Badai Siklon Tropis Seroja Menguji Indonesia
Serangkaian bencana, mulai dari banjir bandang, tanah longsor, hingga badai siklon tropis Seroja melanda Provinsi Nusa Tenggara Timur. Warga terdampak bencana mengungsi dan tertatih namun tak putus asa untuk bersikeras membangun kembali rumah mereka. Selain memberi bantuan, Tzu Chi berada di tengah mereka memberikan motivasi kala menghadapi situasi ini. Tak kurang, anak-anak pun mendapatkan penghiburan untuk mengobati trauma.
*****
Yeson Humau (55) tak pernah menyangka bila satu hari setelah Malam Paskah tahun ini akan berakhir dengan bencana. Rencana Yeson cukup sederhana hari itu, selesai bekerja di sawah, kemudian bersihbersih untuk bersiap ke gereja.
Cuaca ternyata kurang bersahabat. Hujan deras mengguyur Naibonat dan Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, pada sore hari. Hujan itu ternyata hanyalah permulaan dari amuk badai siklon Seroja. “Untung saya bisa bersama keluarga di rumah,” ucap Yeson.
Hujan dan angin menyapu kencang. Sinyal telepon terputus. Kupang dan daerah lain seketika berubah gelap mencekam.
Bertahan Hidup Pascabencana
Relawan Tzu Chi Jakarta bersama relawan Tzu Chi Sinarmas Kota Kupang langsung bergerak memberikan bantuan kepada para korban banjir di Kecamatan Fatu Feto Kota Kupang, dan Kel. Naibonat, Kabupaten Kupang akibat luapan air Sungai Oesao yang melintasi perkampungan Naibonat.
Yeson bercerita, musibah banjir bandang itu datang pada Sabtu malam sekitar pukul 23.00 WITA. Semuanya berlangsung cepat. Tak menunggu lama, Minggu pukul 16.00 WITA pemukiman warga Naibonat sudah terendam banjir setinggi dada orang dewasa. Air dari Sungai Oesao naik begitu cepat.
Selain genangan air yang tinggi, Yeson juga dihadapkan dengan arus deras sehingga menyulitkan anggota keluarganya menyelamatkan diri ke daratan yang lebih aman. Aliran Sungai Oesao juga meluap ke perkebunan, sawah, dan menerjang kawasan pemukiman yang membuat perkebunan palawija Yeson hanyut terbawa banjir.
“Keluarga saya dan warga masing-masing bertahan di rumah. Ada yang naik di pohonpohon, kalau saya naik ke atap rumah, artinya kita cari tempat untuk berlindung hidup, kalau torang di bawah pasti mati, karena air so deras,” ungkap Yeson.
Sementara itu istri dan anak-anak Yeson menyelamatkan diri di atas atap rumahnya sambil menunggu bantuan datang. Dalam situasi banjir yang tinggi dan arus yang deras, Yeson dan keluarganya tak bisa berbuat apaapa selain berdiam diri dan terus berdoa di atap rumah sambil menunggu bantuan untuk dievakuasi.
“Bapak, ini aliran air so deras dan so sampai dada. Saya punya istri dan empat anak so saya kasih naik ke atap, istri so menangis ketakutan. Torang (kami) dalam hati berdoa terus minta Tuhan tolong. Torang bertahan di atap rumah hingga pagi hari. Puji Tuhan torang bisa keluar dari banjir dalam keadaan selamat,” kisahnya.
Salah satu rumah warga di Desa Naibonat yang terdampak banjir bandang menyisakan bekas banjir di tembok rumah yang ketinggiannya hampir 2 meter.
Beruntung, bantuan datang tepat pada waktunya. Beberapa prajurit TNI Brigif 21/ Komodo dan warga setempat datang untuk mengevakuasi keluarga Yeson ke lokasi yang aman dan akhirnya mengungsi di Gereja Jemaat Elim Naibonat.
Musibah itu membuat Yeson selalu bersyukur pada Tuhan karena seluruh keluarganya selamat walaupun perabotan rumah dan 10 ekor sapi peliharaannya hanyut terbawa banjir bandang.
“Torang selamat ini hanya dengan pakaian di badan. Barang-barang yang lain semua hanyut terbawa banjir. Kami hanya pikir selamatkan diri dulu,” ujar Yeson. “Saya bersyukur, Puji Tuhan Bapak masih selamatkan torang, biarlah harta hilang dibandingkan keluarga torang hilang. Harta nanti torang usaha lagi dari nol,” lanjutnya.
