Hidup dengan Penuh Syukur dan Semangat


TEKAD KUAT. Meski mengalami keterbatasan penglihatan, Sofyan tak pernah menyerah untuk menuntut pendidikan. Citacitanya ingin menjadi konselor dan membantu banyak orang.
Seperti biasanya setiap hari Kamis, Sofyan mengunjungi yayasan Mitra Netra. Siapa yang dapat menduga pemuda bersemangat tinggi itu pernah menderita penyakit yang nyaris merenggut nyawa, keceriaan, dan kepercayaan dirinya.

Dua Puluh Dua Tahun yang Lalu
Tanggal 21 Juli 1987 adalah momen terindah bagi Sanusi dan Rosmilah. Hari itu Rosmilah melahirkan putra pertamanya yang bertubuh mungil dan manis. Bayi itu mereka beri nama Sofyan Sumana. Bertambahnya anggota keluarga membuat mereka berseri-seri, berharap kebahagiaan akan selalu mengiringi mereka. Namun seiring berlalunya waktu, Sofyan tidak sesehat anak-anak yang lain. Di usia 4 tahun Sofyan lebih sering sakit. Bahkan ia sering kali mengalami kejang karena sakit panas atau mimisan tanpa suatu sebab

Resah dengan keadaan ini, maka saat Sofyan berumur 7 tahun, Sanusi segera memeriksakannya ke seorang dokter. Namun sampai saat itu penyakit yang sebenarnya diderita Sofyan masih belum diketahui. Sampai satu tahun berikutnya setelah menjalani pemeriksaan lengkap baru Inspirasi Kehidupan diketahui kalau ada sebuah tumor yang tumbuh di balik wajah Sofyan. Dan salah satu cara untuk menyembuhkannya adalah dengan operasi. Maka demi semua kebaikan bagi Sofyan, Sanusi meminta dokter untuk menjalani operasi pengangkatan tumor di balik wajah Sofyan pada Juli 1997 dan operasi berikutnya pada bulan Oktober di tahun yang sama. Kendati telah menjalani dua kali operasi keadaan Sofyan tak lantas menjadi baik. Bahkan di saat-saat Sofyan sedang membutuhkan pengobatan rutin, Sanusi harus kehilangan pekerjaan karena kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada Mei 1998. Keadaan ini ternyata telah mengubah segalanya. Sanusi yang telah kehilangan pekerjaan memutuskan pulang kampung dan pengobatan Sofyan pun akhirnya tertunda.

SAMBUTAN BERKESAN. Sofyan disambut Franky O. Widjaja dan sejumlah relawan Tzu Chi sesaat tiba di Indonesia sehabis menjalankan operasi yang pertama di Taiwan.

Meskipun demikian, Sanusi tak pernah berhenti berharap untuk menemukan secercah harapan bagi putranya. Setelah cukup bersabar dan banyak berdoa, pertolongan itu datang saat Sofyan dan ibunya berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta untuk mencari informasi tentang bantuan pengobatan yang ada di rumah sakit tersebut. Di sana Sofyan bertemu dan percaya kalau Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik untuk saya,” kata Sofyan. Maka ketika tumor itu tumbuh lagi, Sofyan kembali menjalani operasi di Taiwan. Hingga tahun 2008, Sofyan sudah menjalani 3 kali operasi.

Seperti biasanya setiap hari Kamis, Sofyan mengunjungi yayasan Mitra Netra. Siapa yang dapat menduga pemuda bersemangat tinggi itu pernah menderita penyakit yang nyaris merenggut nyawa, keceriaan, dan kepercayaan dirinya.

Dua Puluh Dua Tahun yang Lalu
Tanggal 21 Juli 1987 adalah momen terindah bagi Sanusi dan Rosmilah. Hari itu Rosmilah melahirkan putra pertamanya yang bertubuh mungil dan manis. Bayi itu mereka beri nama Sofyan Sumana. Bertambahnya anggota keluarga membuat mereka berseri-seri, berharap kebahagiaan akan selalu mengiringi mereka. Namun seiring berlalunya waktu, Sofyan tidak sesehat anak-anak yang lain. Di usia 4 tahun Sofyan lebih sering sakit. Bahkan ia sering kali mengalami kejang karena sakit panas atau mimisan tanpa suatu sebab

KONSULTASI BERKELANJUTAN. Didampingi relawan dan dokter Tzu Chi, Sofyan dengan tekun dan tabah menjalani konsultasi dan pengobatan.

Resah dengan keadaan ini, maka saat Sofyan berumur 7 tahun, Sanusi segera memeriksakannya ke seorang dokter. Namun sampai saat itu penyakit yang sebenarnya diderita Sofyan masih belum diketahui. Sampai satu tahun berikutnya setelah menjalani pemeriksaan lengkap baru Inspirasi Kehidupan diketahui kalau ada sebuah tumor yang tumbuh di balik wajah Sofyan. Dan salah satu cara untuk menyembuhkannya adalah dengan operasi. Maka demi semua kebaikan bagi Sofyan, Sanusi meminta dokter untuk menjalani operasi pengangkatan tumor di balik wajah Sofyan pada Juli 1997 dan operasi berikutnya pada bulan Oktober di tahun yang sama. Kendati telah menjalani dua kali operasi keadaan Sofyan tak lantas menjadi baik. Bahkan di saat-saat Sofyan sedang membutuhkan pengobatan rutin, Sanusi harus kehilangan pekerjaan karena kerusuhan yang terjadi di Jakarta pada Mei 1998. Keadaan ini ternyata telah mengubah segalanya. Sanusi yang telah kehilangan pekerjaan memutuskan pulang kampung dan pengobatan Sofyan pun akhirnya tertunda.

Meskipun demikian, Sanusi tak pernah berhenti berharap untuk menemukan secercah harapan bagi putranya. Setelah cukup bersabar dan banyak berdoa, pertolongan itu datang saat Sofyan dan ibunya berobat ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta untuk mencari informasi tentang bantuan pengobatan yang ada di rumah sakit tersebut. Di sana Sofyan bertemu dengan relawan Tzu Chi yang sering datang ke  rumah sakit tersebut untuk mengurus pasienpasien bantuan pengobatan khusus Tzu Chi. Dari pertemuan itu Sofyan disarankan untuk datang ke baksos kesehatan Tzu Chi pada tanggal 27 Maret 2004. Melalui pemeriksaan yang dilakukan oleh tim medis Tzu Chi International Medical Association (TIMA) dari Taiwan, Sofyan disebutkan menderita Fibrous dysplasia yang berarti tumbuh tumor di belakang mata kanannya. Dokter TIMA pun merekomendasikan Sofyan agar dioperasi di Taiwan.

IKUT BERSUMBANGSIH. Di tengah kesibukannya kuliah dan kursus, Sofyan masih menyempatkan diri untuk menjadi relawan Tzu Chi seperti dalam kegiatan pembagian beras.

Setelah memenuhi semua persyaratan administrasi, Sofyan dan Sanusi berangkat ke Taiwan pada Minggu, 25 April 2004. Ini adalah kenangan yang tak terlupakan bagi Sofyan. Bagi Sofyan, Sanusi merupakan sosok ayah yang penuh kasih. Sanusi bukan sekadar orang tua tetapi juga sebagai guru sekaligus sahabat baginya. Melalui Sanusi, Sofyan belajar banyak hal tentang kehidupan ini. Sanusi selalu mengajari Sofyan bahwa hidup ini adalah perjuangan. Di dalamnya ada banyak kisah berliku bagaikan sandiwara. Dan warnanya yang selalu berubah membuat manusia selalu berjuang menemukan warna yang sesuai. Karena itu Sanusi menyimpulkan kehidupan ini adalah perjuangan.

Dari Sanusi pula Sofyan belajar akan ketegaran. Di balik penampilannya yang biasa-biasa saja, ternyata di mata Sofyan, Sanusi adalah seorang inspirator, penggugah semangat, guru, dan cahaya pembawa kehangatan keluarga. ”Bapak is the best,” kata Sofyan.

Karena itu meski telah menjalani operasi pengangkatan tumor selama 23 jam, Sofyan tak pernah mengeluh. Dan setelah lima bulan menjalani perawatan di Taiwan, Sofyan dan Sanusi pun kembali ke Indonesia dengan membawa sejumlah cerita tentang kehangatan para relawan Tzu Chi di Taiwan. Kendati demikian Sofyan menyimpan sebuah kegalauan di dalam hatinya–tumor itu akan dapat tumbuh. “Saya hanya bisa pasrah ketika tim dokter mengatakan tumor di wajah saya dapat terus tumbuh. Tapi saya memiliki keyakinan ada Tuhan dan percaya kalau Tuhan akan memberikan jalan yang terbaik untuk saya,” kata Sofyan. Maka ketika tumor itu tumbuh lagi, Sofyan kembali menjalani operasi di Taiwan. Hingga tahun 2008, Sofyan sudah menjalani 3 kali operasi.

Dengan bantuan talking book (buku bicara), Sofyan dapat mencari berbagai literatur yang ia butuhkan di Yayasan Mitra Netra.

Tapi pada tahun 2008, saat operasinya yang ketiga Sofyan tak lagi dapat ditemani oleh sang ayah–Sanusi telah meninggal dunia karena menderita kanker hati. “Rasanya begitu sedih, begitu kehilangan, bapak begitu cepat meninggalkan saya. Sedangkan saya masih membutuhkan bimbingan bapak,” kata Sofyan.

Setelah operasi ketiga itu penglihatan Sofyan semakin kurang jelas. Tapi Sofyan yang bersemangat tetap mengatakan kalau ia akan terus menyelesaikan sekolahnya. Keinginannya untuk segera menuntut ilmu memang tidak dapat dibendung lagi. Maka setelah 3 tahun tertunda, Sofyan kembali meneruskan sekolah ke tingkat menengah atas, karena melalui sekolah Sofyan merasa akan dapat menggapai citacitanya sebagai seorang psikolog. “Katanya dia pengen jadi psikolog,” cerita Yang Pit Lu, relawan yang mendampingi Sofyan. Pertengahan 2004 sewaktu Sofyan pulang dari Taiwan atas operasi yang pertama, pemuda 15 tahun itu berkata ingin menjadi dokter. Namun menyadari kondisi dirinya yang tak memungkinkan, Sofyan pun menggeser cita-citanya ke arah psikolog. “Katanya, kan psikolog cukup dengan ngomong. Jadi ya dengan begitu dia bisa ngobatin orang juga, tapi ngobatin hati,” lanjut Yang Pit Lu bercerita.

Sofyan Kini
Meskipun Sofyan telah kehilangan banyak hal yang menyenangkan, dan penyakit itu seolah telah menyita kebebasannya, tapi sangat jarang Sofyan menangis. Kini, Sofyan sudah berusia 22 tahun dan mulai tumbuh menjadi pria dewasa. Meski operasi tidak dapat mengembalikan penglihatannya, tapi ia tetap memiliki harapan yang besar untuk menjadi orang yang berguna di tengah masyarakat.

semakin terpacu. Salah satunya disebabkan karena Sofyan menyaksikan banyak anggota Yayasan Mitra Netra yang tidak memiliki penglihatan sama sekali namun bisa sukses di berbagai bidang–menjadi pegawai, seniman, atau konselor. “Melihat temanteman yang lain ada yang lebih tidak bisa melihat daripada saya, saya merasa harus bersyukur dan tidak boleh patah semangat,” aku Sofyan. Di tempat ini pula Sofyan dengan keterbatasan penglihatannya membuktikan kalau dirinya mampu seperti anakanak normal lainnya.

Karenanya setelah menamatkan SMA, Sofyan langsung mencari universitas yang memiliki jurusan psikologi. Tapi, apa yang ia kejar tak seperti yang ia harapkan. Beberapa mata kuliah di fakultas psikologi seperti psikodiagnostik yang mempelajari tentang teknik menggunakan alat alat tes psikologi, wawancara, dan observasi mempersyaratkan

memiliki penglihatan yang normal. Keadaan ini membuat Sofyan sejenak tertegun. Di tengah kebimbangannya, maka tak ada kata lain yang dapat menjawab kekecewaan itu selain kata pantang menyerah. “Saya tak boleh menyerah,” ungkap Sofyan di dalam hati. Pupus memasuki fakultas psikologi, Sofyan pun tak patah semangat apalagi kehilangan akal. Ia melanjutkan pendidikannya di fakultas bimbingan konseling di Universitas Indraprasta. Di fakultas ini Sofyan kembali memimpikan masa depannya. Ia

mempunyai impian khas remaja: meraih sukses, membahagiakan orang tuanya dan membantu banyak orang sehingga tumbuh menjadi sosok yang berguna. Sofyan tak melihat ke belakang dengan kesedihan, hanya melihat ke depan dengan penuh harapan. “Di fakultas ini saya masih bisa membantu orang lain dan menjadi konselor,” katanya. Semenjak itu pula Sofyan mulai membantu meringankan beban ekonomi ibunya dengan berjualan pulsa elektronik dan boneka. Setidaknya dari hasil berdagang, Sofyan tak lagi meminta kepada ibunya untuk memenuhi keperluan pribadinya. “Sofyan ingin sukses, ingin membahagiakan orang tua. Sofyan ingin bisa cari uang sendiri, bisa mandiri,” katanya dengan penuh keyakinan.

Lebih Bersyukur
Untuk memberikan sumbangsihnya kepada banyak orang di sela-sela kesibukannya kuliah, kursus, dan berdagang, Sofyan juga menyempatkan diri bersama-sama relawan Tzu Chi untuk menghibur para pasien di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi. Biasanya saat kegiatan kunjungan kasih relawan Tzu Chi, Sofyan ikut menyumbangkan beberapa buah lagu diiringi petikan gitar yang dimainkannya sendiri. Ketulusannya ini membuat Sofyan sering diajak oleh para relawan Tzu Chi untuk mengikuti berbagai kegiatan. Salah satunya adalah kunjungan ke panti sosial. Di tempat inilah Sofyan yang telah mengalami berbagai rintangan merasa lebih bersyukur atas berkah dan ketabahan yang ia miliki. “Sofyan menjadi lebih bersyukur, di sini masih ada orang tua (ibu), tinggal di rumah bersama orang tua, sedangkan mereka di sana sendiri tanpa orang tua,” aku Sofyan.

Akhirnya dari semua yang ia lakukan bersama relawan di Tzu Chi, Sofyan berharap agar setiap orang memahami bahwa di balik kekurangan yang dimiliki seseorang, akan ada kelebihan, dan di balik kesulitan akan ada jalan. “Hidup harus disyukuri dan dijalani penuh semangat. Jangan pernah menyerah, cia yo,” kata Sofyan.

Naskah: Apriyanto Apriyanto, Ivana & Juliana Santy
Foto: Anand Yahya, Hok Cun

Hanya orang yang menghargai dirinya sendiri, yang mempunyai keberanian untuk bersikap rendah hati.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -