Kesederhanaan Hati Seorang Guru
Jalanan sepanjang lebih kurang 8 kilometer itu tidak rata. Dengan lubang menganga di sisi kanan dan kiri jalan akibat roda truk bermuatan berat, tanah bertekstur liat tersebut semakin licin dan berbahaya ketika turun hujan. Hal ini membuat medan yang biasanya dapat ditempuh dalam waktu 30 menit dengan sepeda motor itu harus diarungi selama lebih kurang satu setengah jam dengan berjalan kaki.
KUALITAS PENDIDIKAN. Dengan fasilitas bahan ajaran yang terbatas, Haerudin berusaha menciptakan suasana belajar-mengajar yang nyaman untuk anak-anak. Pola pengajaran yang diberikan serius tapi santai, dengan harapan anak didiknya akan lebih mudah menyerap pelajaran yang diberikan.
“Awalnya saya mengajar (menjadi guru bantu-red) anak-anak di SDN 01 Lebak Peundeuy Induk,” ucap Haerudin. Namun karena pihak sekolah melihat semakin lama semangat belajar anak-anak dari Kampung Pasir Sireum menurun dikarenakan lokasinya yang cukup jauh dari sekolah, maka Unang Suherdi selaku kepala sekolah saat itu, berinisiatif untuk mendirikan sebuah sekolah filial (kelas jauh-red).
Sebenarnya tidak mudah bagi pihak sekolah untuk mendirikan sekolah filial di Desa Kampung Pasir Sireum. Hal ini dikarenakan sikap masyarakat yang acuh tak acuh terhadap itikad baik tersebut. “Memang sulit bagi kami untuk meyakinkan masyarakat tentang pelaksanaan sekolah filial ini. Mungkin karena masyarakat sini, yang terlanjur trauma dengan janji-janji surga pembangunan sekolah, yang tidak pernah terealisasi pelaksanaannya,” jelas Unang Suherdi.
Setelah beberapa kali mengadakan pendekatan dan musyawarah, akhirnya masyarakat Kampung Pasir Sireum menyetujui pelaksanaan pembangunan sekolah filial. Akan tetapi karena proses pembangunan sekolah membutuhkan waktu yang cukup lama, maka disepakatilah sebuah gubuk bekas pesantren yang tidak terpakai untuk menjadi sekolah filial sementara. Mengetahui hal ini Haerudin pun langsung mengajukan diri untuk merintis sekolah tersebut. Ia berkata, “Karena letak rumah saya yang paling dekat dengan lokasi, maka saya pun langsung mengajukan diri untuk mengajar di sana. Sungguh disayangkan kalau pendidikan anak-anak harus terputus hanya karena letak sekolah mereka yang tidak terjangkau.”
Bangunan berukuran 5x4 meter tersebut memang jauh dari kata layak. Beralas tanah, dengan dinding rotan yang rapuh dan bolong di sana-sini, membuat anak-anak sulit untuk berkonsentrasi secara penuh. Belum lagi gangguan binatang yang tiba-tiba muncul saat pelajaran berlangsung. “Kalau musim hujan rasanya lebih sedih sekali. Selain bocor, ruangan kelas kami pun menjadi becek dan licin karena beralas tanah merah,” ungkap Haerudin, yang mengaku tidak jarang harus membersihkan kotoran ayam dan kambing di dalam kelas.
Fasilitas kelas pun sangat terbatas. Dengan hanya bermodalkan sebuah papan tulis dan kapur, Haerudin mampu membangkitkan semangat belajar anak-anak dengan gaya mengajarnya yang riang dan komunikatif dalam bahasa Indonesia dan Sunda. Bernyanyi, bermain tebak-tebakkan, dan tantangan kepada siswa untuk saling berlomba menjawab pertanyaan, adalah cara kreatif ala Pak Guru Haer untuk menyiasati keterbatasan bahan ajar di kelasnya. Suasana belajar ini sengaja diciptakan supaya para murid tetap bisa menikmati suasana belajar-mengajar, tanpa harus menghiraukan buruknya kondisi fisik sekolah mereka.
Meskipun demikian, tidak jarang Haerudin mendapatkan anak-anak didiknya mengadu kalau sekolah mereka sering dijuluki “Sekolah Kandang Kambing” oleh anak-anak sekolah lain. Kalau sudah begitu, dengan sabar Haerudin menjelaskan kepada mereka bahwa sebuah pendidikan tidak hanya dilihat dari bentuk sekolahnya saja, tetapi yang paling terpenting adalah mutu dari pendidikan itu sendiri.
“Saya selalu tekankan kepada mereka, kalau sekolah filial ini juga sama dengan sekolah lain. Sekolah filial bukan sekolah-sekolahan, ini sebuah sekolah dengan status negeri. Pelajaran yang diajarkan sama, jam pengajarannya juga sama, walaupun mungkin fasilitasnya jauh berbeda, tapi tidak menutup kemungkinan kalau para murid serius belajar, maka mereka juga bisa menjadi anak yang berprestasi. Saya juga bilang kepada mereka, kalau para murid dari sekolah filial pun tetap memiliki kesempatan yang sama untuk mengikuti kompetisi antar sekolah,” tuturnya mantap.
Doa yang Terjawab
Setelah perjuangan dan semangat Haerudin dalam mencerdaskan anak-anak di Kampung Pasir Sireum tercium oleh beberapa media, seperti Kompas, DAAI TV, serta Trans TV, akhirnya seorang donatur yang mengetahui perjuangan Haerudin melalui salah satu televisi swasta, menyumbangkan sebuah bangunan semi permanen berukuran 5x8 meter untuk bangunan sekolah sementara SDN 01 Filial Lebak Peundeuy.
Gedung Baru. Setelah mendapatkan bantuan bagunan sekolah semetara dari seorang donatur padaakhir 2007, pada tahun 2009 pemerintah daerah akhirnya membagun SDN Lebak Peundeuy di atas tanah seluas dua ribu meter, dengan 5tiga ruang kelas berukuran 8x7 meter, yang dilengkapi dengan sebuah lapangan serbaguna.
“Hingga saat ini saya juga tidak pernah tahu siapa nama orang yang menyumbangkan uangnya untuk pembangunan bangunan ini,” jelas Haerudin. Dia menuturkan, saat itu dirinya hanya mendapat panggilan untuk bertemu dengan seseorang yang melakukan survei ke lokasi sekolah filial yang masih berada di gubuk. Lalu tidak lama kemudian orang tersebut bertanya kepada dirinya, apakah mampu membangun sebuah bangunan berukuran 5x8 meter untuk sekolah sementara, dengan sejumlah dana yang diberikan. “Saat itu saya tidak berani mengambil keputusan sendiri. Karena hal ini menyangkut dengan kepentingan seluruh masyarakat, maka saya pun berkoordinasi dengan Kepala Sekolah SDN 01 Lebak Peundeuy Pusat, dan Kepala Desa Kampung Pasir Sireum,” ucapnya.
Namun setelah dibicarakan, akhirnya pihak sekolah dan kepala desa setuju untuk membangun bangunan tersebut. “Pembangunan selesai pada akhir tahun 2007 dan resmi kami gunakan pada tanggal 13 Juli 2008, tepat di awal tahun ajaran baru,” kenang Haerudin sambil tersenyum. Dengan mata berbinar, ia pun menuturkan kebahagiaan yang dirasakan anak-anak ketika mendapatkan bangunan sekolah baru, “Mereka senang sekali. Kalau biasanya mereka harus belajar di atas tanah yang becek, ketika memasuki ruang kelas baru, mereka bahkan langsung melepas alas kaki mereka. Mereka juga bilang, ‘sayang nanti teh kelasna kotor pisan (sayang nanti kelasnya jadi kotor lagi-red)’.”
Tidak hanya berhenti di sana, pemerintah pun akhirnya membangun SDN 01 Filial Lebak Peundeuy di atas tanah dengan luas lebih kurang 2.000 m2. Dengan tiga ruang kelas berukuran 8x7 meter, sekolah yang juga dilengkapi dengan sebuah lapangan serba guna ini resmi beroperasi pada tahun 2009.
Dengan adanya bangunan yang lebih baik, semangat anak-anak pun secara tidak langsung terbangkitkan. Hal ini terlihat dari jumlah peminat yang mendaftar di sekolah ini terus bertambah setiap tahunnya. Hingga saat ini terdapat lebih kurang 80 siswa-siswi yang terdaftar di kelas 1-4. Unang Suherdi pun mengutarakan bahwa, walaupun sarana yang di sekolah filial tidak sebagus di pusat, tapi kenyataannya prestasi di filial tidak kalah dari pusat. “Bahkan, salah salah murid yang berhasil ikut dalam lomba kecerdasan Matematika berasal dari SDN 01 Filial ini,” terangnya.
Pahlawan Tanpa Tanda Jasa
Pria lulusan D2 Jurusan Keguruan Universitas Terbuka ini memulai profesinya sejak tahun 1990 dengan menjadi seorang guru sukarelawan, dengan gaji yang tidak menentu. Walaupun penghasilan yang diperolehnya tidak seberapa namun Haerudin sangat mencintai pekerjaannya. Hal ini pun diakui oleh Mimi, sang istri, yang tidak pernah mendengar sekalipun suaminya mengeluh tentang pekerjaannya. “Dia memang sangat menyukai anak-anak. Bahkan, dia sering memberi uang kepada murid-muridnya yang tidak punya uang untuk jajan,” tambah Mimi.
Untuk terus memenuhi kebutuhan hidupnya, Haerudin memiliki pekerjaan sampingan, yaitu bertani dan mengumpulkan air pohon nira untuk dibuat gula aren. Perbaikan hidup sebagai seorang guru baru dirasakan Oleh Haerudin pada tahun 2003, saat dirinya diangkat menjadi guru bantu dengan gaji Rp 460.000/bulan. Sekitar tahun 2006, Haerudin pun mengikuti seleksi untuk menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), “Alhamdulilah saya lolos, dan pada tanggal 1 Januari 2007, saya resmi diangkat menjadi CPNS,” kenang Haerudin.
Dengan pendapatan lebih kurang Rp 1.200.000/bulan, pria yang memiliki kerinduan untuk kembali meneruskan pendidikannya ini, memilih mengalah kepada ketiga anaknya. Baginya, pendidikan Tatang (kelas 1 SMA), Taufik (kelas 1 SMP), dan Herawati (kelas 4 SD), jauh lebih penting daripada apapun. Ia menyadari bahwa pendidikan merupakan sebuah jembatan penghubung dalam keberhasilan seseorang.
Kelembutan serta ketulusan Haerudin dalam mengayomi anak-anak didiknya, membuat dirinya semakin diterima dan dicintai oleh seluruh masyarakat Kampung Pasir Sireum. Bahkan ketika tersiar kabar kalau Pak Guru Haer akan dimutasikan, beberapa warga sempat emosi dan tidak terima dengan rencana mutasi tersebut. “Mereka bilang, ‘Kalian harus langkahi kami dulu, kalau mau mengambil Pak Guru Haer ‘,” ucap Andi, salah satu warga Kampung Pasir Sireum.
Ditanya apakah pernah merasa lelah dengan pekerjaannya, dengan tegas pria yang kini mengajar kelas satu dan dua tersebut menjelaskan, “Sebagai manusia, pastilah saya pernah merasa lelah. Apalagi kalau pikiran sedang tidak enak. Tapi saya tidak mungkin untuk meninggalkan pekerjaan ini. Terlebih ketika saya masih dibutuhkan oleh murid-murid dan masyarakat, saya akan memberikan yang terbaik.”
Jurnalis : Veronika
Fotografer : Veronika