Kesempatan Kedua Menata Kehidupan

PULANG KE RUMAH. Abu Bakar sangat bersyukur memiliki rumah yang di berikan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Abu tidak menampik bahwa setelah pindah ke rumah Yayasan BUddha Tzu Chi Indonesia usaha bengkelnya meningkat hingga bisa menyekolahkan anaknya ke jenjang Universitas.

Dengan duduk di sebuah kursi roda, seorang lelaki berusia lanjut menyambut kedatangan kami. Sore itu ia terlihat segar dengan setelan kemeja berwarna lembayung dan kain sarung yang warnanya senada. Kedua tangan tuanya lincah mengayuh roda di kursinya, sementara kaki kanannya ajeg menapak tanah, mencoba mendorong kursi agar berjalan lebih cepat. “Saya sudah menunggu sedari siang, sengaja nggak kerja hari ini,” ungkapnya tersenyum sambil menyambut kedatangan kami.

Laki-laki tua tersebut adalah Abu Bakar, salah satu warga Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Panteriek, Banda Aceh. Sehari-hari ia bekerja sebagai ahli mekanik di rumahnya, yang sudah bagaikan bengkel karena banyaknya mesin diesel yang tergeletak di halaman. Keahliannya dalam memperbaiki mesin bukanlah hasil dari sekolah di perguruan tinggi, namun merupakan buah dari kerasnya tempaan kehidupan.

Ingatan, Tak Mungkin Terlupa

Siapa yang tak ingat dengan bencana tsunami 2004 silam? Bencana memilukan tersebut telah meluluhlantahkan wilayah Nangro Aceh Darussalam dan menelan ratusan ribu jiwa. Banyak dari mereka berjuang untuk menyelamatkan diri saat bencana terjadi, namun tidak mampu lepas dari hantaman air bah. Sementa itu, mereka yang masih diberi kesempatan untuk hidup tak ubahnya memperoleh kesempatan kedua, namun menjalani kehidupan selepas tsunami seakan harus dilalui dua, bahkan tiga kali lipat lebih keras. Sama halnya seperti kehidupan Abu Bakar.

TEMPAT KERJA. Abu Bakar Ma`lim (55) bapak dari 6 orang anak ini kehilangan kaki kirinya saat tsunami, kaki kiri Abu terkena paku hingga membusuk, sehari-hari Abu bekerja teknisi mesin-mesin kompresor,generator, kendaraan bermotor di halaman rumahnya, Abu bisa memperbaiki mesin-mesin ini secara otodidak.

Abu Bakar lahir di Medan, namun ia sudah tidak ingat kapan tepatnya ia dilahirkan. “Usia saya paling 50-an lebih,” ucapnya. Sejak tahun 1990, ia merantau ke Banda Aceh membawa istri dan 6 anaknya. “Sebenernya anak saya ada tujuh,” jelasnya. “Enam yang lahir di Medan, satu yang lahir di sini (Banda Aceh). Nah yang meninggal terbawa tsunami itu yang lahir di sini,” tuturnya mengingat anak terakhirnya yang menjadi korban tsunami.

 “Macam mana kek ingat tsunami itu? Sudah tidak pikir apa-apa saat itu. Ngeri,” ucapnya sedikit pilu menguak kembali memori sepuluh tahun silam. Bagi Abu Bakar, tsunami 2004 menyisakan kenangan yang tak mungkin bisa ia lupakan. Karena bencana ini telah merenggut jiwa salah satu buah hati dan salah satu penopang tubuhnya. Kini ia sangat akrab dengan kursi roda, tongkat kayu, ataupun kaki palsu setelah kaki kirinya diamputasi sepuluh tahun silam. Ia menuturkan bahwa amputasi yang ia jalani awalnya hanya disebabkan oleh luka kecil akibat goresan seng di kaki kirinya. Namun luka tersebut terinfeksi air tsunami dan membuatnya membusuk. “Tindakan amputasi adalah jalan satu-satunya,” ucap Pak Bakar.

Kehilangan salah satu tumpuan tubuhnya sempat membuat Abu Bakar ling-lung, ditambah lagi dengan kehilangan buah hatinya. Ia bahkan sempat pulang ke kampung halamannya untuk memulihkan kondisi dan kembali ke Aceh beberapa saat setelah ia pulih. Sekembalinya dari kampung halaman, Abu Bakar masih saja ling-lung di tanah orang. Namun hal itu tidak berlangsung lama, ia memilih mulai menata hidupnya yang baru. Memilih untuk tidak berlama-lama terpuruk dalam bencana. Memilih untuk berusaha dengan kehidupan barunya. “Masa kita mau merenung dan meratapi diri terus? Kita harus bekerja, kita harus usaha lagi,” ujarnya bersemangat.

Tak Ingin Bermanja dalam Duka

Kondisi fisik yang tidak lagi sempurna adalah kendala nomor satu yang dihadapi oleh Pak Bakar selepas tsunami. “Siapa mau menerima pekerja yang buntung?” tukasnya. Dari sanalah ia memutar otak mencari cara bagaimana ia bisa mengandalkan dirinya sendiri untuk memperoleh uang demi keluarganya. “Saya akhirnya membuat becak motor itu,” ujarnya sambil menunjuk scooter berwarna hijau lusuh termakan zaman yang terparkir di depan rumahnya. “Bisa nggak bisa, ya harus bisa. Kita nggak boleh manja. Kita harus berusaha karena anak-anak ini masih sekolah, harus ada uang setiap hari,” tuturnya.

Dengan kemampuan yang ia punya, motornya ia modifikasi menjadi becak dengan menambahkan tempat duduk penumpang di sisi kiri motor. Dengan begitu ia tidak perlu menggunakan kakinya untuk menahan beban motor saat membawa penumpang. “Kalau lagi ngojek, tongkat saya taruh di samping. Saya tinggal gas dan rem, nggak mungkin jatuh,” kisahnya sambil terbahak. Bukanlah hal yang mudah berkerja dengan kondisi seperti diungkapkan oleh Abu Bakar. Namun dia menambahkan, bahwa suatu pekerjaan jika dijalani dengan niat, alam juga seakan mendukung. “Ada saja yang mau naik becak motor saya. Padahal saya sudah bilang kalau saya nggak bisa ngangkat barang-barang,” ucapnya sambil tersenyum.

Semakin bertambahnya usia, semakin berkurang juga kekuatan tubuh seseorang, begitu juga kondisi fisik Abu Bakar dan kaki palsunya yang sudah semakin rapuh. Hal ini mengharuskannya pensiun dari pekerjaannya sebagai tukang becak motor. Ia kembali memutar otak untuk menghidupi keluarganya dengan keahliannya memperbaiki mesin walaupun dengan penghasilan yang masih tidak pasti. “Kalau masalah mesin, dibilang belajar juga nggak belajar. Belajar di mana? Sekolah SD saja nggak tamat,” ujarnya tertawa. “Saya cuma bongkar saja, kalau ada yang nggak bener ya saya ganti. Sudah itu saya pasang lagi, kayak gitu-gitu aja,” tambahnya.

Dalam hidup serba terbatas tersebut, semua hal yang dilakoninya bertumpu dalam satu motivasi: masa depan anak-anaknya. Ia tidak patah arang, usaha apapun akan ia lakukan untuk menghidupi keluarganya. “Semua yang saya kerjakan ini untuk anak-anak. Kalau hidup saya, saya sudah nggak banyak keinginan lagi,” tuturnya.

 

TERIMA KUNCI RUMAH. Tujuh tahun lalu Abu bakar menerima kunci rumah pemberian dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, saat itu Abu yang sehari-hari bekerja sebagai ojeg motor mengajukan rumah ke kantor Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR), dari orang BRR ini Abu Bakar bertemu dengan relawan Tzu Chi.

Kado Tak Terkira

Melewati hari-hari pascatsunami, doa, usaha, semangat, dan rasa syukur, selalu berdengung di keluarga Abu Bakar. Jerih payahnya mengumpulkan uang demi menghidupi istri dan menyekolahkan anak tiada hentinya. Ditambah lagi biaya sewa rumah yang paling menyita pikirannya. “Rasa-rasanya uang tuh nggak pernah kumpul. Ya itu tadi, karena mikir uang sewa rumah,” jelasnya. Satu kali dia mendatangi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) untuk mengajukan bantuan rumah, dari BRR tersebut ia mendapat informasi tentang bantuan perumahan dari Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia. Berbekal keinginannya untuk bisa hidup lebih baik, ia nekat untuk datang langsung dan meminta rumah kepada relawan.

Bagi relawan, kedatangan Abu Bakar bukanlah hal yang istimewa karena banyak warga lain yang juga datang langsung untuk meminta bantuan rumah pada Tzu Chi. Setiap warga yang datang, selalu diproses dengan metode yang sama. Sebenarnya metode ini bukanlah metode awal yang dipakai relawan untuk menyeleksi penerima bantuan rumah. Sebelumnya, relawan melakukan kunjungan langsung ke kamp-kamp pengungsian yang tersebar di beberapa wilayah di Aceh. Namun relawan juga menerima para warga yang datang untuk mengajukan bantuan. “Saat itu persediaan rumah telah hampir habis karena daerah Panteriek termasuk wilayah strategis dan berada di tengah kota. Maka dari itu kita menerima warga yang datang dengan membawa syaratnya,” jelas Rozak, salah seorang relawan yang kala itu turut terlibat dalam pemberian bantuan di Aceh.

Kegigihan Abu Bakar meluluhkan hati relawan, ia mendapatkan kado yang baginya adalah kado terindah, satu rumah di kompleks Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi NAD, Panteriek. Relawan melihat bahwa semangat, kesabaran, rasa syukur dan menghargai yang dimiliki olehnya. “Kami memandang orang ini (Abu Bakar) beda, punya kemauan keras untuk bangkit kembali,” ungkap Abdul Rozak, relawan Tzu Chi yang kala itu bertugas sebagai penanggungjawab perumahan. “Cara berpikirnya dia memandang tsunami itu gimana. Kemudian setelah tsunami mau apa, itu jawabannya membuat kita suka. Terutama memang dia layak karena dia korban tsunami yang tidak punya tempat tinggal,” jelas Rozak.

Mendapatkan kado rumah membuat Abu Bakar dan keluarganya teramat bahagia. Walaupun rumah ini dulunya merupakan gudang penyimpanan barang yang dibersihkan oleh relawan, namun Abu Bakar tetap tidak bisa membendung asanya saat menerima rumah tersebut. “Rumah dia itu tempat kita simpan bangku-bangku, gudang penyimpanan barang. Jadi kita beresin rumah itu, tapi karena tenaga kita terbatas ya bersihinnya sekedarnya. Tapi dia bersyukurnya luar biasa,” kenang Rozak. Rozak menuturkan bahwa ia ikut terharu kala melihat Abu Bakar menangis saat menerima kunci rumahnya. “Paling gembira saya dapet rumah ini. Alamak, senangnya. Saya belum pernah dapat rumah seperti ini. Waktu itu kan tidur juga asal ada tikar. Begitu dapat rumah saya senang sekali. Nggak pernah saya rasa senang seperti dapat rumah ini,” tuturnya dengan muka penuh tawa bahagia.

Sejak menerima rumah No. 29 ini, semangat Abu Bakar kembali tersulut. Ia bersikeras membangun kembali impiannya dengan membawa serta keluarganya. Demi mewujudkan mimpi besarnya meluluskan anak-anaknya dari universitas, Abu Bakar bahkan rela bekerja dari pagi sampai malam. Uang hasilnya bekerja ia kumpulkan sedikit demi sedikit untuk mengangsur biaya kuliah anaknya. “Jadi ada duit berapa, ya itu yang saya bayarkan buat kuliah anak saya. Bisa 3 sampai 4 kali bayar,” ujarnya. Kini ia begitu bangga memperlihatkan foto anak-anaknya yang tergantung di dinding rumahnya. Di foto itu, beberapa anaknya memakai toga tanda telah rampungnya masa pendidikan di jenjang universitas. “Berkat rumah ini, anak saya bisa lulus sarjana,” ucapnya penuh rasa syukur.

Berani Berkomitmen

Dalam perkembangannya, tidak sedikit rumah di perumahan cinta kasih telah diperjual-belikan oleh para pemilik. Beberapa warga memang tergiur dengan jumlah rupiah yang ditawarkan untuk rumah mereka, namun Abu Bakar malah sama sekali tidak tergiur. Ia bahkan sedikit geram mendengar jual-beli rumah yang marak dilakukan. Ia berujar bahwa mereka yang menjual rumahnya masih belum bisa mengerti artinya bersyukur dan menghargai. “Dulu sempat ada yang nawar mau beli rumah ini, saya marah ke dia. Sampai kapan pun rumah ini tidak akan saya jual, ini pemberian orang nggak mungkin saya mau jual,” tuturnya.

Sikap Abu Bakar membuktikan komitmen dan tanggung jawabnya yang ternyata telah ia janjikan pada relawan sesaat setelah ia menerima kunci rumahnya. “Pak Abu dulu berikrar pada kami bahwa ia akan merawat rumahnya dan tidak akan menjualnya kepada siapa pun,” ucap Rozak. Sikap ini pula yang menjadi pelajaran bagi relawan untuk tetap bersyukur, bekerja keras, berusaha mandiri, dan tidak mudah putus asa. “Kalau ingin maju berarti dia harus berdiri dari duduknya, melangkah, berlari untuk berbuat sesuatu. Dan Pak Abu sudah membuktikannya, dia bisa,” ujar Rozak.

Setiap manusia pada dasarnya berhati Bodhisatwa, juga memiliki semangat dan kekuatan yang sama dengan Bodhisatwa.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -