Inspirasi dari Rumah Besi
Berada di perkampungan yang cukup padat, rumah itu nampak selaras dengan rumah-rumah lain di sekitarnya. Yang membedakan hanya halamannya yang lebih luas dibanding para tetangganya. Dinding semen tanpa sapuan cat membuat rumah tersebut terlihat natural dan sederhana. Susunan ruas bambu di bagian tengah dinding menambah kesan kesederhanaan ini. Yang menarik perhatian justru tiang besi yang berada di hampir tiap sudut rumah. Besi menjadi bahan bangunan dominan di rumah ini, tak heran masyarakat sekitar menjulukinya Rumah Besi.
Rumah itu adalah milik pasangan suami-istri Martin L. Katoppo dan Ruth Oppusunggu. Keduanya berprofesi sebagai arsitek dan juga dosen di Universitas Pelita Harapan, Tangerang, Banten. Pada tahun 2010, keduanya membangun rumah mereka dengan konsep yang ramah lingkungan. Martin yang memberikan mata kuliah Ecodesign di kampusnya ini menggunakan bahan-bahan yang ramah lingkungan. Penggunaan material lokal diutamakan, seperti besi sebagai tiang penyangga, bambu sebagai tiang utama, dan susunan potongan bambu sebagai ventilasi udara Rumah juga sengaja dibiarkan tanpa cat, sementara lantai berbalut semen halus (acian) tanpa keramik. “Selain dapat menurunkan suhu di dalam rumah, hal ini juga menekan bujet pengeluaran,” kata Martin. Struktur utama bangunan rumah ini menggunakan besi hollow (baja ringan) sehingga proses pengerjaannya sangat cepat dan lebih murah dari bangunan konvensional lainnya.
Rumah ramah lingkungan bisa diukur pula dari bahan-bahan yang digunakan. Menggunakan besi sebagai bahan utama, rumah pasangan arsitek (Martin dan Ruth) ini meminimalkan penggunaan kayu yang sumber pasokannya mulai terbatas.
Ramah Lingkungan Sejak Awal
Perjalanan Rumah Besi di Kampung Pondok Pucung, Tangerang, Banten ini berawal dari keinginan Martin dan Ruth untuk memiliki rumah sendiri. Pasangan yang menikah pada tahun 2006 ini sebelumnya menyewa rumah di kompleks perumahan di Bintaro, Jakarta Selatan. Tak menyukai desain rumah di kompleks yang monoton dan seragam, keduanya kemudian memutuskan mencari tanah di perkampungan di belakang kompleks tempat tinggal mereka. “Kita coba cari, dan dapat info kalo di belakang (kampung) ada yang jual tanah, 200 meter. Karena cocok kemudian kita beli,” terang Martin.
Butuh waktu tiga tahun sampai kemudian tanah itu siap dibangun. Sebagai arsitek, mereka pun merancang bangunan rumah mereka, termasuk estimasi biayanya. “Pas kita ngitung kok biayanya tinggi sekali. Kami biasa bikinin rumah untuk orang, nilainya besar, miliaran, giliran mau bangun rumah sendiri kok bingung,” ungkap Martin tersenyum. Setelah berpikir keras dan mencari berbagai referensi akhirnya keduanya menemukan satu konsep desain rumah yang hemat biaya. “Dalam perjalanannya, rumahnya sendiri pada akhirnya jadi rumah yang ramah lingkungan,” sambung pria yang tengah menyelesaikan program S2 Arsitektur di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini.
Setelah mengkalkulasi, ternyata biaya terbesar ada pada struktur bangunan. Jika rumah pada umumnya menggunakan struktur beton ataupun baja, Martin dan Ruth justru menemukan alternatif lain: besi hollow. “Inspirasinya datang dari cart port mobil. Saya pikir kalo car port mobil dikasih dinding kan jadi rumah juga. Akhirnya kita cari dan ini memang lebih tebal sedikit dari besi hollow biasa,” terang Martin. Dengan menggunakan struktur ini maka Martin bisa menghemat biaya 1,5 kali dari menggunakan struktur beton, dan dua kali lebih murah daripada menggunakan kayu, serta tiga kali lebih murah dari struktur baja.Dari struktur inilah kemudian bangunan rumah ini tanpa disadari sudah mengusung konsep pelestarian lingkungan. Pertama, besi hollow mudah dicari sehingga tidak perlu mengimpor. Kedua, secara energi, untuk membangun rumah ini hanya memerlukan bahan (besi) dalam satu kali pengiriman mobil material sehingga tidak perlu beberapa kali mengantar barang. Bandingkan dengan struktur beton yang harus bolak-balik mengantarkan pasir, batu, kerikil, dan semen.
Belum lagi dari segi waktu, yang berimbas pada berkurangnya biaya tukang dan bahan. Dalam waktu 4 hari saja struktur besi hollow ini sudah bisa dirangkai semua. Besi-besi yang menjadi tiang ini terpatri dengan pondasi. Secara perhitungan akademis rumah ini dirancang tahan gempa.
Dengan alasan efisiensi pula dinding rumah ini pun tak berhias cat. “Semangat awalnya adalah efisiensi. Belakangan kita tahu kalo di iklim tropis ini baik untuk pendinginan udara,” terang Martin. Agar lantai licin dan mengilap, Martin dan Ruth rutin menggosoknya dengan ampas kelapa.
Rumah dirancang dengan konsep yang ecodesign (desain ramah lingkungan). Menggunakan bambu sebagai tiang utama, dan dinding yang berasal dari potongan-potongan bambu yang disusun sehingga angin dapat mudah masuk ke dalam rumah.
Martin menampung air hujan ke dalam bak-bak penampung untuk menyirami atap rumah di kala suhu meningkat (panas) dan juga menyiram tanaman. Martin juga menanam pipa sedalam 4 meter untuk menampung air setelah bak penampung penuh agar bisa masuk dan menyerap ke dalam tanah.
Ramah Lingkungan, Hemat Biaya
Rumah ramah lingkungan bisa dimulai dari penggunaan bahan-bahannya. Salah satu contohnya adalah dengan tidak menggunakan bahan-bahan atau sumber daya alam yang terbatas, kayu misalnya. Untuk pintu, kusen, dan jendela, Martin memilih menggunakan kayu-kayu bekas yang masih baik kondisinya. Selain kualitas kayu sekarang yang kurang bagus (masih muda dan tidak diproses dengan baik) harga juga menjadi pertimbangan.
Martin pun berburu kayu bekas di daerah Jombang, Tangerang. “Bongkaran kadang masih dalam bentuk pintu, dan dia bisa bongkar dan pesan jadi pintu sesuai pesanan kita,” ujar pria berusia 41 tahun ini. “Harganya seperempat lebih murah. Dulu (tahun 2009) bikin 1 pintu 1 juta, ini cukup 250 ribu aja,” tegasnya.
Tinggal di kompleks perumahan juga menjadi bahan acuan bagi Martin dan Ruth dalam mendesain rumah mereka. Yang baik diambil, kekurangannya diperbaiki. Keluhan umum rumah tinggal adalah kondisi panas dan gerah. Kurang ventilasi dan ruang terbuka menjadi penyebabnya. Karena itulah keduanya membuat desain yang membuat sirkulasi udara berlangsung dengan baik. Di jendela depan, hamparan bambu pun menjadi pengganti jendela.
Dengan memakai bambu, angin bisa setiap saat masuk, menjamin sirkulasi udara berlangsung baik. Ditambah pula di sisi ujungnya juga ada pintu-pintu berukuran besar yang memberi asupan udara lebih banyak. Dengan konsep ini udara panas pun dapat keluar tergantikan dengan yang baru. Sirkulasi bagus ini bukan tanpa kendala. Ada harga yang harus dibayar Martin dan keluarga, yakni nyamuk yang bisa masuk dengan leluasa. “Nyamuk? Jujur jawabannya idealis banget. Kita pilih nyamuk daripada panas. Menurut kita kalau tinggal di daerah tropis maka nyamuk adalah hal yang tidak bisa dihindari. Jadi bagaimana kita menangani nyamuk dengan berbagai cara, seperti menanam tanaman anti nyamuk atau memasang kelambu di tempat tidur,” terang Martin. Karena itulah di setiap kamar tidur Martin dan anak-anak terpasang kelambu. “Kita bisa menggunakan cara-cara tradisional yang efisien secara biaya dan juga ramah lingkungan,” tegas Martin.
Di bagian atap pun ada rongga terbuka sehingga udara bisa keluar-masuk dengan bebas. Ini membuat keluarga ini jarang menggunakan pendingan udara (AC). “Kita pakai kalo panas banget, dan kalau pake pun suhunya di atas 25 derajat,” terang Martin.
Dari lubang-lubang biopori ini Martin memanen kompos dari sampah organik rumah tangganya yang dimasukkan ke dalam lubang. Tanpa bantuan bakteri percepatan kompos bisa dipanen dalam waktu 2-3 bulan, namun dengan bakteri percepatan bisa lebih cepat, 2-3 minggu saja.
Mengubah Masalah Menjadi Berkah
Tinggal di perkampungan, selain banyak hal positif ternyata juga banyak kekurangannya, terutama infrastruktur. Yang pertama adalah masalah saluran air, meskipun ada, tetapi letaknya tidak tertata dan kurang berfungsi sebagaimana mestinya. Yang kedua masalah sampah. Karena pada awalnya tanah warga cukup luas maka saluran air maupun sampah pada masa itu belum menjadi masalah. Dulu, air hujan yang turun tidak membuat banjir ataupun genangan karena masih banyak tanah kosong (ruang terbuka). Begitu pula dengan sampah. Warga yang memiliki lahan, tinggal menggali lubang sebagai bak sampah dan jika sudah penuh maka tinggal menimbunnya kembali dengan tanah. Ada juga warga yang membakar sampah kering.
Permasalahan baru muncul saat perkampungan semakin padat dan jumlah ruang terbuka dan tanah resapan makin berkurang. Hal ini yang dialami Martin dan Ruth ketika mulai mendiami rumah mereka. Tidak ada bak penampungan sampah maupun gerobak sampah yang mengambil sampah-sampah warga. Masyarakat lebih suka mengelola sampah sendiri-sendiri dengan membakar ataupun membuangnya di bak penampungan kompleks yang ada di depan pintu keluar. Sebenarnya, dari pihak kompleks bersedia mengangkut sampah namun warga sekitar harus menyediakan dulu lahan untuk menjadi tempat penampungan sementara. “Nah, warga nggak ada yang mau tanahnya dijadikan tempat penampungan sampah,” terang Martin.
Tinggallah Martin dan Ruth yang mau tak mau harus beradaptasi dengan kondisi lingkungan baru mereka. Namun keduanya justru menganggap ini sebagai tantangan. “Awalnya juga kita ikutin orang-orang, buang sampah di bak penampungan di kompleks. Sampai akhirnya pihak kompleks merasa yang buang sampah ini bukan warga mereka sehingga kemudian bak sampah itu ditiadakan,” terang Martin.Berangkat dari kesulitan itu akhirnya keduanya kemudian mencari solusi. Biopori, lubang resapan yang dibuat di halaman rumah ini menjadi solusi bagi dua masalah yang dihadapi Martin dan Ruth sekaligus: sampah dan resapan air. Martin membuat lubang biopori secara konvensional, lubang dibuat sedalam 1,2 meter dan kemudian diisi sampah organik (sisa makanan dan daun-daun). Namun, jumlah sampah basah rumah tangga yang masuk ternyata lebih cepat (banyak) daripada sampah daun-daunan, akibatnya lubang pun cepat penuh. Sementara untuk mengambil sampah organik yang telah menjadi kompos pun sulit, alhasil lubang biopori itu pun kemudian ditutup dengan tanah. “Biopori kalo dipake buat buang sampah rumah tangga (organik) itu nggak lama, cepat penuh. Nah kalo dah penuh gimana ngambilnya?” keluh Martin. “Itu yang bikin enggan mengambilnya,” timpal Ruth.
Terkadang, ide gemilang muncul dari satu kesulitan, dan itulah yang dialami oleh Martin dan Ruth, yang lagi-lagi menemukan solusi untuk masalahnya. Sederhana, namun menyelesaikan masalah. Di dalam lubang pipa biopori dimasukkan tongkat besi yang ujungnya bisa menahan sampah sehingga saat ingin memanen kompos kita tinggal menariknya saja ke atas. “Supaya proses pembusukan alami bisa terjadi di sisi kanan-kiri pipa (paralon) itu kita buat lubang sehingga mikroba dapat masuk dan berproses secara alami,” kata Martin, “jadi, sebetulnya saya dan istri itu green bukan karena dari awal, tetapi karena terdesak situasi dan kondisi, dan menurut saya itu justru bagus. Kalo orang terdesak situasi dan kondisi dia akan jalanin terus, konsisten. Mau nggak mau, karena nggak ada pilihan lain.”
Tanpa bantuan bakteri percepatan maka kompos bisa dipanen dalam waktu 2-3 bulan, namun dengan bakteri percepatan bisa lebih cepat, 2-3 minggu saja. Dalam satu tabung lubang biopori sedalam 1,2 meter bisa didapatkan 2 kg kompos. Martin sendiri memiliki 18 lubang biopori, dimana 9 buah difungsikan sebagai “komposter” dan 9 lagi sebagai resapan air saja.
Apa yang dilakukan Martin juga mereka sampaikan ke para tetangga. “Kita coba mengubah kebiasaan masyarakat untuk membuang sampah, bahwa tidak semua sampah harus dibuang, tetapi ada yang bisa dimanfaatkan juga,” ujarnya. Dengan membuat lubang biopori berarti kita telah mengurangi sampah 40 % dari sampah rumah tangga. Dari pengujian yang dilakukannya, Martin mengukur sampah rumah tangganya selama 30 hari adalah 203 kilogram. Nah, ternyata 40 persennya itu merupakan sampah organik dan 40 persennya merupakan sampah plastik. Dan 20 persen lainnya merupakan sampah yang sudah tidak bisa diolah lagi dan butuh penanganan khusus, seperti batu baterai dan lainnya. “Artinya kalo kita punya lubang biopori artinya kita sudah mengurangi beban sampah sebanyak 40%,” terang Martin. Untuk sampah non organiknya sendiri dikumpulkan untuk dijual ke pengepul barang bekas. “Sejak tahun 2014, di kampung ini ada bank sampah. Kita kumpulin dan berikan kepada bank sampah,” terang Martin.
Paralon dimanfaatkan sebagai tiang penyangga wahana bermain.
Menabung Air
Lubang biopori selain menjadi solusi untuk penampungan sampah organik juga bisa menjadi tempat penyerapan air. Martin menyebutnya sebagai “Tabungan Air”. Menurut perhitungan, satu lubang biopori yang terproses dengan benar dapat menyimpan 180 liter air per jam di saat hujan deras. Namun sebenarnya yang dapat terserap ke dalam tanah melalui lubang biopori ini hanya 40 persennya saja, sekitar 45 liter. “Saya memiliki 38 biopori, dikalikan 45 liter jadi saya nabung air sebanyak 1.710 liter air di saat hujan lebat. Ini membuat Martin tak mengalami masalah kekeringan air di musim kemarau. “Tetangga sudah pada ngebor (memperdalam) sumur, kita air masih lancar aja,” ungkap Martin bangga.
Selain menjadi cadangan air tanah, Martin pun berpikir alangkah baiknya jika air hujan ini juga bisa dimanfaatkan, baik untuk menyiram tanaman maupun pendinginan atap rumah. Di genteng memang ada satu pipa yang memanjang. Ketika suhu udara terasa panas maka Martin tinggal membuka keran dari bawah maka air pun mengalir membasahi permukaan genteng. Cara ini ternyata cukup efektif untuk mendinginkan suhu sebesar dua derajat Celcius. Air yang keluar juga tidak menghilang percuma, tetapi ditampung kembali masuk ke dalam talang air yang menuju ke tangki air. Air yang ditampung ini dimanfaatkan untuk menyiram tanaman melalui pipa-pipa yang dipasang secara vertikal.
Dengan dua buah bak penampung air berkapasitas 1.000 liter, Martin mengarahkan air hujan di atap mengalir ke dalam bak penampung air. “Air hujan ini saya tampung pake satu talang aja. Saat hujan deras, hanya dalam waktu 30 menit saja dah penuh,” terang Martin. Untuk menambah kapasitas cadangan air tanah, Martin menanam pipa 4 meter ke dalam tanah. Empat meter pertama ini merupakan lapisan cadangan air di dalam tanah. “Kita pernah hitung, kalau sering hujan selama empat bulan aja, saya bakal punya cadangan air di bawah 160 ribu liter,” ungkap Martin.
Bagi Martin dan Ruth, mereka sengaja memilih teknologi ramah lingkungan yang sederhana dan mudah diaplikasikan. Hal ini agar masyarakat dapat dengan mudah ikut menerapkannya di rumah mereka. “Bukan apa-apa, kita bisa pakai sistem yang canggih, keren, tapi buat apa, mahal dan cuma saya sekeluarga aja yang menggunakannya,” tegas Martin. “Kita ingin share pengetahuan tentang rumah yang ramah lingkungan yang mudah dan terjangkau. Membuat perubahan yang "cepat" dañ menular melalui desain yang ramah lingkungan, mudah dañ terjangkau,” tambah Ruth.
Apa yang menjadi impian Martin dan Ruth akan rumah yang minimalis dan fungsionalis ini juga coba diserbarkan kepada masyarakat di sekitarnya. Mereka menggunakan berbagai pendekatan dan cara, mulai dari yang sederhana melalui rapat warga hingga membuat kegiatan bersama mahasiswanya. Hal ini sebenarnya terinspirasi dari betapa Martin dan Ruth merasakan guyubnya tinggal di perkampungan. “Waktu di kompleks masyarakatnya sendiri-sendiri,” terang Ruth, alumnus Universitas Trisakti yang juga tengah mengambil studi S2 di Institut Teknologi Bandung (ITB) ini. Meski begitu, mereka merasa prihatin karena melihat infrastruktur dan fasilitas yang minim di perkampungan tempat tinggal mereka. “Sampah nggak ada yang ngelola, air nggak ada salurannya, semua ini perkembangannya tidak tertata sama sekali. Kita mikir kita kan dari desain (arsitek), kenapa kita nggak bisa berbuat sesuatu untuk masyarakat di sini,” timpal Martin. Dan pada akhirnya, yang mesti dilakukan para arsitek adalah melihat dan merenungkan kembali apakah bangunan yang mereka buat atau ciptakan itu bisa berkontribusi dan berguna bagi masyarakat juga bagi lingkungan.
Sebagai akademisi, Martin memulainya dari rumah, lingkungan, dan para mahasiswanya. Keduanya terpanggil untuk mengajak para mahasiswanya untuk “berbaur” dengan masyarakat. Karena itulah mereka selalu melibatkan para mahasiswa dalam kegiatan mereka, seperti penanaman pohon, pembuatan lubang biopori, mural (imbauan yang mendidik) dan taman bermain. “Mahasiwa kita harus berpikir bahwa desain itu harus bisa diterapkan di semua lapisan. Dan tugas kami sebagai dosen adalah memasukkan nilai-nilai konsep bangunan ramah lingkungan kepada mereka. Karena dengan ramah lingkungan membuat kita lebih sehat, hidup lebih nyaman, dan hemat energi,” kata Martin.Penulis: Hadi Pranoto | Fotografer: Arimami SA.