Kegigihan Solihah Melawan Rasa Sakitnya
Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat 1 menjenguk Solihah, penerima bantuan Tzu Chi yang kini sudah kembali mandiri. Relawan salut dengan perjuangan Solihah melawan rasa sakitnya.
Banyak yang mengatakan bahwa menjadi anak pertama dan perempuan itu adalah suatu hal yang berat. Harus mandiri dan menjadi contoh bagi adik-adiknya sekaligus menjadi harapan terbesar bagi keluarganya. Solihah, perempuan, dan dia adalah anak pertama. Tidak ada satupun yang meleset dari ciri-ciri anak pertama dalam diri Solihah. Ia sangat mandiri, panutan, dan sedang dalam perjalanan mewujudkan harapan dari keluarganya. Sayangnya dalam perjalanan itu, Ehha, panggilan akrab Solihah, terhalang, belum bisa melanjutkannya lagi.
*****
Carolina, bangun pagi sekali, 22 Maret 2022. Masih sekitar pukul 4 subuh. Ia menyiapkan segala hal dan tak lupa membangunkan suaminya, Rudi Dharmawan. Hari itu, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat 1 ini mengagendakan mengunjungi Ehha di kampungnya, Malingping, Lebak. Jauh sekali dari rumahnya di wilayah Jakarta Barat.
Sesuai koordinasi, rombongan relawan yang berjumlah enam orang bertemu di rest area KM 43 Tol Jakarta Merak sekitar jam 6.30 pagi. Baru dari sana semuanya akan konvoi menuju Malingping. Sebuah perjalanan kunjungan kasih yang jaraknya jauh, 160 km – yang pertama kali kembali terlaksana setelah pandemi melanda.
Di dalam dua mobil relawan, mereka telah menyiapkan berbagai bingkisan untuk Ehha. Ada dua buah alat bantu jalan, kursi roda, laptop, dan sembako. “Kami berharap bisa lebih mendukung bisnis Ehha agar semakin berkembang,” singkat Rudi. Bantuan lainnya yang biasa diberikan kepada Ehha berupa popok dewasa dan obat-obatan yang tidak ditanggung BPJS, sudah lebih dulu dibawa pulang oleh M. Sholeh (ayahnya) dua pekan sebelumnya.
Perjalanan ini adalah kunjungan kasih yang dinanti-nanti, baik oleh relawan maupun keluarga Ehha. Tak sabar rasanya para relawan melihat sendiri setiap kabar baik yang selalu disampaikan oleh Pak Sholeh. Katanya, “Ehha sekarang sudah bisa duduk loh, Buk. sudah bisa miring kanan kiri sendiri. Sudah gemuk, beda loh dari dulu yang nggak doyan makan sampai kurus kering. Dan sudah buka jualan online juga.”
Betapa bahagianya relawan mendapat cerita-cerita itu. Sejauh ini, relawan lebih sering menanyakan kabar Ehha melalui Sholeh yang selalu mengambil bantuan Ehha. Memang berbeda dengan Ehha, ayahnya saat ini masih berdomisili di Jakarta dan bekerja sebagai Satpam di Rusun Jatinegara sehingga masih bisa dekat dengan relawan. Sementara Ehha, sejak pandemi merebak, memutuskan untuk pulang kampung dan melakukan perawatan di sana.
Begitu penasarannya relawan tentang sosok Ehha yang sudah berubah ini, yang katanya sudah kembali berdikari. Makanya, jarak pun tak jadi soal. “Ayok, Selasa ya kita ke sana,” itulah ajakan Carolina.
Tulang Punggung Keluarga
Benar saja, Ehha memang sosok berbeda. Semangatnya seperti tak ada batasnya. Sang ayah pun tidak melebih-lebihkan.
Sejak lulus SMA, Ehha langsung sadar bahwa ia adalah tumpuan keluarga, jadi ia memutuskan untuk bekerja di showroom mobil tak jauh dari rumahnya. Di saat bersamaan, sulung dari tiga bersaudara ini juga berkuliah di STKIP PGRI Sukabumi (Pokjar Malingping). Tapi baru semester 3, ia memutuskan untuk berhenti. Perkaranya karena pendapatannya saat itu tidak mencukupi biaya lain-lain.
“Jadi saya merantau ke Jakarta cari kerja. Setelah setengah tahun kerja, saya ambil kuliah lagi di Universitas Satyagama jurusan Manajemen Pemasaran. Jadi kuliah disambi kerja dan
alhamdulillahnya lagi setelah semester 3, saya dapat beasiswa,” kenang Ehha.
Solihah adalah sosok wanita yang aktif, pekerja keras, dan mandiri. Sambil bekerja, Solihah juga mampu menyelesaikan kuliahnya dengan biaya sendiri.
Pada masa-masa itu, Ehha bersikeras untuk mencukupi semua kebutuhan keluarganya. Dia memutar otak agak pendapatannya tidak kurang dan mencari pekerjaan sampingan yang bisa menghasilkan. Senin sampai Jumat, Ehha bekerja seperti biasa sampai jam 5 sore dan dilanjutkan dengan kuliah sampai pukul 21.30 malam. Pada Sabtu dan Minggu, dia mengambil barang dari kantornya yang memproduksi pakaian dalam untuk dijual di luaran.
Pernah juga Ehha berjualan baju yang mengharuskannya berbelanja di Tanah Abang pagi buta. Setiap Senin dan Kamis, ada yang namanya Pasar Tasik yang dibuka mulai pukul 5 pagi hingga 12 siang di sana. Ehha sudah mulai kulakan pukul 5 subuh, sementara itu pukul 8 pagi ia sudah harus masuk kantor. Harga yang lebih murah membuat Ehha tidak ingin melewatkan kehadiran pasar ini.
“Karena waktu itu saya harus bayar kontrakan, bayar kuliah, biaya harian juga, kirim ke mama di kampung. Sementara gaji UMR Jakarta di tahun 2012 itu baru 1.5 juta. Makanya semangatlah cari tambahan sana sini,” jelas Ehha.
Rutinitas luar biasa ini membuat orangorang yang dekat dengan Ehha kagum dengan semangatnya. Apalagi usai kelulusannya, Ehha memutuskan untuk menguliahkan adik keduanya, Hudhiyah. Bukan main rasa bahagia yang ia rasakan, begitu juga keluarganya.
Kehilangan Fungsi Tulang Punggung yang Sesungguhnya
Ehha ingat betul bagaimana badannya terasa tidak enak. Ibunya bilang mungkin ia masuk angin, tapi masuk angin yang dirasakan Ehha terasa berlebihan. Sakitnya dari punggung menusuk ke dada. Napasnya juga mulai berat, padahal ia aktif dan hobi hiking. Walaupun begitu, Ehha tak ingin berprasangka buruk.
“Tapi kok lama-lama kayak ada benjolan di punggung. Saya mulai nggak nyaman apalagi asam lambung mulai kumat tuh dan tulang belikat juga sering sekali ada nyeri yang nyelekit gitu,” papar Ehha, “tapi pas ke dokter, ya diagnosisnya nggak ada apa-apa.”
Di bulan Ramadan tahun 2018, Ehha tak kuat lagi menahan sakitnya, ia memutuskan pulang kampung dan sementara tidak bekerja. Mau bagaimana? Kondisinya tidak memungkinkan. Tapi ternyata sang atasan membutuhkannya karena di kantor, Ehha termasuk karyawan yang diandalkan. “Begitu masuk, langsung itu kerjaan banyak banget dan kondisi saya lagi nggak bagus. Akhirnya bener, drop,” ingat Ehha, “Saat itu juga atasan anjurkan untuk cek lab. Hasilnya, ada tuberkulosis tulang (TB tulang).”
Alih-alih berkeluh kesah dan menghabiskan harinya dengan berdiam diri, Solihah menggali dan mengasah kemampuannya untuk bisa membantu mendapatkan penghasilan tambahan bagi keluarga.
Tak lama diagnosis itu keluar, tak lama pula kondisi sekitarnya berubah. Ehha dijauhi temanteman di kantornya. Takut tertular mungkin. Ia depresi, sedih, dan terpuruk sampai tidak bisa makan saking stresnya memikirkan apa yang sedang terjadi. “Kenapa jadi begini?” tanya Ehha pada diri sendiri.
Memikul beban itu, Ehha akhirnya memilih untuk pulang kampung, melepaskan pekerjaannya, juga melepaskan mimpinya menyematkan gelar S1 pada Hudhiyah. Itu adalah masa-masa tersulit bagi Ehha.
Keadaan itu pula sempat membuat Ehha absen meminum obat TB dari dokter, padahal untuk benar-benar sembuh dari tuberkulosis, penderita harus mengonsumsi obat secara rutin dan konsisten dalam waktu yang lama. Tiga hari setelah absen meminum obat, kaki Ehha mulai kaku. Untuk berjalan saja ia merasa seperti robot dan harus berpegangan pada dinding.
“Sebenernya orang tua waktu itu mau pakai pengobatan alternatif, pakai ramuan. Tapi akhirnya ya nggak bisa jalan,” kata Ehha pasrah.
Lebih Lama Menatap Langit-Langit
Banyak sekali hal yang tidak menguntungkan Ehha ketika ia terdiagnosis TB dulu. Sempat ia tidak bisa buang air kecil sampai harus memanggil bidan untuk membantu dengan selang. Ia juga mengalami dekubitus di bagian bokong (luka akibat dari tekanan yang lama pada kulit karena berbaring terus-menerus), di tahun 2020. Untuk perawatannya, ia kembali dibawa ke Jakarta dan diterima di RSUD Cengkareng.
“Dekubitus saya dirawat di RSUD Cengkareng 11 hari. Setelah itu saya dirawat jalan dan harus kontrol ke 4 dokter spesialis: spesialis paru, penyakit dalam, syaraf, dan untuk spesialis ortopedi harus ke di RSUD Fatmawati. Itu setiap hari Senin sampai Kamis. Alhamdulillahnya ada AGD (ambulan gawat darurat) yang gratis,” papar Ehha.
Dalam masa pengobatan rawat jalan itu, Ehha pernah pula kebanjiran tapi tidak bisa melakukan apa-apa selain hanya berbaring dan berpegangan pada ibunya sementara air banjir sudah menggenang di telinga. Ia pun harus ditandu untuk proses evakuasi. “Mandang langit sambil ditandu tuh rasanya kayak lagi cosplay jadi mayat gitu,” ceritanya tertawa terbahak.
Di masa sulit itulah Ehha mengenal Tzu Chi dari seorang teman yang keluarganya adalah relawan. Temannya itu menawarkan, bagaimana kalau mengajukan permohonan bantuan di Tzu Chi. Dari sanalah, jalinan jodoh terpaut. Tapi karena pandemi, hubungan baik Eha dan relawan lebih banyak terjalin lewat sambungan video.
Yuk Borong Jualan Ehha
Tiga belas bulan lamanya berjuang, Ehha bebas dari TB tulang. Kondisinya membaik, napasnya lebih lega, dan kakinya sudah bisa merasakan banyak hal: entah gatal atau kesemutan dan rasa lainnya. Ia juga sudah bisa duduk tegak, dan memiringkan badan ke kanankiri. Sebuah perkembangan yang luar biasa.
Relawan membantu memeriksa laptop yang hari itu diberikan kepada Solihah. Laptop dan kursi roda yang diberikan diharapkan dapat membantu bisnis Solihah semakin maju (kiri). Solihah memperlihatkan berbagai karya buatannya yang bisa dipesan melalui E-commerce (kanan).
Dengan kondisi kesehatan itu, pribadi Ehha yang selalu aktif dan semangat, kembali lagi. Sejak bulan April 2021, ia membuat berbagai karya yang awalnya hanya untuk koleksi sendiri, kini malah berkembang menjadi usaha mandirinya. Ada buket bunga, buket snack, pot, tempat pensil, juga parsel seserahan dan hantaran lainnya. Ia juga mengajak ibunya untuk membuat camilan yang seluruhnya dipasarkan secara online. Apabila ingin mencari akun jualan Ehha di E-commerce, cukup cari akun Camilan Kampung, pembeli pun dapat langsung memesan berbagai barang di etalasenya.
Saat ini setiap bulannya kira-kira ada dua hingga tiga pesanan parsel hantaran dan 15 buket snack atau bunga. Dengan harga yang bervariasi dari 15 hingga 70 ribu, Ehha menuturkan lumayan mendapatkan pemasukan. “Setidaknya untuk kebutuhan saya, saya nggak pengen ngerepotin bapak dan ibu lagi,” katanya. “Syukur-syukur nanti bisa berkembang dan kembali bisa bantu keluarga,” harapnya dengan mata berbinar.
Berbagi Cerita dan Sukacita
“Hari ini nglarisin jualan Ehha nih, dan pas share ke grup relawan tentang jualan-jualannya, banyak relawan yang ingin ikut membeli. Mereka juga salut dengan kegigihan Ehha yang membuat berbagai kerajinan tangan yang bernilai jual,” kata Rudi Dharmawan senang sambil menenteng plastik berisi opak bakar, rengginang, gula aren, dan kue akar kelapa buatan ibu Ehha.
Begitu kagumnya relawan melihat Ehha bisa sangat kuat, gigih, dan kembali belajar mandiri. Rudi menilai, dalam kondisi sehat dan normal sekalipun tidak banyak orang bisa menjalani seperti Ehha. “Karena kami ketemu dia itu rasanya senang, dia auranya juga positif. Tahap-tahap perkembangannya pun sangat pesat. Relawan selalu berharap semua penerima bantuan bisa maju, suasana optimisnya terbangkitkan,” tutur Rudi.
“Saya juga kalau bukan karena support dari orang-orang terdekat, mungkin nggak bisa sampai segininya. Alhamdulillahnya saya dikelilingi sama orang-orang yang support, yang nggak pernah nge-judge saya seperti apa,” timpal Ehha berterima kasih kepada seluruh keluarga, teman, hingga relawan Tzu Chi yang membawa peran masing-masing dalam hidupnya.
Ehha mengaku, rasa putus asa dan depresi memang ada, tapi ia berpikir, apapun keadaannya, sakit atau sehat, waktu dan hidup itu pasti terus berjalan dan tidak akan berhenti hanya untuk menunggunya bangkit kembali. Makanya Ehha tahu betul bahwa semua pilihan hidup ada padanya. “Kita yang milih sendiri mau senang atau sedih ngejalaninnya. Yang pasti kan sudah ikhtiar menjalani pengobatan, tapi masa iya kita mau selalu sedih dan terpuruk. Kan tidak.”
Kebesaran hati Ehha itu yang terus membuat relawan turut bersukacita. Sehingga ketika mereka berkesempatan bertemu, relawan membawa semua hal yang bisa membuat Ehha lebih produktif. “Hari ini kami membawakan kursi roda dan laptop meskipun tidak baru, kami berharap bisa lebih mendukung bisnis Ehha agar semakin berkembang,” ujar Rudi, “tujuan kami ingin membuat Ehha semakin mandiri. Jadi dengan kursi roda semoga memudahkan Ehha bergerak di dalam rumah. Lalu laptop untuk memperluas scope kerja dia, serta mempermudah dia dalam mengatur pekerjaan.”
Ehha menyambutnya dengan senang. Dia mengatakan kursi rodanya bermanfaat untuk jalan keluar karena kursi roda yang lama sudah berkarat. Sedangkan laptopnya bisa ia pakai untuk memajukan usaha yang biasa ia lakukan melalui handphone. Relawan pun mendengarkan dengan seksama penuturan Ehha ketika menerima barang-barang bantuannya.
“Dari kisah Solihah ini saya ingin berbagi kepada pasien penerima bantuan Tzu Chi lain tentang bagaimana dia bisa mengatasi masalah yang menimpanya,” harap Rudi, “dia begitu gigih, tidak gampang menyerah, dan mampu memotivasi dirinya sendiri untuk bangkit dan sedapat mungkin tidak mau kalah dengan orang lain. Kami berharap pada masa yang akan datang dia bisa kembali berdiri dan berjalan walaupun pelan-pelan.”
Teks: Metta Wulandari
Foto: Arimami Suryo A.