Keindahan dalam Ketidaksempurnaan
Memiliki keterbatasan fisik tidak menyurutkan tekad Divino untuk terus belajar. Bagi Divino, satu-satunya jalan agar ia bisa bekerja dan hidup mandiri adalah dengan bersekolah dan memiliki keterampilan.
“Dilahirkan dengan fisik yang kurang sempurna, Divino nyatanya memiliki kesempurnaan lainnya. Semangat, ketekunan, dan kepercayaan dirinya menjadi modal utama baginya dalam menjalani hidup. Duduk di kursi roda tidak menyurutkan mimpinya di masa depan. Pelan tapi pasti, ia terus membentangkan jalan menuju masa depan agar dapat bekerja dan hidup tanpa harus bergantung kepada orang lain.”
*****
Suara sorak-sorai begitu gemuruh di Lapangan Basket SMK Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat. Beberapa siswa saling berebut bola, sementara siswa lainnya dengan sigap bersiaga menjaga lawannya. Meski pertandingan biasa di jam olahraga, nyatanya aura pertandingan tampak terasa di lapangan. Di sudut kiri lapangan, agak jauh dari hiruk pikuk pertandingan, dua orang siswa tampak asyik dengan aktivitasnya sendiri. Satu duduk di kursi roda, dan satu lagi berjongkok di depannya. Keduanya asyik melempar dan menangkap bola tenis.
Ya, siswa yang duduk di kursi roda itu adalah Divino Lee Aryan, 15 tahun, dan temannya Muhammad Nabil. Ketika yang lain berolahraga, Divino yang berketerbatasan fisik ini juga tetap menjalankan aktivitasnya. “Biar sehat juga, nggak kaku,” kata Divino. Nabil siang itu yang memang kebetulan “bertugas” mendampingi Divino.
Memiliki keterbatasan fisik tidak menyurutkan tekad anak dari pasangan Heriyanto dan Eli ini untuk terus belajar. Divino, siswa Kelas 1 SMK Cinta Kasih Tzu Chi ini membuktikan bahwa duduk di kursi roda bukanlah penghalang bagi dirinya untuk menatap masa depan. “Kalo saya nggak sekolah, saya mau jadi apa? Kan orang tua saya juga nggak selamanya ada di samping saya, jadi saya (harus) berusaha mandiri. Setidaknya kalo sampai lulus SMK, saya bisa kerja, bisa dapat uang, dan bisa urus diri sendiri,” ungkap Divino.
Bisa bekerja dan hidup tanpa harus bergantung pada orang lain, tekad itulah yang membuat Divino tidak pernah merasa harus “dispesialkan” di sekolah. “Divino anak yang mandiri. Dia kalo benar-benar kesusahan baru minta tolong, kalo nggak dia pasti lakukan sendiri,” ungkap Nabil. Dari sisi akademik juga sama, jika mendapatkan tugas, Divino dengan sepenuh hati akan mengerjakannya. “Dia anak yang rajin, kalo misalnya belum bisa, dia pasti akan tetap berusaha, nggak pasrah begitu saja. Intinya dia selalu berusaha untuk lebih baik,” kata Bryant, sahabatnya sejak di SMP.
Dukungan Sang Mama
Anak yang hebat dan kuat biasanya tumbuh di keluarga yang kuat. Dengan orang tua yang menerima kekurangan dan mendukung semua aktivitasnya membuat Divino menjadi pribadi yang tangguh dan percaya diri. “Saya selalu tanamkan kepada Divino, jangan takut, jangan hanya memandang dari kekurangan, setiap orang pasti punya kelebihan,” tegas Eli. Prinsip ini yang ia tanamkan kepada Divino sejak kecil. Hal ini pula yang mendorongnya kemudian selalu menyekolahkan Divino di sekolah umum, bukan sekolah luar biasa. “Saya nggak mau Divino merasa down, saya mau Divino percaya diri, merasa bahwa dia tuh sama dengan anak-anak lainnya. Kalau dia mau berusaha pasti akan bisa,” kata Eli.
Bersekolah di SMK Cinta Kasih Tzu Chi, Divino merasa tenang dan nyaman karena berada di lingkungan yang peduli dan menyayanginya.
Dan itu tentu tidak mudah, karena tidak semua sekolah umum “bersedia” menerima anak-anak berketerbatasan fisik. Alasanya tentu karena pihak sekolah tidak mau direpotkan dengan hal-hal di luar pembelajaran. “Dengan kondisi Divino seperti itu kan pasti gurunya lebih ekstra jaganya, kadang ada yang nggak mau,” terang Eli menceritakan pengalamannya ketika memasukkan Divino ke TK. “Jadi saya ikut pantau juga, karena kondisi Divino yang memakai kursi roda itu tentu masih susah ketika di TK dan sekolah dasar untuk beraktivitas,” ungkapnya. Setelah lulus SD, Divino melanjutkan pendidikannya di SMP Cinta Kasih, dan berlanjut hingga saat ini di SMK Cinta Kasih Tzu Chi. Sesuai usianya, Divino pun menjadi lebih mandiri dan beraktivitas dengan kursi roda.
Divino beruntung bersekolah di SMP dan SMK Cinta Kasih, dimana ia dikelilingi para guru dan teman-teman yang peduli dan menyayanginya. Contohnya ketika di SMP, ketika kelas Divino ada di lantai 2, temantemannya dengan sigap membopongnya menaiki tangga sekolah untuk masuk dan keluar kelas. Salah satunya adalah Bryant, rekannya sejak SMP. “Ya tergerak aja untuk membantu, (kita) harus saling tolog menolong,” kata Bryant. Menurut Bryant, pada dasarnya Divino adalah anak yang mandiri. “Kalo nggak perlu bantuan orang, dia selalu lakukan sendiri,” ungkap Bryant. Begitu juga dalam pandangan Nabil, Divino adalah sosok yang inspiratif baginya. “Walaupun kita punya kekurangan, tetapi kita tetap harus berusaha meraih impian kita,” tegasnya.
Menyekolahkan Divino di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi menjadi pilihan terbaik bagi Eli. Meski cukup jauh dari rumahnya, sekitar 40 menit dengan mengendarai sepeda motor. “Divino sekolah di sini saya merasa sangat tenang. Mulai dari guru-guru, teman-teman, sampai security semua memperhatikan Divino,” puji Eli. Setiap pagi Eli mengantar Divino (pukul 05.30 WIB dari rumah), hingga ke gerbang sekolah dimana disitu security sudah menunggu dan membantu Divino dengan kursi rodanya. Untuk mobilitas, Eli memang menyiapkan satu kursi roda di sekolah, dan satu lagi di rumah. “Jadi kalo berangkat sekolah nggak repot,” terang Eli.
Terus Berusaha untuk Mandiri
Bagi Eli sendiri, sebelumnya tidak ada tanda-tanda jika putra pertamanya ini akan seperti ini. Ketika lahir, Divino tampak normal dan sehat seperti anak-anak pada umumnya. Tanda-tanda kelainan mulai muncul ketika Divino berusia setahun. Ketika teman sebayanya sudah bisa berjalan, Divino justru belum bisa berdiri. Karena penasaran sekaligus khawatir dengan pertumbuhan putranya, Eli dan suami kemudian membawa Divino ke dokter. Dari hasil konsultasi beberapa dokter menyatakan jika ada beberapa tipe anak yang mengalami kelambatan dalam pertumbuhan, termasuk berjalan. Eli dan suami pun sedikit lega. Kekhawatiran mulai memuncak ketika di usia play group kondisi Divino tidak berubah. Eli pun berinisiatif membawa putra mereka berobat ke dokter spesialis anak, dan akhirnya ia harus menerima kenyataan jika Divino dinyatakan mengidap Spina Bifida (kondisi yang terjadi ketika tulang belakang dan sumsum tulang belakang tidak terbentuk dengan baik). “Waktu bayi itu normal, tidak ada kelihatan kelainan (tulang),” terang Eli. Dan puncaknya adalah ketika Divino juga terkena skoliosis (kelainan tulang belakang) di kelas 4 sekolah dasar.
Di rumah, Divino juga terus belajar dan mengasah keterampilannya di bidang komputer. Dukungan orang tua membuatnya tumbuh menjadi anak yang optimis dan percaya diri.
Pengobatan terbaik pun diupayakan. Eli membawa Divino berobat ke RSCM Jakarta. Namun ketika itu masa pandemi yang membuat rumah sakit menerapkan aturan yang ketat. Pengobatan Divino pun menjadi tidak maksimal. Alhasil, Eli, suami, dan Divino pun mesti berdamai dengan keadaan. “Ya awalnya pasti berat (hati),” kata Eli. Namun Eli tak patah arang, jika fisik Divino memang lemah maka tugasnya menguatkan mentalnya. “Sebagai orang tua tentu kita ingin yang terbaik untuk anak. Harapan saya Divino bisa sekolah setinggi-tingginya,” terang Eli berharap, “agar bisa mandiri ke depannya.”
Di rumah, untuk aktivitas yang sifatnya pribadi Divino juga sudah dilatih sejak kecil. Untuk ke kamar mandi misalnya, Divino memang masih dibantu, namun untuk aktivitas lain seperti mandi dan lainnya, Divino bisa melakukannya sendiri. “Kalau tidak seperti itu, suatu hari nanti kalau saya nggak ‘ada’, gimana? Jadi memang harus dilatih agar bisa sendiri,” kata Eli.
Eli percaya, satu-satunya jalan untuk Divino agar bisa hidup mandiri ke depannya adalah melalui pendidikan. Dan inilah yang diyakininya hingga terus berjuang agar Divino bisa terus mendapatkan pendidikan yang layak. Dan bagi ibu-ibu lain yang memiliki anak spesial seperti Divino, Eli berpesan agar mereka dapat menerima kondisi anaknya, dan mendukung penuh keinginan anaknya.
Memiliki siswa spesial seperti Divino, Edi Supeno, Kepala SMK Cinta Kasih Tzu Chi juga merasa bangga. “Divino ini nggak pernah menjadikan kekurangan itu sebagai suatu penghalang, sangat luar biasa semangatnya,” kata Edi. Edi berharap selepas dari SMK Cinta Kasih Tzu Chi ini Divino memiliki ilmu pengetahuan dan keterampilan sebagai bekalnya di masa depan. Dengan keahlian yang dimiliki, seperti pembuatan website, desain, maupun dunia komputer lainnya bisa menjadi mata pencaharian Divino sehingga ia bisa mandiri. “Saya rasa ini cocok ya, karena pekerjaan pekerjaan zaman sekarang nggak harus kita datang secara fisik, mau secara online pun kalau memang kita memiliki kemampuan juga bisa dilakukan,” tegasnya bersemangat.
Teks: Hadi Pranoto
Fotografer: Hadi Pranoto, Dok. Pribadi