Arti dari Kata "Terima Kasih"


Benjolan di kedua sisi leher Hai Eng sudah hilang. Begitu juga dengan deritanya menahan rasa sakit yang luar bisa di tenggorokan, otak, dan kepala bagian belakang. Hai Eng benar-benar bersyukur bisa sembuh dari kanker nasofaring.

Hai Eng tak begitu saja melupakan Tzu Chi setelah ia sembuh dari kanker nasofaring. Justru ia makin aktif bersumbangsih dan menyebarluaskan cinta kasih. Pendampingan relawan Tzu Chi di saat terberat dalam hidupnya betul-betul menginspirasinya.

Di sebuah kamar di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng siang itu Hai Eng (46) tengah berkemas. Esok, ia dan istri kembali pulang ke Selatpanjang, Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau. Hai Eng sudah tak sabar memakai seragam Abu Putih-nya, seragam Tzu Chi untuk relawan yang baru bergabung.

“Saya sudah punya. Sebenarnya sudah bisa pakai, tapi pas saya di sini. Habis pulang langsunglah,” kata Hai Eng dengan logat Hokkien yang kental.

Hampir empat tahun pasien yang pengobatannya didampingi oleh Tzu Chi Selatpanjang ini bolak-balik Jakarta demi berobat di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Ia terkena kanker nasofaring, yakni kanker yang tumbuh di hidung bagian dalam hingga ke tenggorokan.

Semula Hai Eng tak menyangka jika sakit tenggorokan yang dialaminya bukan sakit yang biasa. Tiga bulan tak kunjung sembuh, ia masih mengira itu semacam panas dalam atau radang tenggorokan saja. Apalagi tiga kali berobat, dokter tak mengatakan hal yang serius. Sampai muncullah benjolan di rongga hidung, dan merasakan nyeri tak tertahankan di kepala bagian belakang.

“Waktu agak parah ada benjolan. Saya enggak tahu ini benjolan apa, cuma tenggorokan rasanya sakit. Kalau mau menelan air sakit,” ujar Hai Eng.

Hai Eng pergi ke dokter lain di Tanjung Balai Karimun yang jaraknya sekitar 80 kilometer dari Selatpanjang. Melihat benjolan di tenggorokan dan gejala yang dialami Hai Eng, dokter mengatakan Hai Eng kemungkinan besar terkena kanker nasofaring. Karena itu ia menyarankan Hai Eng untuk pergi ke dokter spesialis Telinga, Hidung, dan Tenggorokan (THT). Dengan bantuan saudaranya, Hai Eng periksa ke dokter di Melaka, Malaysia.  

“Ternyata bicaranya sama, saya kena kanker nasofaring stadium 3C. Kata dokter di Malaka, ‘kamu tinggal 6 bulan usianya’. Saya takutlah,” ujar Hai Eng.

Berat betul beban hidup yang dipikul Hai Eng. “Bagaimana berobat kan saya tidak mampu,” tambahnya. Apalagi masih ada dua anak yang membutuhkan biaya sekolah. Sama sekali tak terlihat titik terang. Hai Eng kehilangan harapan.

Uluran Tangan


Relawan Tzu Chi di Jakarta mengunjungi Hai Eng saat menginap di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta Barat pada awal Januari 2018.

Di pertengahan Oktober 2013, ponsel Adi Tan, relawan Tzu Chi Batam berdering. Ayahnya mengabarkan, ada kerabat di Selatpanjang yang membutuhkan bantuan karena menderita kanker.

“Pertama kali itu tetangga kami di Selatpanjang yang cari bapak saya. Ia bilang ada keluarga kami yang katanya usianya tinggal enam bulan, kena kanker. Bapak saya pergi lihat, dan baru lapor saya di Batam,” kata Adi Tan.  

Seminggu pasca menerima kabar itu, Adi dan relawan Tzu Chi Batam lainnya seperti Anie, Helen, dan Djaya Iskandar datang ke rumah Hai Eng untuk survei. Hai Eng tinggal bersama istri, ibu, dan empat orang anak di rumah kayu yang sederhana. Hai Eng dibantu istrinya Aling berjualan cakwe dan kwetiau mentah, masih menggunakan kayu bakar. Mereka menyewa kios dan berjualan dari pukul 5 pagi hingga 11 siang.

Sejak itu Tzu Chi Batam pun mengusahakan pengobatannya. Dimulai dengan mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang kebetulan KTP Hai Eng masih KTP Lama berwarna kuning. Relawan harus menunggu sebulan hingga KTP tersebut jadi untuk membuat Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) Hai Eng juga harus kembali ke Malaysia untuk mengambil rekam medis yang tak dibawanya pulang.

“Selama menunggu itu saya ajak Pak Hai Eng ikut Ai sa (sosialisasi Tzu Chi- red) dan bagi brosur pelestarian lingkungan ke rumah-rumah. Kami juga minta skill dia membuat cakwe untuk diajarkan agar bisa membuat cakwe untuk kegiatan Tzu Chi. Kami juga ajak dia banyak berbuat baik, bersumbangsih, dan meminta maaf sama Mamanya sebelum berangkat ke Jakarta,” cerita Adi Tan.

Adi Tan juga berujar kepada Hai Eng bahwa dana bantuan yang diberikan oleh Tzu Chi merupakan sumbangsih dari banyak orang. Karena itu sepatutnya ia pandai bersyukur dan berterima kasih. Sementara Hai Eng berada di Batam, anak-anaknya di Selatpanjang belajar untuk lebih mandiri. Anaknya yang masih sekolah membantu mengambil kayu. Sementara anak yang lebih besar membantu neneknya membuat kwetiau.

Mendapatkan Dukungan Moril


Hai Eng juga turut membagikan brosur Tzu Chi kepada warga di sekitar lokasi Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi.

Ketika surat-surat yang dibutuhkan sudah lengkap, relawan menemani Hai Eng periksa ke Rumah Sakit Awal Bros Batam. Ia ditangani oleh dokter Aditya, spesialis THT.

“Dokter bilang kanker nasofaring dia stadium 2 menginjak stadium 3. Setelah tahu hasilnya, Pak Hai Eng lebih semangat karena sebelumnya dokter di Malaysia bilang kalau umurnya cuma akan tahan enam bulan (dan sudah stadium C),” kata Adi Tan.

Hai Eng akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta. Ketika dirujuk ke Jakarta, sebenarnya Hai Eng mengalami kendala bahasa. Bahasa Indonesianya kurang lancar. Namun karena keinginan yang besar untuk sembuh, dia tetap jalani.

“Kamu harus berjuang hidup untuk keluarga dan anak-anak, kamu masih mau lihat anak kamu nikah kan?” begitu Adi Tan menyemangati bapak empat anak ini yang juga masih merupakan kerabatnya.

Semangat Hai Eng menjalani pengobatan dan keyakinannya bisa sembuh makin besar ketika mendapat motivasi dari dokter Aditya, yang pernah menjadi asisten dokter spesialis penyakit kanker di Jakarta. Kepada Hai Eng, ia mengatakan bahwa pelayanan dokter di Rumah Sakit Kanker Dharmais sangat baik. Berangkatlah Hai Eng bersama istri ke Jakarta, didampingi Adi Tan.

“Awalnya diantarkan Adi Shixiong sekali, selanjutnya berdua dengan istri. Sedih sih sendirian, tapi tanya sajalah kalau tidak tahu sama orang lain bagaimana cara berobatnya. Ya karena sudah sampai di sini, bagaimana dokternyalah yang penting sembuh,” kata Hai Eng mengingat masa-masa itu.

Hai Eng menjalani beberapa kali kemoterapi dan radioterapi, serta menginap di Dharmais sekitar 1,5 bulan karena mual dan muntah yang akut. Sampai kondisinya kuat, ia baru pulang ke Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat untuk menginap. Selain memberikan tempat menginap, Tzu Chi juga menyediakan kebutuhan sehari-hari selama di Rusun dan mengantarkannya pulang-pergi ke RS Dharmais.

“Kenapa saya bisa kena nasofaring, dokter tanya, ‘Bapak merokok tidak?’ Ya waktu itu saya jawab merokok,” cerita Hai Eng. Dokter tanya lagi, ‘Kamu sering makan ikan asin?’ Ya saya jawab iya, karena kan (saya) kurang mampu, jadi saya sering makan ikan asin. Terus dokter tanya lagi, ‘kamu sering kena asap?’ Oh mungkin yang bikin kue itu,” terang Hai Eng mengenang.

Ada dua benjolan sebesar telur ayam di tenggorokan Hai Eng. Sebelah kanan terasa sakit, sementara sebelah kiri tidak sakit. Seperti sebuah keajaiban, setelah 7,5 bulan berobat, dokter pun menyatakan dirinya sudah sembuh, namun masih harus datang dua kali dalam setahun untuk kontrol dan scan. Hai Eng sangat bersyukur.

“Setelah saya berobat, dokter tanya, ‘kemarin kata Bapak, dokter Malaysia bilang kalau tak berobat, enam bulan sudah meninggal ya?  Tapi sekarang Bapak masih hidup’. Jadi dokter bilang kalau soal usia itu manusia tidak tahu, yang tahu cuma Tuhan,” ujar Hai Eng.

Adi Tan dan relawan Tzu Chi yang selama ini mendampinginya sangat bahagia mendapatkan kabar baik ini. “Kasus Pak Hai Eng ini tidak tahu kenapa bisa cepat, semua lancar. Kemo lancar, scanbone lancar. Saya bilang ke Pak Hai Eng, ‘Itu kemungkinan karena salah satunya Pak Hai Eng sudah bersumbangsih dan ikut menjadi relawan, ikut kegiatan amal ketika dalam masa pengobatan jadi sudah punya tabungan perbuatan baik’,” tutur Adi Tan.

Hai Eng yang Terinspirasi


Hai Eng kerap mengikuti kegiatan survei kasus dan kunjungan kasih. Ia juga telah menjadi donatur Tzu Chi dan menyisihkan penghasilannya melalui Celengan Bambu.


Hai Eng kini resmi menjadi relawan dan dipercaya menjadi wakil koordinator daur ulang Tzu Chi di Selatpanjang.

Terinspirasi dari ketulusan relawan Tzu Chi yang membantunya, sepulang dari Rumah Sakit Dharmais, Hai Eng mulai mengikuti kegiatan Tzu Chi di Selatpanjang. “Waktu saya berobat saya berpikir kalau saya sudah sembuh saya mau ikut kegiatan Tzu Chi. Bisa bantu orang yang kurang mampu, berbuat kebaikan,” ujarnya.

Tak hanya ia yang ikut kegiatan Tzu Chi, tapi juga keluarganya, terutama sang ibu. “Tzu Chi itu baik betul ya bisa bantu orang lain, kata ibu saya. Dia juga jadi sering menonton DAAI TV, tiba-tiba ia bilang, ‘Saya mau ikut Tzu Chi’. Saya bawa dia ikut kegiatan Tzu Chi,” kata Hai Eng.

Saat itu, Tzu Chi di Selatpanjang belum memiliki kantor namun sudah menjalankan beberapa kegiatan termasuk mendampingi pasien khusus. Hai Eng menyemangati orang-orang yang sakit agar terus semangat. Adi Tan kemudian memikul tanggung jawab menangani pasien kasus di Selatpanjang. Pendampingan Hai Eng lalu dilimpahkan ke Tzu Chi Selatpanjang.

Sementara itu selama menginap di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, Hai Eng memanfaatkan waktunya untuk belajar tentang pemilahan sampah di Depo Pendidikan Pelestarian Lingkungan yang berada di kompleks perumahan itu. Pengetahuannya ia praktikkan di Selatpanjang dan berkat kesungguhannya, Hai Eng terpilih menjadi wakil koordinator daur ulang Tzu Chi di Selatpanjang.

Bergaul dengan para relawan Tzu Chi juga membuat Hai Eng kini banyak berubah. Tutur katanya lebih lembut. Ia juga membuka hati untuk orang-orang di sekitarnya.

“Sebelum kenal Tzu Chi saya orangnya agak emosian. Tidak pernah berkelahi sama orang lain sih, hanya di dalam keluarga sering marah. Jarang bergaul. Sekarang sudah lebih baiklah, lebih berbakti kepada orang tua, pelan-pelan sabarlah. Karena kebanyakan orang Tzu Chi kan baik, jadi semakin belajarlah,” pungkasnya.

Penulis: Khusnul Khotimah

Sikap jujur dan berterus terang tidak bisa dijadikan alasan untuk dapat berbicara dan berperilaku seenaknya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -