Cinta Kasih dan Inspirasi dalam Dunia Medis
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Budi Gunadi Sadikin membuka TIMA Global Forum 2023 yang berlangsung di Guo Yi Ting, lantai 3 Aula Jing Pantai Indah Kapuk, 16 - 17 Juni 2023. Pembukaan ini ditandai dengan pukulan gong dan bunyi angklung yang dimainkan oleh beberapa relawan yang diiringi kibaran bendera dari para dokter yang merupakan delegasi dari 9 negara yang turut hadir dalam TIMA Global Forum 2023.
“Saya sangat bahagia bisa berkesempatan hadir dan surprise karena banyak tamu internasional yang hadir di sini. Saya bisa bercerita bahwa Indonesia membutuhkan bantuan, bimbingan dari ahli-ahli di dunia supaya kesehatan di Indonesia pun bisa naik kelas,” tutur Menkes Budi usai membuka forum kesehatan internasional ini.
TIMA Global Forum 2023 merupakan forum kesehatan tahunan yang diselenggarakan oleh Tzu Chi International Medical Association (TIMA) untuk membahas dan meng-update perkembangan dunia kesehatan. Tahun ini TIMA Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah dengan 600 tamu undangan yang merupakan tenaga kesehatan profesional dari 9 negara: Taiwan, Australia, Singapura, Amerika, Filipina, Thailand, Malaysia, Tiongkok, dan Indonesia sendiri.
Mengangkat tema Exploring The Unseen Journey of Love and Care, TIMA Global Forum 2023 diisi oleh berbagai pembicara profesional dalam masing-masing bidangnya. Ini adalah beberapa di antaranya:
Sentuhan Humanis Tidak Bisa Digantikan oleh Robot
Dokter Sou-Hsin Chien menjelaskan tentang Artificial Intelligence (AI) yang dapat bekerja selama 24 jam, baik dari segi akurasi dan efisiensi yang tentunya jauh lebih tinggi, namun itu semua tidak bisa menggantikan kehangatan antar manusia.
Dokter Sou-Hsin Chien (Direktur Tzu Chi Hospital Taichung)
Dokter Chien menyebut bahwa WHO (World Health Organization) mengatakan inovasi digital sedang terjadi dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Ia menjelaskan tentang Intelligent Robot yang bisa mengukur tekanan, temperatur dan oksigen, serta memberikan perintah ke pusat sehingga suster tidak perlu mengunjungi para pasien berpenyakit menular. “Para suster dapat melihat melalui lensa, dan pasien dapat melihat di layar robot. Ini dapat menurunkan tingkat penularan,” katanya.
Walaupun Artificial Intelligence (AI) terlihat lebih unggul, namun Dokter Chien menegaskan AI tidak dapat menggantikan kehangatan antar manusia. Ketika seseorang sakit, yang dibutuhkan adalah pendampingan. “Kita membersihkan luka (di kaki), namun bukan luka yang jadi permasalahannya, melainkan kita harus membuat dia bangkit (dari keterpurukan). Di center rehab, banyak insan Tzu Chi memberi perhatian kepada mereka,” ungkap Dokter Chien.
Sehat Dimulai dari Makanan
Dokter Chin-Lon Lin mengatakan bahwa pola makan nabati sangatlah baik untuk kesehatan. “Pola makan nabati (vegetarian) bukan saja bagus untuk kesehatan fisik kita, tapi juga sangat bermanfaat bagi lingkungan, menjaga Bumi, dan yang ketiga adalah kesehatan mental,” ucap Dokter Chin-Lon Lin.
Dokter Chin-Lon Lin (Ketua Misi Kesehatan Tzu Chi Internasional)
Ia mengemukakan bahwa kualitas dokter dalam tingkatan atas adalah yang berusaha mencegah penyakit, pada tingkatan menengah mengobati penyakit yang akan datang, dan dokter di tingkatan yang biasa hanya mengobati penyakit yang sudah ada. Dalam studi yang ia lakukan selama puluhan tahun serta dalam beberapa pengujian, ia menemukan bahwa pemakan nabati memiliki fungsi endotel (lapisan tunggal yang melapisi seluruh sistem vaskuler) yang jauh lebih baik dibanding pemakan segalanya (omnivora). Selain itu pemakan nabati juga memiliki sensitivitas insulin yang lebih baik, serta risiko penyakit diabetes, stroke, katarak, demensia, depresi yang lebih rendah juga.
Layanan Paliatif dan Manajemen Nyeri
Mengurangi rasa sakit pada pasien kanker merupakan tantangan terbesar yang dihadapi onkologis. Prof. DR. Liem An Liong menyampaikan bahwa sebanyak 77-80% rasa nyeri berasal dari metastatic disease (penyakit yang menyebar, di antaranya nyeri tulang, tekanan pada sumsum tulang belakang). Sedangkan 5-25% bersumber dari pengobatan kanker, seperti nyeri operasi, amputasi, kemoterapi, dan radiasi.
Prof. DR. Liem An Liong, MD, PhD, FIPP (Praktisi Paliative Universitas Maastricht, UM, Belanda)
Selain kerja sama yang baik dengan ahli lain untuk meredakan nyeri, Prof. Liem menambahkan bahwa penentuan metode maupun intensitas yang diaplikasikan harus disesuaikan dengan kondisi setiap pasien, tidak bisa disamakan. Ia menceritakan kisah seorang pasien kanker payudara yang mengalami nyeri hebat, dan sudah 7 bulan tidak tidur karena sakit yang tak tertahankan. Atas persetujuan pasien, maka mereka melakukan prosedur cordotomy terhadap pasien tersebut. “Esoknya ketika kami berkunjung, dia menangis, dan suaminya juga menangis. Kami pun bertanya, kenapa, apakah kami berbuat salah? Dia berkata, Tidak, inilah pertama kalinya setelah 7 bulan akhirnya saya bisa tidur. Lalu saya lihat suaminya dan bertanya, Mengapa Anda juga menangis? Suaminya menjawab, Inilah pertama kalinya saya tidak mendengar istri saya berteriak sakit di tengah malam, dan saya jadinya bisa tidur juga,” cerita Prof. Liem diikuti tepuk tangan hadirin.
Prof. Liem juga menjelaskan bahwa dengan prosedur tersebut, kondisi pasien juga bisa meningkat karena tidak perlu memakai terlalu banyak obat yang akhirnya menimbulkan efek samping dan membebani tubuh.
DR. dr. Maria Astheria (Praktisi Paliative Tzu Chi Hospital Indonesia)
DR. dr. Maria Astheria, Koordinator Layanan Paliatif di Tzu Chi Hospital, dalam sesi ini juga menjelaskan definisi Perawatan Paliatif menurut WHO tahun 2002, yaitu: Suatu pendekatan yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadap tantangan terkait dengan penyakit yang mengancam jiwa, baik fisik, psikologis, sosial maupun spiritual.
Dalam kesempatan ini Dokter Maria juga menjelaskan Layanan Paliatif yang ada di Tzu Chi Hospital di PIK, yaitu rawat jalan, rawat inap, dan homecare visit. Fasilitas paliatif yang disediakan Tzu Chi Hospital mencakup terapi musik, terapi seni, aktivitas meditasi dan religi, permainan, menonton film, mendengarkan cerita, serta layanan salon dan spa. Ia juga menyampaikan pentingnya untuk berbagi mengenai perawatan paliatif di kalangan medis dan komunitas agar dapat meningkatkan layanan paliatif di Tzu Chi Hospital.
Menyebarkan Kehangatan di Rumah Sakit Tzu Chi
“Kehidupan ini adalah sebuah proses saling membantu. Kita hari ini sangat beruntung karena berada dalam kelompok orang yang bisa membantu orang lain,” ucap Ming-yue dii hadapan 200 relawan pemerhati rumah sakit dan perawat. Ia menceritakan beberapa kisah dan kejadian di dalam rumah sakit yang telah menginspirasinya untuk menghargai setiap detik hidupnya. Itu jugalah yang membuatnya bertahan menjadi relawan pemerhati rumah sakit selama lebih dari 30 tahun.
Huang Ming-yue (Ketua Relawan, Departemen Bakti Amal Tzu Chi Taiwan)
Ming-yue memaparkan bahwa, adanya relawan pemerhati di rumah sakit Tzu Chi, pada awalnya bermula dari seorang relawan bernama Yan Hui-mei. Saat itu RS Tzu Chi Hualien yang baru dibuka sangat kekurangan orang dan tenaga. Karena kepedulian dan cinta kasihnya, Yan Hui-mei pun berinisiatif mengajak beberapa relawan untuk membantu di RS Tzu Chi Hualien, yang akhirnya berkembang menjadi relawan pemerhati rumah sakit.
“Seorang relawan pemerhati harus belajar dan mengasah diri secara kontinu, yaitu dalam keseharian ketika berinteraksi dengan pasien. Dalam proses inilah relawan akan banyak belajar dan berkembang. Relawan itu sendiri harus punya niat untuk terjun ke dalamnya. Selanjutnya, harus menggunakan sikap dan hati yang sangat tulus. Lalu, dengan kontinu mendampingi pasien, kita baru bisa mengetahui dan menyesuaikan dengan kebutuhannya,” ucap Ming-yue membagikan beberapa langkah penting bagi relawan pemerhati berdasarkan pengalamannya.
Merawat Pasien Bagai Keluarga Sendiri
Selama 30 tahun pengalamannya, pasien yang ia tangani kebanyakan adalah pasien dengan penyakit berat seperti kanker dan tumor. Dalam merawat pasien penyakit berat, tidak terlepas dari suatu kondisi yang harus dihadapi pasien yaitu kematian.
“Pekerjaan perawat seperti kami ini memang ada satu hal yang cukup berbeda dari yang lain, yaitu kami harus belajar mendengarkan, bagaimana mendengarkan suara hati pasien dan keluarganya dalam menghadapi ketidakpastian hidup ini. Inilah yang Master Cheng Yen ajarkan kepada kita, yaitu mendengarkan untuk mengetahui ketakutan dan kebutuhan mereka, setelah itu kita baru bisa menggunakan hati kita untuk mendampingi mereka melewati penderitaan ini,” jelas Mei-hui.
Chen Mei-hui (Wakil Direktur Klinik Tzu Chi Suzhou, Tiongkok)
Ia juga menceritakan banyak kisah kecil mengenai pendampingan yang ia lakukan terhadap pasien-pasien di rumah sakit, salah satunya adalah Sofian. Dua puluh tahun lalu, Sofian yang berasal dari Indonesia dibawa oleh relawan Tzu Chi Indonesia ke RS Tzu Chi di Taiwan untuk menjalani operasi pada tumor di matanya. Saat itu Mei-hui berusaha memikirkan bagaimana agar dapat membuat Sofian nyaman selama menjalani perawatan di Taiwan yang merupakan tempat asing baginya. Mei-hui bahkan melibatkan suami dan putrinya untuk memikirkan caranya.
“Jadi kami saat itu membeli buku diari, kami berikan Sofian untuk ditulis. Jadi ini adalah salah satu catatan Sofian,” ucap Meihui sambil memperlihatkan slide berisi foto Sofian dengan catatan tertanggal 24 April 2004. Isi catatannya adalah: Perasaan saya bercampur antara sedih dan gembira, rasanya sangat terharu. Saya tidak pernah menyangka ada orang yang mau membantu meringankan penderitaan saya.
Selain itu putri Mei-hui yang seumuran dengan Sofian juga memberikan bantal dan selimut kesayangannya untuk Sofian. Mei-hui juga membeli sebuah peta, lalu membuat sebuah garis yang menghubungkan Indonesia dengan Taiwan, di samping garis itu ditempelkan banyak stiker berbentuk hati. Beberapa cara inilah yang dilakukan Mei-hui untuk membangun kedekatan dengan Sofian.
“Menghadapi pasien, yang kita lihat adalah pekerjaan. Tapi Master Cheng Yen mengajarkan kita bahwa bisa bertemu adalah sebuah jalinan jodoh. Jadi setiap berada di hadapan pasien, saya belajar bersyukur, saya berharap dapat menjalin jodoh baik dengan mereka. Saya bersyukur karena mereka telah memberi saya banyak pelajaran. Ketika saya berpikir demikian, mereka menjadi penolong bagi saya, mereka adalah guru bagi saya,” tukas Mei-hui.
Implan Koklea di Indonesia
Sejak tahun 2016, sekurangnya sudah ada 17 anak yang telah menerima bantuan implan koklea dari Tzu Chi Indonesia. Implan koklea adalah prosedur medis berupa pemasangan alat elektronik khusus yakni alat bantu dengar yang ditanam dibawah kulit kepala melalui tindakan operasi.
Dr. Soekirman Soekin (Sp.THT- KL (K), M.Kes Spesialis THT Tzu Chi Hospital, Indonesia)
Dr. Soekirman Soekin Sp.THT- KL (K), M.Kes mengatakan bahwa dari tahun ke tahun tindakan operasi pemasangan implan koklea di Indonesia makin canggih dan aman. Ia juga memaparkan perlunya pendidikan khusus untuk dokter dan pemeriksa pendengaran dalam menentukan diagnosa yang tepat apakah pasien ini memang kandidat yang bisa menjalani operasi implan koklea.
“Jadi ini kerja tim; dokter bedahnya, dokter yang menentukan sistem pendengarannya, dokter yang menentukan anatomi radiologisnya (neuroradiologis), lalu dokter anak atau dokter penyakit dalam yang menyatakan dia fit untuk dilakukan tindakan. Kemudian psikiatris atau psikolog untuk menyatakan bahwa alat ini disimpan selama hidup di telinganya. Jadi dia harus tahu bahwa nanti kalau alatnya rusak perlu maintenance, secara psikis dia harus siap,” jelas Dr. Soekirman.
Dr. Chuan-Jen Hsu (Wakil Direktur Tzu Chi Hospital Taichung,Taiwan)
Dalam sesi ini juga, Dr. Chuan Jen Hsu, memaparkan prosedur pemberian bantuan implan koklea di Taiwan. Sejak tahun 2016, Kementerian Kesehatan & Kesejahteraan Taiwan dan National Health Insurance Administration Taiwan memberikan bantuan operasi implan koklea untuk anak-anak di bawah usia 18 tahun, tetapi hanya satu telinga. Di luar itu, Buddhist Tzu Chi Medical Foundation memberikan subsidi khusus sehingga mereka dapat mengajukan permohonan ke rumah sakit Tzu Chi. “Untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, sebagian besar biaya operasi mereka disubsidi sehingga mereka hanya perlu membayar sejumlah kecil uang. Untuk masyarakat menengah ke atas, mungkin harus menyiapkan biaya sebesar 100.000 NTD,” terang Dr.Chuan Jen Hsu.
Hingga saat ini, Dr. Chuan Jen Hsu bersama timnya telah mengoperasi 320 pasien, dan semuanya berhasil.
Teknologi Transplantasi Sumsum Tulang
Taiwan menyampaikan studi terkini Universitas Texas yang menghasilkan konklusi bahwa untuk pasien yang terdeteksi ALL (Acute Lymphoblastic Leukemia) dengan Ph+ dapat terbebas dari proses kemoterapi dan tidak perlu dilakukan allogeneic hematopoietic stem cell transplantation (transplantasi sumsum tulang). Pengobatan dilakukan dengan kombinasi BiTE (terapi antibody) dan terapi CAR-T Cell (sel T). Dalam terapi CAR-T Cell, sel T pasien akan diambil untuk dilakukan modifikasi untuk mengembalikan fungsi sel T, kemudian ditanamkan kembali ke tubuh pasien.
Dr. Chi-Cheng Li (Direktur Pusat Kesehatan Internasional dan Direktur Pusat Stem Cells Tzu Chi Hospital Hualien, Taiwan)
Standar pengobatan dunia untuk ALL adalah dilakukan kemoterapi induksi selama satu bulan, serta kemoterapi konsolidasi dan maintenance selama 25-30 bulan. Pengobatan ini sangat berat untuk pasien sehingga untuk pasien yang memiliki risiko tinggi, diperlukan alternatif untuk menyembuhkan ALL. “Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengobatan yang menggunakan Allogeneic hematopoietic stem cell transplantation (Bone Marrow Transplantation), tingkat kesuksesan pada pasien anak mencapai 85% dan < 50% untuk pasien dewasa,” jelas Dokter Li.
Ia memaparkan tantangan besar yang dihadapi dalam metode pengobatan dengan kombinasi kemoterapi - terapi target (targeted therapy) - dan BMT, meskipun pasien menjalani seluruh terapi dengan lengkap namun hasil akhirnya tidak dapat diketahui sejak dini. Tingkat kesuksesan metode pengobatan ini sekitar 50% - ≤ 80%, termasuk adanya risiko komplikasi dari transplantasi yang dilakukan.
Kata Mereka
TIMA Global Forum 2023 memberikan kesan pada masing-masing peserta dan tamu yang hadir maupun tuan rumah penyelenggara kegiatan. Selain bisa mengupdate ilmu kedokteran dan kemitraan, forum ini juga dinilai bisa menambah sentuhan humanis di bidang medis. Inilah kesan-kesan meraka.
Budi Gunadi (Sadikin Menteri Kesehatan Republik Indonesia)
Saya sangat bahagia bisa berkesempatan hadir dan (merasa) surprise karena banyak tamu internasional yang hadir. Saya bisa bercerita bahwa Indonesia membutuhkan bantuan, bimbingan dari ahli-ahli di dunia supaya kesehatan di Indonesia bisa naik kelas.“Dari sini dokter Indonesia bisa belajar keluar dan dokter asing bisa mengajar ke Indonesia sehingga ke depannya Indonesia nggak kalah sama Amerika maupun Singapura. Sehingga masyarakat kita tidak jauh berobat ke sana dan bukan hanya orang kaya saja yang bisa mengakses layanan ke sana (pengobatan yang bagus) tapi orang middle class, orang yang tak mampu juga bisa merasakan layanan kesehatan yang sama (karena ilmu yang sama rata),” paparnya.
Stephen Huang (Penasihat Tzu Chi Internasional)
“TIMA Global Forum pertama diadakan di Singapura. Karena welas asih Master Cheng Yen, beliau ingin agar anggota TIMA dari 20-an negara dapat mengadakan forum diskusi di bidang kesehatan. Hari ini kita saling belajar dan berdiskusi, tapi yang paling penting adalah kita harus menyebarkan cinta kasih ke seluruh pelosok dunia. Hanya dengan cinta kasih barulah ada harapan.”
Liu Su Mei (Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia)
“Bersyukur dan terharu Tzu Chi Indonesia bisa” menyelenggarakan kegiatan TIMA Global Forum ini dengan baik. Dalam waktu singkat ini, semua orang bekerja keras, berusaha untuk menyatu dan saling melengkapi. Setelah kegiatan ini berarti kita harus lebih maju lagi di bidang medis, karena pada tanggal 14 Juni lalu, Presiden juga telah meresmikan rumah sakit kita (Tzu Chi Hospital) dan memberikan apresiasi dan doa. Kita memiliki rumah sakit yang dilengkapi dengan peralatan medis tercanggih, dan merupakan rumah sakit pertama di Indonesia yang menyediakan layanan medis transplantasi sumsum tulang. Kedepannya, kita akan mengembangkan rumah sakit yang memadukan pengobatan Tiongkok dan Barat. Jadi kita harus bekerja lebih keras untuk maju.”
Awaludin Tanamas (Ketua Harian TIMA Indonesia)
“Forum internasional ini bisa menjadi” media komunikasi, diskusi, networking, dan saling berbagi bagi para praktisi medis profesional dalam segala bidang untuk mencapai pelayanan kemanusiaan dalam bidang kesehatan. Ini momen yang sangat membahagiakan karena kita semua berasal dari berbagai negara bisa berkumpul di sini dan berbagi pesan cinta kasih dalam satu keluarga besar Tzu Chi.”
Teks: Tim Redaksi, Ivana (He Qi Barat 1), Hanifa, Nunik (He Qi Barat 2), Suyanti Samad (He Qi Timur)
Foto: Dok. Tzu Chi Indonesia