Dua Hati untuk Ibrahim dan Abdullah
Penantian panjang Istiharoh tunai sudah. Kedua buah hatinya yang terlahir dalam kondisi kembar siam, Ibrahim dan Abdullah akhirnya kini bisa terpisah setelah setahun lebih “terikat” satu sama lain.
Malam sudah sejak tadi menyelimuti langit Pondok Karyawan Perkebunan Katayang Estate, Kalimantan Tengah. Di tempat inilah Darlis dan keluarganya tinggal bersama karyawan lainnya. Sebuah status Whatsapp kawan membuatnya mengurungkan diri untuk beranjak istirahat. Hatinya gelisah. Segera ia hubungi dr. Gerry Juliansyah (dokter klinik kebun) dan relawan lainnya
Berbekal informasi yang didapat, keesokan harinya, Darlis ditemani dr. Gerry, Nanang Purwadi, dan Hanif Hidayatullah menuju Desa Sungai Kuning, Pangkalan Banteng, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah. Perjalanan ditempuh dalam waktu dua jam lebih. Lokasi itu sebetulnya tidak termasuk dalam area operasional kebun, tetapi pesan digawai yang tadi malam ia lihat, membulatkan tekad Darlis.
Rumah papan berwarna kuning menyambut kedatangan Darlis dan relawan lainnya. Rumah ini milik Sunawi, ayah Istiharoh, seorang pekerja lepas.
Tak banyak perabot di rumah sederhana itu. Isti, begitu ia disapa, mengaku kaget. “Awalnya saya tuh kaget soalnya beliau (datang) dari jauh, dan saya juga tidak begitu tahu Sinar Mas, baru tahu pas beliau datang. Beliau bersama pak manajer juga sempat tanya-tanya soal kembar. Awalnya kok udah usia segini kok belum dipisah atau dirujuk gitu. Nah saya juga sempat tanya beliau, cuma beliau bilang mudah-mudahan dengan kedatangan kami Insya Allah bisa segera dirujuk dan segera bisa dipisah,” kata Istiharoh mengenang.
Di rumah sederhana itu, tinggal sepasang anak kembar siam bernama Muhammad Ibrahim dan Muhammad Abdullah. Mereka anak kedua dan ketiga Istiharoh. Sejak lahir mereka terhubung mulai dari dada hingga perut.
Kegelisahan Darlis yang dirasakan sejak malam sebelumnya sedikit terobati ketika melihat Ibrahim dan Abdullah di hadapannya. Di saat yang sama, muncul rasa iba melihat kondisi Ibrahim dan Abdullah yang tak lazim. Hal yang sama dirasakan dr. Gerry.
Relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas, Darlis mengunjungi kediaman Muhammad Ibrahim dan Muhammad Abdullah di Desa Sungai Kuning, Pangkalan Banteng, Kalimantan Tengah. Momen ini adalah momen pertemuan pertama dua bayi kembar tersebut dengan Tzu Chi.
“Sebagai tenaga medis tentu saya cukup bersimpati karena kita melihat saat itu sekitar usia 8 sampai 10 bulan anaknya masih terkulai tertidur,” kata dr. Gerry, “menurut saya ini ‘kasus besar’, kasus spesial, makanya saya sempat berpikir apakah kita bisa membantunya. Karena tentu juga membutuhkan dana yang sangat besar. Kita belum pernah ada pengalaman menangani kasus seperti ini juga. Kalau operasi hernia, katarak, dan bibir sumbing kan sudah banyak pengalaman. Jujur saja sempat ada keraguan juga di hati saya apakah kita bisa membantu anak ini.”
Hari-hari Istiharoh praktis hanya merawat si kembar karena memang tidak bisa ditinggalkan. Dan untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari ia mengandalkan bantuan dari banyak orang. “Aktivitas saya cuma merawat si kembar, tidak ada aktivitas lainnya. Merawat 24 jam karena kan memang tidak bisa ditinggal gitu. Dan untuk kebutuhan kami, waktu itu kan rumah sakit galang dana buat kebutuhan beli susu dan pampers. Lalu ada juga warga, orang pribadi, komunitas gitu yang datang ke rumah kami langsung memberikan bantuan buat kebutuhan beli susu, pampers, sama kebutuhan kami sehari-hari,” ungkap Isti.
Satu Bergerak, yang Lain Ikut Tergerak
Pada saat kandungannya menginjak usia 5 bulan, Istiharoh menyadari kalau ia sedang mengandung bayi kembar. Perasaan bahagia sekaligus khawatir datang menghampiri.
Bahagia karena sebentar lagi rumahnya makin ramai kedatangan anggota keluarga baru, setelah sebelumnya ada Ayko Zhafyra (kakak si kembar). Namun di saat yang sama ia khawatir karena janin yang di kandungnya setiap kali bergerak, juga diikuti janin lainnya. Secara berkala ia memeriksakan kandungannya ke dokter setempat. Setiap kali periksa ia menanyakan rasa penasarannya ini.
Nanang Purwadi dan dr. Gerry Juliansyah melanjutkan tongkat estafet cinta kasih bagi si kembar.
“Hasil USG dokternya bilang kalau bayi kembar ini organnya masing-masing, sehat normal semua. Cuma yang satu gerak, yang satunya juga ikut gerak. Lalu dokternya bilang mereka tidak bisa memberikan kepastian. Lalu disuruh USG 4 dimensi. Saya muter-muter ke Pangkalan Bun, tetapi tidak ada,” terang Istiharoh setengah pasrah.
Menginjak usia kandungan 8 bulan, Isti memeriksakan diri lagi di Rumah Sakit Harapan Insani, Pangkalan Bun. Sekali lagi ia ingin memastikan kondisi bayi kembarnya. “Dokternya bilang kalau bayinya punya tempatnya masing-masing, cuma karena air ketubannya sudah hampir habis jadi dalam waktu 24 jam harus diangkat. Jadi jam 11 malam saya dirujuk ke RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun. Keesokan harinya jam 8 pagi, saya masuk ruang operasi. Tapi saya belum tahu keadaan si kembar,” ujar Istiharoh.
Tiga hari pascaoperasi Isti mulai sadar, tetapi juga terkejut dengan banyaknya wartawan yang mengambil foto dirinya. “Saya bertanya-tanya, ‘ada apa ini sebenarnya’? Jujur saya masih bingung, belum tahu keadaan anak saya.”
Isti lalu diantar suster ke ruangan si kembar berada. “Pertama saya lihat, saya pegang dia. Saya nangis, mereka juga ikut nangis. Tapi saya harus kuat karena mereka lebih kuat. Mereka berbeda dari bayi-bayi yang lainnya yang masuk inkubator. Tapi mereka tidak, mereka normal, mereka sehat jadi saya harus kuat,” ungkap Isti sambil menangis.
Berita kelahiran kembar siam Ibrahim dan Abdullah segera cepat menyebar. Banyak orang datang memberikan simpati, termasuk bupati setempat. Pihak rumah sakit juga menggalang dana. Di waktu yang sama mereka melakukan komunikasi dengan rumah sakit lain yang bersedia untuk penanganan si kembar ini. Mengingat sarana dan prasana di RSUD Sultan Imanuddin belum memadai.
Curahan cinta kasih yang dilakukan relawan menjelang operasi pemisahan bagi Muhammad Ibrahim dan Muhammad Abdullah. Sejak tiba di Jakarta, relawan terus memberikan pendampingan bagi keluarga Ibrahim dan Abdullah. Perhatian juga terus diberikan hingga operasi yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat, selesai dilakukan.
“Sejak awal adanya bayi kembar siam ini rumah sakit sudah mengkomunikasikan ke rumah sakit yang lebih besar untuk memberitahu rencana pemisahan mereka. Sebelum itu terlaksana, bayi ini kami rawat dengan baik dulu sebelum dirujuk untuk dilakukan pemisahan. Banyak upaya yang sudah dilakukan rumah sakit dalam menangani kembar siam ini,” ungkap Aiman Dinata, Kabid Pelayanan Keperawatan RSUD Sultan Imanuddin Pangkalan Bun.
Kondisi pandemi membuyarkan banyak rencana. Itu pula yang membuat rencana membawa si kembar menjalani tindakan pemisahan di RS Soetomo, Surabaya urung terlaksana.
“Awalnya kami memang ada komunikasi dengan Rumah Sakit Soetomo, tetapi karena pandemi kita juga tidak bisa memberangkatkan bayi ke Surabaya. Selain itu juga, saat itu kalau kita kirim juga kita belum bisa melakukan apaapa (disana), jadi memang kita juga perlu merawat dan menjaga kondisi bayinya di Pangkalan Bun dulu,” terang Aiman.
Di sela Aiman menjalin komunikasi dengan rumah sakit yang lain, Istiharoh gelisah memikirkan nasib bayi kembarnya.
“Saya tanya sama dokter, bagaimana bayi saya ini bisa dipisah apa enggak? Kalau tidak bisa saya mau bawa pulang. Saya rawat saja di rumah. Beliau tidak mengizinkan,” kata Isti mengenang, “saya sudah ngotot terus mau bawa pulang karena belum ada kepastian. Sebenarnya saya sudah pasrah kalau memang tidak bisa dipisah, Insya Allah saya ikhlas dan saya rawat sendiri. Ini kan dari dari umur satu minggu sampai satu tahun lebih belum ada kepastian. Dokternya bilang, ‘maaf Mbak Isti, biayanya besar benget, pihak rumah sakit tidak bisa menanggungnya sendiri’.”
Estafet Cinta Kasih dan Dukungan Banyak Pihak
Raut wajah Muhammad Ibrahim tersenyum bahagia kala bermain dengan relawan Tzu Chi Cabang Sinar Mas. Ibrahim dan Abdullah berhasil dipisahkan melalui tindakan operasi pada 14 September 2021. Kini badan keduanya telah terpisah sehingga dapat beraktivitas masing-masing.
Sekembalinya dari Desa Sungai Kuning, Darlis segera berkoordinasi dengan Tzu Chi Cabang Sinar Mas di Jakarta. Komunikasi dengan pihak rumah sakit juga terus dijalin. Namun takdir berkata lain, dalam masa penanganan si kembar, kondisi kesehatan Darlis terganggu hingga akhirnya ia menghembuskan nafas terakhir. Nanang Purwadi dan juga relawan lainnya melanjutkan tongkat estafet cinta kasih untuk mewujudkan harapan kedua orang tua bayi kembar.
Ketika RS Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo menyatakan kesiapannya untuk melakukan tindakan pemisahan si kembar, para relawan menyambut dengan suka cita. Segala persiapan segera disusun.
Pada 25 Agustus 2021 si kembar berangkat ke Jakarta bersama ibu dan kakeknya, serta didampingi Aiman Dinata dan seorang perawat dari RSUD Sultan Imanuddin. Sejak hari itu pula, hari-hari si kembar dihiasi dengan serangkaian pemeriksaan dokter.
Kemudian pada Selasa pagi, 14 September 2021 si kembar menjalani operasi pemisahan. Ditemani dua bibinya yang datang dari Jombang, Jawa Timur, Istiharoh menunggu di luar ruang operasi. Perasaannya campur aduk. Sesekali berdoa, sesekali menatap ke arah ruang operasi anaknya.
“Ketika mau didorong ke ruang operasi saya pegang mereka berdua, perasaan saya tuh udah campur aduk tapi saya selalu istighfar ini semua jalannya. Kita kan sebagai manusia cuma usaha, Allah yang menentukan. Mudahmudahan dengan jalan ini mereka bisa hidup normal, sehat, dan bisa bermain seperti anakanak lainnya,” kata Isti.
Direktur RSCM dr. Lies Dina Liastuti, SP.JP(K), MARS, FIHA mengatakan operasi pemisahan si kembar melibatkan 28 dokter yang berasal dari 11 disiplin. “Beruntung pada anak kembar ini hanya organ hati yang menyatu, sementara organ yang lain masing-masing anak memiliki. Tentu sangat sulit kalau jantung yang menyatu,” ujarnya.
Muhammad Abdullah saat menjalani fisioterapi fisik di RSCM Jakarta usai menjalani operasi pemisahan.
Sementara itu dr. Tri Hening Rahayarti, salah satu dokter bedah anak yang terlibat menambahkan pembedahan pada organ hati kesulitannya kalau tidak dikerjakan dengan baik akan mengeluarkan banyak darah. “Pada saat dipotong kalau kita salah itu akan pendarahannya banyak sekali. Tetapi dengan alat yang baik, dengan teknik yang baik, itu bisa diatasi,” terangnya. Ia mengatakan untuk tingkat kesulitan pada kasus Ibrahim dan Abdullah termasuk kategori sedang.
Dokter Tri memperkirakan Ibrahim dan Abdullah tidak membutuhkan waktu lama untuk beradaptasi. “Kemampuan adaptasi anak-anak biasanya lebih cepat dibanding orang dewasa. Mereka sudah terpisah, tinggal kita terapi untuk benar-benar normal.”
Selepas Maghrib, tim dokter mengabarkan jika operasi pemisahan Ibrahim dan Abdullah selesai dilakukan. Tinggal pembenahan akhir. Isti mengucap syukur. Penantian 10 jam lebih yang mendebarkan hatinya. “Saya bersyukur operasinya lancar. Perasaan saya memang sedih cuma sedihnya itu sedih bahagia karena mereka sekarang sudah terpisah.”
Pascaoperasi, Ibrahim dan Abdullah masih memerlukan pemeriksaan lanjutan, termasuk fisioterapi fisik dan perbaikan gizi. Perlahan kondisi mereka mulai membaik. Melihat ini, Isti pun mengungkapkan kebahagiaannya, “Saya senang mereka pelan-pelan sudah bisa duduk. Kan baru beberapa hari ini mereka belajar. Abdullah juga sudah mau berdiri. Alhamdulillah sekali perkembangan mereka juga cukup baik dan stabil.”
Berbagi Hati
Si kembar yang dulu menyatu, Muhammad Ibrahim dan Muhammad Abdullah kini masing-masing bisa beraktivitas dan bermain bersama.
Mobil-mobilan itu digenggam erat Ibrahim. Ia mainkan kesana-kemari. Layaknya anak kecil pada umumnya, bermain menjadi dunianya. Begitu pula Abdullah. Sesekali terdengar gelak tawa keduanya. Tak ada raut kesedihan, meski mereka belum lama menjalani hari bersejarah dalam hidupnya. Mereka baru saja berbagi hati.
Mata Istiharoh tidak lepas dari keduanya. Terlihat jelas ada perasaan bahagia menyelimuti hatinya. Penantian panjang untuk memisahkan Ibrahim dan Abdullah akhirnya terlaksana sudah.
“Saya mengucapkan banyak terima kasih kepada Yayasan Buddha Tzu Chi yang sudah banyak membantu kami ketika kami di Jakarta. Jujur saya tidak menyangka bakal ketemu Yayasan Buddha Tzu Chi di sini. Terima kasih juga buat rumah sakit Sultan Imanuddin, RSCM, seluruh tim dokter yang sudah membantu memisahkan anak saya,” ujar Isti menahan rasa harunya.
Isti berharap anak-anaknya tumbuh seperti anak-anak normal lainnya, bisa mencapai apa yang mereka cita-citakan dan bisa membahagiakan orang tuanya.
Sementara itu, dr. Tri berharap Abdullah dan Ibrahim menjadi anak yang pintar, sehat, dan berbakti kepada orang tua dan bisa menjadi anak yang hebat lebih dari anak-anak yang lain. “Karena kedua anak ini sudah menjalani kondisi yang berat dibanding anak-anak lain. Operasi berat sudah dijalani dua anak ini, itu suatu cobaan yang besar saat anak ini bayi. Mudah-mudahan mereka menjadi pribadi yang tangguh,” pungkas Dokter Tri.
Penulis: Hanif Hidayatullah, Widodo (Tzu Chi Cabang Sinar Mas)
Fotografer: Arimami Suryo A (Redaksi Tzu Chi Indonesia), Hanif Hidayatullah, Lisa Kristiani, M. Rizki, Widodo (Tzu Chi Cabang Sinar Mas)