2O Tahun Tsunami Aceh: Memori, Hikmah, dan Ketangguhan
Tsunami pada 26 Desember 2004 menggoreskan luka yang sangat dalam di hati masyarakat Aceh. Namun bencana tersebut juga menghadirkan hikmah yang besar dengan berakhirnya konflik berkepanjangan di Aceh. Tsunami Aceh juga menjadi bukti nyata bahwa kemanusiaan tak kenal sekat. Hadirnya Tzu Chi di Serambi Mekkah menjadi pengejawantahan cinta kasih universal yang sejalan dengan ajaran Islam tentang Rahmatan Lil ‘Alamin.
*****
Suatu sore di Pantai Lampuuk, sekitar 20 kilometer dari Kota Banda Aceh. Pantai dengan gradasi biru kehijauan yang jernih dengan latar perbukitan yang hijau, benar-benar memukau. Tak cuma wisatawan lokal, ada juga wisatawan mancanegara. Mereka menikmati indahnya pantai dengan berenang, bermain banana boat, jetski, atau sekedar duduk di pasir putih yang bersih. Semburat jingga menambah ketakjuban akan indahnya ciptaan Yang Maha Kuasa.
Pantai Lampuuk yang berada di Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar ini merupakan saksi bisu dahsyatnya tsunami 2004. Separuh penduduk Lampuuk meninggal, pemukiman dan hotel sekitarnya hancur. Warga yang trauma enggan datang lagi. Baru setelah proses rekonstruksi, wisata di Pantai Lampuuk berangsur pulih. Pantai Lampuuk bahkan jadi simbol ketahanan masyarakat Aceh.
Ketika waktu menunjukkan pukul 18.19 WIB, Azan Magrib berkumandang. Di Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, umat Islam berduyun-duyun melaksanakan salat berjamaah. Ketenangan pun mengisi relung sanubari.
Kapal Lampulo menjadi pengingat bahwa dalam situasi kacau sekalipun selalu ada harapan.
Masjid Raya Batuirrahman, landmark kebanggaan warga Aceh ini juga menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami. Ketika kehancuran terjadi, Masjid Baiturrahman tetap kokoh dan menjadi tempat berlindung ribuan warga.
Setelah 20 tahun berlalu, hampir tak tersisa kerusakan akibat tsunami. Aceh bertransformasi dari wilayah konflik dan bencana menjadi daerah yang lebih maju.
Namun di Desa Lampulo, sebuah kapal nelayan yang tersangkut di atas rumah penduduk akibat terjangan tsunami dibiarkan seperti adanya. Kapal ini menyelamatkan 59 nyawa. Pemerintah Kota Banda Aceh menjadikannya objek wisata edukatif sekaligus simbol ketangguhan masyarakat Aceh.
Nilawati menunjukkan nama yang dikenalnya dalam deretan nama warga Lampulo yang gugur karena tsunami.
Mengunjungi Lampulo adalah sebuah pengalaman emosional tentang perjalanan umat manusia menjemput takdirnya. Warga Lampulo yang tadinya berjumlah sekitar 6.000 orang, tinggal 1.500 orang. Nilawati, warga yang selamat dan kemudian menjadi pemandu objek wisata Kapal Lampulo merasa bahwa tsunami yang dahsyat itu seperti belum lama terjadi.
“Dua puluh tahun itu kan lama, tapi kalau di lintas pikiran kami itu kejadiannya baru, seolah-olah beberapa hari yang lalu.”
Rindu yang dalam pada anak ketiganya yang raib karena tsunami membuatnya merasa seperti itu. Rasanya baru saja ia bersenda gurau dengan anaknya yang kala itu berusia 13 tahun.
“Saya pribadi buat apa sedih terus, jadi saya harus bangkit. Alhamdulillah setelah tsunami, banyak hikmah saya rasakan,” katanya.
Hikmah terbesar yang Nilawati rasakan, tentu juga bagi seluruh masyarakat Aceh adalah kedamaian yang akhirnya tercipta di Tanah Rencong. Konflik yang terjadi selama 30 tahun antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka saat itu mendatangkan ketakutan bagi masyarakat.
“Yang dulunya Aceh enggak ada aman-amannya, kami merasa gelisah. Jadi selepas tsunami Alhamdulillah sudah tidak ada perang lagi.” Ia bersyukur.
Nilawati ingat betul masa itu, pukul 8 malam saja warga sudah tak berani keluar rumah. Malam itu ketika ia merasakan kontraksi saat hamil anak ketiga, sang suami panik karena harus mencari bidan. Ia dan sang suami berdoa agar bayi mereka lahir besok siang atau jika terpaksa setelah Salat Subuh.
“Saya pun bagaimana ini ya Allah.. akhirnya apa yang diingankan suami saya terkabulkan, anak kami lahir jam 11 siang.” Kenang Nilawati.
Jembatan Perdamaian di Museum Tsunami Aceh, simbol tercapainya perdamaian Aceh setelah terjadi tsunami.
Pun bagi Penjabat (PJ) Gubernur Aceh, Safrizal. Tanpa bermaksud mengabaikan 230.000 warga yang meninggal, tsunami juga membawa berkah tersembunyi (blessing in disguise), yakni titik balik perdamaian di Aceh.
“Sebelum tsunami, Aceh berada dalam konflik berkepanjangan. Tsunami seolah membuka mata dunia dan semua pihak bahwa perdamaian adalah jalan terbaik. Hal ini terbukti dengan tercapainya perjanjian damai Helsinki pada 15 Agustus 2005,” ujarnya.
Aceh Kini
Usai menyeruput nikmatnya kopi sanger yang termasyhur itu, di Pendopo Gubernur Aceh kami berbincang tentang 20 tahun tsunami Aceh. Safrizal merasakan suasana batin yang mendalam dan kompleks di tengah masyarakat meski tsunami telah 20 tahun berlalu.
“Saya dan kita semua masih bisa merasakan kesedihan yang mengendap di hati masyarakat yang terdampak. Banyak warga yang masih meneteskan air mata saat bercerita tentang keluarga dan orang-orang tercinta yang menjadi syuhada tsunami. Luka ini memang belum sepenuhnya sembuh dan mungkin tidak akan pernah sembuh sepenuhnya,” tuturnya.
Namun di balik kesedihan itu, rasa syukur terpancar dari para penyintas tsunami. Mereka menjalani hidup dengan penuh makna, menghargai setiap napas kehidupan sebagai kesempatan kedua.
Salah satu yang tak pernah dilupakan masyarakat Aceh adalah bagaimana dunia bersatu membantu Aceh. Lebih dari 60 negara dan ratusan lembaga membantu memulihkan Aceh.
Bagi Safrizal, 20 tahun tsunami Aceh bukan hanya peringatan duka, tapi juga momentum untuk terus membangun Aceh yang lebih baik, lebih tangguh, dan lebih sejahtera.
“Kami sangat tersentuh dan berterima kasih atas cinta kasih yang ditunjukkan Tzu Chi Indonesia kepada masyarakat Aceh. Ketika banyak pihak masih ragu untuk masuk ke Aceh pascatsunami karena kondisi yang tidak menentu saat itu, Tzu Chi justru menjadi yang pertama hadir memberi bantuan tanpa pamrih,” ujarnya.
Kehadiran Tzu Chi membuktikan bahwa kemanusiaan melampaui segala sekat. Yang membuat Safrizal sangat terkesan adalah pendekatan Tzu Chi yang sangat manusiawi.
“Mereka tidak sekadar bangun rumah, tapi membangun dengan kualitas terbaik. 2.700 rumah yang mereka bangun di Aceh dirancang dengan standar tinggi, tahan gempa, dan memperhatikan kenyamanan penghuninya. Ini menunjukkan bahwa bantuan mereka bukan sekadar bantuan fisik, tapi benar-benar dilandasi cinta kasih yang mendalam,” tambahnya.
Sebanyak 2.700 rumah yang Tzu Chi bangun tersebut berada di tiga lokasi, yaitu Panteriek Banda Aceh sejumlah 716 unit, Neuheun Aceh Besar sejumlah 850 unit, dan Meulaboh Aceh Barat sebanyak 1.134 unit.
Wujud Syukur
Sri Wahyuni (44) merupakan penyintas tsunami yang mendapat bantuan rumah di Perumahan Cinta Kasih Panteriek sejak tahun 2006. Di sana ia membuka toko kelontong dan menerima pesanan katering. Taraf hidup keluarganya berangsur membaik setelah sebelumnya kehilangan seluruh harta benda.
Pegawai honorer Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan Kota Banda Aceh ini juga aktif dalam kegiatan sosial melalui Yayasan Buddha Tzu Chi Aceh. Ia menjadi relawan karena terinspirasi dengan ketulusan Tzu Chi membantu warga Aceh.
“Yang pertama bantu masyarakat Aceh, inilah Tzu Chi. Bantuan yang dari nol sampai akhir, dia jaga. Kalau yang lain bantu, setelah itu lepas. Tapi kalau Tzu Chi ini dijaga kami. Begitu dikasih rumah, setelah itu dia pantau. Inilah yang menyentuh hati saya,” kata ibu dua anak tersebut.
Sri bahkan menyulap satu ruangan di rumahnya jadi basecamp kegiatan Tzu Chi. Kegiatan yang rutin digelar seperti donor darah, bantuan bulanan untuk masyarakat kurang mampu, juga celengan beras. Warga menyisihkan sejumput beras tiap hari dalam toples dan jika sudah penuh bakal dituang bersama, lalu diberikan kepada tetangga yang kesusahan.
Aktif dalam kegiatan kemanusiaan juga merupakan wujud syukur Sri atas kesempatan hidup kedua.
“Situasi saat itu bukan lagi mencekam saya bilang. Seolah-olah memang kayak sudah kiamat,” kata Sri dengan suara tercekat.
Sri yang lari bersama adiknya di dalam air akhirnya selamat dengan naik ke kubah Masjid Alhuda di Gampong Laksana Banda Aceh.
“Air bergulung-gulung, dari situ kami jebolin plafon, kami naik ke kubah masjid. Di kubah masjid itulah kami duduk. Di situlah nampak anak saya dibawa kakak saya. Dikasih naik juga anak saya, Alhamdulillah,” kenangnya. Sri baru bertemu suaminya malam hari saat mengungsi di Kantor DPRA Banda Aceh.
Aktif dalam kegiatan kemanusiaan memberikan Sri kebahagiaan dan keberkahan.
Keluarga Sri selamat, namun ia kehilangan beberapa sepupu. Walau sudah 20 tahun berlalu, Sri masih merasa trauma terlebih ketika melihat air laut. Namun ia sepenuhnya sadar bahwa apa yang sudah terjadi merupakan ujian dari Tuhan.
Setiap melewati Masjid Alhuda, Sri selalu ingat peristiwa itu. Namun kini sudah dengan perasaan bersyukur atas kesempatan hidup yang kedua. Tak lupa, doa ia panjatkan untuk lebih dari 230.000 warga Aceh yang meninggal dalam peristiwa tsunami.
“Diluaskanlah kuburnya, istilahnya meninggal syahid. Dan untuk diri sendiri tetap bersyukur dengan adanya masjid kami bisa selamat,” tutupnya.
Budaya Sadar Bencana
Sementara itu di ruangan bercahaya temaram yang diberi nama Sumur Doa, para pengunjung Museum Tsunami Aceh sesenggukan menahan tangis. Mereka mengirimkan doa bagi para korban tsunami yang namanya terukir di dinding. Ruangan yang diterangi lafadz Allah tersebut menyimbolkan kuburan massal korban tsunami Aceh 2004.
Museum Tsunami Aceh dibangun sebagai pengingat akan bencana tsunami 2004, juga sebagai pusat penelitian dan edukasi, serta pusat evakuasi jika bencana tsunami terjadi lagi. Banyak orang tua mengajak anaknya berkunjung agar bisa mengambil pelajaran penting dari peristiwa tsunami Aceh
Salah satu pelajaran penting itu bahwa kita mesti punya pengetahuan yang cukup mengenai ilmu kebencanaan atau mitigasi bencana. Terutama bagi warga yang tinggal di daerah berpotensi tsunami dan gempa bumi. Mitigasi bencana membawa manfaat dalam mengurangi risiko kerugian jiwa dan harta benda. Karena itu harus terus diajarkan, termasuk di dunia pendidikan yang dikenal sebagai pengintegrasian kurikulum bencana ke dalam kurikulum sekolah.
Kepala SMAN 1 Lhoknga, Eka Sari Dewi (jilbab biru) menekankan, budaya sadar bencana harus terus ditumbuhkan agar terbangun masyarakat tangguh bencana.
SMAN 1 Lhoknga merupakan sekolah yang rusak parah akibat tsunami 20 tahun lalu. Separuh dari guru dan siswanya hilang akibat tsunami. Mengambil pelajaran dari musibah tersebut, pihak sekolah bersungguh-sungguh menciptakan budaya sadar bencana, sadar bahwa potensi bencana ada di sekitar mereka, karena itu mereka harus tahu ilmunya untuk pertahanan diri.
SMA Negeri 1 Lhoknga telah membuat jalur evakuasi dan membentuk beberapa tim, seperti tim evakuasi, tim peringatan dini, tim keamanan, dan tim logistik. Sejak 2022, sekolah lalu menggelar simulasi rutin setiap tanggal 26.
“Saya ingin mengingatkan tanggal memorialnya, tanggal 26. Kan 20 tahun hari ini, jangan sampai anak-anak itu lupa sejarah. Di samping kita ingin meningkatkan kapasitas dari pada SDM sekolah,”jelas Eka Sari Dewi, Kepala SMAN 1 Lhoknga.
Pembiasaan itu terus dilakukan walau selalu ada siswa baru tiap tahunnya. Selain melalui simulasi rutin setiap tanggal 26, Program Satuan Pendidikan Aman Bencana (SPAB) ini juga disisipkan di mata pelajaran yang sesuai seperti geografi, Bahasa Indonesia, sampai seni pun bisa. Termasuk di ekstrakulikuler seperti Pramuka.
Setiap tanggal 26, SMAN 1 Lhoknga menggelar simulasi gempa dan tsunami serta evakuasi mandiri.
“Hari ini isunya megathrust, saya ingin ada ketenangan pada kami. Kami di pesisir, kami tahu kami rawan bencana. Kami sadar tak bisa lari dari kenyataan, ini our hometown,” tuturnya.
Pihak sekolah sudah mengukur jarak sekolah dengan TEA, tempat evakuasi akhir. Dengan jalan cepat, TEA pertama butuh waktu 21 menit, sedangkan TEA kedua butuh 35 menit.
“Pengalaman kami, tsunami hadir pascagempa itu sekitar 35 menit, tapi ada yang kurang dari itu. Dari dua jalur itu, saya tidak akan bawa anak-anak ke jalur kanan, terlalu lama di sana, di situ juga padat penduduk. Saya akan ambil jalan belakang sekolah, itu lebih cepat, tidak banyak mobilitas, jadi anak-anak fokus ke TEA,” jelasnya.
Tasya, siswi kelas 11 mengaku sudah punya budaya sadar bencana dari pembiasaan yang dilakukan sekolah tiap tanggal 26 tersebut.
“Sebelum suara sirine, ada suara bel, itu kami sembunyi di bawah meja, merunduk. Pas dengar suara sirine, kami suruh dulu teman keluar karena kami juga tim SPAB. Setelah keluar semua, kami turun. Tim kami yang satu lagi bawa tandu, jadi kami susul ke kelas yang ada korban. Korban itu di kelas 11-1, korban satunya cuma luka tangan, jadi bisa dipapah, satu lagi cedera di kaki. Jadi kami angkat, kami bawa, kami obati di lapangan,” jelas Tasya lancar.
Bagi Dr. Rina Suryani Oktari, jika dulu perspektif masyarakat terhadap bencana adalah pasif, sekarang upaya itu harus lebih proaktif.
Sejalan dengan itu, pakar kebencanaan dari Universitas Syiah Kuala (USK) Dr. Rina Suryani Oktari, S.Kep, M.Si, menjelaskan sebelum peristiwa tsunami 2004, paradigma masyarakat Indonesia dalam melihat bencana cenderung responsif. Yakni menunggu bencana datang, baru merespon. Setelah tsunami 2004, paradigma tersebut sudah tak boleh lagi, tsunami 2004 membuka mata semua pihak bahwa kita harus melakukan sesuatu agar bencana bisa dikurangi risikonya.
“Sekarang kita coba kampanyekan there is no such thing as a natural disaster (Tak ada yang disebut bencana alam). Kata-kata di balik bencana alam itu seolah-olah alam yang salah, padahal yang salah kita. Misalnya gempa, gempa yang membunuh itu siapa? bukan gempanya, tapi bangunannya yang tidak tahan gempa. Jadi sekarang ini kita harus mengubah paradigma kita dalam melihat bencana.” Serunya.
Salah satu pengunjung Museum Tsunami Aceh yang adalah seorang ibu, menjelaskan tentang peristiwa tsunami pada anak-anaknya.
Museum Tsunami Aceh merupakan pusat penelitian dan edukasi, serta pusat evakuasi.
Penulis: Khusnul Khotimah, Arimami Suryo A. | Foto: Arimami Suryo A.