukup besar, tapi relawan di sini juga tidak kalah banyak. Jadi semuanya sebenarnya bisa berjalan,” katanya.
Keberadaan Tzu Chi mendapat banyak simpati dari warga Aceh. Pada Minggu, 15 September 2024 yang lalu misalnya, Tzu Chi Aceh menggelar bazar pekan amal yang keuntungannya akan digunakan untuk menggelar bakti sosial berskala besar pada 13- 14 Desember mendatang. Ada 68 stan di sini, dan banyak sekali warga Aceh yang kebetulan memiliki usaha turut mendukung acara ini.
Surya Anton bersyukur Tzu Chi terus berkembang di Aceh.
Surya Anton (39) adalah pemilik kedai kopi yang pada pekan amal Tzu Chi tersebut menjual 500 bungkus kopi premiumnya ke Tzu Chi dengan harga di bawah modal. Artinya ia tidak mengambil untung untuk dirinya sendiri. Ia dedikasikan keuntungan tersebut untuk Tzu Chi.
“Tzu Chi itu kan banyak buat kegiatan sosial, di Banda Aceh juga. Saya makin tahu soal Tzu Chi itu dari baksos operasi katarak di RS Kesdam Banda Aceh tahun 2014. Banyak orang kami yang pergi operasi, dari situlah. Trus saya pun mencari histori bagaimana Tzu Chi ada di Indonesia. Jadi saya di pekan amal itu ya bantulah sebisanya,” katanya.
Penulis: Khusnul Khotimah
Fotografer: Arimami Suryo A, dok. Tzu Chi Indonesia