Dipa dan Semangat Satu Keluarga

doc tzu chi

Kecelakaan motor mengubah jalan hidup Laurensius Dipa. Saat ingin berkunjung ke rumah salah satu temannya Dipa (35) mengalami kecelakaan yang mengakibatkan tulang belakangnya patah dan mengalami kelumpuhan. Berkat dukungan dari banyak orang, pria kelahiran Medan, 4 Juli 1982 ini tetap bisa menjalani kehidupannya dengan penuh semangat.

Semua bermula saat Dipa diajak berkunjung ke rumah temannya. Sebelum kecelakaan terjadi, Dipa dan temannya sama-sama membawa motor. Dalam kondisi hujan gerimis mereka konvoi mengendarai sepeda motor dari arah Tangerang menuju daerah Daan Mogot, Jakarta Barat. Menjelang lampu merah Cengkareng, motor yang dikendarai teman Dipa dan istrinya terjatuh. Dipa yang posisi motornya berada di belakang kemudian menolongnya. Kondisi teman Dipa dan istrinya baik-baik saja. Begitu juga dengan motornya. Mereka pun kembali melanjutkan perjalanan. Namun, di tengah perjalanan, sang teman memutuskan untuk memutar arah tanpa memberitahu. Dipa yang tidak menyadari hal tersebut terus melanjutkan perjalanan dan terpisah dengan temannya.

Sesampainya di daerah Jelambar, Jakarta Barat, sebuah motor melaju dari sebuah jembatan dan berpapasan dengan motor Dipa. Dalam hitungan detik, motor yang melesat kencang tersebut menabrak motor Dipa dari arah samping. Kerasnya benturan membuat Dipa tidak bisa mengendalikan motornya. Dipa terpental dan bagian punggungnya menghantam trotoar jalan. “Waktu itu posisinya saya yang ditabrak, yang parah saya, yang nabrak kabur. Tapi saya masih ingat wajah orangnya,” ungkap Dipa menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya 7 tahun silam.

Pascakecelakaan Dipa dibawa pulang ke rumah kontrakannya di wilayah Poris, Tangerang oleh salah satu saudaranya. Karena tidak ada biaya untuk berobat ke rumah sakit, Dipa dibiarkan di rumah dengan pengobatan seadanya. Beberapa hari kemudian, kondisi Dipa semakin parah. Pihak keluarga kemudian membawanya ke salah satu rumah sakit di Tangerang, Banten. Pihak rumah sakit mendiagnosa Dipa sudah tidak bisa berjalan karena adanya kerusakan di bagian tulang punggungnya. Dokter yang menangani juga menyarankan agar secepatnya dilakukan operasi pemasangan besi penyangga tulang punggung agar kondisi Dipa tidak semakin parah.

Silawati memperlihatkan hasil rontgen punggung Dipa setelah beberapa minggu pascaoperasi tulang belakang yang ke-4.


Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat menjenguk Dipa serta memberikan semangat sehari setelah operasi tulang belakang yang ke-4 di RSCM Jakarta.

Besarnya biaya operasi membuat pihak keluarga Dipa harus mencari bantuan untuk membiayai proses penanganannya. Pencarian ini yang kemudian mempertemukan Dipa dengan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Pihak keluarga mengajukan bantuan ke Tzu Chi Kantor Tangerang pada tahun 2011. Setelah disurvei dan permohonannya disetujui, Tzu Chi kemudian membantu biaya operasi Dipa. Pascaoperasi tulang punggung dan perawatan selama satu setengah bulan di rumah sakit, Dipa dibawa pulang oleh keluarganya ke Depok, Jawa Barat untuk proses penyembuhan di rumah ibundanya. Sejak itu pula Dipa putus kontak dengan relawan Tzu Chi. Sayangnya, sebetulnya saat dibawa pulang kondisi Dipa belum sembuh benar, jahitan bekas operasinya ada yang terlepas.

Setelah 4 tahun berlalu, pada tahun 2015, Dipa kembali bertemu dengan insan Tzu Chi. “Dipa kembali mengajukan permohonan bantuan ke Tzu Chi. Relawan kemudian melakukan kroscek kembali ke rumah sakit di Tangerang tentang diagnosa, perkembangan, dan penanganan operasi yang pernah dijalani Dipa di rumah sakit tersebut,” ungkap Suherman, relawan Tzu Chi yang mendampingi Dipa.

Setelah melakukan konfirmasi tentang kondisi kesehatan Dipa, pihak rumah sakit menyarankan supaya Dipa dirujuk ke RS Fatmawati, Jakarta Selatan untuk penanganan yang lebih memadai. Selama dalam penanganan di RS Fatmawati, Dipa dirawat selama lima bulan lebih. Selain pengobatan, Dipa juga menjalani terapi dan belajar naik-turun kursi roda, serta terapi untuk melatih kekuatan tangannya.

Pada September 2016, Dipa menjalani operasi yang keempat. Kali ini operasi tidak dilakukan di RS Fatmawati, tetapi di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Dokter Lutfi yang menangani Dipa di RS Fatmawati merekomendasikan Dipa untuk dirujuk ke RSCM Jakarta untuk operasi pembuangan cairan bekas luka operasi tulang punggung dan pemasangan pen (besi penyangga tulang) yang baru.

 


Relawan Tzu Chi membantu Dipa naik ke kursi roda saat mengunjungi Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara.

Mandiri Dalam Keterbatasan

Dipa sebenarnya adalah sosok pekerja keras. Sejak usia 18 tahun ia sudah mulai bekerja di perusahaan garmen di daerah Cileungsi, Jawa Barat. Pindah dari perusahaan garmen, ia kemudian bekerja di perusahaan besi di daerah Jayakarta di bagian penagihan. Setelah beberapa tahun bekerja di perusahaan besi, Dipa memutuskan untuk pindah kerja di wilayah Pesing, Jakarta Barat pada tahun tahun 2007. Pascakecelakaan, Dipa mau tidak mau harus berhenti bekerja. Kebutuhan hidupnya dibantu oleh keluarga besarnya.

Kedua orang tua Dipa berpisah, dan ibunya menikah lagi. Sejak itu Dipa memilih tidak tinggal dengan orang tuanya. Karena itu, sebelum kecelakaan Dipa sudah terbiasa hidup mandiri di rumah kontrakannya. Dengan keadaannya yang sekarang, ia pun harus menyesuaikan diri supaya tetap bisa beraktivitas di rumah. “Saya kan hidup sendirian. Waktu itu mama juga nggak setiap hari ke sini. Sekarang, mau nggak mau masak, cuci baju, dan ngepel harus bisa dari atas kursi roda,” cerita Dipa. Segala hal yang tadinya bisa dilakukan Dipa dengan berdiri, saat ini harus dilakukan dengan posisi duduk dari atas kursi roda.

Sampai akhirnya Dipa membuat sebuah alat sederhana yang terbuat dari besi penggantung gorden (tirai) dengan panjang 2 meter. Alat tersebut ujungnya diikat dengan pulpen dan berfungsi untuk membantu menyalakan TV, lampu, dan meraih sesuatu yang sulit dijangkau dari atas kursi roda ataupun pada saat berbaring di tempat tidur. “Kondisinya seperti ini, mau ngapa-ngapain susah. Akhirnya inisiatif membuat ini (besi penggantung gorden) buat membantu,” ungkapnya.

Tak mau terus bergantung dari belas kasihan orang lain, Dipa mulai berinisiatif mencari penghasilan sendiri. Dengan sedikit modal dari uang tabungannya, Dipa membuka warung di rumah kontrakannya. “Waktu itu sempat jualan pulsa, tapi bangkrut karena lebih banyak pengeluaran daripada penghasilan, nggak imbang,” kenang Dipa. Pada saat bulan Ramadan, Dipa juga berjualan sarung.  Modalnya didapat dari adik sepupunya dengan sistem bagi hasil. “Apa aja dikerjain, yang penting bisa buat nambahin biaya sehari-hari,” tekadnya.


Kebahagiaan Dipa bersama para penerima bantuan lainnya saat gathering bulanan para penerima bantuan Tzu Chi. Kegiatan ini memberikan semangat dan saling mendukung antar sesama penerima bantuan dan relawan Tzu Chi.

Dukungan Dari Banyak Orang

Di balik musibah yang terjadi, selalu ada pelajaran berharga yang dipetik. Selain harus sabar dan ikhlas menerima ujian ini, peristiwa kecelakaan ini juga membuat hubungan Dipa dan ibunya yang sempat renggang menjadi lekat kembali. Sejak ibunya menikah lagi, Dipa hidup seorang diri di Tangerang. Sementara ibunya tinggal di Depok bersama suami dan keluarga barunya.

Saat mengalami kecelakaan, Dipa masih berusia 28 tahun. Setelah kecelakaan tersebut Dipa sering menangis karena hidupnya berubah drastis. “Tadinya kan saya sehat, bisa jalan, (sekarang) saya nggak bisa jalan. Saya bingung mau kemana,” kata Dipa lirih. Kesedihan dan kegelisahan Dipa semakin memuncak ketika ia melihat kursi roda telah menanti di depannya seusai operasi. Dipa menangis. Besok ia akan pulang dari rumah sakit dan kursi roda itulah pengganti kakinya beraktivitas. “Ma, jangan buang saya ke panti. Saya nggak mau,” kata Dipa kepada Silawati, ibunya.

Melihat kondisi Dipa, sebagai seorang ibu Silawati terpanggil untuk merawat anaknya ini. Silawati sering mengunjungi dan menemani Dipa di rumah kontrakannya di wilayah Poris, Tangerang, Banten.

Pascaoperasi ke-4, Silawati memutuskan untuk tinggal bersama Dipa selama masa pemulihan dan kontrol di RSCM Jakarta. Ini karena Dipa belum bisa menyesuaikan dengan besi penyangga yang baru dipasang pascaoperasi. Gerakannya masih sangat terbatas. Dengan izin dari suami, Silawati akhirnya diperbolehkan tinggal bersama Dipa. Di sini peran seorang ibu sangat besar untuk menyemangati anaknya. “Dipa harus sabar dan berdoa, tetap semangat. Kalo Dipa semangat, Mama juga semangat, biar cepat sembuh,” kata Silawati memotivasi putranya.

Silawati berharap Dipa bisa sembuh dan mandiri. Silawati sendiri sudah beranjak tua dan tidak bisa seterusnya merawat Dipa. “Enggak usah seperti orang normal, kalo dia udah bisa jalan pake tongkat aja saya udah bersyukur,” kata Silawati.

Dukungan agar Dipa bisa sembuh dan beraktivitas seperti biasa juga datang dari para relawan yang mendampinginya.  “Saat itu Dipa memang divonis dokter sudah tidak bisa jalan atau tidak bisa sembuh. Kita sebagai relawan yang mendampingi sangat prihatin, dan kita tetap mau memberikan semangat yang terbaik untuk Dipa,” ungkap Suherman. Terlebih saat itu Dipa sempat down dengan kondisinya kurang lebih selama 1 tahun. Untunglah, berkat perhatian banyak orang sikap Dipa yang pesimis lama-kelamaan berubah. Sikap hidupnya lebih positif dan pelan-pelan ia bisa menerima kenyataan. “Saya yakin bisa sembuh dan berjalan kembali jika Tuhan mengulurkan keajaiban-Nya,” ungkap Dipa, setelah beberapa hari menjalani operasinya yang ke-4 di RSCM Jakarta. Ia bahkan bercita-cita untuk ikut terjun dalam dunia kerelawanan jika kondisi kesehatannya membaik.

Berkat bimbingan dan pendampingan dari para relawan, lambat laun Dipa sudah bisa menerima kondisinya saat ini.  “Mohon maaf, yang lumpuh juga harus punya mental, jangan down, harus bangkit, harus bisa mandiri, karena nggak selamanya bergantung sama orang tua atau saudara. Pasti akan tinggal sendirian, jadi harus belajar dan jangan bermalas-malasan,” pungkas Dipa bersemangat.

Selama didampingi relawan, perkembangan kesehatan Dipa juga selalu dipantau. Satu kali dalam sebulan, relawan melakukan kunjungan kasih ke rumahnya. Para relawan juga memberikan obat luar (salep) pada luka bekas operasinya. Setiap akan berkunjung, relawan selalu menghubunginya lewat telepon terlebih dahulu untuk menanyakan apakah obatnya masih ada atau tidak. Dengan begitu obat selalu tersedia untuk Dipa.

Bantuan yang diberikan Tzu Chi untuk Dipa berupa bantuan biaya hidup dan juga obar-obatan yang ditidak dicover oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Termasuk ketika dokter yang menanganinya di RSCM Jakarta menyarankan agar Dipa menggunakan penyangga pada bagian luar punggungnya agar geraknya lebih leluasa serta menjaga posisi tulang dan pen setelah operasi yang ke-4. Saran dokter ini kemudian ditindaklanjuti oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dengan memberikan bantuan berupa setengah biaya dari harga penyangga tersebut.

Berbagai peristiwa yang dialami Dipa, selain mengubah jalan hidupnya juga memberikan hikmah tersendiri baginya. Banyak hal yang ia pelajari, khususnya dalam hal memahami diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang peduli padanya. “Semenjak saya seperti ini, terus terang saya jadi lebih sabar. Saya juga introspeksi diri, memahami diri sendiri, orang lain, dan orang-orang yang peduli pada kesembuhan saya. Ini yang perlu saya bangun, lebih peduli kepada orang lain ketika nanti saya bisa membantu orang lain,” ungkap Dipa.


Penulis dan Fotografer: Arimami SA.

Kehidupan masa lampau seseorang tidak perlu dipermasalahkan, yang terpenting adalah bagaimana ia menjalankan kehidupannya saat ini.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -