Kisah Si Kecil dari Banaran


Memiliki buah hati dalam sebuah pernikahan adalah harapan setiap orang. Ketika hal itu terwujud, hanya rasa syukur dan sukacita yang tersisa. Bahkan, ketika ‘malaikat kecil’ ini pun ternyata tak sempurna, tak ada caci maupun cela kepada Sang Maha Pencipta. Hanya untaian doa dan ribuan jerih usaha untuk memulihkannya.

“Ajik….! Ajik….!” Suara teriakan anak-anak usia taman kanan-kanak itu menyambut kedatangan Ajik Saputra yang baru turun dari mobil. Kebanyakan adalah kawan-kawan Ajik di TK Dharma Mulia, Dusun Banaran, Desa Wates, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Teman-teman Ajik mengenakan pakaian tradisional Jawa (beskap dan kebaya). Ya, kebetulan kedatangan Ajik, Sabtu, 9 Desember 2017 itu bertepatan dengan peresmian SD Dharma Mulia yang baru selesai dibangun. Teman-teman Ajik menjadi salah satu tim yang memeriahkan acara. Jika bukan karena habis menjalani operasi, mungkin Ajik termasuk salah satu di antara mereka.

Ajik sendiri tak bereaksi apa pun. Perjalanan satu jam dari Jakarta ke Solo via pesawat terbang dan dilanjut tiga jam perjalanan dengan mobil menuju desanya membuat bocah berusia 3,5 tahun ini kelelahan. Terlebih ia baru saja menjalani operasi besar dua bulan lalu di Jakarta. Ajik menjalani operasi pelurusan alat kelamin di RS Evasari Jakarta Pusat pada 16 Oktober 2017.

Kedatangan Ajik disambut sumringah sang nenek. Suminem segera memeluk dan menciumi cucu keempatnya ini. Sesekali wajahnya memerah dan sesenggukan menahan tangis. Tanpa kata-kata, ia dekap dan gendong erat cucunya. Selain Suminem, beberapa kerabat dan  tetangga juga meluapkan kasih sayang mereka. Hampir semua tanpa suara, namun raut wajah dan pelukan mereka menjadi penanda betapa mereka semua menyayangi Ajik dan ikut bahagia dengan perkembangan kesehatannya.

Dari jauh, setengah berlari Samsiyati menyeruak ke dalam rumah. Sambil menggendong putri ketiganya, mulutnya terus berguman, “Ajik…, Ajik…!” Wajahnya merah, air matanya menetes. Begitu bertemu, langsung dipeluk, diciumi, dan digendong keponakannya ini. Tangan kanan memegang putrinya, sementara tangan kirinya kukuh menggendong Ajik. “Senang sekali Ajik sudah dioperasi,” ungkapnya. Karena salah satu putrinya juga satu sekolah dengan Ajik, Samsiyati sering melihat bagaimana keponakannya ini kerap minder saat hendak buang air kecil. “Kalau pipis dia harus duduk, jadi malu sama teman-temannya,” kata Samsiyati lirih.

Kebahagiaan dalam Ketidaksempurnaan


Kartinah menemani Ajik menghadapi berbagai tindakan medis. Orang tua bocah berusia 3,5 tahun itu bersyukur karena akhirnya sang putra bisa disembuhkan.

Dalam benak Kartinah (23) dan Sunyoto (38), tak ada kekurangan fisik dalam diri putra mereka ketika Ajik lahir. Semua panca indera lengkap dan berfungsi dengan baik. Kehadiran Ajik melengkapi kebahagiaan mereka. Terlebih pasangan suami-istri yang menikah pada tahun 2012 ini baru memiliki anak di tahun kedua pernikahan mereka. Keduanya baru merasakan keganjilan-keganjilan ketika Ajik berusia enam bulan. Mereka baru sadar ketika melihat Ajik buang air kecil tidak melalui saluran yang semestinya. Kelainan sejak lahir membuat Ajik tidak bisa buang kecil secara wajar. Istilah medisnya hipospadia, di mana ujung saluran kencingnya terletak di bagian bawah penis bagian pangkal, perbatasan antara penis dan buah zakar.

Meskipun mengetahui kelainan yang diderita buah hatinya ini, Sunyoto dan Kartinah tak bisa berbuat banyak. Ajik belum pernah diperiksakan ke rumah sakit lantaran kondisi ekonomi keluarga yang pas-pasan. “Kerjaan saya buruh tani, garap ladang orang. Penghasilan sehari paling 4o ribu rupiah, itu pun tidak pasti (ada) kerjaannya,” ungkap Sunyoto.

Akibatnya, Ajik kerap dilanda perasaan rendah diri. Semakin besar pertumbuhan fisiknya, semakin besar pula rasa malunya. Saat bersekolah atau bermain bersama teman-teman sebaya, Ajik memilih pulang ke rumah jika ingin buang air kecil. Ia merasa malu karena berbeda dengan teman-temannya. Kondisi ini mempengaruhi kepercayaan dirinya. “Saya sedih, kalau (Ajik) mau pipis pas main bersama teman-temannya gitu pulang. Dia jadi pemalu,” ucap Kartinah lirih. Beban ini menghantui pikiran Sunyoto dan Kartinah. Rasa cemas dan khawatir akan kondisi Ajik saat dewasa menjadi “siksaan” tersendiri bagi mereka. 

Sebuah Jalan Kesembuhan


Relawan Tzu Chi memberi perhatian dan semangat “Satu Keluarga” kepada Ajik dan orang tuanya pasca menjalani operasi yang kedua kalinya di Jakarta pada tanggal 31 Juli 2018.

Hingga ketika berusia 3,5 tahun, Ajik bertemu dengan relawan Tzu Chi melalui Yayasan Dana Everyday yang ketika itu tengah membantu pembangunan Sekolah Buddhis di sana. “Waktu saya ke sana (Banaran), Bhante Bhadraphalo bilang ada seorang anak yang memiliki kelainan di alat kelaminnya. Beliau minta kita survei, siapa tahu kita bisa galang dana untuk pengobatannya,” terang Natalia Sunaidi, Founder Yayasan Dana Everyday.

Natalia bersama rekan-rekannya kemudian melakukan survei ke rumah Ajik. Melihat kondisi keluarga yang memang benar-benar tidak mampu, ia merasa tak sampai hati untuk tidak membantu pengobatan Ajik. Namun Yayasan Dana Everyday sesungguhnya hanya berfokus untuk membantu pembangunan sekolah Buddhis ataupun wihara. “Kita kurang mengerti karena yayasan ini tidak untuk penyaluran dana kesehatan,” ujar Natalia.

Beruntung salah satu anggotanya, Juny Leong juga merupakan relawan Tzu Chi. Juny kemudian berkoordinasi dengan Tzu Chi di Jakarta. “Dari situ Juny Leong bilang oke, lalu kita urus penjemputan dan sebagainya,” ucap Natalia tersenyum. Hal ini diamini Juny. “Setelah pulang dari Banaran, saya cerita ke teman yang juga di Tzu Chi, Awaludin Tanamas. Saya cerita banyak tentang anak ini, lalu beliau juga setuju jika anak ini dibantu,” cerita Juny Leong.

Dari sinilah Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia kemudian memutuskan untuk membantu pengobatan Ajik. Selain biaya pengobatan, Tzu Chi juga menyediakan tempat tinggal di salah satu blok di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat. Yayasan Dana Everyday membantu biaya hidup (bulanan) Ajik dan kedua orang tuanya selama di Jakarta.

Setelah semua disepakati maka pada tanggal 9 Oktober 2017 relawan Tzu Chi beserta tim dari Dana Everyday datang menjemput Ajik di rumahnya, Desa Banaran, Semarang, Jawa Tengah. Ajik dengan ditemani kedua orang tuanya kemudian berangkat ke Jakarta pada keesokan harinya.

Di Jakarta, Ajik dan orang tuanya tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi. Selama di sini, segala kebutuhan Ajik dipenuhi oleh relawan. Ketenangan dan rasa nyaman Ajik perlu dibangun mengingat ia akan menjalani operasi pada tanggal 16 Oktober 2017. “Kondisi Ajik cukup berat letaknya di kantong buah zakar, biasanya ditandai dengan penis yang bengkok,” kata dr. Iskandar Budianto, SpBA, dokter spesialis bedah anak yang menangani Ajik, “Untuk memperbaiki tahapannya meluruskan penis kemudian membuat saluran baru di kepala penisnya. Setelah enam bulan baru kita buatkan salurannya.” Setelah menjalani operasi sekitar 2 jam labih, operasi Ajik dinyatakan berhasil.

Tangisan Ajik pecah saat tersadar usai menjalani operasi. Dengan sabar Kartinah berusaha menenangkan sang buah hati yang terus meronta. Berbagai cara dilakukan Kartinah, tapi tangisan bocah tiga setengah tahun itu tak kunjung reda. Meski begitu Kartinah tak menyerah untuk menenangkannya. Dan Ajik pun kemudian tertidur kembali.

Pascaoperasi Ajik pulang ke kampung halamannya di Semarang, Jawa Tengah. Kondisinya semakin membaik. Ajik juga sudah mulai bersekolah kembali. Hal ini membuat orang tua dan keluarga besarnya merasa senang. Kebahagiaan keluarga sederhana ini semakin lengkap ketika Ajik kembali dijemput untuk menjalani operasi yang kedua di Jakarta pada 31 Juli 2018.

Perhatian Satu Keluarga


Ajik (tengah) bersama teman-teman sekolahnya di TK Dharma Mulia, Kecamatan Getasan. Semoga Ajik tumbuh percaya diri seperti anak-anak lainnya.

“Ajik…, Ajik.., kok diam aja…,” sapa Junny Leong, relawan Tzu Chi dengan ramah. “Apa masih sakit…?” tanya Wie Sioeng dan Hok Lay, relawan Tzu Chi lainnya sambil tersenyum. Namun bocah yang kini berusia 4 tahun ini bergeming. Justru Sunyoto, sang ayah yang sibuk menjawab setiap pertanyaan dari relawan. Bahkan bujukan sang ibu, Kartinah tidak bisa membuatnya bicara. Ajik hanya menurut ketika sang ibu memintanya berdiri dan menunjukkan bekas operasi kedua yang dijalaninya.

Pascamenjalani operasi kedua di Rumah Sakit Evasari, Cempaka Putih, Jakarta Pusat, Ajik Saputra dan orang tuanya kembali tinggal di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat sambil menunggu masa pemulihan. Untuk memberi semangat kepada Ajik dan keluarganya, tiga orang relawan Tzu Chi (Wie Sioeng, Hok Lay, dan Junny Leong) mengunjungi Ajik dan keluarganya di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat pada Senin, 6 Juli 2018. “Jangan lupa untuk selalu menjaga kebersihan saat membersihkan bekas operasinya,” kata Hok Lay, “karena kalau sampai kotor bisa infeksi.” Sunyoto dan Kartinah pun mengangguk setuju. “Kalau lukanya bersih dan cepat sembuh paling Ajik hanya butuh sekali operasi lagi,” kata Wie Sioeng menyemangati.

Setelah operasi yang kedua ini maka Ajik sudah bisa buang air kecil secara wajar. Dokter telah menyempurnakan alat kelaminnya dengan membuat saluran untuk berkemih. Hanya saja karena masih terlalu kecil maka salurannya tidak sampai ke ujung alat kelaminya, tetapi di tengah. “Kemungkinan nanti setelah dewasa (umur 17 tahun lebih). Karena menurut dokter masih sangat besar resikonya jika harus menjalani operasi lanjutan,” kata Junny Leong, relawan yang mendampingi dan menjemput Ajik dari rumahnya.

Melihat banyak orang-orang yang peduli pada Ajik, sang ayah merasa sangat bersyukur. Bersyukur masih ada orang-orang yang mau membantu,” ungkap Sunyoto, “Senang, jadi kalo sudah besar dia nggak merasa malu, sudah seperti anak laki-laki lainnya.” Selama ini, Sunyoto kerap menangis dan tidak tega memikirkan kondisi buah hatinya saat dewasa nanti.

Kebahagiaan yang sama diungkapkan Kartinah, “Ya senang, lebih tenang sekarang. Kalau dulu sempat mikir, ‘kasihan, kok anak saya kayak gitu, sementara keluarga nggak ada keturunan kayak gitu’.” Tapi kekhawatiran itu pun kini sirna. Melihat kondisi Ajik yang terus membaik membuat hati Kartinah dan Sunyoto merasa tenang. Tak ada kekhawatiran sedikit pun meski mereka harus menjalani pengobatan di Jakarta, jauh dari rumah, keluarga, dan saudara. “Untung ada relawan (Tzu Chi). Selama saya (menjalani pengobatan Ajik) di sini (Jakarta), mereka selalu mendampingi. Mereka juga baik-baik dan ramah,” puji Kartinah.

“Jangan pernah merasa sendirian, karena kita saling mendukung, satu keluarga. Ajik, bapak, dan ibu sudah berjodoh dengan kita (insan Tzu Chi), kalau nggak mana mungkin Ajik yang tinggal ratusan kilometer dari Jakarta bisa ketemu Tzu Chi sampai menjalani pengobatan di sini (Jakarta),” kata Wie Sioeng memberi semangat dan motivasi kepada keluarga ini. Bantuan kepada Ajik tidak sekadar “menyelamatkan” masa depan seorang anak, tetapi juga memulihkan rasa cemas dan khawatir sebuah keluarga.

Penulis: Hadi Pranoto dan Yuliati


Saat membantu orang lain, yang paling banyak memperoleh keuntungan abadi adalah diri kita sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -