Buah Manis Perjuangan Tjeng Nio

Ci roti…,” panggil seorang ibu kepada seorang wanita dengan pakaian sederhana yang sedang menjajakan roti dagangannya di samping pintu gerbang sekolah. Dengan telaten wanita itu melayani pembelinya. Satu demi satu, tumpukan roti itu pun tandas. The Tjeng Nio atau akrab disapa Tjeng Nio telah berjualan roti selama 23 tahun di Sekolah Strada Santa Maria. Setelah dagangannya habis, Tjeng Nio segera pulang.

Sembari lewat, ia menghampiri pedagang lain yang berada tak jauh dari tempatnya berjualan, lalu menyerahkan sebuah lembaran kertas berwarna merah muda yang ternyata merupakan tanda bukti donasi Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia.

Suda delapan tahun Tjeng Nio menjadi relawan Tzu Chi di Kota Tangerang, Banten. Selain mengikuti kegiatan, ia pun rutin menggalang cinta kasih dari masyarakat (donasi). Aktivitasnya sebagai relawan survei membawanya ke dunia baru, dimana ia dapat berinteraksi dengan orang-orang yang menderita, dan melihat penderitaan orang lain yang membuat pikirannya terbuka dan mengubahnya menjadi pribadi yang lebih sabar. 

Bekerja Keras Demi Keluarga

Tjeng Nio adalah anak kelima dari enam bersaudara. Sebagai putri dari pedagang rempah-rempah di daerah Pasar Pagi Mangga Dua Jakarta, Tjeng Nio terbilang sosok wanita yang mandiri. Ini merupakan hasil tempaan keras dari sang ayah yang mengajarkannya untuk tetap kuat meskipun didera masalah maupun ujian hidup. “Sejak kecil saya sudah diajarkan untuk berhemat oleh Papa. Waktu sekolah saya enggak dikasih uang jajan, makan semuanya disiapkan dari rumah dan mandiri. Pokoknya semuanya kalau bisa dikerjakan sendiri,” kenang Tjeng Nio.

Setelah lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP) wanita kelahiran tahun 1954 ini kemudian mengambil kursus menjahit karena ingin memiliki keahlian yang kelak bisa ia gunakan untuk membiayai kehidupannya. Tjeng Nio tidak hanya membekali diri dengan keterampilan menjahit, tetapi juga mengambil kursus memasak. Dan ternyata, keterampilan mengolah makanan inilah yang kemudian membuatnya bisa menafkahi keluarganya.

Pada tahun 1976, Tjeng Nio menikah dengan Haevi Prayitna Widjaya, dan dikaruniai seorang gadis kecil yang diberi nama Imelda Widjaya. Kehidupannya berlangsung mulus saat itu. Tapi tidak disangka, jika enam tahun kemudian usaha onderdil suaminya mengalami pailit, mengakibatkan mereka terlilit hutang yang sangat besar. Saat itu Tjeng Nio juga tengah mengandung anak keduanya. Haevi merasa sangat tertekan. Tjeng Nio pun memberikan dukungan kepada suaminya. “Saya bilang ke dia (suami), anak harus kita sekolahin sampai tinggi, gimana pun caranya kita usahain. Kalau soal dana tidak usah dipikirin, saya juga akan bantu. Pasti semua bisa dicari, biar pun kepala jadi kaki, dan kaki jadi kepala, pasti bisa diusahain,” ucap Tjeng Nio tentang kondisi saat itu.

Dengan tekad membantu melunasi hutang-hutang dan membantu perekonomian keluarga, Tjeng Nio yang semasa kecil hidup dalam keluarga yang berkecukupan, ikut turun membantu mencari nafkah. Usai melahirkan anak keduanya, ia langsung membantu membenahi toko onderdil milik suaminya di daerah Tangerang, dan kemudian mulai membuat roti dan kue bolu untuk dijual di depan Sekolah Strada Santa Maria Daan Mogot, Jakarta Barat. Hasil penjualan sebagian ia gunakan untuk mencicil hutang-hutang kepada para supplier, dan sebagian lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Meskipun saat itu kehidupan mereka tidak mudah, tetapi karena dilalui dengan ikhlas dan tabah maka mereka berhasil melunasi hutang dan melalui setiap rintangan yang menghadang.

Usaha roti yang awalnya dimulai dengan skala kecil lama kelamaan semakin berkembang. “Dalam sehari saya bisa jual 200 bungkus, belum lagi kue bolu dan jajanan lainnya,” terang Tjeng Nio penuh syukur. Untuk membuat kue, Tjeng Nio mulai membuat adonan pukul 16.00 hingga pukul 24.00 WIB. Kemudian keesokan harinya, ia dan suami harus bangun dari pukul 02.00 WIB untuk mengaduk adonan, menaburkan cokelat, hingga membungkus. Tepat pukul 04.30 WIB, semua roti dan kue selesai dibuat. Setelah itu, kesibukan Tjeng Nio pun beralih ke dapur, menyiapkan makanan untuk anak-anaknya, sedangkan suaminya membantu merapikan barang-barang. Satu jam setelahnya, Tjeng Nio sudah harus berangkat ke sekolah dengan menggunakan angkutan umum, mengingat pada pagi hari sebelum masuk kelas anak-anak biasanya suka membeli makanan kecil. Ia pun berjualan hingga jam 12 siang, lalu kembali ke rumah dan melakukan pekerjaan rumah tangga: membersihkan rumah, mencuci baju, dan lainnya. Ini merupakan aktivitas keseharian Tjeng Nio dan suami. Apapun yang terjadi, mereka selalu berusaha melakukan yang terbaik. Berbagai usaha dilakukan oleh Tjeng Nio dan suami untuk membiayai kehidupan dan buah hati mereka.

Suatu hari (tahun 2008), Tjeng Nio dan suaminya secara tak sengaja mengenal Tzu Chi. Berawal dari niat suaminya membelikan televisi untuk ibunya (mertua Tjeng Nio) menonton di waktu senggang, mereka kemudian menyaksikan tayangan DAAI TV Indonesia. Dari semula hanya menonton lama kelamaan Tjeng Nio pun tertarik untuk bergabung menjadi relawan Tzu Chi, setelah melihat bagaimana relawan membantu orang-orang yang kesusahan dengan penuh  semangat dan penuh welas asih. Pertemuannya dengan relawan Tzu Chi Tangerang yang juga sesama umat di Wihara Boen Tek Boi Tangerang, mengokohkan jalannya untuk bersumbangsih di jalan Tzu Chi.

Bangkit dari Duka Nestapa

Saat kehidupan keluarga dan ekonomi mulai stabil, ujian kembali menerpa Tjeng Nio saat Haevi, suaminya, meninggal dunia di tahun 2008. Semangat hidupnya runtuh seketika. Bagi Tjeng Nio ini merupakan pukulan yang sangat berat. “Kami seumur-umur belum pernah bertengkar. Setiap kali dapat keuntungan dari penjualan, dia akan memberikan ke saya untuk diatur,” Tjeng Nio mengingat keharmonisan rumah tangganya. Bahkan masih teringat jelas di pikirannya, bagaimana suaminya begitu menyayanginya. Sejak menikah, Tjeng Nio sering mengalami sakit di kaki yang mengakibatkannya sulit berjalan dan harus mengandalkan bantuan dari suami untuk bergerak. Dengan telaten, suaminya mengajak ia berobat ke berbagai tempat tanpa pernah mengeluh. “Saat itu saya sempat putus asa, sudah berobat kesana-kemari tapi tidak sembuh juga. Uang keluar terus, tetapi enggak sembuh-sembuh, enggak bisa jalan juga,” kenang Tjeng Nio haru, mengingat perjuangan suaminya yang terus mendampinginya mencari pengobatan hingga akhirnya ia dapat pulih dan berjalan kembali.

Setahun pasca kepergian sang suami, tepatnya di tahun 2009 Tjeng Nio kembali bergabung dalam kegiatan Tzu Chi. Kegiatan yang sering ia lakoni ialah sebagai relawan survei dan mendampingi pasien penerima bantuan pengobatan jangka panjang Tzu Chi. Di sana ia berjumpa dengan orang-orang yang mengalami kesulitan hidup akibat penyakit. Hal ini membuatnya memahami ketidakkekalan dan pelan-pelan bisa merelakan kepergian Haevi. Menjadi relawan juga membantunya keluar dari kesedihannya. Dengan aktif di kegiatan Tzu Chi membuatnya merasa bersyukur karena memiliki kesempatan berbuat kebajikan. “Saya jadi bisa melepas, tadinya saya kagak bisa melepas. Saya bersyukur. Gan En Shang Ren (terima kasih Guru –red), karena ada Tzu Chi jadi saya bisa mengikuti kegiatan sosial, bisa belajar Dharma dan juga bisa mempraktikkannya setiap hari,” pungkasnya.

Sering berjumpa dengan para penerima bantuan Tzu Chi juga membawa hal positif bagi diri Tjeng Nio. “Dulu rasanya saya selalu merasa kurang. Tapi pas ikut kegiatan survei kasus Tzu Chi, di sana melihat orang-orang yang enggak mampu dan terkena sakit, ini menyadarkan saya bahwa masih banyak orang yang hidupnya lebih sulit dari saya. Kalo dulu kita pikir duit paling utama, tapi setelah masuk Tzu Chi bagi kita kesehatan adalah yang paling penting,” terang Tjeng Nio yang juga aktif melakukan Sosialisasi Misi Amal Tzu Chi (SMAT) ke sekolah-sekolah di Tangerang. Ia berharap semangat celengan bambu Tzu Chi dapat semakin menyebar luas di Kota Tangerang. “Master Cheng Yen mengatakan waktu itu sangat berharga, daripada kita menghabiskan waktu dengan berdiam diri di rumah, lebih baik kita gunakan untuk berbuat kebajikan,” ucap Tjeng Nio.

Ingin Ketemu Master yang Dikagumi

Sebagai orang yang mengagumi sosok Master Cheng Yen, Tjeng Nio memiliki keinginan kuat untuk bisa bertemu dengan pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi ini di Taiwan. Sejak tahun 2008, Tjeng Nio sudah mulai menyisihkan sebagian dari hasil penjualannya untuk ditabung agar dapat berangkat ke Taiwan dan bertemu dengan sosok guru yang dikaguminya. “Aku mau ketemu Master Cheng Yen, gimana caranya, (pokoknya) harus ketemu,” ujar Tjeng Nio kepada anak-anaknya tentang tekadnya.

Ada yang mengatakan bahwa ucapan dan perkataan baik adalah sebuah doa, dan itu pula yang menjadi garis tangan Tjeng Nio. Setelah hampir tujuh tahun menjadi relawan dan lima tahun lebih menabung, pada tahun 2015 ia diajukan untuk menjadi relawan Komite Tzu Chi yang nantinya akan dilantik langsung oleh Master Cheng Yen di Taiwan. Setelah penantian panjang, akhirnya cita-citanya dapat terwujud. Tanggal 24 November 2015, di Kota Taichung, Taiwan bagian tengah, Tjeng Nio bersama-sama relawan Tzu Chi dari berbagai negara dilantik oleh Master Cheng Yen.

Saat dilantik, Tjeng Nio merasa terharu melihat sosok Master Cheng Yen yang begitu lemah lembut dan penyayang kepada semua makhluk. Lalu dalam hatinya ia berkata, “Master Cheng Yen, muridmu ini sudah pulang, saya gan en sama Master karena bisa ketemu, tercapai sudah cita-cita saya untuk berjumpa.” Melihat Master Cheng Yen yang dengan khidmat menyematkan nametag ke seragam relawan, ingin rasanya Tjeng Nio memeluk beliau. “Saya mau bilang saya mau ikut jejak Master Cheng Yen. Supaya apa yang beliau cita-citakan bisa tercapai. Apa yang Master inginkan selama saya masih bisa, saya pasti akan jalankan,” tekadnya kala itu.

Selalu Ada Waktu untuk Tzu Chi

Sekarang, selain sibuk berjualan, setiap kali ada kegiatan Tzu Chi, Tjeng Nio akan mengurangi jumlah dagangan yang ia buat. Jika biasanya ia baru selesai berjualan pada pukul 10.30 WIB, maka jika ada kegiatan Tzu Chi ia pulang lebih cepat. Pukul 08.00 WIB ia sudah pulang dan bersiap-siap melakukan kegiatan Tzu Chi. “Dulu nggak pernah absen (berjualan) dan rasanya sayang banget kalau kosong sehari. Tetapi sekarang kalau ada kegiatan Tzu Chi, sudah bisa lepas bahkan sampai dua hari. Bukannya risau, tapi happy karena kerja di Tzu Chi,” ucap Tjeng Nio sembari tersenyum. Terlebih kini anak-anaknya sudah bekerja dan mandiri. “Yang penting aku bisa ada ongkos untuk ke Tzu Chi, untuk donasi, dan ada ongkos untuk makan sehari-hari saja sudah cukup,” sambungnya. Di Tzu Chi, Tjeng Nio juga menggenggam tanggung jawab sebagai Ketua Xie Li (komunitas), dan koordinator kegiatan bersih-bersih Aula Jing Si di Pantai Indah Kapuk (PIK), Jakarta Utara setiap hari Kamis.

Perjuangan keras Tjeng Nio menafkahi keluarga tercintanya terbayar manis dengan ketiga anaknya yang telah lulus dari perguruan tinggi dengan nilai yang baik. Mereka juga memiliki karir yang baik di bidang pekerjaannya. Kini Tjeng Nio pun dapat tenang menjalani kehidupan dan memanfaatkan waktu luangnya untuk melakukan kegiatan Tzu Chi. Meski terkadang fisiknya terasa lelah, namun batinnya merasa nyaman dan bahagia. Tzu Chi juga memperkaya kehidupan Tjeng Nio dengan beragam kisah dan pengalaman yang berharga. Tjeng Nio merasa Tzu Chi adalah keluarga kedua baginya. “Di Tzu Chi penuh dengan kehangatan. Saya merasa disayangi dan diperhatikan. Saya jadi lupa hal-hal yang mengganggu pikiran saya. Tzu Chi membuat kehidupan saya di masa senja terasa lebih manis,” ungkapnya haru.

Penulis: Teddy Lianto | Fotografer: Anand Yahya

Bila kita selalu berbaik hati, maka setiap hari adalah hari yang baik.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -