Berkawan dengan Sinabung
Keselamatan dan kebutuhan hidup, dua hal inilah yang dipertaruhkan warga yang tinggal di kaki Gunung Sinabung. Lebih dari 4 tahun mereka dibayangi kekhawatiran dan kecemasan. Khawatir akan gunung yang akan kembali meletus, dan kecemasan akan masa depan anak-anak mereka. Hidup adalah pilihan, dan warga pun memilih untuk berkawan dengan bencana.
Mentari bersinar hangat siang itu. Namun hembusan angin yang teratur tak dapat menyembunyikan dinginnya udara di kaki Gunung Sinabung, Tanah Karo, Sumatera Utara. Sesekali terdengar gemuruh diiringi letupan awan menggumpal laksana cendawan raksasa. Gunung yang dalam bahasa Karo disebut Deleng Sinabung ini memang tengah menjadi perhatian masyarakat Indonesia, terutama mereka yang tinggal dan mencari nafkah di kaki gunung berketinggian 2.460 meter ini. Setelah lebih dari 400 tahun “tertidur” (letusan terakhir tahun 1.600), pada tahun 2010 gunung ini kembali bergeliat. Sejak itulah gunung berapi aktif tertinggi di Sumatera Utara ini terus mengalami erupsi panjang.
Tidak terasa sudah empat tahun lebih Sinabung bangun dari tidurnya, dan selama itu pula ia terus memuntahkan isi perutnya. Jika dulu dari kejauhan nampak Gunung Sinabung yang berdiri gagah dihiasi hutan nan hijau, kini panorama itu hanya tinggal kenangan. Sinabung kini laksana batuan besar yang hangus terbakar, kering, dan diselimuti asap tebal yang menggumpal.
Di masa-masa awal, erupsi Sinabung membuat masyarakat sangat panik. Sinabung yang dulu “tenang dan anggun” berubah menjadi sosok mengerikan. Status gunung ini pun selalu bertengger di Siaga (3 - Menandakan sedang bergerak ke arah letusan atau menimbulkan bencana) dan Awas (4 - Menandakan segera atau sedang meletus atau ada keadaan kritis yang menimbulkan bencana). Potensi erupsi yang disertai semburan awan panas masih ada meski intensitasnya cenderung menurun. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana merekomendasikan agar 16 desa (Mardinding, Perbaji, Selandi, Sukameriah, Guru Kinayan, Gamber, Berastepu, Pintu Besi, Bekerah, Simacem, Sukanalu, Kuta Tonggal, Sigarang-garang, Kuta Rakyat, Kuta Gugung, Kuta Tengah) yang berdekatan dengan Gunung Sinabung harus tetap mengungsi. Berdasarkan pendataan, jumlah pengungsi Sinabung mencapai 32.351 jiwa atau 9.991 kepala keluarga yang tersebar di 42 lokasi pengungsian. “Masalahnya kami harus mengungsi sampai kapan….?” kata Ulina Sitepu, salah seorang warga pengungsi saat kami temui di pengungsian Gedung Serbaguna KNPI di Jalan Pahlawan, Kabanjahe, Kabupaten Karo, Sumatera Utara. “Kalau gunung lainnya (Merapi – red) sekali meletus sudah, rusak, dan hancur, setelah itu beberapa bulan kemudian warga bisa hidup normal. Tapi di sini tidak, sudah bertahun-tahun kehidupan kami seperti ini,” keluh Susi, pengungsi lainnya. Hingga memasuki tahun 2015 ini, Gunung Sinabung masih terus aktif.
SURGA BAGI SEMUA JENIS TANAMAN. Udara dingin di kawasan Berastagi menjadi surga bagi segala jenis tanaman. Berbagai jenis tanaman tumbuh subur di sekitar kaki Gunung Sinabung, mulai dari tomat, wortel, kol, cabai, hingga jeruk.
Dalam Intaian Bencana
Hamparan daun kol itu laksana karpet hijau dari kejauhan. Tumbuhan itu tumbuh teratur dan ukurannya sama persis. Di tengahnya, sepasang petani dengan telaten menyirami obat anti hama. Sang wanita di bagian depan, dan laki-lakinya menyiangi bagian belakang. Keduanya bekerja dengan tenang. Padahal tak jauh dari mereka bekerja, sosok gunung yang tengah angkara tampak jelas di depan mata. Sesekali terdengar letusan disertai munculnya gumpalan awan putih menyerupai jamur raksasa. Dentumannya mirip suara meriam. Cukup menciutkan nyali kami yang tengah berada di kaki gunung tersebut. Namun tidak demikian bagi Ulina Sitepu (36) dan suaminya Salmon Sembiring (39). Pasangan suami-istri ini sama sekali tak menampakkan kekhawatiran. Hanya sesekali tatapan mata mereka tertuju ke atas sana: gumpalan awan yang sewaktu-waktu bisa membawa petaka. Meski tenang, keduanya tetap waspada. “Sudah biasa, Mas. Sehari malah bisa 10 sampai 20 kali letusan. Ini mah kecil letusannya,” kata Lina sembari tersenyum. Ketika kami menampakkan wajah panik dan bersiap untuk menyingkir dari tempat itu, ia dengan sedikit tertawa menenangkan kami, “Kita lihat awannya, kalau mengarah ke sini baru kita lari.”
Sejak pagi buta keduanya sudah berada di lahan seluas 7.000 meter persegi yang berjarak sekitar 10 kilometer dari kaki Gunung Sinabung. Lahan garapan ini sudah sejak setahun lalu mereka olah dan hasilnya dibagi dua dengan pemilik lahan. Meski beresiko tinggi, mereka tetap memilih mengambilnya ketimbang tak lagi memiliki penghasilan setelah kebun kopi mereka rata tersiram debu Sinabung.
Sesekali Ulina memandang ke arah puncak gunung sembari menyeka keringat. Meski murah senyum, tetapi tatkala memandang gunung di depannya, raut kesedihan dan kekecewaan tak dapat disembunyikan dari wajahnya. Hal yang wajar, mengingat sudah lebih dari setahun ia bersama suami dan anak-anaknya harus mengungsi. Masih lekat dalam ingatan Lina dan Salmon tatkala mereka sekeluarga harus lari menyelamatkan diri saat Sinabung meletus hebat pada tahun 2013 lalu. “Rumah saya hancur. Batu-batu beterbangan. Kami menyelamatkan diri pake kasur di atas kepala,” kenang Lina. Sebelum mengungsi, Lina dan keluarga mencoba bertahan di rumah, dan itu cukup “melelahkan” karena mereka harus selalu waspada. “Kalau pas lagi meletus, orang-orang pada susah tidur dan takut. Takutnya kalau tidur malah ditinggal orang (ngungsi),” jelasnya mengingat erupsi yang saat itu mengarah langsung ke desa mereka. Sejak itulah Lina bersama suami dan kedua anaknya, Susi Fransiska (17) dan Joy Armandha (12) harus meninggalkan rumah mereka di Desa Pintu Besi, Kecamatan Simpang 4, Kabupaten Karo, Sumatera Utara, yang hanya berjarak 2,8 km dari kaki Gunung Sinabung. Sejak kecil, baru kali ini Ulina menyaksikan Gunung Sinabung meletus. Dulu kehidupan Ulina dan Salmon layaknya keluarga lainnya. Kehidupan mereka bisa dibilang berkecukupan untuk ukuran masyarakat di sana. Berladang dan merawat kebun kopi menjadi keseharian mereka guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, sekaligus membiaya sekolah kedua anak mereka. Kebun kopi seluas 1,5 hektar peninggalan orang tua Salmon itu bisa dipanen setiap 10 hari sekali. Dijual dalam bentuk biji-bijian mentah, dalam sekali panen Salmon dan Lina bisa mengantungi satu juta rupiah.
SABAR MENGANTRE. Hidup di pengungsian dalam jangka waktu lama membuat banyak warga mengalami kejenuhan. Tak jarang timbul konflik di antara sesama pengungsi dan bahkan sesama anggota keluarga. Kesabaran dan ketabahan menjadi kunci para pengungsi dalam menjalani cobaan.
Tanaman kopi ini ditanam secara tradisional, yang sudah mulai bisa berbuah sejak usia 3 tahun dan bertahan hingga 15 tahun. Udara dingin di kawasan Brastagi ini memang surga bagi segala jenis tanaman. Untuk menambah penghasilan, Salmon dan Ulina juga berladang, menanam kol, tomat, cabai, dan sayur-mayur. Kini semua itu hilang. Rumah, ladang, dan kebun kopi mereka terkubur batuan dan debu sinabung. Meski masih yakin bisa mengingat batas-batas tanah keluarga mereka, namun Salmon dan Ulina memilih menunggu sampai Sinabung benar-benar aman.
Kebutuhan Hidup
Di tengah himpitan kesulitan, Salmon dan Lina terbilang beruntung karena ada yang menawari mereka menggarap lahannya. Kebetulan lokasinya terbilang aman. “Masih saudara. Dia kasihan, jangan sampai anak-anak kami putus sekolah,” terang Lina. Dari lokasi pengungsian ke perkebunan membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Beruntung Salmon dibekali sepeda motor dari pemilik lahan. Selain lebih cepat, motor ini juga bisa menjadi “penyelamat” mereka jika sewaktu-waktu erupsi Sinabung sangat besar dan membahayakan mereka.
Salmon dan Ulina sendiri memilih menanam kol di lahan garapan itu. Keduanya punya alasan tersendiri. Menurut mereka dibanding tanaman lain yang banyak ditanam di Brastagi ini (cabai, wortel, tomat, jagung, jeruk, maupun markisa) kol terbilang paling kuat terhadap cuaca ekstrem. “Karena gunung (Sinabung) kan erupsi terus dan mengeluarkan debu, nah kol itu tahan sama debu. Kalau tomat dan cabai nggak,” terang Lina, “ini kemarin kena hujan abu, kol semua tidak nampak, tapi setelah kena hujan bersih lagi.”
KEHANGATAN RASA PEDULI. Cuaca dingin menjadi “musuh” utama bagi para Balita dan anak-anak. Relawan Tzu Chi memberikan kaus kaki dan sarung tangan untuk para pengungsi anak-anak dan Balita.
Sistem pembagian hasilnya pun bersifat kekeluargaan. Misalnya untuk modal tanam sebesar 2 juta rupiah, dan ternyata setelah panen laku 6 juta maka modal sebesar dua juta itu dikembalikan dulu ke pemilik lahan, dan baru sisanya mereka bagi dua. “Daripada tidur-tiduran di pengungsian, mendingan kayak gini,” tutur Lina yang sempat 6 bulan menganggur di pengungsian. Menurut Lina sistem ini jauh lebih menguntungkan ketimbang menjadi buruh harian. “Kalau harian menggarap kebun orang seminggu sekali bayarannya seratus ribu rupiah, buat bayaran anak sekolah aja nggak cukup,” keluhnya. Di pengungsian untuk makan dan minum memang disediakan, tetapi kebutuhan lain seperti sabun dan pencuci pakaian tidak. Lina memilih untuk bekerja selain untuk mengurangi kejenuhan juga menopang perekonomian keluarga. Ia khawatir akan masa depan anak-anaknya. Kini cita-citanya tak semenjulang dulu. “Sekarang anak bisa lulus SMA aja sudah bersyukur. Karena ini kan ladang orang, kalau tiba-tiba diminta gimana,” pungkas Lina. Bantuan dari pemerintah dan relawan memang ada, tapi ini sifatnya hanya sementara.
Di tengah dentuman Sinabung yang terus menggema, Lina dan Salmon masih menyimpan asa kehidupan keluarga mereka bisa kembali seperti dulu. Tinggal di rumah dengan tenang dan aman, serta bekerja tanpa dibayangi rasa cemas. “Pengen seperti dulu, bisa ngumpul bersama-sama,” ungkap Lina lirih. Nada suaranya mendadak pelan dan air mata mulai membasahi pelupuk matanya. Dengan sapu tangan di tangannya, wanita yang terkesan kuat ini mulai menyeka air matanya. Ia merindukan kehidupannya bisa pulih: berkumpul dan bercengkerama seperti dulu, suatu hal yang mustahil bisa diraih di pengungsian yang padat. “Di pengungsian tidak bisa tidur sama-sama, yang laki-laki dan perempuan tempatnya dipisah,” ungkapnya. Belum lagi urusan kamar mandi dan toilet. Jumlah MCK (mandi, cuci, kakus) yang terbatas membuat para pengungsi harus bersabar. “Karena dipakai bersama, kadang ada yang jorok, ada yang bersih, ya mesti banyak pengertiannya,” ujar Lina memaklumi kondisi pengungsi lainnya. Untuk mengobati duka hatinya, Lina sekeluarga memilih menjadikan gereja sebagai tempat pemulihan batin. Setiap minggu ia beserta suami dan anak-anaknya mengikuti kebaktian di gereja.
Dampak yang lebih memprihatinkan adalah berkurangnya keharmonisan keluarga di pengungsian. Akibat berbagai kekurangan banyak keluarga yang terlibat konflik. Antara suami dan istri sering cekcok akibat masalah ekonomi. “Di pengungsian sering cekcok, semua keluarga kacau. Semua stres hidup di pengungsian.” Lina sendiri mengatasi kejenuhan ini dengan cara berkumpul dan bertukar pikiran dengan teman-teman. “Kan kita tidak sendiri, semuanya mengalami, dan bahkan ada yang lebih parah dari kita. Di keluarga saya tidak ada yang jadi korban, tapi orang lain ada, dari situ kita masih bersyukur,” ungkapnya.
Doa yang Sama
Kesibukan yang sama juga dilakukan keluarga Mojuah-juah br. Sembiring (55). Bersama ketiga putrinya: Risda (32), Erni (30), dan Deswan (28) ia dengan tenang membersihkan tanaman cabai mereka dari gulma dan rumput-rumput liar. Letusan Sinabung yang disertai dengan gemuruh lava dan awan putih tebal tak menghalangi kesibukan mereka bercocok tanam. Mereka merupakan warga Kampung Beras Sitepu. Rumah mereka tak lagi bisa ditempati. “Hancur semua,” ujar Mojuah-juah. Kini mereka mengontrak rumah di sekitar kaki gunung berbekal uang bantuan dari pemerintah.
Saat erupsi Sinabung yang besar di tahun 2013 lalu, Mojuah-juah beserta suami dan anak-anaknya segera menyelamatkan diri. Setelah itu mereka hidup di pengungsian. Kebun jeruk dan kopi pun terpaksa mereka tinggalkan. Beruntung keluarga besar mereka masih memiliki 6 ribu meter lahan yang bisa ditanami cabai, tomat, dan sayur mayur lainnya. Namun menanam jenis tanaman ini di saat sekarang bukanlah tanpa resiko. Jika letusannya besar dan berdebu terlampau pekat maka tanaman tomat dan cabai bisa mati semua. Beruntung, kali itu tanaman cabai di ladang mereka cukup bagus hasilnya.
Sama seperti Mojuah, ketiga anaknya pun menyimpan doa yang sama: Sinabung tak lagi erupsi. “Capek-capek menanam, terus rusak karena debu gunung ya capek sih, tapi ya mau apa nak buat, ya diterima aja,” kata Eni yang mengaku tak lagi khawatir ataupun takut kala Sinabung erupsi. “Sudah biasa, dulu pertama-tama memang takut, tetapi sekarang dah biasa,” timpal Risda enteng tatkala ditanya perasaannya bekerja di tengah aktifnya erupsi Sinabung. “Dengar dan lihat juga letusannya, kalau memang besar dan awannya mengarah ke sini ya kita lari,” sahut Eni sembari tertawa kecil. Senyuman tipis keluar dari bibirnya, memecah kebekuan suasana. Kebutuhan ekonomi menjadi alasan utama keluarga ini memilih untuk tetap bercocok tanam. “Kalau tidak kerja bagaimana bisa punya uang,” jawab Mojuah-juah sembari tertawa. Dengan kondisi sekarang, praktis penghasilan keluarga ini hanya bersumber dari berkebun. Kebun kopi yang dulu menjadi sumber penghasilan utama sudah tak lagi bersisa. Otomatis kebun inilah kini sumber mata pencaharian mereka. “Panen bawang tiga bulan sekali. Kebetulan harga cabai lagi mahal, jadi lumayan. Sekali panen kurang lebih 200 kilo,” kata Mojuah-Juah sembari tersenyum. Meski tak sebesar penghasilannya dulu, bagi Mojuah-juah ini sudah merupakan berkah di tengah kesulitan yang dihadapinya.
Memberi dengan Sukacita, Menerima dengan Sukarela
Di tengah-tengah himpitan kesulitan, selalu ada kemudahan untuk menjalani dan mengatasinya. Hal inilah yang dijalani keluarga Ulina, Mojuah-juah, dan keluarga pengungsi lainnya. Mereka tetap berusaha dan bekerja. Terlebih banyak yang peduli dan mengulurkan tangan membantu mereka. Insan Tzu Chi di Medan salah satunya.
Sejak pertama kali Sinabung erupsi pada Agustus 2010, relawan Tzu Chi segera bergerak cepat. Relawan segera mengadakan rapat darurat untuk menanggulangi bencana letusan Gunung Sinabung ini. Untuk mengetahui langsung kondisi di lapangan dan kebutuhan para pengungsi, sebanyak 16 relawan Tzu Chi Medan segera menuju ke lokasi-lokasi pengungsian. Hal ini penting agar bantuan yang diberikan bisa tepat guna dan juga sasaran. Saat survei relawan juga membawa barang bantuan berupa beras, gula, minyak goreng, selimut, masker, dan biskuit yang langsung diberikan kepada para pengungsi.
Perjalanan relawan menuju lokasi pengungsian tidak mudah. Terkadang mereka harus menyusuri jalan setapak di bawah kaki Gunung Sinabung. Suasananya benar-benar menegangkan. Terlebih saat itu Sinabung sedang erupsi besar, sehingga nampak seolah-olah awan panas dari puncaknya berada dekat dengan mobil yang membawa rombongan relawan dan barang bantuan. Namun niat untuk membantu sesama menguatkan langkah para relawan meneruskan perjalanan mengelilingi Gunung Sinabung menuju posko pengungsian. “Tujuan kita menebarkan cinta kasih dan rasa kepedulian Yayasan Buddha Tzu Chi terhadap para pengungsi. Kita ingin mengurangi beban penderitaan mereka,” kata Sofjan Tjiawi, relawan Tzu Chi yang mengatur logistik bantuan untuk pengungsi.
Selain memberikan bantuan tanggap darurat (makanan, minuman, masker, dan obat-obatan), relawan juga membangun fasilitas kamar mandi dan toilet umum di pengungsian. Warga memang sangat mengharapkan tersedianya MCK baru karena selama ini MCK darurat yang dibangun tidak memadai dan jumlahnya juga sangat kurang. "Di posko ini hanya memiliki 2 buah MCK dengan ratusan pengungsi, sehingga kadang anak-anak sampai terlambat sekolah karena antri mandi," kata Ibu Tarigan, salah seorang pengungsi di Posko Tanjung Pulo. Mengusung semangat “Cash for Work” (Dana Solidaritas dan Kerja Bakti), dalam pembangunan ini relawan juga melibatkan para pengungsi. “Karena sebagian warga pengungsi tidak ada kegiatan (pekerjaan –red) maka kita mengajak 8 warga untuk ikut membangun MCK ini. Dengan begitu mereka bisa memperoleh pendapatan di masa pengungsian ini,” kata Shu Tjeng Shixiong, koordinator pemberian bantuan.
Di setiap posko yang didatangi, relawan juga selalu mengajak warga melantunkan lagu Satu Keluarga. Sewaktu menyanyikan dan memperagakan isyarat tangan lagu ini, banyak warga dan relawan yang merasa terharu. Mereka menangis dan saling berpelukan, bersama-sama merasakan penderitaan dari bencana erupsi Gunung Sinabung. Sesungguhnya bukan hanya bantuan materi yang diperlukan para warga, tetapi perhatian dan cinta kasih yang tulus bisa membuat mereka lebih kuat menghadapi cobaan ini. Seperti kata Master Cheng Yen, "Bersyukur mendatangkan kehangatan di dalam hati, kesungguhan hati membangkitkan kekuatan."
Penulis: Hadi Pranoto | Fotografer: Anand Yahya