Setelah diterjang banjir, rumah Yeson masih tegak berdiri, tapi dinding bagian belakang dan samping rumahnya jebol. Barang-barang perabotan berserakan di sekeliling rumah. Beberapa hari setelahnya, Yeson perlahan-lahan mulai mengeluarkan lumpur dari dalam rumahnya yang setinggi lutut orang dewasa.
Pada kesempatan itu, Yeson yang seorang petani dan peternak sapi bercerita bahwa dia ingin nanti bisa beternak sapi lagi karena ketika anak-anak butuh biaya sekolah yang besar ia bisa menjual sapinya. “Jadi untuk rencana ke depan saya ingin punya sapi lagi,” ucap Yeson.
Yeson Humau menunjukan ke arah pohon asam di belakang rumahnya. Ada beberapa orang yang memanjat pohon ketika banjir bandang untuk menyelamatkan diri.
Lain kisahnya dengan Ismail Tabonat (56), ia dan keluarga berhasil selamat dari banjir tak lepas dari bantuan sebatang pohon asam. Ketika air sudah memenuhi seisi rumahnya, ia dan keluarga berpegang pada pohon asam agar tidak hanyut terbawa banjir sambil terus berteriak meminta tolong. Tak lama berselang, warga datang membantu mengevakuasi Ismail dan keluarga dari lokasi banjir.
“Kalau tidak ada pohon asam pasti torang sudah terbawa banjir. Untung kami pegang di pohon asam itu,” ungkap Ismail. Ismail menderita kerugian harta benda. Uang tunai 30 juta yang ia tabung selama 3 tahun di dalam lemari dan 8 ekor sapi peliharaannya tak terselamatkan, semuanya musnah terbawa banjir.
Menurut data dari Pendeta Daud Tari, lebih kurang 400 jiwa warga Desa Naibonat terpaksa harus mengungsi ke gereja akibat banjir bandang yang melanda wilayah Naibonat. Puluhan rumah warga hanyut dan rusak akibat dihantam derasnya banjir bandang Sungai Oesao.
“Ada 400 jiwa yang mengungsi di gereja dan saat ini masih ada 26 jiwa yang masih mengungsi di gereja ini. Selain orang tua, banyak anak-anak dan Balita yang bertahan di gereja ini karena rumahnya hanyut dan tertimbun lumpur sisa banjir,” ungkap Pendeta Daud Tari dari Gereja Jemaat Elim Naibonat.
Kemandirian Warga
Relawan Tzu Chi memberikan bantuan paket darurat di halaman Gereja Jemaat Elim Naibonat. Bantuan diterima langsung oleh Pendeta Daud Tari.
Pada pertengahan April 2021 lalu, Desa Pukdale, Kel. Oesao, Kec. Kupang Timur NTT, begitu ramai. Tak hanya ramai oleh keluarga korban banjir bandang yang berkumpul dalam satu gereja, di Dusun 4 seorang warga tampak sedang memaku balok-balok kayu untuk dijadikan tiang rumah dan atap seng dari sisasisa banjir.
Dalam kondisi masih mengungsi di sebuah gereja, Difat Nubatonis (30), warga Dusun 4 secara mandiri mendirikan kembali rumahnya dengan balok kayu dan atap seng seadanya. Ketika ditemui di lahan rumahnya, Difat sedang mendirikan tiang penyangga rumah yang ia kumpulkan dari lokasi banjir bandang. Lokasi rumahnya itu ada di tempat rumah lamanya yang hanyut terbawa banjir bandang. Difat membangun kembali rumahnya dengan memanfaatkan bahan-bahan dari sisa hanyutan rumah terutama seng dan kayu.
“Kalau torang pakai terpal atau tenda, tidak tahan lama dan panas. Sedangkan saya punya anak kecil, kasihan anak saya. Butuh biaya dan waktu membangun kembali rumah kami, ya sudah saya pakai bahan seadanya saja supaya bisa kumpul keluarga,” ujar Difat.
Bantuan Tzu Chi Indonesia untuk Para Korban Bencana di NTT:
Sumber: Sekretariat Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia
Rumah Difat didirikan kembali di lahan yang sama di sisi kebun sayur miliknya. Di sekeliling rumahnya, banyak sisa tanaman seperti tomat, cabai, dan kacang-kacangan yang rusak dan hanyut terbawa banjir. Kebun sayur itu adalah sumber nafkah utama keluarga Difat. Saat ini, di lahan rumahnya hanya tersisa patok-patok kayu dan balokbalok kayu yang ia kumpulkan.
Difat ingin membangun kembali rumah untuk sang istri dan putranya Kensi Nubatonis (1 tahun 8 bulan). Mereka memilih mendirikan kembali rumahnya karena merasa tidak enak hati jika tinggal berlama-lama di gereja.
“Saya sadar, kalau tidak bangun kembali bisa berbulan-bulan tinggal di sana (gereja). Mungkin bisa satu bulan bahkan lebih karena rumah saya hanyut semua,” kata Difat.
Difat juga tak mau terlalu berharap pada uluran tangan pemerintah. “Saya inisiatif sendiri mendirikan rumah yang bisa ditinggali kembali. Torang pilih di sini lagi karena torang bisa bercocok tanam, supaya bisa makan jika sudah tak ada beras,” ucap Difat dengan logat Timornya.
Walaupun ada kabar baik dari Pemerintah Pusat bahwa untuk rumah yang rusak berat akan segera mendapat bantuan senilai 50 juta rupiah, Difat tak mau berpangku tangan. Ia menilai bahwa yang terdampak bencana ini bukan hanya satu dua desa saja tetapi hampir seluruh wilayah di Provinsi NTT, jadi ia tak ingin diam begitu saja. “Torang harus bangun rumah kembali, so bisa ditinggali kembali,” tegasnya.
Difat dan warga Desa Pukdale lainnya berpikir jangka panjang. Setelah bantuan bencana berakhir atau sumbangan pemerintah maupun masyarakat umum berakhir, mereka harus mengurus diri masing-masing. Karena itu, harus berusaha hidup mandiri dengan membangun hunian mereka masing-masing agar tinggal lebih layak.
Soal makanan, kata Difat, mereka juga mengandalkan pangan lokal seperti jagung, ubi kayu dan beras. “Beras juga makanan utama tetapi jika belum ada bantuan, kami andalkan jagung dan ubi kayu,” katanya.
Difat Nubatonis warga Dusun 4 Desa Pukdale secara mandiri membangun kembali rumahnya dengan memanfaatkan bahan-bahan dari sisa hanyutan rumah terutama seng dan kayu. Di sekeliling rumahnya, tanaman palawija rusak dan hanyut terbawa banjir.
Altrisna (29), istri Difat mengatakan, untuk pangan, mereka sangat terbantu dari gereja. Gereja bisa membantu warga berupa beras untuk beberapa bulan ke depan. “Waktu kami mengungsi hari pertama hingga hari kedua, gereja ada bantu kami makanan,” katanya.
Warga Pukdale tak terlalu pusing dengan urusan makanan karena tercukupinya bantuan pangan, salah satunya dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang memberikan 2 ribu kg beras, 45 dus mi instan, 200 buah sarung, dan 200 buah selimut untuk warga Desa Pukdale.
Saat relawan Tzu Chi Indonesia mengantarkan barang bantuan ke Gereja Gmit Mizpa Tetebudale, tempat pengungsian di Pukdale itu, saya menyaksikan ibu-ibu sedang menanak nasi di tiga tungku kayu bakar pada tiga buah kuali berukuran besar. Di gereja itu, bahan makanan dan beberapa karton mi instan terlihat di sudut ruangan. Ada jagung, kembang pepaya, dan bumbu-bumbuan rempah tersedia di dapur.
Cerita soal pangan lokal yang sangat membantu warga korban bencana alam, terlebih ketika belum ada bantuan, juga dirasakan warga Desa Pukdale. Dalam kondisi itu, panganan lokal dari kebun-kebun warga yang tidak terdampak menjadi panganan darurat bagi warga. Pemerintah Provinsi NTT mulai mendistribusikan bantuan masuk ke daerah mereka bersamaan dengan bantuan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.
“Kitorang di sini pangan lokal menjadi penolong utama pascabencana ketika belum datang bantuan, ini disediakan oleh gereja kami,” kata Altrisna.
Penulis dan Fotografer: Anand Yahya