2O Tahun Tsunami Aceh: Datang Paling Awal, Pulang Paling Akhir


Para relawan Tzu Chi dari negara lain seperti Taiwan, Malaysia, Singapura juga datang langsung membantu warga Aceh.

Sugianto Kusuma bergegas kembali ke Jakarta setelah menerima telepon dari staf kerohanian Tzu Chi Taiwan tentang tsunami yang menerjang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Saat itu ia sedang berada di Shanghai, Tiongkok mengantar anaknya berlibur akhir tahun.

Setiba di Jakarta, Wakil Ketua Tzu Chi Indonesia itu langsung mengkoordinir para relawan guna menyiapkan berbagai bantuan darurat seperti makanan, selimut dan obat. Rapat yang digelar sejak pagi hingga sore itu memutuskan, tim relawan akan berangkat ke Aceh besok pagi, 28 Desember 2004, dua hari pascatsunami.

“Waktu itu (di Aceh) jaringan telekomunikasi putus. Airport tak bisa mendarat. Saya langsung siapkan pesawat berangkat ke sana,” kenang Sugianto. Pesawat yang digunakan adalah Fokker F50, penumpang sipil berukuran kecil.

Koordinasi jarak jauh juga dilakukan dengan Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei yang tengah mengunjungi orang tuanya di Taiwan. Seperti halnya Sugianto, ia juga segera mengubah tiket pesawat pulang ke Jakarta.

Sugianto juga berkoordinasi dengan Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah yang tengah bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meninjau penanganan penyintas gempa di Nabire, Papua yang terjadi pada 26 November 2004. Bachtiar telah mengenal Tzu Chi jauh sebelumnya, karena misi kemanusiaan Tzu Chi. Berlanjut saat Tzu Chi membangun Perumahan Cinta Kasih Cengkareng bagi warga bantaran Kali Angke yang jadi korban banjir besar di Jakarta awal tahun 2002.

Sugiato juga menelepon karibnya, Anthony Salim, meminta dukungan bantuan sembako. Meski jalur transportasi di Aceh terputus, Anthony tetap menyanggupi. Relawan Tzu Chi Medan juga digerakkan untuk mendirikan posko karena saat itu banyak warga Aceh mengungsi ke Medan. Banyak di antara mereka terpisah dengan keluarganya. Relawan Tzu Chi di Medan bertugas menenangkan warga, sembari menyiapkan bantuan logistik.

Tanpa Ragu
Pukul empat pagi, sebelas relawan sudah berada di Bandara Halim Perdana Kusuma. Tiga di antaranya dokter. Lambung pesawat penuh dengan barang bantuan, 12 ton.

Tiba di Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh, suasana kesedihan menyeruak. Warga dengan kondisi seadanya, bahkan tanpa alas kaki berduyun-duyun ke bandara, berupaya mengungsi ke Kota Medan dan kota lainnya.

Bachtiar bertemu Sugianto di Bandara Sultan Iskandar Muda Aceh dua hari pascatsunami dan langsung membahas tentang bantuan hunian bagi warga penyintas tsunami.

Sementara di Papua, Bachtiar Chamsyah mula-mula mendapat informasi jika korban jiwa pada bencana di Aceh lima orang, tak sampai semenit sudah 10 orang. Satu menit, informasi korban meninggal sudah 50, lalu berkali lipat.

“Mulai saya lapor presiden, ‘Pak ada bencana di Aceh, saya khawatir ini tsunami’,” ujar Bachtiar.

Seluruh agenda di Papua dibatalkan. Rombongan presiden lalu bertolak ke Aceh. Pesawat kepresidenan kala itu belum secanggih sekarang, mesti melewati jalur ke Makassar, kemudian Batam untuk mengisi bahan bakar. Tiba di Kota Lhokseumawe sore hari, semua porak-poranda, batang pohon kelapa bertumbangan, jenazah terbujur di mana-mana. Presiden dan rombongan langsung menemui warga.

“Malamnya kami rapat. Saya berpendapat, kita ke Banda Aceh setelah logistik masuk karena kalau bencana alam tak ada logistik itu menimbulkan masalah, kita bukan mau berpidato, itu pengalaman saya karena banyaknya bencana alam,” jelas Bachtiar yang kini berusia 79 tahun.

Rombongan presiden menginap di Lhokseumawe dan berangkat ke Banda Aceh esok hari pukul sembilan pagi. Dari jendela pesawat terlihat infrastruktur Banda Aceh yang lebur.

Warga Aceh umumnya lebih senang berobat di posko Tzu Chi karena tim medis Tzu Chi lebih memahami budaya di Aceh.

Ketika mendarat, Bachtiar mendapati Sugianto dan tim relawan Tzu Chi sudah berada di sana, dengan wajah yang sama-sama masih memproses kehancuran yang mereka saksikan.

“Duluan sampai kau Wan,” sambut Bachtiar.

“Iya Bang,”

Bachtiar yang sudah paham sepak terjang Tzu Chi di bidang kemanusiaan, dan belum lama membangun perumahan bagi warga bantaran Kali Angke langsung bertanya apakah Tzu Chi bisa memberi bantuan rumah bagi warga Aceh.

“Wan kamu bisa bantu berapa ribu rumah? Nanti kamu bicara sama presiden. Kalau kita bantuannya 100 rumah kan malu,” ujarnya. Sugianto menjawab, pasti Tzu Chi akan bantu lebih dari jumlah itu.

Bachtiar pun mengantar Sugianto menghadap presiden yang saat itu didampingi Almarhumah Ani Yudhoyono.

“Pak kami datang pagi ini, sebagian barang bantuan sudah saya masukkan ke gudang, sebagian barang sedang saya siapkan,” tutur Sugianto. Tzu Chi juga siap untuk membangun tenda darurat.

“Siap bangun berapa rumah? tanya presiden.

“Kalau seribu rumah, dua ribu rumah pasti kami bisa bantu bangun,” jawab Sugianto mantap.

Di hari itu juga, bantuan logistik yang dibawa tim relawan dibagikan pada warga. Tim relawan turut dalam rombongan presiden meninjau Banda Aceh yang luluh lantah.

“Dari sana saya keliling. Mendadak stop mobilnya. Saya lihat presiden turun, menteri turun, kami ikut turun. Ternyata di pinggir sana, ada satu pelataran, semuanya jenazah. Presiden mengajak rombongan mendoakan. Satu menit, kami lalu pergi ke tempat lain. Sampai sekarang saya tidak bisa lupa suasana itu. Kami lalu ke masjid, melihat, turun ke bawah. Sepanjang jalan jasad di mana-mana,” tutur Sugianto. “Itulah kita lihat bencana alam begitu dahsyat, manusia tidak bisa melawan,” sambungnya.

Lima Tahun Mendampingi Warga Aceh
Sebagai langkah awal, Tzu Chi mendirikan tiga posko kemanusiaan, yakni di Jakarta sebagai pusat koordinasi, di Medan sebagai basis logistik, dan di Banda Aceh dengan memberi bantuan langsung pada para penyintas.

Sejak 29 Desember 2004, bantuan logistik yang telah dikumpulkan dari berbagai tempat dan dipusatkan di Jakarta lalu dikirim ke Medan. Bantuan berangsur-angsur dikirim melalui darat dan udara. Setiap hari relawan mengunjungi posko-posko pengungsian untuk membagikan bantuan berupa mi instan, nasi siap saji, biskuit, air mineral, susu, dan lainnya.

Selain mendirikan posko, Tzu Chi juga membuat tiga tahapan dalam memulihkan Aceh, yaitu jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Jangka pendek dilakukan oleh tim garis depan Tzu Chi yang terkonsentrasi di Banda Aceh dan Meulaboh dengan memberi bantuan dan pengobatan.

Liu Su Mei saat berada di perkampungan tenda.

Adapun bantuan jangka menengah dengan mendirikan perkampungan tenda sebagai tempat tinggal sementara. Perkampungan tenda ini didirikan pada Februari 2005, sambil menunggu pembangunan perumahan selesai.

Lalu bantuan jangka panjang berupa pembangunan perumahan di tiga lokasi, yakni di Panteriek, di Neuheun dan Meulaboh. Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Panteriek, Banda Aceh, diresmikan pada 27 Desember 2005 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Tak hanya menjadi NGO (Nongovernmental organization) yang pertama kali datang membantu warga Aceh, Tzu Chi juga menjadi yang paling terakhir pulang. Selama lima tahun Tzu Chi mendampingi warga Aceh, mulai dari bantuan bencana, pembangunan kampung tenda, pembangunan perumahan Cinta Kasih, serta pemindahan warga.

“Saya sangat berterima kasih kepada relawan Tzu Chi Medan yang sangat mendukung dan bergiliran pergi ke sana, begitu juga relawan Jakarta yang bergiliran menangani para penyintas,” kata Liu Su Mei.

Tak sekedar membangun perumahan, Tzu Chi juga membentuk sistem pengelolaan perumahan, dan mengurus sertifikat kepemilikan rumah.

“Kami bantu mengurus sertifikat, dari pemerintah diserahkan kepada mereka setiap rumah, ini adalah proses panjang,” tambahnya.

Adalah Sarpin Lie, relawan Tzu Chi yang bolak-balik ke Aceh- Jakarta hingga 60 kali lebih. Sumbangsihnya besar, terutama dalam pembangunan tiga perumahan, dialah penanggung jawabnya bersama para relawan Tzu Chi Medan.

Lima Prinsip Penting
Dalam penyaluran bantuan yang begitu intens itu, ada peran para relawan perempuan yang bertugas memasak. Mereka memastikan para relawan tercukupi gizi makanannya. Sebut saja Christine Kusnadi, relawan asal Jakarta yang sampai tinggal di Aceh beberapa bulan.

Suatu waktu, relawan dari NGO asal Tiongkok berujar kepada tim relawan masak, “Kami sudah lama tidak makan bubur, bisakah kalian memasak bubur putih untuk kami?” Relawan Tzu Chi yang bertugas memasak dengan senang hati menjawab, “Tentu saja, tidak masalah, jika kalian ingin makan, datang saja ke sini.”

Para relawan dari NGO lainnya juga sama berjuangnya seperti relawan Tzu Chi. Melihat relawan Tzu Chi yang bertugas memasak tiga kali sehari, mereka kagum karena kontribusi relawan dapur ini juga sama pentingnya.

Tak hanya bantuan darurat, Tzu Chi juga membangunkan tenda sementara sembari menunggu pembangunan perumahan cinta kasih rampung dan diresmikan.

Satu hal yang juga menarik, banyak dokter luar negeri yang tak paham jika mayoritas warga Aceh adalah muslim yang taat. Umumnya para perempuan baru merasa nyaman jika diperiksa oleh dokter perempuan. Di tim medis Tzu Chi banyak tim medis perempuan dan juga banyak yang muslim, warga Aceh pun lebih sreg berobat di posko Tzu Chi. Selain itu, obat-obatan Tzu Chi berbahasa Indonesia, warga Aceh lebih percaya pada dokter Tzu Chi.

“Karena itu, beberapa negara, termasuk tim medis dari Taiwan, akhirnya menitipkan obatobatan kepada kami. Pertama mereka adalah tim dari luar negeri, kedua adalah bahasa. Ketiga adalah perbedaan tradisi budaya,” terang Liu Su Mei.

Salah satu contoh perbedaan tradisi dan budaya ini terlihat ketika banyak bantuan pakaian dari luar negeri, termasuk dari dalam negeri yang akhirnya tak bisa dibagikan. Bantuan pakaian ini menumpuk lebih dari 200 ton. Ini karena di Aceh, warganya tak memakai baju pendek.

Itulah mengapa dalam pembagian bantuan, perlu memahami adat dan tradisi setempat agar sesuai dengan yang dibutuhkan. Master Cheng Yen mengajarkan lima prinsip penting dalam pembagian bantuan yaitu langsung, prioritas, sesuai kebutuhan, menghargai, dan cepat.

Master Cheng Yen sendiri sangat percaya dengan kemampuan para relawan Tzu Chi Indonesia dalam penyaluran bantuan di Aceh. Salah satunya karena Tzu Chi Indonesia bekerja sama dengan pemerintah, terutama pihak TNI dalam penyaluran bantuan ke lapangan.

Yang kedua, karena musibah di Aceh memang sangat besar kehancurannya. Tak henti-henti Master Cheng Yen meminta para relawan menjaga diri, terlebih situasinya serba tak pasti. Ketika pertama kali masuk ke Aceh, relawan banyak membantu mengangkat jenazah. Banyak jenazah ditemukan dalam rumah dan terendam air. Bahkan ketika mereka pulang ke penginapan, bau jenazah melekat di pakaian mereka.

Karena begitu banyak orang yang meninggal dalam waktu singkat dan cuaca Aceh panas, tingkat pembusukan juga cepat. Awal-awal masih tersedia kantong jenazah, tapi pada akhirnya jumlahnya tak cukup. Banyak juga jenazah yang terbawa gelombang laut dengan kondisi hancur dan sulit diidentifikasi. Mereka kemudian dikubur dalam kuburan massal.

Meski memberikan segenap daya, baik waktu, tenaga, pikiran, juga materi, para relawan hanya merasakan kebahagiaan, Bahagia karena sudah melakukan yang terbaik.

“Tidak ada duka, cuma senang saja, kami datang ke sana bisa bantu untuk melewati kesedihan mereka. Kan tidak gampang itu. Makanya kalau kita hidup ya kita mesti memikirkan bagaimana kita bisa membantu sesama,” kata Sugianto.

Sebagai NGO yang datang pertama kali ke Aceh dan pulang paling akhir, Bachtiar Chamsyah mengakui betapa berartinya uluran tangan Tzu Chi. “Tak bisa dibantah betapa besarnya peranan Tzu Chi selama penanggulangan tsunami di Aceh. Saya saksi hidup,” tuturnya.

Menghargai Seluruh Jiwa
Peribahasa mengatakan, siapa yang menanam, dia yang menuai. Ketua Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei masih ingat, tahun 2003 Tzu Chi Indonesia membagikan bantuan beras 50.000 ton ke seluruh Indonesia, termasuk Aceh. Saat itu masih ada kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM), sehingga penyaluran beras tersebut penuh kehati-hatian.

Mantan Panglima GAM Muzakir Manaf juga menuturkan bantuan Tzu Chi sangat membantu warga Aceh bangkit pascabencana tsunami.

Lambat laun kelompok GAM mendapati jika Tzu Chi adalah organisasi yang murni membantu penduduk setempat. Mereka pun memberi kemudahan bagi relawan Tzu Chi dalam penyaluran beras.

“Setiap kali kendaraan Tzu Chi melewati wilayah mereka, mereka akan memberi jalan, jadi kita bisa lewat dengan aman,” ujar Liu Su Mei.

Karena historis itu juga, saat Tzu Chi menyalurkan bantuan tsunami pada tahun 2004, baik pemerintah maupun GAM sangat welcome.

Ingatan mantan Panglima GAM Muzakir Manaf pun kembali ke masa itu. Ia menyaksikan berbagai bantuan Tzu Chi sangat membantu warga Aceh bangkit dari kehancuran akibat dahsyatnya tsunami.

“Kalau orang tulus membantu, tentu kita ucapkan terima kasih sebanyak-banyaknya. Seperti itu kan? Jadi tak mungkin ada masalah, ada hambatan, dan hal-hal yang negatif. Intinya kami di Aceh masa itu mengucapkan terima kasih sebanyak-banyak kepada Yayasan Buddha Tzu Chi yang telah menolong Aceh,” ujar Muzakir yang kehilangan tujuh anggota keluarga saat tsunami.

Mantan Menteri Sosial, Bachtiar Chamsyah mengakui betapa tepat sasarannya segala bantuan Tzu Chi bagi warga Aceh.

Ketika Tzu Chi membangun Perumahan Cinta Kasih di tiga lokasi bagi warga penyintas tsunami, muncul pertanyaan apakah warga dari kelompok GAM juga akan mendapat bantuan rumah. Tzu Chi dengan tegas, tentu saja karena mereka juga penyintas bencana yang harus dibantu.

“Sekarang kita lihat di Perumahan Cinta Kasih, yang dulu merupakan anggota GAM dan warga lainnya tak pernah ada konflik, mereka semua tinggal bersama. Ini juga jalinan jodoh yang baik,” kata Liu Su Mei tersenyum.

Melihat sebagian besar rumah di Perumahan Cinta Kasih yang kini direnovasi menjadi rumah dua lantai, Liu Su Mei bersyukur, ini menandakan taraf ekonomi warga di sana membaik. Beberapa warga juga membangun tempat usaha dan bisnis di sana. Adapun rumah yang masih asli yakni tidak direnovasi kondisinya tidak rusak. “Jadi bisa dibilang, rumah yang diberikan oleh Tzu Chi memiliki kualitas yang sangat baik,” pungkas Liu Su Mei.

Penulis: Khusnul Khotimah
Fotografer: Arimami Suryo A, dok. Tzu Chi Indonesia
Menghadapi kata-kata buruk yang ditujukan pada diri kita, juga merupakan pelatihan diri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -