Asalkan Hidup Bisa Bermanfaat
Pemilik Rumah dan Pendamping Panti Asuhan Ghifari, Merapi
Marwanto masih ingat, November 1994, tempat tinggalnya di Dusun Ngandong, Turgo, Magelang dilanda wedhus gembel (berarti kambing berbulu gimbal, istilah untuk awan panas dari letusan Merapi –red). Awan itu bersuhu 3.000 derajat Celcius, melaju dalam kecepatan 90 km/jam, meninggalkan api di sepanjang daerah yang dilaluinya. Saat itu dikisahkan kebetulan sedang ada hajatan (perayaan) sehingga warga sedang berkumpul. Acara langsung bubar ketika warga beradu cepat dengan sang ”kambing”. Marwanto dan keluarganya selamat. Enam puluh warga meninggal dan belasan lagi menanggung luka bakar sepanjang sisa umur mereka.
”Setelah bencana itu terjadi, daerah kami dikatakan tidak layak huni,” kata Marwanto. Ia dan para tetangganya dipindahkan ke daerah Relokasi Pelem, Girikerto. Tempat ini masih di lereng Merapi, hanya termasuk jalur aman bila terjadi letusan. Meski difasilitasi oleh pemerintah daerah, rumah-rumah baru untuk warga yang dipindahkan merupakan sumbangan dari berbagai instansi yang bersimpati. Di sisi paling atas, sebuah yayasan dari Taiwan (Tzu Chi –red) membangunkan 12 unit rumah ukuran 36. Marwanto dan keluarganya mendapat jatah rumah di sini, pindah masuk di tahun 1996.
Berbagi Rumah
Di antara korban yang meninggal, ada keluarga yang meninggalkan anak-anak hingga menjadi yatim piatu. Anak-anak ini dititipkan pada kerabat yang masih ada. Pun anak yang masih memiliki orangtua, tidak mudah hidupnya. Rata-rata mereka tidak bersekolah, hanya diam di rumah. Wedhus gembel menghanguskan tak hanya rumah, tapi juga sawah, ladang, dan ternak mereka. Dan di tempat baru ini, tidak semua milik mendapat penggantian. Marwanto (saat itu berusia 27 tahun) yang sejak di Ngandong memang menjadi ketua pemuda desa, merasa risau melihat anak-anak ini. ”Kita ingin untuk anak-anak itu ada kegiatan pendampingan. Agar anak-anak bisa belajar, bermain, selayaknya teman-teman mereka yang lain,” harapnya.
Kira-kira setahun sejak ia pindah ke Relokasi Pelem, di suatu perayaan kurban, Marwanto mengenal Yayasan Ghifari dan mendapat dukungan untuk menerima sejumlah anak asuh. Pertama-tama yang diberikan hanya bantuan biaya sekolah. Ditambah lagi, setiap sore anak-anak dikumpulkan untuk diberi bimbingan belajar. Karena yayasan belum punya tempat, Marwanto menawarkan ruang di rumahnya untuk dipakai, ”Ndak usah pake sewa, pokoknya kita relakan untuk tempat anak-anak berkegiatan.”
Tanggal 4 April 2000, kegiatan bimbingan berkembang menjadi panti asuhan. Saat itu, sekali lagi ia merelakan rumahnya untuk menampung anak-anak. Kedua orangtuanya memang nekat memilih kembali ke bekas rumah lama mereka di Ngandong, hingga Marwanto tinggal sendirian. Meski berlabel Panti Asuhan Ghifari, Marwanto harus kreatif memikirkan sendiri cara melanjutkan hidupnya dan 32 anak panti. ”Awalnya itu sehari anak cuma makan 2 kali. Pada tahun 2000, makan aja masih sulit,” tukasnya. Marwanto membimbing anak-anak dalam kebersamaan. Dalam rumah yang menjadi sesak karena dihuni melebihi kapasitas, mereka selalu makan bersama dengan lauk ala kadarnya. Kalau tiba hari anak-anak untuk pulang ke rumah, mereka kembali ke panti dengan membawa bahan makanan seadanya dari rumah. ”Dulu per orang kalo di rumahnya masing-masing, kalo ada kayu ya bawa ke sini buat masak, kalo di rumah ada sayuran apa lah, entah pepaya ato apa ya bawa ke sini buat dimasak bareng-bareng,” ujar Ponimin, siswa kelas 2 SMA yang tinggal di panti sejak tahun 2000.
Setelah berjalan 1 tahun, barulah panti asuhan tersebut mendapat perhatian dari pemerintah daerah juga yayasan lain hingga kehidupan di panti membaik. Rumah yang mereka tempati akhirnya disambung dengan bangunan rumah di belakangnya. Sepanjang waktu itu, Marwanto terus berada di samping anak-anak, menjadi pengganti orangtua mereka. Bahkan 2 tahun belakangan, panti menerima sumbangan 1 unit mobil, dan kesibukan Marwanto pun bertambah dengan mengantar anak-anak ke sekolah. Panti memiliki usaha mandiri berupa perkebunan salak dan hewan ternak. Selama anak-anak pergi ke sekolah, Marwanto merawat kebun dan hewan ini, sembari merawat hewan miliknya sendiri. Ia tak pernah menerima imbalan apa pun dari panti.
Ujian untuk Keikhlasan
Tak mudah bagi Marwanto merawat puluhan anak dalam waktu bersamaan, apalagi ia sendiri belum berkeluarga (hingga 2 tahun terakhir). Dari rumah yang semula miliknya, yang tertinggal hanya kamar berukuran 3x3 meter untuk ia pribadi. ”Selama yang saya rasakan justru dengan adanya panti itu sangat seneng,” katanya. Anak-anak yang diterima di panti ini lama-kelamaan bukan hanya untuk mereka yang yatim atau piatu, tapi juga yang masih punya orangtua lengkap namun kesulitan biaya sekolah. Sekarang ada 37 anak yang diasuh, yaitu 4 tingkat SMA/SMEA, 18 tingkat SMP, dan 15 tingkat SD. Tapi hanya 25 anak yang tinggal di dalam panti, dan selebihnya tetap di rumah orangtua masing-masing.
Marwanto turut bergembira ketika melihat perkembangan anak-anak. Contohnya ia melihat perubahan mereka yang semula kurang bergaul, kini sudah mulai paham alat komunikasi ataupun transportasi, ada juga yang semula tidak bisa naik motor kemudian belajar semasa mereka tinggal di panti. Ia sangat menikmati berkembang dengan anak-anak. Ketika mereka berkesempatan menerima kunjungan dari bupati, bersalaman dengan Sri Sultan Hamengkubuwono, Marwanto turut bangga. Satu kebiasaan yang selalu ia pertahankan di panti adalah makan malam bersama. Sebulan sekali, mereka mengadakan pertemuan untuk membahas masalah apa yang sedang dihadapi anak-anak panti. ”Layaknya bapak dan anak,” ujarnya.
”Pak Lik (artinya paman, panggilan anak-anak untuk Marwanto –red) memberi bimbingan di panti, bagaimana cara mandiri dari orangtua,” ujar Ponimin yang sudah 9 tahun berada dalam asuhan Marwanto. Ketika ditanya, apakah ada yang ingin ia sampaikan pada pak liknya itu, Ponimin terdiam, namun matanya sedikit berkaca. Bagi Ponimin yang ayahnya meninggal karena bencana wedhus gembel 1994, dan ibunya meninggal 2 tahun setelah itu, Marwanto sungguh-sungguh menggantikan sosok orangtua yang membesarkannya. Berbeda halnya dengan Ferry yang kedua orangtuanya masih ada, namun pak lik menjadi penolong yang memungkinkannya tetap bersekolah sebab orangtua tidak mampu lagi membiayai. ”Sekarang membalasnya hanya bisa dengan belajar yang rajin,” kata Ferry yang memang sangat ingin meneruskan sekolah.