Hidup dengan Percaya Diri
Yang Xiaodong berjalan pulang ke Xiamen dengan menggunakan tongkat di kedua tangannya. Dia kini telah menjadi orang yang berbeda.
Selama lebih dari separuh usianya yang kini telah mencapai kepala tiga, Yang Xiaodong menjalani kehidupannya dengan tubuh terlipat– terjebak dalam postur tubuh yang tidak dapat dibayangkan oleh orang pada umumnya. Dagunya nyaris menyentuh lutut kakinya dan hal ini membuat dirinya tidak dapat tidur telentang atau berdiri tegak. Penampilannya yang tidak biasa ini membuatnya malu dan menghindari orang lain. Ia menutup diri dari dunia luar dan hidup terisolasi di rumah. Harapannya yang paling besar adalah sesuatu yang kita anggap remeh setiap hari: tidur terlentang dengan seluruh tubuh bagian belakang menyentuh ranjang dalam waktu yang sama. Setelah menjalani lima kali operasi, ia berjalan dengan kepala tegap, setegap semangatnya, berjalan keluar dari rumah sakit menuju dunia yang nampak lebih terang dari sebelumnya.
Untuk membayangkan seperti apa kondisi Yang Xiaodong (31) beberapa bulan yang lalu, coba bayangkan kulit martabak yang terlipat dua. Analogi ini memang sulit untuk dipercaya, namun itu adalah kenyataannya. Ia membungkuk hingga seperti terlipat 200 derajat, mulai dari bagian pinggangnya sampai dagu hampir menyentuh lututnya.
Xiadong dan keluarganya tinggal di Xiamen, salah satu bagian dari Provinsi Fujian di wilayah tenggara Tiongkok. Selama 17 tahun, ia menolak untuk bertemu dengan orang lain, tak terkecuali teman-temannya. Ia bersembunyi di rumahnya, di dalam kamarnya. Hanya keluarga yang ia perbolehkan masuk ke dalam kamarnya. Pada saat Xiaodong menutup pintu kamarnya, ia juga menutup pintu hatinya.
Xiaodong cenderung menutup diri dari orang lain. Dia mulai menerima keberadaan para relawan Tzu Chi setelah dia sadar bahwa para relawan benar-benar ingin membantunya.
Meski dalam kondisi seperti itu, mata Xiaodong selalu awas. Ia terus menerus berjaga-jaga jikalau ada orang lain mendekatinya. Saat seseorang berada terlalu dekat dengannya, ia akan mengubur kepalanya lebih dalam di antara kedua lututnya. Ia lebih memilih menutup diri dalam formasi “kepompong” daripada membiarkan orang lain mengasihani dirinya.
Sikap Xiaodong ini menyakiti hati ibunya, Zhu Jinchai, lebih dari apapun. Jinchai telah menjadi tulang punggung keluarga sejak usaha suaminya bangkrut. Setelah kematian suaminya meninggal, ia membesarkan anak-anaknya seorang diri. Menyaksikan Xiaodong menutup diri dari dunia luar hanya menambah ganjalan dalam hatinya. Ia merasa amat lelah. Ia hampir menyerah.
Keadaan itu mulai berubah ketika relawan Tzu Chi mengetuk pintu rumah mereka pada bulan Mei 2013. Cahaya dan harapan akhirnya menghampiri keluarga ini.
Untuk pertama kalinya Xiaodong bertemu dengan Master Cheng Yen. Master Cheng Yen mendoakan yang tebaik untuknya dan berharap Xiaodong dapat pulang dengan kepala tegap.
Penolakan Panjang
Pada tahun 1994, Xiaodong merupakan siswa sekolah dasar kelas 6 yang aktif. Kala itu, ia berusia 12 tahun dengan selisih tiga tahun dengan kakak laki-lakinya. Suatu hari, ketika sedang memancing di kolam, Xiaodong menginjak pecahan kaca. Ibunya segera melarikan Xiaodong ke barefoot doctor (petani yang menerima pelatihan medis dasar). Barefoot doctor itu dapat menghentikan pendarahan yang terjadi pada Xiaodong.
Namun, tak lama setelah peristiwa itu, Xiaodong mulai merasakan sakit pada lututnya. Sang barefoot doctor berkata bahwa sakit yang dirasakan Xiaodong bukan disebabkan oleh luka tersebut melainkan sakit pada saraf. Barefoot doctor itu mendiagnosa Xiaodong dengan rheumatoid arthritis (sebuah kelainan dan peradangan yang menyerang sendi). Keluarga ini belum pernah mendengar kondisi seperti itu sebelumnya.
Ketika Xiaodong tiba di rumah sakit Tzu Chi Hualien pada 24 Mei 2013, tubuhnya melengkung (bungkuk) ke depan lebih dari 200 derajat, 140 derajatnya karena lengkungan tulang belakang dan 70 derajat akibat pinggulnya. Hal ini membuat dagunya menyentuh lututnya. Setelah menjalani lima kali operasi, ia sekarang sudah memiliki postur yang tegak, hampir menyerupai orang normal.
Jinchai mulai membawa Xiaodong berpindah-pindah tempat pengobatan berdasarkan rekomendasi dari tetangga-tetangganya. Tempat pengobatan pertama berada di Quanzhou dan untuk mencapainya memakan waktu tiga jam perjalanan dengan mobil. Mereka menghabiskan beberapa ratus Yuan untuk 20 paket obat herbal. Setiap hari, Jinchai menggodok ramuan herbal untuk Xiaodong. Obat ini bekerja pada awalnya, namun seiring pemakaiannya, obat ini mulai kehilangan khasiatnya. Dari hari ke hari, kondisi Xiaodong semakin memburuk.
Keluarga Xiaodong memutuskan menyewa sebuah apartemen di Maxiang Township, sebuah wilayah yang ditempuh selama dua jam berkendara dari Xiamen. Tujuannya agar ayah Xiaodong bisa lebih mudah mengurus usaha bahan bangunannya. Saat itu Xiaodong bersekolah di Sekolah Menengah Pertama yang berjarak 1,5 kilometer dari apartemen mereka. Setiap hari ia mengendarai sepeda untuk pulang-pergi sekolah. Hanya butuh 20 menit untuk menempuh perjalanan itu. Perjalanannya sendiri tidak terlalu menjadi masalah, namun ia harus mengangkut sepedanya naik-turun sebanyak enam lantai. Bagi lututnya yang kian melemah hal itu menjadi tantangan baginya.
Operasi pertama dilakukan untuk memperbaiki pinggul kanan Xiaodong yang menyatu, dilaksanakan pada 28 Mei 2013. Kondisinya sudah menunjukan kemajuan setelah operasi pertama.
Kunjungan rutin ke dokter tak memberi banyak perkembangan. Sama halnya dengan obat-obatan yang diberikan. Baik obat herbal Tiongkok maupun obat dari (dokter) barat tak menghilangkan rasa sakitnya. Rasa sakit acap kali menyerang saraf siatik Xiaodong. Bersamaan dengan itu, perangainya-pun memburuk. Sikap buruk memperparah kondisinya. Sentuhan ringan pada pusat rasa sakitnya sudah dapat membuatnya melonjak dari kursinya.
Ketika penyakitnya memburuk, Xiaodong mulai mengalami kesulitan untuk berdiri tegak. Saat duduk di bangku kelas delapan, ia sudah tidak bisa berjalan seperti biasanya. Dia harus merangkak untuk bepergian kemana-mana. Sejak saat itu juga, dia mulai tidak masuk sekolah. Salah satu alasannya, teman-temannya sering mengejek postur tubuhnya yang tidak biasa. Meskipun teman-teman sekolahnya mungkin tidak bermaksud menyakitinya, namun kelakuan mereka telah membuat Xiaodong sakit hati. Bagaimanapun juga ia hanyalah seorang remaja– Sebuah tahapan dalam hidup yang membutuhkan penerimaan lingkungan daripada hal lainnya. Ia akhirnya terus menerus absen dari sekolah untuk menghindari ejekan teman-temannya.
Xiaodong tersenyum sebelum operasi pertama pada tulang belakangnya pada 2 Juli 2013. Dr. Chen Ing-ho memeriksa hasil rontgen untuk mengkonfirmasi sudut dan arah gerakan perbaikannya
Remaja ini mulai menutup dirinya di dalam kamarnya. Ia menolak kunjungan bahkan dari teman baiknya sekalipun. Setelah teman-temannya pergi, ia berkata kepada ibunya, “Jika seseorang datang untuk menemui aku, beritahu saja kepada mereka bahwa aku sudah mati.”
“Banyak orang kehilangan kaki mereka, namun mereka tetap menunjukan diri mereka,” kata orang tuanya kepada Xiaodong. “Bagaimana jika kami belikan kamu kursi roda untuk membantu kamu bergerak?” Namun ia menolak. Seiring berjalannya waktu keluarga Xiaodong terus menyemangatinya, namun usaha mereka tidak pernah berhasil. Ia terus mendorong orang-orang menjauh dari dunianya yang semakin terisolasi. Pada akhirnya, ia hanya memperbolehkan keluarganya saja yang menemuinya.
Setelah operasi ketiga pada tulang belakangnya, Xiaodong sudah bisa berdiri tegak dan berjalan dengan alat bantu. Bagaimanapun, ia masih membutuhkan terapi fisik untuk menguatkan ototnya guna mengatasi pemendekan dan pengerasan ototnya.
Semakin Mengalami Kemunduran
Sepanjang hari berada di dalam kamar, Xiaodong memiliki waktu kosong yang panjang. Komputer yang diberikan kakaknya menjadi teman setia Xiaodong. Dia menghabiskan waktu dengan duduk di sebuah kursi dan main game atau mahjong dengan pemain yang online. Kadang ia melakukan pembelian secara online untuk keluarganya.
Xiaodong melalui hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan hingga menjadi tahun. Ia menolak untuk meninggalkan kamarnya untuk makan atau sekadar menggunakan kamar mandi. Setiap hari ibunya membawakan makanan dan membawa keluar ember berisi kotoran. Seiring waktu, penyakitnya juga semakin parah. kelainan pada tubuhnya semakin memburuk. Rasa nyeri melengkapi kondisi tubuhnya yang semakin tertekuk.
Setelah pulih sepenuhnya dari operasi, Xiaodong menjadi relawan Tzu Chi bersama ibunya, memilah-milah sampah daur ulang.
Xiaodong bukanlah satu-satunya yang mengalami keterpurukan dalam keluarganya. Bisnis milik ayahnya mengalami kemerosotan pesat, sehingga ibunya menjadi satu-satunya pencari nafkah di keluarga dengan menjadi tukang bersih-bersih di rumah sakit.
Kondisi bisnis dan keadaan Xiaodong yang memburuk mengguncang mental ayah Xiaodong. Ia sering pergi berkelana tak tentu arah. Sering sekali ia ditemukan sedang berada di sebuah desa terpencil, dan pernah juga ia berada di pusat Kota Xiamen, sebuah tempat yang jauh dari rumahnya. Dia sering hilang beberapa saat hingga polisi kemudian menemukan dan memberitahukan kepada Jinchai untuk menjemput. Suatu hari menjelang tahun baru Imlek, hati Jinchai nyaris hancur saat menemukannya suaminya hanya mengenakan pakaian dalam saat musim dingin. Ia juga terkejut melihat suaminya menjadi sekurus itu.
Setelah kejadian itu, dia membawa pulang dan merawat suaminya di rumah. Kurang dari satu tahun kemudian, pada tahun 2008, suaminya meninggal dunia. Setelah kepergian suaminya, Jianchi dan kedua putranya pindah kembali ke kampung halaman mereka. Rumah lama mereka telah runtuh sehingga mereka menetap di gedung sekolah dasar yang sudah tidak terpakai.
Sepeninggal suaminya, Jinchai bertekad untuk kuat demi kedua putranya. Seolah tidak berhenti ditimpa musibah, enam bulan kemudian, putra sulungnya mengalami kecelakaan. Ia ditabrak dua kali di waktu yang berbeda saat tengah mengojek. Akibat kecelakaan itu, putra sulung Jinchai menderita patah tulang. Namun keluarga tidak memiliki uang untuk mengobatinya. Lukanya kemudian mengalami pembusukan sehingga dokter memvonis jika kakinya harus diamputasi.
Namun setelah sebuah surat kabar di Xiamen memberitakan penderitaan keluarga Jinchai, seorang dermawan mengulurkan tangan untuk membantu biaya pengobatan putra sulung Jinchai. Dermawan ini mengunjunginya dan menanggung biaya empat kali operasi yang dijalani kakak Xiaodong. Kaki kakak Xiaodong akhirnya tidak jadi diamputasi namun kakinya kini tak lagi sekuat dulu.
Jinchai tidak memiliki banyak pilihan selain terus bekerja, dan bekerja lebih keras lagi. Jinchai menjadi petugas kebersihan di sebuah pabrik elektronik. Usai pulang bekerja, dia mengurus kebun sayur yang hasil panennya digunakan untuk makan sehari-hari. Aktivitas ini menjadi selingan selain merawat Xiaodong dan melakukan pekerjaan rumah. Ia seperti sebuah gasing yang berputar tanpa henti untuk keluarganya.
Pada akhir November 2012, Jinchai mengalami kecelakaan lalu lintas. Sebuah mobil menyerempetnya saat dia tengah mengangkut barang daur ulang untuk dijual. Akibat kecelakaan itu, kaki kirinya terluka amat parah sehingga harus dioperasi. Tanpa menunggu lukanya sembuh, ia meninggalkan rumah sakit demi menghemat uang. Dia kembali bekerja. Bagaimanapun juga, keluargannya membutuhkan uang.
Cahaya yang Menyentuh
Rintangan satu demi satu menghampiri keluarga ini. Namun, jalan berliku seolah telah berujung ketika pada akhir tahun 2012, Pan Shijian, Wakil Ketua Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok Xiamen, memberikan bantuan kepada Keluarga Yang karena memenuhi kriteria keluarga kurang mampu. Hal ini membuat keluarga Yang menerima subsidi nasional untuk mempertahankan standar hidup minimal. Pan juga merujuk keluarga ini kepada Yayasan Buddha Tzu Chi. Harapannya, para relawan Tzu Chi dapat meyakinkan Xiaodong untuk menjalani pengobatan.
Pada Januari 2013, relawan Tzu Chi mengunjungi Xiaodong. Mereka menyadari bahwa Xiaodong tidak nyaman bertemu orang lain sehingga ia mengubur wajahnya di antara kedua lututnya agar tidak ada yang bisa melihat wajahnya. Para relawan teringat dengan salah satu pasien dengan kondisi yang mirip dengan Xiaodong di Rumah Sakit Tzu Chi Hualien (kini telah sembuh). Mengacu pada pasien itu, para relawan bertekad membantu Xiaodong.
Beberapa hari kemudian, para relawan Tzu Chi kembali ke kediaman Keluarga Yang dan memberikan Xiaodong topi dan sepasang kacamata hitam. Mereka berharap dengan topi dan kacamata hitam, Xiaodong jadi berani bertemu orang asing. Relawan kemudian membawa anak muda itu ke rumah sakit di Xiamen untuk melakukan pemeriksaan menyeluruh. Setelah bertahun-tahun mengurung diri, untuk pertama kalinya Xiaodong keluar dari rumahnya. Sikapnya sangat pendiam- seperti biasanya- namun ia bersikap koperatif. Nampaknya dia merasa nyaman dengan para relawan.
Saat pemeriksaan berlangsung, para tenaga medis mengalami kendala. Postur tubuh Xiaodong yang tidak biasa menyulitkan dalam proses pengambilan gambar rontgen. Akibatnya, para dokter tidak dapat melihat kondisi tubuh Xiaodong dengan jelas dari hasil rontgen tersebut. Hari itu, Xiaodong tidak menjalani tindakan medis apapun.
Para relawan tidak menyerah dengan mudah. Pada kunjungan ketiga, mereka memberikan keluarga ini televisi dan mengatur antena untuk menangkap siaran DAAI TV, stasiun televisi yang didirikan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi. Para relawan berharap pesan-pesan dalam tayangan DAAI TV dapat membuka hati Xiaodong. Keluarga Yang juga tetap berhubungan dekat dengan ketua yayasan dan pihak rumah sakit Tzu Chi di Hualien, Taiwan. Hal ini untuk membuka kemungkinan Xiaodong dapat dirawat di sana. Para relawan juga memotret dan merekam Xiaodong untuk dikirim ke Taiwan guna dievaluasi lebih lanjut.
Tim Hualien
Dokter spesialis tulang di Rumah Sakit Tzu Chi Hualien dikepalai oleh Dr. Chen Ing-ho, dokter dan pengurus kehormatan rumah sakit. Selama 20 tahun terakhir, Dr. Chen Ing-ho bersama timnya telah mengoperasi lebih dari 200 pasien yang menderita Ankylosing Spondylitis, penyakit yang diderita oleh Xiaodong.
Ankylosing Spondylitis adalah penyakit peradangan pada tulang yang menyebabkan penumpukkan tulang belakang sehingga mengakibatkan berkurangnya fleksibilitas tulang yang pada akhirnya menjadikan postur tubuh membungkuk ke depan.
Setelah melalui koordinasi dan konsultasi dengan para relawan di Xiamen, tim bedah tulang memutuskan untuk menerima Xiaodong sebagai pasien. Mereka optimis dapat membuat kemajuan pada kondisi Xiaodong.
Pada 23 Mei 2013, dengan ditemani relawan Tzu Chi dari Xiamen, Xiaodong dan ibunya berangkat ke Rumah Sakit Tzu Chi Hualien. Keesokannya, Xiaodong menjalani serangkaian tes. Kesulitan rontgen yang terjadi di rumah sakit Xiamen juga terjadi di rumah sakit Hualien. Namun, masalah ini terpecahkan dengan pengambilan gambar dari berbagai sisi. Masalah juga muncul saat pemeriksaan Computed Tomography scan (CT scan). Para teknisi medis perlu bekerja ekstra agar tubuh Xiaodong bisa muat ke dalam mesin.
Sore itu, Dr. Chen bergegas kembali ke Hualien. Dia baru saja melakukan operasi di Taipei. Sesampainya di Hualien, Dr. Chen mengunjungi Xiaodong dan menjelaskan mengenai rencana pengobatan.
“Jika kedua pinggul saya yang menyatu ini dioperasi, apakah saya akan bisa berbaring dengan normal?” tanya Xiaodong kepada Dr. Chen. Pertanyaan itu mengungkapkan sebuah harapan yang telah ia impikan selama bertahun-tahun – untuk dapat berbaring secara normal di atas ranjang. “Apakah kamu takut dengan operasi?” tanya Dr. Chen padanya. Pria muda itu menjawab dengan tegas, “Tidak!”
Dokter menyimpulkan bahwa peradangan Xiaodong telah terjadi sejak dia dalam masa pertumbuhan dan perkembangan sehingga berakibat parahnya kelainan fisik yang dideritanya. Ia bahkan mengatakan bahwa Xiaodong merupakan salah satu kasus Ankylosing Spondylitis terparah yang pernah ditanganinya. Meski begitu, Dr. Chen optimis jika operasi dan rehabilitasi akan dapat memberikan kemajuan bagi kondisi Xiaodong.
Pada hari ketiga di Hualien, Xiaodong dan Jinchai menemui Master Cheng Yen di Griya Jing Si. Saat itu, Master Cheng Yen berkata kepada Xiaodong, “Berjalan pulanglah dengan kepala tegap.” Xiaodong mendengar dorongan semangat Master Cheng Yen yang lembut itu dengan jelas dan gamblang. “Saya ingin menunjukkan kepada Master Cheng Yen bagaimana saya berjalan,” katanya. Ia perlahan-lahan bergoyang-goyang bangkit dari kursi rodanya dan berjalan dengan susah payah. Kejadian itu sangat menggugah hati, pemandangan yang mengoyak perasaan.
Tidak diragukan lagi Xiaodong memiliki keinginan yang kuat untuk berdiri tegak, namun ia masih harus melalui beberapa perjuangan.
Proses Menuju Kesembuhan
Selama dua setengah bulan berikutnya yakni dari 28 Mei hingga 13 Agustus 2013, Xiadong menjalani lima kali operasi. Dua operasi yang pertama ditujukan pada tulang panggulnya sedangkan tiga operasi berikutnya pada bagian tulang belakangnya. Setiap operasi memberikan kemajuan bagi kondisi Xiaodong. Ibunya merasa bahagia melihat kondisi Xiaodong, dan bagi Xiaodong sendiri operasi ini membuat dirinya lebih percaya diri dan yakin akan proses menuju kesembuhan.
“Kami melihat perbedaan setelah operasi yang pertama dan kemajuan semakin jelas terlihat pada diri Xiaodong setelah operasi keduanya,” ujar Jinchai mengenai proses pengobatan anaknya. “Setelah operasi kelima… wow, ia sudah bisa duduk dengan tegak! Dr. Chen sungguh luar biasa!” Jinchai tak tahu bagaimana mengungkapkan betapa berterima kasihnya ia kepada Dr. Chen dan tim medis.
Tentu dapat dibayangkan betapa bahagianya Xiaodong atas perkembangan yang dia jalani, namun karena sifat pemalunya ia tidak mengungkapkannya. Dia masih terlihat canggung saat berinteraksi dengan orang lain. Ketika Dr. Chen mengunjunginya, ia masih menyembunyikan wajahnya dengan topi. Melihat hal ini, Jinchai menasehatinya agar menunjukkan sopan santun kepada tim medis, terutama Dr. Chen yang telah berusaha sekuat tenaga untuk kesembuhannya. Nasihat ini tidak dihiraukan oleh Xiaodong. Namun Jinchai tidak menyerah. Jinchai kemudian berkata dengan lantang, “Dr. Chen telah melihat seluruh bagian tubuhmu dioperasi. Apa yang membuatmu malu dan sembunyikan lagi?”
Pernyataan Jinchai itu seperti geledek yang yang menyambar Xiaodong di siang bolong. Setelah melalui operasinya yang ketiga, Xiaodong sudah percaya diri melakukan kontak mata dengan Dr. Chen. Pada akhirnya, ia membuang sifat malunya, menanggalkan dirinya yang dulu.
Bagaimanapun juga, isolasi dari dunia luar selama 17 tahun membuat Xiaodong kesulitan untuk menjalin komunikasi yang baik dengan orang lain. Tak jarang ia bertingkah laku layaknya anak-anak yang sedang merajuk, tak seperti seorang dewasa berusia 31 tahun. Sikap ini tidak dapat dihilangkan hanya dengan nasihat atau wejangan dari ibunya. Butuh usaha dan kerja keras. Orang-orang di sekitarnya harus memahaminya sehingga akan dapat perlahan-lahan mengubah sikapnya.
Ibu Xiaodong, Jinchai adalah orang yang paling banyak menghabiskan waktu bersama sekaligus merawat Xiaodong. Seringkali, ia mendapat perlakuan yang tak mengenakkan akibat temperamen putranya yang tidak stabil. Namun, pada bulan Juni, untuk sementara waktu, Jinchai tidak bisa merawat putranya karena dia sendiri membutuhkan operasi. Pelat baja yang dipasang pada kaki kirinya setelah dirinya mengalami kecelakaan lalu lintas pada November 2012 lalu patah dan menyebabkan pembusukkan pada kakinya. Dr. Chen mengoperasi Jinchai untuk menyembuhkan kakinya.
Karena kedua anak dan ibu ini harus menjalani pemulihan, relawan Tzu Chi Xiamen mempekerjakan perawat profesional untuk mengurus Xiaodong. Namun, tak ada yang tahan dengan temperamen Xiaodong yang buruk. Satu per satu perawat berhenti. Relawan Tzu Chi dari Taiwan pusat kemudian menawarkan diri untuk merawat Xiaodong. Relawan ini juga mengalami perlakuan buruk dari Xiaodong. Sangat sulit bagi Xiaodong untuk menahan temperamennya, terutama pada sesi terapi fisik. Dia harus menahan rasa sakit yang menyerangnya. Hal kecil seperti saat terapis meregangkan tubuh Xiaodong, dapat dengan mudah menyulut amarahnya.
Ketika temperamennya meledak, relawan Tzu Chi seperti Yan Hui-mei atau So Zu akan mengajaknya bernyanyi lagu Tzu Chi atau memintanya untuk menyalin Kata Perenungan Master Cheng Yen dengan tujuan menenangkan dirinya. Jika semua hal itu gagal, para relawan itu akan berkata, “Jika kamu terus berperilaku seperti ini, kami akan memberitahukannya kepada Master Cheng Yen.” Metode ini selalu berhasil. “Dia sangat menghormati Master Cheng Yen,” ujar Jinchai. “Ia ingin menjadi murid Master Cheng Yen yang baik.”
Selama di Hualien, Jinchai juga menjadi relawan Tzu Chi di sela-sela waktunya merawat Xiaodong. Kurang dari sebulan sejak ia menjalani operasi, ia mulai membantu di posko daur ulang bersama Huang Yue-ying, salah satu relawan Tzu Chi. Ia juga mengikuti kelas melukis untuk relawan daur ulang. Terkadang, ia juga secara sukarela memasak atau membersihkan Griya Jing Si.
Xiaodong memiliki kesibukannya sendiri. Setelah operasi kelima, di waktu senggangnya, Xiaodong akan berkeliling rumah sakit sembari memotret menggunakan kamera yang dipinjam dari Pan Guo-yang, Direktur Pelayanan Sosial Rumah Sakit. Ia kemudian mempublikasikan fotonya ke situs di internet untuk diperlihatkan kepada teman-teman dunia mayanya yang tinggal di Tiongkok.
Relawan Tzu Chi dan para tim medis bekerja sama dengan sungguh-sungguh untuk merawat Xiaodong. Kehangatan para relawan ini seperti cahaya yang menerobos masuk ke dalam hingga membuat Xiaodong membuka hatinya. Selama proses pemulihan, Xiaodong mulai berhenti bersembunyi di balik kacamata hitam dan topinya. Ia mulai belajar untuk menghadapi dunia dengan apa adanya. Ia juga lebih percaya diri dan penuh ketenangan.
Transformasi besar diri Xiaodong mengejutkan para relawan yang datang dari Xiamen untuk menjemput Xiaodong dan ibunya pada akhir bulan Oktober 2013. “Ia membuka diri, bukan hanya fisik, namun juga mentalnya,” ujar Chen Zhou-ming, salah satu relawan. “Saya tidak pernah melihat ia tersenyum sebelumnya. Namun sekarang ia selalu tersenyum sepanjang waktu. Ia adalah orang yang benar-benar berbeda.”
Tong Zhandong, relawan Tzu Chi, mengulang perasaan Chen. Ia berkata bahwa Xiaodong benar-benar berubah. Dulu, ia selalu menundukkan kepalanya dalam-dalam dan tidak menunjukkan respon apapun ketika orang berbicara kepadanya. Namun sekarang, ia menanggapi setiap pertanyaan yang ditujukan kepadanya. Tong kagum, sebuah perubahan yang besar setelah beberapa bulan di rumah sakit. Ia yakin bahwa hal ini berkat kerja sama tim medis dan relawan di rumah sakit Tzu Chi yang memperlakukannya dengan sangat baik – seperti kasih orang tua kepada anaknya sendiri.
Pada tanggal 29 Oktober 2013, sehari sebelum kembali ke Xiamen, Xiaodong dan Jinchai pergi ke Griya Jing Si untuk mengucapkan salam perpisahan kepada Master Cheng Yen. Ketika Master Cheng Yen melihat Xiaodong berjalan tegak dengan tongkat di kedua tangannya, beliau kemudian bertanya apakah Xiaodong bisa berjalan tanpa bantuan. Xiaodong kemudian meletakkan tongkatnya dan berjalan maju untuk menunjukkannya kepada Master Cheng Yen. Orang-orang di sekitar mereka bertepuk tangan dengan meriah.
Master Cheng Yen mengingatkan kepada Xiaodong bahwa tim medis sudah bekerja keras untuk menyembuhkannya sehingga ia tidak boleh mengecewakan tim medis. Ia harus tekun berlatih dan belajar untuk membuka pikiran dengan konsisten. Ia juga mengingatkan relawan dari Xiamen untuk tidak memanjakannya, tetapi mereka harus memberikannya pengaruh yang baik dan membantunya mengembangkan kesehatan fisiknya.
Setelah mendengar perkataan tersebut, Xiaodong tiba-tiba berkata, “Saya ingin berkuliah di Fakultas Sastra Inggris di Universitas Tzu Chi.” Master Cheng Yen tersenyum sambil menjawab, “Jika kamu memiliki niat, saya pasti akan selalu mendukungmu. Namun pertama-tama, selesaikan sekolah tingkat menengah dan atasmu dulu dan tingkatkan nilaimu.”
Hari berikutnya, staf dari Federasi Amal Xiamen bersama relawan Tzu Chi menemani Xiaodong dan Jinchai pulang ke rumah mereka. Ketika mereka keluar dari pos pemeriksaan keamanan di bandara, relawan yang telah menanti berseru, “Selamat datang di rumah, Xiaodong!”
Xiaodong telah berjanji kepada relawan di Xiamen sebelum ia pergi ke Taiwan bahwa ia akan pulang dengan berjalan tegap dan ia menepati janjinya. Tanpa bantuan, tidak ada yang memeganginya. Ia juga tidak mengenakan kacamata hitamnya, tak lagi malu untuk menunjukkan dirinya sebagaimana adanya.
Dari sana ia bertolak ke rumah barunya, yang telah dibangun oleh Federasi Amal Xiamen untuk keluarganya. Seorang bibi yang tinggal di dekat mereka melihat mereka. Bibi itu tidak percaya dengan perubahan pesat yang dialami Xiaodong. Bibi itu menyentuh pipi pria yang berdiri di hadapannya dan berkata, “Kamu menjadi tampan, kamu telah siap untuk menjadi mempelai laki-laki.” Perkataan itu disambut dengan tawa dari semuanya. Kakak iparnya berkata, “Wajahnya biasanya membuatku takut, namun sekarang tidak lagi. Ia sangat tampan sekarang.”
Relawan Tzu Chi sekarang selalu siap untuk memberikan dukungan yang akan dibutuhkan Xiaodong ke depannya dalam menjalani rehabilitasi dan kembali ke kehidupan normalnya.