25 Tahun Tzu Chi: Metamorfosis Perjalanan Menebar Cinta Kasih


Tahun 2018 ini, Tzu Chi Indonesia genap berusia seperempat abad. Dalam kurun waktu tersebut, perjalanan Tzu Chi di Nusantara juga mengalami perkembangan. Hadirnya Tzu Chi di Indonesia tidak lepas dari kesederhanaan, dan inilah yang membuat cinta kasih Tzu Chi selalu mendapat tempat tersendiri di hati masyarakat.

Perjalanan  dimulai pada tahun 1993. Hal ini dilatari dengan datangnya para pengusaha dari Taiwan yang membuka usaha dan berinvestasi di Indonesia. Dalam perkembangannya, para pengusaha tersebut juga mengajak keluarga mereka untuk tinggal dan menetap pula di Indonesia.

Para istri dari pengusaha-pengusaha dari Taiwan tersebut juga kerap berkumpul di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara tepatnya di Jakarta Taipei School. Mereka berkumpul karena sekolah ini menjadi pilihan utama untuk anak-anak mereka bersekolah. Di wilayah Kelapa Gading pula terdapat rumah milik Liu Su Mei yang hingga saat ini menjadi Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Rumah ini menjadi tempat awal untuk berkumpul membahas dan merencanakan kegiatan.

Titik Bertemunya Jalinan Jodoh


Dukungan yang besar dari Jakarta Taipei School untuk Tzu Chi memudahkan para relawan Tzu Chi melakukan berbagai kegiatan di masa awal-awalnya ada di Indoensia.

Pada masa ini, Jakarta Taipei School menjadi titik temu berbagai jalinan jodoh Tzu Chi. Karena masih satu wilayah dan lokasinya tidak terlalu jauh dengan rumah Liu Su Mei, sekolah ini kerap kali mendukung untuk kegiatan besar Tzu Chi. “Jalinan jodoh saat itu karena ini adalah sekolah pertama di Indonesia yang berbahasa Mandarin. Di sini banyak orang Taiwan berkumpul untuk menyekolahkan anaknya,” jelas Lien Zhu, salah satu relawan yang sudah bergabung sejak awal berdirinya Tzu Chi Indonesia.

Saat itu, Lien Zhu adalah relawan perpustakaan di Jakarta Taipei School dari 1993-1997. Walaupun tinggal di wilayah Serang, Banten, setiap hari ia mengantarkan anaknya bersekolah di Jakarta Taipei School yang berlokasi di Jakarta Utara. Di sela-sela waktu menunggu anaknya, Lien Zhu memanfaatkan waktunya untuk menjadi relawan perpustakaan di sekolah. Ia pun terlibat dalam perjalanan awal Tzu Chi Indonesia bekerja sama dengan Jakarta Taipei School.

“Waktu itu di Jakarta Taipei School ada Liang Cheung, salah satu orang  tua siswa yang sudah menjadi relawan Tzu Chi. Dia yang membawa ibu-ibu pengusaha Taiwan untuk melakukan kegiatan sosial karena ibu-ibu tersebut juga bosan hanya menunggu anak-anaknya bersekolah dengan shopping atau jalan-jalan saja. Jadi akhirnya kita beramai-ramai ikut kegiatan sosial,” cerita Lien Zhu.


Relawan Tzu Chi kerap kali mendapatkan kesempatan untuk menyosialisasikan tentang Tzu Chi kepada para orang tua murid di Taipei School. Sekolah ini memiliki kontribusi besar terhadap lahirnya Tzu Chi Indonesia.

Karena Jakarta Taipei School dan Tzu Chi sama-sama berasal dari Taiwan, ada semacam kedekatan emosional karena berasal dari tempat yang sama. Dari sana banyak orang Taiwan yang menjadi orang tua murid saat itu mulai menjalin jodoh dengan Tzu Chi Indonesia.

Setelah berjalan, para orang  tua murid pun kerap kali berkegiatan sosial dengan Tzu Chi Indonesia. Koordinasi kegiatan dilakukan di rumah Liu Su Mei yang saat itu masih menjadi tempat berkumpulnya relawan. “Di rumah Liu Su Mei  itu kita mengadakan sosialisasi dan pertemuan Tzu Chi sekaligus melakukan review kunjungan kasih. Di rumah itu juga, kita mempersiapkan pembagian barang dalam skala kecil. Biasanya orang tua murid yang hadir sekitar 20-30 orang,” kata Lien Zhu.

Kegiatan sosial yang dilakukan oleh para ibu orang tua murid pun diketahui oleh pihak Jakarta Taipei School. Saat itu Chou Chen Ming yang menjadi Kepala Sekolah juga sangat mendukung kegiatan yang dilakukan oleh para orang tua muridnya. Karena keterbatasan ruang di rumah Liu Su Mei untuk Tzu Chi Indonesia dalam melaksanakan kegiatan yang besar, Jakarta Taipei School mendukung dengan meminjamkan tempat sebagai sarana untuk berkegiatan.

“Pak Chen ini orangnya sangat optimis dan positif. Hubungannya dengan orang tua murid juga sangat baik. Setiap kali Tzu Chi Indonesia ingin meminjam tempat, ia dengan senang hati dan  berusaha sebaik mungkin menuruti permintaan kita,” kenang Lien Zhu.

Bentuk lainnya dalam memberikan dukungan terhadap Tzu Chi, Chou Chen Ming mengajarkan kepada murid-murid dan guru-guru lainnya untuk ikut kegiatan Tzu Chi. “Dia pernah bilang, ‘Kita harus saling membantu satu sama lain’, itulah yang dikatakan Kepala Sekolah Chen saat itu,” imbuhnya.

Selain orang tua murid, guru-guru dari Jakarta Taipei School saat itu juga ada yang bergabung menjadi relawan Tzu Chi Indonesia. Rata-rata para guru tersebut bergabung dengan Tzu Chi karena mereka setuju dengan pemikiran dan filosofi Master Cheng Yen. “Banyak guru dari Jakarta Taipei School yang menjadi relawan Tzu Chi, bahkan ada yang menjadi relawan komite juga,” jelas Lien Zhu.

Semakin banyaknya guru dan orang tua murid di Jakarta Taipei School yang ikut dalam barisan relawan, kemudian Tzu Chi Indonesia mengundang  2 orang shifu dari Taiwan dan 1 shixiong dari Malaysia untuk sharing tentang Tzu Chi.

“Kami merasa senang mendengar sharing mereka saat itu tentang bagaimana Master Cheng Yen demi agama Buddha dan demi semua makhluk melakukan kegiatan sosial yang baik. Hal tersebut semakin menambah semangat relawan Tzu Chi Indonesia,” jelas relawan Tzu Chi yang saat ini menjabat Wakil Ketua He Qi Barat 2 tersebut. Kegiatan yang bertempat di Aula Jakarta Taipei School ini pun dihadiri sekitar 80-100 orang dan setelah itu banyak orang tua murid yang menjadi donatur serta ada juga yang bergabung menjadi relawan.

Kegiatan Tzu Chi Indonesia bersama Jakarta Taipei School terus berlanjut. Para relawan kerap kali mengadakan sosialisasi tentang Tzu Chi kepada murid-murid sekolah tersebut, selain itu diadakan pula pameran buku Tzu Chi, dan bazar vegetarian di sekolah tersebut.

“Tahun 1995 masih banyak orang yang tidak tahu dengan Tzu Chi. Bazar di tahun itu pun menjadi momentum sosialisasi karena pengunjungnya sangat banyak. Dari interaksi kita dengan para pengunjung saat itu akhirnya mereka bisa mengenal Tzu Chi dan menyumbangkan dana sebagai donatur,” cerita Lien Zhu.

Perjalanan 25 tahun Tzu Chi Indonesia merupakan hal sangat tidak mudah. Menurut Lien Zhu keberadaan  Jakarta Taipei School menjadi salah satu pondasi Tzu Chi Indonesia. Dari sekolah ini juga, Tzu Chi bisa tersebar luas di masyarakat.

“Kita menemukan banyak kesulitan dan juga menitikkan banyak air mata selama perjalanan ini. Tapi Master Cheng Yen telah memberikan arahan yang sangat jelas yaitu mempunyai hati seperti hati Buddha dan membantu menjalankan tekad guru. Kita juga diajarkan untuk gan en dan bersumbangsih, jadi kalau kita merasakan sendiri bersumbangsih maka kita baru mendapatkan kebahagiaan sejati,” tutup Lien Zhu.

Membentuk Pribadi Dengan Ajaran Jing Si


Kerusuhan Mei 1998 menjadi momentum bagi banyak relawan untuk mengenal dan bergabung dengan Tzu Chi, salah satunya Rosa yang pada masa itu ikut ambil andil dalam pembagian beras pascakerusuhan terjadi.

Perjalanan Tzu Chi Indonesia selama 25 tahun juga melahirkan insan-insan Tzu Chi yang terus berpegang teguh dengan ajaran Jing Si. Banyak dari mereka terus melatih diri dengan berkegiatan Tzu Chi. Salah satu relawan yang telah lama memilih pelatihan diri di Tzu Chi adalah Rosa.

Jalinan jodoh Rosa dengan Tzu Chi dimulai pada awal tahun 1997. Saat itu Rosa diajak Hui Cen untuk bergabung menjadi donatur Tzu Chi Indonesia. Gayung pun bersambut, Rosa mau menjadi donatur Tzu Chi dan diajak pula oleh Hui Cen untuk ikut kegiatannya. “Waktu itu Hui Cen bilang ‘kalau mau ikut kegiatan tuh boleh’. Lalu saya bilang bolehlah saya juga mau ikut,” cerita Rosa.

Kemudian pada bulan Desember 1997 saat  mendekati perayaan Natal, Tzu Chi Indonesia melakukan kegiatan pembagian beras di wilayah Kepulauan Seribu. “Saya masih ingat, kegiatan awal saya tuh pas Tzu Chi bagi beras di sebuah pulau yang lokasinya di utara Jakarta, tapi saya lupa namanya. Kita nyeberang pakai perahu,” kenang Rosa. Saat itu bersama Liu Su Mei juga, ia untuk pertama kalinya ikut kegiatan membagi beras.

Peristiwa kerusuhan Mei tahun 1998, juga menjadi momentum penting bagi Rosa yang kala itu sedang menjajaki proses awal sebagai relawan Tzu Chi. Relawan pun  kemudian mengadakan rapat pembagian beras di gedung Sinar Mas yang berada di Thamrin, Jakarta Pusat. “Setelah meeting, kegiatan juga dilanjutkan pembagian beras. Kita waktu itu dikawal pakai mobil TNI dan relawan yang rata-rata wanita juga ikut naik truk untuk pendistribusiannya,” kata Rosa menceritakan pengalamannya. Saat itu pembagian beras memang dikhususkan kepada keluarga TNI yang bertugas memulihkan dan menjaga keamanan Jakarta.


Sejak menjadi relawan Tzu Chi di tahun 1997, Rosa mulai belajar banyak hal melalui misi-misi Tzu Chi. Hingga kini, ia mengaku mendapatkan banyak manfaat untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Pada masa awal Tzu Chi Indonesia, kegiatan pun masih berpusat di rumah Liu Su Mei di Kelapa Gading, Jakarta Utara dengan 4 orang karyawan yayasan. “Jadi kalau mau membeli barang dan keperluan untuk kegiatan ya dilakukan semua di sana,” ungkap Rosa. Kemudian beberapa tahun kemudian, kantor Tzu Chi Indonesia pindah ke gedung ITC Mangga Dua. Relawan juga belum dibagi dengan sistem pembagian wilayah seperti saat ini, jadi setiap kegiatan masih terpusat dari satu lokasi.

“Dahulu kalau relawan mendapatkan pasien kasus walaupun jauh kita tetap ke sana. Saya tuh paling berkesan kalau dapat kasus di daerah Tangerang,” cerita Rosa saat ikut dalam kegiatan Misi Amal Tzu Chi. Tanpa ragu, ia pun kerap kali melaju di atas sepeda motornya menuju wilayah-wilayah di pinggiran Jakarta. “Kan belum secanggih sekarang, bisa pake GPS lokasinya ketemu. Kita dulu ya tanya sana sini kalau survei. Minta pihak RT dan RW setempat untuk menunjukkan lokasi rumah pasien kasus,” ungkap wanita yang sekarang menjadi pembimbing kelas bedah buku bagi relawan tersebut.

Perjalanannya bersama Tzu Chi pun semakin lama membuat Rosa semakin yakin bahwa menjadi relawan Tzu Chi adalah jalan hidupnya. “Terkadang kita masuk suatu organisasi itu kita berjalan sambil belajar. Saat itu saya merasa pilihan saya tepat karena memiliki seorang guru yang sangat-sangat bijaksana,” ungkap Rosa. Ia pun selalu bersyukur karena selalu diberi kesempatan untuk berbuat baik. “Jika kita dapat kasus, kemudian orangnya tertolong, ada rasa senang dalam hati. Saya berhasil menolong dia,” tambahnya.

Berjalan di Tzu Chi juga membuat Rosa menyadari bahwa hidup memang harus diisi dengan kebajikan dan pelatihan diri. Sejak tahun 1997 bergabung menjadi relawan, Rosa baru memberanikan diri untuk dilantik menjadi relawan komite Tzu Chi pada tahun 2009. Hal tersebut memang dilakukannya setelah merasa benar-benar memahami ajaran Jing Si. “Jalan di Tzu Chi adalah jalan seumur hidup, bukan main-main. Di Tzu Chi itu bukan hanya berbuat baik tetapi menjadi lebih baik, kalau dalam Bahasa Inggrisnya not to do good thing but to be good,” tandas Rosa.

Komitmen kuatnya di Tzu Chi juga membuat Rosa banyak mengikuti kegiatan-kegiatan di Empat Misi Tzu Chi. Dalam kurun waktu sejak 1997, ia telah mengikuti berbagai kegiatan kerelawanan Tzu Chi. “Sebetulnya komitmen saya di Tzu Chi karena saya menjalani apa yang harus saya jalankan. Kita datang ke Tzu Chi secara kasat mata bersumbangsih dan melakukan banyak hal. Tetapi feedback ke kita ternyata lebih banyak dari apa yang kita sumbangkan. Kalau kita mengerjakan kegiatan Tzu Chi tanpa dilandasi ajaran Jing Si, organisasi kita akan sama saja dengan NGO lainnya,” ungkap sosok yang periang ini.

Pengalaman selama 20 tahun lebih menjadi relawan Tzu Chi juga menuntunnya menjadi pribadi yang  terus belajar menjadi lebih baik. “Materi yang kita miliki itu bukan apa-apa, yang penting itu batin kita. Manusia jangan terlalu banyak menuntut materi. Bersumbangsih dan memberi bantuan kepada orang lainlah yang menjadi kebahagiaan batin yang sejati,” kata Rosa.

Sebelum ikut Tzu Chi, Rosa memiliki kepribadian yang jauh berbeda dari sekarang. Berkat pelatihan diri, ia pun merasa banyak perubahan yang berarti dalam hidupnya. “Dulu saya gampang tersinggung dan sensitif, dengan berjalannya waktu dan banyak belajar dari Kata Perenungan Master Cheng Yen, saya pun menyadari bahwa kita sering menghukum diri sendiri dengan kesalahan orang lain, karena kita marah,” ungkapnya.

Rosa juga menegaskan bahwa bergabung dengan Tzu Chi harus ada perubahan yang baik dalam diri karena Tzu Chi sendiri adalah sekolah tentang hidup. “Master Cheng Yen pernah berkata mengutip kata-kata dari Konfusius, ‘Di antara teman-teman semua adalah guru kita, jika berperilaku baik kita harus meniru, dia harus menjadi teladan kita. Tetapi jika ia berperilaku tidak baik, kita harus mawas diri dan introspeksi, karena dia adalah guru kita juga’ inilah bagian terpentingnya,” jelas Rosa.

Sumbangsih yang Terus Berjalan


Tidak hanya menghibur, di tahun 1995 para relawan Tzu Chi menyumbang lantai keramik dan membantu biaya pembangunan teras di Pantai Werdha Wisma Mulia. Mereka berharap lingkungan tempat tinggal para oma dan opa menjadi lebih nyaman.

Sejak berdiri, Tzu Chi Indonesia juga mengunjungi panti-panti jompo untuk memberikan perhatian kepada para lansia yang dititipkan oleh keluarganya. Salah satu panti yang rutin dikunjungi Tzu Chi sejak tahun 1993 hingga sekarang adalah Panti Werdha Wisma Mulia KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) yang berada di Jelambar, Jakarta Barat.

Alkisah, dalam kunjungan para relawan ke panti ini, mereka melihat oma dan opa duduk-duduk dengan pandangan kosong di panti yang kondisi bangunannya sangat sederhana. Pada tahun 1995, Tzu Chi pernah menyumbang lantai keramik dan membantu biaya pembangunan teras di sana. Dengan harapan, oma dan opa bisa tinggal lebih nyaman.

Panti Werdha Wisma Mulia KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) ini berdiri pada tanggal 23 April 1961. “Para penghuni panti ini rata-rata adalah orang yang tidak menikah dan dititipkan oleh saudara ke sini, karena mereka tidak punya keluarga inti,” ungkap Dra. Sri Hartati, Koordinator Panti Werdha Wisma Mulia. Kondisi inilah yang membuat relawan Tzu Chi Indonesia terus mengunjungi panti tersebut.

Dra. Sri Hartati yang baru menjadi pengurus panti pada 2009, mengaku tidak mengetahui awal mula Tzu Chi Indonesia memberikan pelayanan kepada penghuni panti. “Persisnya kapan saya tidak tau, tetapi menurut para karyawan yang sudah lama di sini, Tzu Chi sudah lama sekali memberikan pelayanan kepada oma dan opa,” terang Tati. “Awalnya saya kaget, ini siapa pada pakai seragam dan begitu akrab dengan oma dan opa,” ceritanya. Setelah mencari tahu dan mendapatkan penjelasan, barulah Tati mengetahui Tzu Chi rutin satu bulan sekali berkunjung sejak tahun 1993.

“Selama saya di sini dan mulai akrab dengan para relawan Tzu Chi, mereka terus mengurus oma dan opa seperti menggunting rambut, memberikan pelayanan, bercanda, juga membawa dokter untuk memeriksa kesehatan para lansia di sini,” ungkap Tati. Ia juga menjelaskan bahwa kerap kali para oma dan opa menanyakan para relawan jika dalam satu bulan belum ada kunjungan. “Sebenarnya pendampingan lah yang sangat mereka butuhkan. Apa yang dilakukan relawan Tzu Chi di sini, mereka sangat menyukainya. Kadang-kadang juga ada penghuni yang bertanya ‘Bu, Tzu Chi kok nggak dateng-dateng?’ seperti itu,” jelas wanita yang sudah 2 periode menjadi pengurus Panti Werdha Wisma Mulia ini.


Hingga saat ini, relawan Tzu Chi masih terus rutin mengunjungi para oma dan opa di Panti Werdha Wisma Mulia yang berlokasi di Jelambar, Jakarta Barat ini.

Di samping berkunjung, relawan juga sangat memperhatikan kesehatan para penghuni. Dalam beberapa kesempatan kunjungan, relawan mengadakan baksos kesehatan untuk oma dan opa. “Terkadang relawan juga membawa dokter untuk memeriksa kesehatan kemudian memberikan obat-obatan ringan. Tetapi kalau ada yang butuh perawatan lanjutan dan rujukan, Tzu Chi meminta izin pihak Panti Werdha Wisma Mulia untuk menjemput oma atau opa untuk mendapatkan perawatan di rumah sakit,” ungkap Tati.

Kondisi Panti Werdha Wisma Mulia juga sudah berubah sejak pertama kali Tzu Chi Indonesia berjodoh dengan panti ini. Beberapa bangunannya telah banyak yang dirobohkan dan dibangun kembali.

“Pertama saya ke sini ya cukup memprihatinkan kondisinya, tetapi lambat laun kita renovasi dan sekarang lebih nyaman untuk dihuni,” jelas Tati. Secara garis besar Tati menjelaskan kondisi penghuni panti memang membutuhkan perhatian, karena mereka adalah para lansia yang jauh dari saudara. “Saya setuju untuk kegiatan Tzu Chi di panti ini, secara nyata relawan Tzu Chi bisa mengakomodir kebutuhan mendasar oma dan opa yaitu perhatian dan kasih sayang. Inilah yang membuat Tzu Chi selalu punya tempat di hati oma dan opa di sini,” tutup Tati.

Penulis: Arimami Suryo A

Menggunakan kekerasan hanya akan membesarkan masalah. Hati yang tenang dan sikap yang ramah baru benar-benar dapat menyelesaikan masalah.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -