Berkah itu Ada Di Rusun Cinta Kasih

Sepeninggal suaminya, Muhidah harus berfokus untuk menafkahi anakanaknya. Dengan berbekal semangat ini, ia berhasil melanjutkan hidupnya. Pertemuannya dengan Tzu Chi, membuat hidupnya semakin indah dan manis.

Setelah seorang wanita paruh baya memasukkan beberapa pastel isi bihun ke dalam kantong plastik berwarna putih dan setelah sebuah donat cokelat menghentikan rengekan seorang bocah lelaki, Muhidah kembali memanaskan wajan berisi minyak dan mulai memasukan adonan kue berwarna cokelat dan hijau ke dalam minyak panas. “Ini adalah kue cucur, kue yang pertama kali saya jual saat mulai berdagang,” kata Muhidah.

Muhidah yang bertubuh gemuk dan berusia tak kurang dari 40 tahun adalah satu dari ratusan warga bantaran Kali Angke yang merasa mendapat manfaat dari pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Sebelum tinggal di Perumahan Cinta Kasih, Muhidah yang berasal dari Pulau Madura harus berjibaku mencari nafkah di tempat yang kurang layak. Padahal beberapa tahun sebelum tinggal di Kali Angke, kehidupan Muhid ah bisa dikatakan baik-baik saja dan makmur.

 

Tak Semuanya Indah
Pada tahun 1972 seorang pemuda berijazah arsitek datang ke perkampungan di Sampang Madura untuk menjalani studi lapangan. Sukarno nama pemuda itu, ia bertubuh tegap dan berwajah menawan. Saat ia harus banyak berinteraksi dengan para penduduk kampung untuk memuluskan penelitiannya ia berkenalan dengan seorang gadis remaja ramah bernama Muhidah. Ketika itu Muhidah masih sangat belia, sedangkan Sukarno usianya sudah mendekati 30 tahun. Namun keluguan Muhidah mencuri hati Sukarno demikian pula dengan kedewasaan Sukarno yang menenteramkan hati Muhidah. Dari keselarasan ini akhirnya mereka pun menjalin kasih. Keluarga Sukarno yang berada di Jawa Timur pun akhirnya mengajukan lamaran untuk menikahi Muhidah. Lalu setelah menjadi satu keluarga yang rukun, Sukarno mengajak Muhidah untuk hijrah ke Jakarta dan meniti karir di sana.

TABAh MENJALNI hidup. Di pasar tradisional yang terletak di belakang Perumahan Cinta Kasih, Muhidan menggelar dagangannya. Meski kini penghasilannya tak sebesar waktu dulu, tapi ia bersyukur tinggal dilingkungan yang damai.

Tapi bagai gunung yang tak bisa dipeluk. Ketika kehidupan mereka semakin membaik, Sukarno justru terkena penyakit lever yang semakin hari semakin memburuk. Banyak harta dan benda yang harus di korbankan untuk pengobatan. Tapi semakin banyak ia korbankan, penyakitnya pun semakin parah. Sampai ketika semua harta benda habis terjual, Sukarno memutuskan untuk tinggal di kampung bersama orang tuanya. Muhidah pun menyetujuinya. Karena tahu keluarganya telah jatuh miskin, tanggung jawabnya sebagai seorang istri langsung tumbuh. Dengan berani Muhidah mengatakan kepada suaminya kalau ia akan kembali ke Jakarta untuk mencari nafkah. Keputusan ini tergolong berani, sebab ketika itu Muhidah tengah mengandung anak ketiganya yang baru berusia tiga bulan. Kendati suaminya keberatan, namun kemiskinan mengharuskan Sukarno merelakan kepergian istrinya. Di bagian barat Jakarta, di tepian Kali Angke Muhidah menghentikan penjelajahannya dan bermukim di sana untuk merintis usaha kue dari keahlian yang dibekali oleh ibunya. Kendati demikian memulai usaha tidaklah semudah menggoreng kue cucur menurutnya.

Ketika si bungsu lahir dan sebelum usahanya berhasil, suaminya yang ia tinggal di kampung meninggal dunia. Putus asa adalah sebuah kesalahan bila dilakukan oleh Muhidah. Namun sebagai seorang perempuan yang berjuang seorang diri demi keluarga dan berakhir dalam kesedihan, rasa putus asa adalah hal manusiawi yang menghantui pikirannya. Lalu dengan tertatih-tatih Muhidah menyemangati dirinya untuk menyatukan kembali kepingan-kepingan hatinya yang terpecah belah. Setelah melalui proses perenungan yang panjang dan setelah rasa putus asa itu berhasil dibenamkan, Muhidah mulai kembali menata hidupnya yang porak poranda. Tanpa suami, Muhidah meneguhkan hatinya untuk fokus pada perkembangan anak-anaknya. Demi Kardio Handoko si bungsu yang menawan hati, Muhidah rela mengurangi waktu istirahatnya hanya untuk meningkatkan produksi kuenya yang ia jajakan dari pintu ke pintu di daerah Kali Angke. Lama-kelamaan para konsumen pun berdatangan, sampai akhirnya ia memiliki banyak langganan dari para pedagang kue asongan yang datang kepadanya untuk membeli secara grosiran. “Dulu saya adalah agen kue dan sudah dikenal di wilayah Kali Angke,” kata Muhidah mengenang. Tapi sekali lagi keberuntungan itu belum memihak Muhidah. Tatkala usahanya semakin berkembang, rumahnya yang  tak permanen di bantaran Kali Angke hangus terbakar oleh si jago merah. Beberapa bulan kemudian Muhidah mendapatkan kabar kalau pemukiman warga yang tak resmi di wilayah itu akan dibongkar dalam program normalisasi Kali Angke. Bukan kepalang kesedihan Muhidah saat itu. Tapi karena ada Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia yang akan membangun sebuah komplek perumahan (rumah susun) yang diperuntukkan bagi warga yang terkena normalisasi, hati Muhida pun sedikit lega.

Tapi yang membuat Muhidah lebih lega adalah selama perumahan itu belum rampung para relawan sering mengunjungi warga Kali Angke untuk bertukar cerita. Relawan menceritakan berbagai misi kemanusiaan Tzu Chi yang lintas suku, agama, dan ras. Relawan juga menunjukkan ketulusan kasihnya terhadap sesama dengan sikap rendah hati, saling memberi perhatian, dan terus berusaha untuk menjadi bagian dalam keluarga besar masyarakat Angke. Lama-kelamaan warga pun mengenal budaya humanis Tzu Chi. Dan tatkala hubungan antar relawan dan warga semakin harmonis suasana pun semakin mengharukan. Beberapa warga mulai belajar memahami Tzu Chi dengan ikut aktif sebagai relawan. Mereka turut bekerja untuk memberikan perhatian terhadap sesama. Hingga pada pertengahan tahun 2003 seluruh warga di bantaran Kali Angke secara bertahap menempati Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Muhidah adalah salah satu warga yang masuk ke Perumahan Cinta Kasih dalam gelombang pertama. “Karena saya sudah tidak punya rumah, jadi saya pindah lebih dulu,” kata Muhidah.

ANUGERAH TERINDAH. Selama tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, Muhidah mendapat banyak banyak hal  positif. Dari perhatian relawan Tzu Chi yang kerap mengunjungi dan merawat di kala ia sakit hingga kasih Kardio Handoko yang begitu tulus pada dirinya.

Meskipun dengan kepindahannya ke Perumahan Cinta Kasih menyebabkan tingkat ekonominya menurun drastis, tetapi ia tetap merasa bahagia dan bersyukur karena telah memiliki sebuah tempat bernaung dari terik matahari dan terjangan angin dingin yang permanen dan bersih. Selain itu, lingkungan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi yang asri dan bersahaja sangat bagus untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadian Kardio Handoko, putranya. Terutama dengan adanya sekolah Cinta Kasih Tzu Chi yang berfokus pada pendidikan budi pekerti.

Menemukan Mutiara Hati

Dengan tinggal di perumahan ini, Muhidah seolah bak menemukan sebuah mutiara. Muhidah mensyukuri atas berkah yang ia dapat selama menghuni di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi blok B ini. Berkah yang ia dapat berupa anugrah transenden yang menembus sekat-sekat budaya dan agama. Kenyataan ini telah ia buktikan ketika ia terkena stroke pada tahun 2003, beberapa bulan setelah ia menetap di perumahan Cinta Kasih. Ketika ia jatuh sakit, ia merasa sangat sedih dan sendiri. Seolah dunia yang cerah telah pergi meninggalkannya. Ketika asa untuk sembut mulai pupus, saat itu lah relawan dan dokter Tzu Chi datang dan merawatnya dengan penuh kasih. Dan ketika ia membutuhkan buah dari kasih sayang, saat itu pula Kardio Handoko putranya yang terkecil menjadi anak yang berbakti yang setia merawat dan melayani ibunya berkat pelajaran budi pekerti di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. “Dia adalah semangat hidup saya,” kata Muhidah.

Selama menderita stroke Muhidah banyak menerima kasih sayang dari para tetangga dan relawan Tzu Chi. Sehari-hari Muhidah yang tinggal berdua dengan Kardio Handoko menerima persembahan makan dari para tetangga. Meski ketika itu Kardio Handoko baru berusia 3 tahun, namun di usia yang penuh kelucuan itu, Handoko harus tahu dan bisa merawat ibunya. Ketika ibunya butuh minum, Handokolah yang memberikannya dan ketika ibunya butuh makan Handoko pula yang menyuapinya. Muhidah hanya bisa pasrah, namun semakin ia mengacuhkan keadaannya, semakin ia merasa pedih menjalani hidup ini. Tapi ajaibnya kepedihan itulah yang justru mejadi pemicu semangatnya untuk sembuh. Selain itu sikap para relawan dan dokter yang merawatnya dengan penuh  perhatian juga mendorong tekadnya untuk membangkitkan kembali hidupnya. Melalui pengalamanan ini akhirnya Muhidah menyadari bahwa inilah yang dinamakan berkah, bahwa di tengah ketidakberdayaan ia menemukan mutiara hati berupa ketulusan dari para relawan Tzu Chi. Di tempat ini ia juga mendapatkan indahnya kebersamaan dari para tetangga yang saling mengasihi.

Sekarang sepuluh tahun sudah Muhidah tinggal di Perumahan Cinta kasih Tzu Chi. Dan selama itu pula ia merasakan bahagianya saling berbagi meski ia sendiri bukan keluarga berpunya. Melalui berkah ini ia terus menjalani hidup dengan apa adanya dan saling toleransi. Putra bungsunya, Kardio Handoko telah tumbuh menjadi remaja yang berbakti, ia selalu membantu pekerjaan ibunya. Menerapkan pelajaran budi pekerti di rumah dan menginspirasi ibunya untuk berbagi kepada sesama melalui celengan bambu. Sebagai seorang penjual kue Muhidah justru bisa melakukan banyak hal. Ia senang menyediakan kue pada saat warga di lingkungannya sedang mengadakan acara bersama. Ia juga senang membagikan kuenya kepada anak-anak yang uangnya tak cukup saat membeli kuenya. Dan ia juga senang melebihkan kue kepada para pelanggannya. “Buat saya hidup tidak selalu untuk mencari keuntungan. Dari semua yang kita miliki ada sebagian milik orang lain,” kata Muhidah.

Jurnalis : Apriyanto

Fotografer : Siladhamo Mulyono

Orang yang mau mengaku salah dan memperbaikinya dengan rendah hati, akan mampu meningkatkan kebijaksanaannya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -