Jadilah Satu Di Antara Mereka

doc tzu chi

Bukan hal yang mudah untuk menghitung berapa banyak perbedaan yang dimiliki rakyat Indonesia, tapi bukan hal yang sulit juga untuk merekatkannya. Kuncinya ada pada budaya yang paling dasar yang dimiliki setiap masyarakat Indonesia: membantu sesama, bergotong royong, dan menghormati semua.

***

Matahari masih bertengger di kepala saat saya mendengar perbincangan yang mengusik telinga. Di satu meja warung makan itu ada dua orang supir angkutan umum sedang menikmati waktu istirahat mereka. Sambil menyantap lauk terakhir di piring, mata mereka tertuju pada tayangan berita yang diputar di TV di pojok ruangan, lalu mulut mereka berbalas komentar.

“Jaman sekarang mah gampang banget ya ngebunuh orang,” kata salah satunya. “Iya, namanya orang lagi gelap mata, biar dikata pahlawan sama yang laen. Tapi ya salah itu,” timpal yang lain.

Mendengar perbincangan mereka, saya ikut melirik berita di TV 14 inchi itu. Walau gambarnya tidak terlalu jelas, tapi saya masih bisa mendengar si pembawa berita membawakan narasinya. “Semiris ini kah masyarakat sekarang?” pikir saya.

Keragaman Indonesia yang begitu banyak membuat Indonesia gemah ripah, kaya raya. Kaya akan suku bangsa, bahasa, budaya, dan agama. Coba, ada berapa bahasa daerah yang Indonesia punya? Ratusan. Untungnya ada satu bahasa pemersatu, bahasa Indonesia. Dengan perbedaan yang berlimpah, yakinlah Indonesia juga sangat mudah dipecah belah. Namun tentu tidak ada warga indonesia yang berharap hal tersebut terjadi.

Dalam diri saya seakan timbul kekhawatiran bahwa masyarakat kota besar menjadi tidak peka lingkungan dan simpati sepertinya tinggal teori. Sebagian dari mereka dikenal individualis bahkan sudah dianggap tidak lagi mengenal kepekaan sosial, empati, ataupun tenggang rasa. Sehingga banyak yang bilang kalau hidup di kota besar digadang-gadang harus punya mental yang kuat. Harus siap sikut-sikutan untuk mencapai ambisi masing-masing. Apalagi dengan perbedaan yang dianggap sebagai sekat tebal yang melampaui gengsi.

Berkenalan dengan Filantropi

Tapi apakah semua masyarakat kini dalam kondisi se-kritis ini? “Untungnya tidak!” tegas Hamid Abidin, Direktur Eksekutif Lembaga Filantropi Indonesia (lembaga yang menjadi wadah organisasi filantropi). Apabila melihat lebih dalam, ke sekat-sekat paling kecil dari kehidupan masyarakat, kini banyak sekali bermunculan kelompok-kelompok yang peduli, baik itu perorangan maupun komunitas.

“Kamu pernah lihat kisah penjual nasi uduk di Rawamangun yang viral di Facebook?” tanya Hamid. “Itu kerjaan orang baik, orang peduli,” katanya. Berkat postingan itu, lanjut Hamid, warung si kakek yang awalnya sepi menjadi ramai pembeli. “Nah ini adalah contoh aksi filantropi yang sederhana,” lanjutnya.

“Ada lagi namanya Sahabat Kapas di Solo, Jawa Tengah. Mereka adalah komunitas yang membantu anak-anak yang dipenjara di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas),” tambahnya. Hamid menjelaskan bahwa Sahabat Kapas bukan hanya mengedukasi anak-anak di Lapas, tapi juga memberikan pengertian kepada orang tua dan lingkungan sekitar anak untuk bisa menerima anak kembali, bukan malah memberikan mereka cap sebagai kriminal atau berandal. “Ini juga aksi filantropi,” tegasnya lagi.

Direktur Eksekutif Lembaga Filantropi Indonesia Hamid Abidin (kiri) mendampingi Menteri Sosial Dra. Khofifah Indar Parawansa, membuka Indonesia Philantropy Festival 2016 dengan simbolisasi pemecahan celengan.

Lalu apa itu filantropi? Apakah sama dengan filateli atau fila fila yang lain? “Tentu tidak,” ujar Hamid. Memang banyak yang mengira kedua istilah itu sama. Walaupun berasal dari moyang yang sama, Yunani, arti kedua kata tersebut sangat jauh berbeda. “Kalau boleh saya sederhanakan, filantropi itu adalah ekspresi cinta kasih kita kepada sesama. Ekspresi ini bisa diwujudkan dengan cara membantu mereka mengatasi permasalahan yang mereka hadapi,” jelas Hamid.

Dan kini, aksi filantropi semakin merebak di masyarakat. Layaknya virus, satu kebaikan pun dengan mudah bisa menular. Aksi ini pun dipercaya berperan penting dalam membangun kerukunan dan toleransi berbagai kelompok, di tengah keberagaman yang ada di Indonesia. Terbukti dari menjamurnya organisasi-organisasi masyarakat atau yayasan dengan berbagai latar belakang yang menggeluti aksi filantropi.

Contoh paling mudah yang bisa ditemukan dalam masyarakat kini adalah sedekah patungan yang kerap terpampang di wall aplikasi facebook masing-masing. Atau komunitas anak-anak muda yang gemar menggalang dana dari hobinya.

Namun Hamid menggarisbawahi bahwa filantropi bukan hanya masalah charity saja, tapi mempunyai cakupan yang sangat luas. “Ya amal itu ada berbagai macam, bisa ke dunia pendidikan, ekonomi, bahkan sampai advokasi juga ada. Intinya pemberian dengan berbagi sumber daya,” jelasnya. Hamid pun menambahkan bahwa filantropi kemudian mengarah ke yang sifatnya strategis dan jangka panjang.

Apabila mendengar penjelasan Hamid, melakukan aksi filantropi rasanya mudah sekali untuk dilakukan semua orang. Baik perorangan maupun komunitas. Semua berhak mengekspresikan cinta kasihnya kepada sesama, tanpa memandang perbedaan.

Ia pun menjelaskan banyak sekali hal yang bisa dijadikan contoh apabila membicarakan masalah filantropi. Terlebih ketika membicarakan latar belakangnya yang mendasari aksi filantropi. “Ada filantropi berbasis iman, berbasis yayasan, kekeluargaan, korporasi, dan lain sebagainya,” ucap Hamid. Mereka tentu membantu orang dengan cara dan ke-khasan mereka masing-masing.


Aksi Cepat Tanggap (ACT) Sumatera Utara membagikan paket susu untuk anak-anak dan lansia di Sinabung dengan menggunakan mobil Food Van. Selain mobil tersebut, ACT juga modifikasi truk besar menjadi dapur berjalan guna memberikan layanan makan gratis untuk mereka yang membutuhkan bernama Humanity Food Truck.

Bergerak Bersama

“Kalau kita bekerja untuk kemanusiaan dan berkaitan dengan cinta kasih, orang tidak akan pernah tanya Anda agama apa? Suku apa? Tidak pernah,” imbuh Hamid. Maka dari itulah aksi filantropi kian menjamur.

Ambillah satu contoh dari organisasi kemanusiaan berbasis agama bernama Aksi Cepat Tanggap (ACT). Walaupun dengan latar belakang keagamaan, aksi filantropi di ACT terus berupaya membantu sesama tanpa mengenal sekat keagamaan di dalam maupun luar negeri. “Kami sudah memberikan bantuan ke Filipina, Nepal, Tiongkok, Iran,” ucap N. Imam Akbari, Senior Vice President ACT.

Imam melanjutkan bahwa aksi kemanusiaan itu urusannya memang sudah dari manusia ke manusia, tanpa pandang latar belakang yang lain. Jadi semua sah-sah saja. “Kita bekerja merealisasikan apa yang menjadi amanah dari masyarakat yang percaya bahwa kita itu benar-benar lintas segalanya,” tegasnya.

Tak berbeda dengan ACT, Yayasan Buddha Tzu Chi pun sama. Apabila ACT berlatarbelakang spirit keislaman, Tzu Chi membawa semangat Buddhisme. Keduanya sama-sama bekerja untuk kemanusiaan. Keduanya sama-sama menggalang hati dari kerelawanan dan keduanya sama-sama mengajak manusia untuk mengasihi sesamanya.

“Yang sebenarnya kerap menimbulkan konflik kan karena kesenjangan sosial,” kata Hong Tjhin, relawan Tzu Chi yang aktif dalam lembaga filantropi Indonesia. “Jadi bagaimana kita bisa mengurangi kesenjangan ini sehingga bisa menjadi makmur bersama,” ucap Hong Tjhin.

Hong Tjhin, relawan Tzu Chi yang aktif dalam lembaga filantropi Indonesia memaparkan indahnya cinta kasih universal yang tercipta dalam komunitas relawan dan penerima bantuan di Tzu Chi dalam Filantropy Learning Forum 8.


Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia berpartisipasi dalam Indonesia Philantropy Festival (IPFest) 2016 di JCC yang digelar oleh Perhimpunan Filantropi Indonesia. Selain Tzu Chi, ada berbagai NGO maupun LSM lain yang turut serta dalam kegiatan tersebut.

Lalu dengan apa bisa menggurangi kesenjangan sosial? Tentu mereka mempunyai berbagai aksi filantropi.

Sejak berdiri pada 2005 lalu, ACT telah menggaungkan Let’s ACT Indonesia, sebuah ajakan bagi semua orang di mana pun berada untuk membuktikan kepedulian sebagai manusia. Mereka bersama berkolaborasi dalam berbagai bentuk kepedulian sebagai solusi isu-isu kemanusiaan, baik di Indonesia maupun penjuru dunia dengan berbagai inovasi.

Inovasi tersebut hadir berupa kegiatan yang menyenangkan dan baru. Ada Kapal Kemanusiaan, Humanity Food Truck, Global Qurban, Ritel Sodaqo, dan lainnya. Imam berkeras bahwa apabila ingin terus berkembang, mereka tidak boleh berhenti berinovasi demi kepentingan orang banyak.

Seperti pada Humanity Food Truck yang diadakan selama bulan Ramadan. ACT modifikasi truk besar menjadi dapur berjalan guna memberikan layanan makan gratis untuk mereka yang membutuhkan. Food Truck bahkan tidak hanya hadir di kota besar, melainkan menyasar mereka yang berpenghasilan rendah, masyarakat miskin, penunggu pasien di rumah sakit, atau mereka yang ada di wilayah rawan pangan.

Filantropi jangka panjang lain yang mereka lakukan adalah Global Qurban. Selain untuk beribadah, mereka juga memberikan kontribusi untuk perekonomian dan kesejahteraan warga serta para petani ternak di berbagai wilayah di Indonesia.

Sementara itu Tzu Chi Indonesia melalui misi-misinya juga terus berperan aktif dalam mengekspresikan cinta kasih. Bahkan masih lekat di ingatan ketika relawan Tzu Chi membangun Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng pada 2013 lalu. Melalui perumahan tersebut, warga yang dinormalisasi dari pinggiran Kali Angke diajak untuk berubah bersama. Baik itu kondisi perekonomian, pendidikan, atau sosial kemasyarakatannya.

“Jadi seperti memancing, kita memberikan kailnya bukan ikannya,” Kata Hong Tjhin.


Relawan Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia memberikan layanan palliative bagi anak-anak penderita kanker. Program tersebut digunakan sebagai media untuk meningkatkan kualitas hidup anak penderita kanker dan keluarganya.


Berbicara mengenai inovasi, filantropi juga bisa menjadi sesuatu yang fun. Seperti satu kegiatan bertajuk Shave for Hope, ajang masyarakat membantu para penderita kanker dengan cara memotong rambut mereka.

Aksi Filantropi yang diadakan oleh Yayasan Pita Kuning Anak Indonesia (YPKAI) bersama dengan Evio Production itu berhasil menyedot ribuan angels (sebutan bagi sukarelawan YPKAI –red) untuk mendonasikan rambut mereka.

Ning Mahayu, Head of Program Service YPKAI merasa bahwa masyarakat memang butuh satu kegiatan filantropi yang fresh. Terlebih melihat minat masyarakat sekarang sudah mulai mengalami perubahan. Buktinya Shave for Hope dirasa sukses memperkenalkan aksi filantropi dengan fun.

Di kali pertama diadakan, aksi potong rambut massal itu diikuti sekitar 1.064 orang. Pada kali kedua, ada sekitar 3.500 orang yang ikut serta, mereka berasal dari Yogyakarta, Surabaya, Bandung dan Jakarta.

Efeknya pun dinilai tersebar sangat luas. “Harapannya sebenarnya ingin membangkitkan empati masyarakat, memberikan mereka edukasi mengenai kanker, serta memberikan motivasi kepada Anak Pita Kuning (sebutan bagi anak penderita kanker –red),” tutur Ning Mahayu.

Setelah dinilai fun oleh khalayak ramai, kegiatan ini masih terus dinantikan oleh mereka. Hingga saat ini, YPKAI masih sering menerima pertanyaan tentang aksi filantropi tersebut. “Bagi mereka yang bisa mendonasikan rambut, ini memang kegiatan yang mengasyikkan dan nyatanya masih ditunggu lagi kehadirannya,” kata Ning di Kantor YPKAI.

Ning melanjutkan bahwa bagi Anak Pita Kuning, kegiatan itu cukup membuat mereka bahagia. “Karena banyak orang yang rela gundul untuk donasi ke mereka,” ucapnya tergelak. Efek lain dari kegiatan tersebut pun berkesinambungan.

YPKAI bahkan membuat layanan palliative yang merupakan program baru mereka. Program tersebut digunakan sebagai media untuk meningkatkan kualitas hidup anak penderita kanker dan keluarganya. Mereka membuat konsen berupa peningkatan psikososial berkaitan dengan psikologi, emosional, spiritual, dan sosial anak dan keluarganya. “Karena kalau sudah kanker itu bukan hanya anak saja yang sakit, orang tua pun bisa ikut sakit. Jadi harus didampingi semuanya,” tegas Ning. “Jadi kita ada dua tim, pekerja sosial dan relawan yang memang harus bisa mendampingi keluarga,” imbuhnya.

Orang Baik Ada di Mana-mana, Kamu Salah Satunya

Dari berbagai aksi filantropi dan inovasinya, tentu memberikan banyak hal positif bagi penerima. Namun jangan salah, si pemberi pun tidak akan kalah bahagia. Imam bercerita bahwa dari berbagai aksi filantropi dan bantuan kemanusiaan yang dilakukan di ACT, mereka sempat mengalami insiden yang lucu.

“Waktu itu di Sumatera,” kata Imam, “kami sedang turun ke lapangan untuk membantu bencana dan seragam teman-teman relawan itu ada yang hilang. Ternyata diambil oleh warga yang ingin ikut membantu,” ucapnya tergelak. “Jadi memang membantu orang itu menimbulkan kebahagiaan, jadi dia pengen ikut bahagia,” imbuhnya.

Imam pun menuturkan bahwa ada banyak sekali orang baik yang ada di luar sana. Bahkan mereka yang tidak mempunyai hal-hal yang bisa dibanggakan, mereka bisa membanggakan kebaikan hatinya. “Seperti yang dilakukan satu orang yang ceritanya masih saya ingat,” katanya.

Imam lalu berkisah tentang satu bencana nasional yang membuat satu orang donatur menghubungi ACT dan meminta tolong menjemput barang donasinya ke rumahnya. Di sana mereka melihat rumah yang sangat sederhana dan sempat tidak percaya apa mereka mendatangi alamat yang sesuai dengan donatur. “Di dalam rumah sama sekali nggak ada barang elektronik, rumahnya juga sangat-sangat sederhana,” jelasnya. “Tapi dia memang ingin berdonasi,” lanjut Imam.

Imam mengungkapkan bahwa relawan ACT telah merasakan betapa mulianya orang itu, dia mengeluarkan harta terbaiknya saat itu. “Satu kardus susu kental manis, sachet, dan itu relawan lihat sepertinya beneran harta yang terbaik yang dia punya. Sejak saat itu saya berpikir bahwa kita memang tidak boleh meremehkan satu sama lain,” tegasnya.

Relawan Tzu Chi mengecat rumah salah satu warga Jagabita, Bogor. Sebelumnya, Tzu Chi juga telah membantu warga melalui baksos kesehatan sekaligus membedah rumah warga yang kurang layak. Hal tersebut merupakan upaya untuk mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan mereka.


Relawan Tzu Chi memberikan perhatian kepada pasien pascaoperasi katarak. Bagi relawan, aksi membantu sesama memberikan kebahagiaan tersendiri sehingga kebahagiaan tidak hanya dirasakan oleh penerima bantuan melainkan juga pemberi bantuan.

Hong Tjhin juga pernah merasakan hal yang sama. Selama menjadi relawan Tzu Chi ia kerap kali melihat peristiwa yang membuatnya bahagia sekaligus haru. Bahkan ia merasa tidak banyak memberikan bantuan, tapi sebaliknya: ia merasa terbantu.

“Saya pernah ikut memberikan bantuan jangka panjang ke daerah terpencil di Tangerang. Di sana ada sepasang kakek nenek yang sangat miskin sampai sakit kepala saja cukup ditahan karena tidak bisa beli obat di warung,” kisah Hong Tjhin. “Tapi di luar itu saya melihat mereka sangat rukun, senyum mereka tulus dan iniberbeda dengan banyak orang yang berkecukupan di kota besar,” lanjutnya.

Hong Tjhin kemudian belajar satu hal bahwa menjadi mudah puas adalah kunci untuk terus bisa berbagi dan berbuat kebaikan untuk orang lain.

“Bersyukur,” timpal Ning Mahayu. “Bersyukur karena bisa bermanfaat untuk orang lain. Bahagianya tuh kalau lihat mereka (Anak Pita Kuning dan keluarganya) jadi semangat kalau ada kami padahal kami juga belum melakukan apa-apa, baru hadir,” tambahnya.

Dengan tingkat kepercayaan masyarakat yang semakin tinggi kepada lembaga-lembaga filantropi, Hamid mengaku gembira dengan fenomena ini. Ia berharap dengan perkembangan zaman maupun teknologi yang semakin canggih, filantropi bisa semakin berkembang dengan konten-konten kreatif. “Karena sekarang kecenderungannya bukan face to face lagi, tapi face to screen,” gelaknya.

Hamid menambahkan bahwa untuk membuat filantropi menjadi sesuatu yang massif bukanlah persoalan yang susah namun juga tidak mudah.

“Menurut saya orang Indonesia itu punya kepribadian yang khas yang sudah mendarah daging. Dari Aceh sampai Papua punya. Masyarakat kita terkenal ramah, kita juga terkenal berbudaya. Kita punya namanya gotong royong, tenggang rasa, jimpitan, dan lainnya. Semua itu bisa menjadi nilai yang merekatkan persatuan Indonesia,” pungkasnya.

Penulis: Metta Wulandari, Fotografer: Arimami SA. Hadi Pranoto

Kerisauan dalam kehidupan manusia disebabkan dan bersumber pada tiga racun dunia, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -