Kekuatan dalam Kesederhanaan
“Kesederhanaan, ketabahan, dan kekuatan membimbingnya untuk menjadi orang yang selalu berada di jalan yang benar. Bersama sang ayah, lika-liku dijalaninya dengan penuh keprihatinan, yang membuahkan kekuatan dan tekad yang luar biasa. Sang ayah ibarat sebuah lilin kecil, yang selalu menerangi jalannya. Dan cahaya semakin terang tatkala ribuan cahaya cinta kasih mengiringi, membimbing, dan mendukungnya meraih cita-cita.”
Banyak orang menganggap bahwa retaknya sebuah rumah tangga merupakan suatu pertanda ‘retaknya” harapan dan masa depan anak-anak di lingkungan keluarga tersebut. Tetapi ‘nasib’ tidaklah selalu sama. Seperti yang terjadi dalam kehidupan, masalah sama, solusi sama, tetapi hasilnya bisa berbeda. Kita percaya ada tangan besar (Kuasa Tuhan) yang menentukan. Demikian pula yang dialami oleh Noor Hadi, kandasnya bahtera rumah tangga orang tuanya tak membuat kandas mimpi dan cita-citanya. Dengan segala keterbatasan hidup yang dijalani bersama sang ayah, Hadi mampu menjadi seorang dokter, profesi yang diimpikannya sejak masih belia.
Retaknya Bahtera Keluarga
Jika anak-anak seusianya tengah dalam masa puncak merasakan kasih sayang orang tua, Hadi justru harus menahan kepedihan tatkala ayah dan ibunya memutuskan untuk berpisah. Saat itu Hadi masih duduk di bangku kelas 5 sekolah dasar. Dampak keputusan ini, kedua kakak Hadi (SMP dan SMA) memutuskan ikut sang mama, sedangkan ia sendiri memilih bersama sang ayah: Santoso Wijoyo. “Waktu itu secara mental nggak bisa dibohongi ya, berat, lihat orang tua bertengkar tiap hari,” kata Noor mengenang.
Noor sangat paham konsekuensi akan pilihannya. Ikut sang ayah dipastikan ia akan hidup dengan penuh keprihatinan, mengingat kondisi ekonomi ayah dan keluarganya yang pas-pasan. Sementara jika ia ikut sang mama kehidupannya pasti jauh lebih baik karena mamanya berasal dari keluarga mampu. “Ikut mama lebih terjamin. Di Solo keluarga mama masuk golongan Tionghoa kaya, dulu punya toko sepeda dan pabrik plastik,” ujar Hadi.
Pilihan Hadi ikut sang ayah lebih karena keprihatinannya akan siapa yang mengurus ayahnya jika ia tua nanti, mengingat kedua kakaknya sudah memutuskan mengikuti sang mama. “kalau ikut papa saya harus giat kerja, harus mandiri, bisa masak dan nyuci sendiri. Kalo kancing baju lepas bisa jahit sendiri. Asalkan giat belajar nanti pasti akan ada jalan’,” kata Hadi mengulang perkataan sang ayah.
Keputusannya ini tidak serta merta diikhlaskan oleh mamanya. Beberapa kali mamanya ke sekolah dan membujuknya untuk ikut bersamanya. “Saya menolak, saya nggak mau nanti kalau saya ikut justru membuat papa dan mama bertengkar lagi,” ujarnya beralasan. Beban mental semakin berat mengingat Solo, kota kelahirannya itu tak begitu besar, dan jumlah WNI keturunan Tionghoa tak terlampau banyak. Ini membuat warga keturunan Tionghoa cenderung tahu keturunan dan dari keluarga mana mereka berasal. “Otomatis saya sering diejek sama teman-teman,” keluhnya. Dampaknya, prestasi belajar Noor pun anjlok. Di masa-masa peralihan dari sekolah dasar ke sekolah menengah pertama itu menjadi titik terendah prestasi belajarnya . “Nilai terjelek yang pernah saya dapat,” urainya sembari tersenyum.
Tak ayal hal ini membuat ayahnya berang. “Kalau begini terus kamu nggak bisa jadi orang sukses, harus mulai dari diri sendiri, harus semangat lagi,” pesan sang ayah. Di tengah keterpurukan itu, Hadi beruntung memiliki wali kelas yang sangat perhatian. Prihatin melihat prestasi belajar Noor yang anjlok, sang wali kelas pun mencoba menggali masalah yang tengah dihadapi anak didiknya. “Beliau memahami dan mendukung saya,” tegas Noor yang kemudian berhasil masuk peringkat 10 besar di kelasnya.
Perkembangan drastis terjadi saat Hadi menginjak bangku SMA. Ia selalu masuk jajaran 3 besar di kelasnya. Hadi bahkan pernah menjadi juara lomba Fisika Tingkat Kotamadya Surakarta dan Medical Olimpiade yang diadakan oleh Fakulras Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. “Waktu SMP ibaratnya teman-teman saya tuh masih sama, itu-itu aja. Saya bilang sama papa, ‘SMA-nya nggak mau di sana, nanti ketemu anak-anak itu lagi. Saya milih ke SMA Negeri 3,” terang Hadi. Lingkungan baru dan teman-teman baru membuat prestasi Noor melambung. “Di sini kita belajar yang lain, ada perbedaan agama, suku, budaya, dan lainnya, kita berbaur. Di situ saya belajar yang namanya tolerasi. Teman-teman juga baik-baik. Saat ikut Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) akhirnya diterima di UGM,” sambung Hadi yang kemudian memilih fakultas kedokteran.
Hadi yang sejak kecil sering sakit-sakitan kala itu tersentuh dan terinspirasi untuk menjadi dokter. “Dulu ada dokter di dekat rumah, kalau saya sakit, saya kesana. Dokter itu kalau kita nggak bisa bayar diam aja, nggak papa. Kalau kita nggak punya uang buat nebus obatnya, dia kasih obat dari rumahnya, cuma-cuma,” kenang Hadi haru. Selain itu, ada satu ‘lecutan’ dari sang ayah yang membuatnya gigih memperjuangkan cita-cita dan impiannya. “Papa bilang di dunia ini kalau kita hanya mengejar dan mengandalkan harta saja maka tidak akan pernah cukup. Contoh, kalau punya uang 100 juta, terus dirampok, dalam sekejap uang hilang. Nggak ada yang abadi. Yang abadi itu ilmu,” tegas Hadi. Semangat inilah yang mengantar Hadi sukses menyelesaikan pendidikannya di SMA dan kemudian diterima di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta pada tahun 2006.
Uluran Tangan di Tengah Kesulitan
Bermodalkan uang hasil penjualan lemari dan etalase toko di rumahnya di Solo, Hadi dengan ditemani ayahnya mendaftar ke UGM Yogyakarta. Aral mulai menghadang tatkala ia diminta mengisi jumlah nominal yang bisa dibayarkan sebagai uang pendaftaran. Tak patah arang, ayah dan anak ini kemudian mencoba menemui dekan untuk mengajukan keringanan biaya. “Untungnya beliau, istilahnya ‘Njawani’ (halus tutur katanya dan bijaksana-red). Beliau menawarkan saya dan bapak untuk membayar uang masuknya 10 juta aja, trus boleh dicicil, sampai lulus juga boleh,” kata Noor mengisahkan kejadian 7 tahun silam. Uang hasil penjualan lemari itu pun cukup untuk membayar cicilan uang masuk pertama sebesar 500 ribu rupiah, dan biaya semesteran sebesar 2,5 juta rupiah.
Ujian kedua yang lebih berat datang tatkala Hadi menginjak di semester kedua. Ayahnya yang sejak dulu berjualan kelontongan di rumah mulai keteteran ketika menyisihkan uang untuk biaya kuliah Noor di Yogyakarta. Toko mereka kini ada saingannya, toko yang lebih besar dan murah dalam menjual barang-barang. “Istilahnya beli eceran, harga grosir. Otomatis pembeli lari ke sana,” terang Hadi.
Dalam posisi terjepit, Hadi dan ayahnya hanya bisa pasrah. Hanya ada dua kemungkinan saat itu, mencari beasiswa atau Hadi harus menghapus mimpinya menjadi dokter. “Waktu itu saya dah siap kalau memang harus ‘lepas’ kuliah dan kerja,” ujarnya. Dalam kehidupan, selalu ada cobaan, dan hanya mereka yang sanggup bertahan dan selalu bersyukur yang dapat melaluinya dengan selamat. Pepatah bijak mengatakan: Di antara satu kesulitan, selalu ada dua kemudahan. Pertolongan datang justru dari hal-hal yang tidak direncanakan. Kala itu bibi Hadi yang selama beberapa tahun ikut menantunya dan bekerja sambilan di Amerika memberikan sebuah oleh-oleh berupa Majalah Tzu Chi Monthly (bahasa Mandarin dan Inggris). Santoso Wijoyo kebetulan fasih bahasa Mandarin (lisan dan tulisan) sehingga ‘oleh-oleh’ itu pun dibawa pulang.
Saat mulai membaca majalah itulah Santoso tahu tentang Yayasan Buddha Tzu Chi dan apa saja visi-misinya, dimana salah satunya adalah bantuan pengobatan dan juga pendidikan. Setelah ditelusuri, diketahui jika di Indonesia ternyata juga ada Kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia di Jakarta. Dengan setumpuk harapan Santoso mengajak putranya untuk berangkat ke Jakarta. “Bulan Januari 2007 saya ke ITC Mangga Dua. Waktu itu ditemui sama Shigu Lulu. Kita ceritakan permasalahan kita dari awal sampai akhir dan diminta isi formulir permintaan beasiswa. Setelah itu beliau berjanji akan menyurvei dan datang ke tempat kos di Yogya,” terang Hadi.
Selama hampir 2 minggu menunggu, penantian Noor tidak sia-sia. Empat orang relawan Tzu Chi, yakni Lulu, Florentina, dan 2 relawan Tzu Chi Yogyakarta datang menyambangi tempat kosnya di Kota Gudeg. Setelah melihat langsung kondisi Hadi, akhirnya seminggu kemudian diputuskan jika ia layak untuk memperoleh beasiswa. “Biaya pendidikan semester tiap bulannya. Kemudian uang masuknya juga akan didicicil selama 3 tahun dan bantuan biaya hidup,” terang Hadi. Bukan hanya Hadi yang dibantu, ayahnya pun, Santoso pun mendapatkan bantuan pengobatan. “Papa sakit dan juga diberi bantuan pengobatan. Agustus – September 2007, dan kemudian Desember 2007 akhirnya dipotong jarinya karena ada luka akibat diabetes,” terang Hadi.
Cita-cita Mulia
Lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) pada tahun 2010, indeks prestasi Noor sangat baik: 3,5. Seusai menamatkan studi, Noor pun melanjutkan pendidikan calon dokternya. Tahun 2013 ia disumpah menjadi dokter, dan menjalani kerja praktik di daerah Boyolali, Jawa Tengah. Praktik di tempat yang cukup terpencil, selain mengasah kemampuan medisnya, juga mengasah kepekaan batinnya. “Banyak warga yang belum berkesempatan (tidak mampu) untuk berobat,” keluhnya prihatin, “karena saya sendiri pernah merasakan bagaimana sulitnya menjadi pasien dari keluarga yang kurang mampu. Saya tidak ingin orang merasakan apa yang saya rasakan.” Pengalaman itulah yang memotivasi Hadi untuk menjadi seorang dokter yang humanis. Menurutnya, dokter yang baik bukanlah dokter yang hanya dapat menyembuhkan penyakit pasiennya saja, tetapi juga batinnya. “Orang sakit itu nggak cuma fisiknya aja, tetapi juga mentalnya. Kita harus bisa meredakan kecemasan pasien dan keluarganya,” tandasnya.
Tekad untuk menjadi dokter humanis itulah yang mengantar Hadi memilih bekerja dan mengabdi di RSKB Cinta Kasih Tzu Chi, Cengkareng, Jakarta Barat. Pilihannya jatuh ke RSKB karena ia merasakan kedekatan emosi, dimana visi dan misi rumah sakit itu sejalan dengan prinsip hidupnya. “Visi misi yayasan dan rumah sakit kan sejalan, menolong dengan cinta kasih universal. Ada yang sakit ya kita layani, nggak harus nunggu deposit uang berapa. Ini yang membuat saya merasa ini jalan yang tepat,” tandasnya. Hadi mengibaratkan dirinya saat ini adalah ‘buah’, dan sebagai buah ia tidak boleh lupa akan ‘batang’ yang telah memberinya makanan. Batang juga tidak mungkin lupa sama ‘akar’, karena akarlah yang mengambil air dan makanan untuk disalurkan ke batang, dan akar juga tidak akan lupa dengan tanah dan sumber airnya. “Saya harap apa yang saya dapat selama kuliah ini bisa bermanfaat bagi orang lain. Saya sendiri berasal dari keluarga kurang mampu, orang yang tadinya tangannya di bawah, dan Master Cheng Yen bilang orang yang tangannya di bawah itu orang yang menderita, karena itulah saya berupaya agar kelak bisa jadi orang yang berhasil sehingga bisa memberikan bantuan kepada orang yang membutuhkan.”
Keberhasilan Noor Hadi diakui bukan hanya berkat kepandaiannya dan dukungan materi dari Tzu Chi saja, tetapi menurutnya juga adalah karena banyaknya perhatian dan kasih sayang yang ia dapat dari relawan Tzu chi. “Lulu Shijie, Florentina Shijie, saat saya hendak menghadapi ujian mereka support saya. Tidak hanya dibantu uang saja, tetapi juga moral dan dukungan. Perhatian dan kasih sayang terkadang lebih berharga dari materi,” ungkap Noor yang sangat menyukai Buku 108 Kata Perenungan Master Cheng Yen.
Noor di Mata Relawan
Sosok Hadi yang baik, rendah hati, dan sederhana memberi kesan tersendiri bagi relawan Tzu Chi. Di mata Florentina, Noor Hadi merupakan sosok figur anak yang berbakti, dimana dalam keterbatasan hidupnya ia selalu menjaga dan merawat ayahnya. “Anak ini (Noor) benar-benar mandiri, sama orang tua juga berbakti, maka akan datanglah berkahnya. Saya yakin hatinya baik, dia pasti bisa bantu orang lain,” kata Florentina yang turut menghadiri wisuda Hadi.
Florentina teringat 6 tahun lalu saat menyurvei Noor di tempat kostnya di Yogya. Keprihatinan sekaligus kekaguman berbaur menjadi satu, sehingga membulatkan tekad ia dan relawan Tzu Chi lainnya untuk mendukung Noor mewujudkan cita-citanya. “Tempat tinggalnya kecil banget. Di ruangan yang sempit, apapun masuk, ranjang dan sepreinya juga kotor sekali, jorok. Di dalam, kompor dan tempat masak jadi satu. Saya bayangin, kok ada ya calon dokter yang tempat tinggalnya seperti ini. Biasanya kan kalo calon dokter hidupnya nyaman dan bersih, tapi ini justru kebalikannya. Baru ketemu loh, ada calon dokter hidupnya prihatin seperti ini,” ungkapnya haru. Dan feeling Florentina dan relawan lainnya tak keliru, Noor Hadi berhasil mewujudkan cita-citanya sekaligus membahagiakan orang tuanya. “Jadi dokter dan bantu orang, senang, nyatanya dia benar-benar orang yang baik dan mau membantu orang. Orangnya tahu bersyukur, dan berpuas diri,” tegasnya.
“Bersyukur, berpuas diri, berpengertian, dan lapang dada” merupakan Empat Ramuan Berkhasiat Tzu Chi, dan Noor pun merupakan salah satu orang yang menerapkannya dalam kehidupan. Usai lulus, Noor dan ayahnya Santoso Wijoyo menemui Master Cheng Yen di Hualien Taiwan untuk menyampaikan rasa syukur dan terima kasihnya. “Bersyukur karena Master Cheng Yen mendirikan Tzu Chi sehingga dapat menolong orang-orang yang membutuhkan pertolongan seperti saya,” ucap Noor Hadi, “saya sudah diberi kesempatan untuk menjadi dokter dan saya tidak akan menyia-nyiakannya. Master Cheng Yen juga berpesan agar saya menjadi dokter yang baik dan humanis, serta harus belajar lebih giat supaya jadi dokter yang hebat.”
“Setiap orang memiliki potensi yang tak terhingga”, inilah pesan Master Cheng Yen yang bisa menjadi motivasi bagi kita semua. Sebagai ‘buah’ dari pohon Yayasan Buddha Tzu Chi, Noor Hadi berpesan kepada adik-adik penerima beasiswa lainnya untuk terus berjuang tanpa kenal lelah dalam meraih cita-cita, “Saya berbagi pengalaman supaya adik-adik yang lebih muda bisa menghargai hidup (berkah) mereka, menghargai apa yang mereka terima (bantuan) dan tidak menyia-nyiakannya. Saya berharap mereka bisa lebih baik daripada saya.” Dengan niat yang baik, tekad yang kuat, ulet, tekun, dan berani, pasti segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang mustahil. Dan Noor Hadi telah membuktikannya.Penulis: Hadi Pranoto