Kita Benar-benar Satu Keluarga



Kita satu keluarga 
Saling syukur saling percaya
Kita satu keluarga
Saling butuh di dunia ini....

Dewi Anggraini (43) bagai tenggelam dalam makna mendalam lagu Satu Keluarga ini. Cobaan hidup yang bertubi-tubi mampu ia lewati berkat dukungan dan semangat Satu Keluarga yang ditunjukkan orang-orang yang sama sekali tak memiliki hubungan darah dengannya.

***

“Pusing kepala Adek, Ma..,” jerit Putri Indah Salsabila sore itu. Saat itu Putri baru berusia enam tahun, baru masuk sekolah dasar. Cepat-cepat Dewi ke warung terdekat membelikan anak bungsunya itu obat sakit kepala.

Sejak itu, Putri sering mengeluh sakit kepala. Kadang-kadang sakitnya sampai membuat gadis kecil itu menjerit-jerit. Hal ini berlangsung beberapa tahun, sampai kemudian, “Lama-lama kok sakit kali, Ma, bawa Adek ke dokter, Ma,” keluh Putri ketika merasakan sakit kepalanya semakin hebat. Tangisnya pecah. Dewi pun membawa Putri ke klinik dokter 24 jam di daerahnya.

“Kata dokter, ‘coba dirontgen, Bu. Kami tidak tahu juga’. Saya tanya biaya rontgen berapa? Kata dokter ya agak mahal, (sekitar) seratus dua puluh lima ribuan. Jadi saya bawa pulang lagi. Saya bingung ga punya biaya, di situlah kemudian tetangga saya bilang, coba minta surat keterangan RT, fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga, bawa ke Tzu Chi,” kenangnya.

Jalinan Jodoh Bermula
Setelah mendapat surat pengantar dari Ketua RT, Dewi diantar oleh tetangganya ke Kantor Tzu Chi Pekanbaru. Ia diterima oleh Wismina, staf sekretariat Tzu Chi Pekanbaru pada 16 Agustus 2016. Esoknya, beberapa relawan datang ke rumah kontrakan Dewi untuk melihat kondisi Putri. Hari itu juga relawan membawa Putri berobat ke RSUD Arifin Achmad Pekanbaru.

“Dokter bilang Putri kurang makan buah-buahan. Coba dikasih buah yang cukup, sambil tengok perkembangannya,” kata Dewi.

Para relawan membawa Putri pulang dan membelikannya bermacam buah-buahan. Rutin makan buah, Putri yang kini berusia 12 tahun dan duduk di bangku kelas 5 SD sudah tak merasakan sakit kepala. Meski begitu, hingga kini Tzu Chi Pekanbaru terus memberikan bantuan berupa buah-buahan, juga kacang hijau.

Meringankan Beban Keluarga
Sering dikatakan bahwa saat kepala keluarga jatuh sakit, maka seluruh keluarga akan ikut “sakit”. Dari pemberian bantuan bagi Putri, relawan mendapati bahwa ekonomi keluarga Dewi lumpuh sejak sang suami, Yusral, menderita sakit ginjal yang kronis. Karena itu, Yusral yang bekerja sebagai sopir ini tidak bisa lagi menjadi tulang punggung keluarga. Sementara itu, Dewi juga tidak bisa menggantikan mencari nafkah secara penuh karena harus merawat Yusral yang perlu rutin menjalani cuci darah seminggu sekali. Dewi hanya dapat bekerja secara lepas di sebuah pengepul sampah daur ulang.

Kondisi sangat berat bagi keluarga dengan empat anak ini (Rani, Rendy, Mulia, dan Putri). Pengobatan Yusral memang ditanggung oleh BPJS, tapi masih ada biaya hidup, biaya kontrak, belum lagi biaya sekolah anak-anak yang harus dipenuhi.


Sebagai penerima bantuan Tzu Chi, Dewi tidak hanya menerima bantuan namun ia juga bersumbangsih kembali dengan menjadi relawan Tzu Chi.

Saat mengetahui hal ini, sejak Oktober 2016, Tzu Chi Pekanbaru memutuskan untuk memberikan bantuan biaya hidup dan biaya pendidikan. Maka, 2 anak Dewi yang bersekolah di sekolah swasta, yaitu Rani yang duduk di bangku SMK dan Rendy yang masih SMP, menjadi anak asuh Tzu Chi.

Saat Yusral menjalani cuci darah, Dewi bergantian dengan dua anaknya untuk menjaga. Proses cuci darah ini cukup memakan waktu. Ada sesi perawatan selama satu malam, baru besoknya cuci darah. Setelah cuci darah, ada perawatan lagi satu malam, baru pasien dibolehkan pulang. Seiring berjalannya waktu, kondisi Yusral memburuk. Cuci darah kemudian harus dilakukan dua kali dalam seminggu. Dewi pun terpaksa berhenti bekerja.

Relawan Tzu Chi Pekanbaru pun terus mendampingi keluarga Dewi. “Kalau cuci darah selalu diantar relawan. Shibo-shibo juga sering menengok ke rumah. Kondisi suami sudah parah, tidak bisa jalan,” cerita Dewi. Perhatian ini menyentuh lubuk hati Dewi, membuatnya merasa relawan seperti sanak keluarga sendiri.

Dari Gan En Hu Menjadi Relawan
Meski telah rutin cuci darah, kesehatan Yusral kian kritis. Pada 30 Oktober 2017, ia menghembuskan nafas terakhirnya. Relawan Tzu Chi ikut berada di rumah sakit menemani keluarga Dewi. “Bantuan dari Tzu Chi untuk bapak sampai tak terhitung dari obat-obatan, makanan, bahkan oksigen saja satu hari satu tabung. Makanya sebelum meninggal, bapak pesan, ‘kalau seandainya saya tidak ada, kamu tolong kalau bisa bantu-bantu di Tzu Chi. Ikut juga bantu orang’. Makanya sampai sekarang apapun kegiatan Tzu Chi saya ikut,” tutur Dewi.


Bersama relawan lainnya, Dewi memanfaatkan waktunya untuk turut menimba ilmu dan kebijaksanaan melalui kegiatan bedah buku Tzu Chi.

Restu dari almarhum suaminya ini, membuat Dewi makin mantap bergabung menjadi relawan. Ia rajin mengikuti berbagai macam kegiatan yang ada. Dewi juga sangat suka mengikuti kegiatan bedah buku. Ia hampir tak pernah absen hadir dalam bedah buku setiap pekannya. Anak sulungnya, Rani juga mengikuti bedah buku bersama sang ibu atas kemauannya sendiri. Selama ini, Rendy dan Rani kerap bergantian membonceng ibunya mengikuti kegiatan Tzu Chi dengan sepeda motor tua, satu-satunya harta mereka.

Bagi Dewi dan keluarganya, bedah buku memberikan motivasi dalam menjalani lika-liku hidup mereka. Salah satu bedah buku yang paling berkesan adalah saat relawan membedah buku Tantangan yang mengulas bagaimana kerja keras Master Cheng Yen pertama kalinya mendirikan rumah sakit dan menemui halangan yang bertubi-tubi. Kisah Master ini memotivasi mereka untuk pantang menyerah menghadapi tantangan hidup.

Naik Turun Gelombang Kehidupan
Ujian hidup bagi keluarga Dewi masih terus berlanjut. Sepeninggal Yusral, Dewi berusaha menggantikan posisinya sebagai kepala keluarga. Namun sungguh sulit memperoleh pekerjaan. Dalam kekalutannya, Dewi hanya dapat mencurahkan kerisauannya pada relawan Tzu Chi. Kebetulan saat itu Tzu Chi Pekanbaru sedang membutuhkan tenaga hingga ia dapat direkrut menjadi staf di kantor Tzu Chi Pekanbaru.

Dewi yang sebelumnya bekerja di gudang jual beli barang bekas dan sangat menguasai tentang daur ulang, menularkan pengetahuannya kepada para relawan. Ia juga menjadi tempat bertanya bagi orang-orang sekitar tentang Tzu Chi, termasuk tentang prosedur mengajukan permohonan bantuan dari Tzu Chi. Sebagai relawan maupun staf, Dewi sepenuh hati bersumbangsih sesuai kemampuan yang dimilikinya.


(Dari kiri ke kanan: Rendi, Putri, dan Mulia). Ada empat anak yang masih harus dibesarkan Dewi seorang diri. Kini lebih ringan karena anak sulungnya sudah menikah. Rendi memiliki bakat sebagai teknisi, ia bisa memperbaiki barang-barang elektronik yang rusak dan sempat bekerja di bengkel motor.

Sementara itu, anak-anak Dewi sangat bersyukur kini ibunya bekerja menjadi staf di Tzu Chi Pekanbaru. “Saya lebih senang Mama ada di Tzu Chi karena Mama tidak kerja berat-berat lagi,” kata Rendy, anak laki-laki satu-satunya itu. Rendy dan kakak-adiknya semua mengikuti Kelas Budi Pekerti. Mereka belajar menghormati orang tua dan menghargai kebaikan orang lain.

Segala cobaan hidup ini justru membimbing Dewi menemukan arah kehidupannya, “Sangat bersyukur bisa ikut kegiatan Tzu Chi. Ternyata di luar sana masih banyak orang yang lebih susah lagi dari saya. Senang bisa bergabung dengan Tzu Chi, bisa lebih banyak berbuat kebaikan. Yang sebelumnya hidup saya tidak mau tahu, setelah bergabung dengan Tzu Chi ini saya jadi peduli. Sangat ada kebahagiaan tersendiri setelah bergabung dengan Tzu Chi,” katanya.


Penulis: Khusnul Khotimah


Keindahan kelompok bergantung pada pembinaan diri setiap individunya.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -