Komitmen Pada Guru
Bagaikan sebuah kapal layar yang membutuhkan nahkoda untuk memimpin arah menuju tujuannya, Tzu Chi Indonesia juga memiliki figur pimpinan yang memandu yayasan sosial ini untuk mewujudkan misinya. Dengan Liu Su Mei sebagai ketua, juga Franky Oesman Widjaja dan Sugianto Kusuma sebagai wakil ketua, Tzu Chi Indonesia melangkah mantap seiring pertambahan usianya. Ketiganya adalah para pengusaha, pemimpin, dan sosok relawan yang giat bersumbangsih untuk menyebarkan semangat dari sang guru, Master Cheng Yen. Bermula dari sebutir benih tumbuh menjadi tak terhingga, itulah kondisi Tzu Chi di Indonesia saat ini. Perkembangannya tak lepas dari dedikasi nyata, perjuangan ulet, dan komitmen teguh mereka bertiga.
Liu Su Mei:
Menggenggam Komitmen
Dua puluh tujuh tahun lalu, Liu Su Mei mengikuti suaminya datang ke Indonesia untuk mengembangkan perusahaan mereka. Masa itu, memang sedang banyak pengusaha Taiwan yang menanam modal di luar Taiwan di antaranya di Tiongkok, Thailand, termasuk pula Indonesia. Keputusan ini juga membuka jalinan jodoh antara Su Mei dengan Tzu Chi.
*****
Liu Su Mei adalah anak sulung dari 5 bersaudara. Sejak kecil ia melihat kerja keras ayahnya untuk membangun usaha dari awal hingga berhasil. Sebagai putri sulung, Su Mei telah terjun membantu usaha sang ayah sejak berusia 17 tahun. Itulah yang membuatnya menjadi matang di dunia usaha. Didikan dan teladan ayahnya sangat besar memengaruhi Su Mei hingga sekarang, terutama sikap bertanggung jawab terhadap segala tugas dan pekerjaan, bakti pada orang tua, juga kepedulian dan kemurahan hati pada orang-orang yang kekurangan. “Papa saya mengatakan bahwa kita yang dulu pernah merasakan hidup kekurangan, ketika sudah mampu harus membantu orang lain juga,” cerita Su Mei.
Maka ketika bertemu Liang Cheung di Indonesia, Su Mei dengan senang hati menerima ajakan ikut membantu Tzu Chi melakukan kegiatan sosial. Sejak masih di Taiwan, Su Mei sudah sering mendonasikan uang untuk berbagai kegiatan sosial, namun di Tzu Chi ia merasakan perbedaan. “Tzu Chi bukan hanya yayasan amal, tapi juga tempat kita melatih diri. Kita dapat merasakan perkembangan diri kita dalam yayasan ini,” ungkapnya. Pengalaman praktik langsung untuk menyerahkan bantuan menurut Su Mei membuka kesempatan mengalami daripada “sekadar berdana”. Di awal masa aktifnya di Tzu Chi, Su Mei beserta relawan yang jumlahnya masih sedikit masa itu, pergi ke daerah miskin di pelosok dan pinggiran Jakarta. Di sana ia melihat langsung kesusahan hidup masyarakat Indonesia yang sangat jomplang dengan kehidupan yang selama ini dilihatnya di Taiwan. “Saya dan pengusaha Taiwan lain saat itu melihat negara ini ada begitu banyak pekerjaan amal yang dapat dilakukan. Maka ketika Master berkata ‘harus bersumbangsih pada warga setempat’, kami sangat setuju,” ungkapnya.
Su Mei pun bertumbuh bersama Tzu Chi Indonesia. Beberapa kejadian bersejarah sekaligus tonggak “loncatan” pertumbuhan Tzu Chi juga menjadi kisah hidupnya. Di antaranya kerusuhan pada bulan Mei 1998, banjir besar di Jakarta tahun 2002, juga tsunami Aceh tahun 2004. Jumlah relawan dari belasan kemudian bertambah hingga ke berbagai wilayah Indonesia. Di tangan dingin Su Mei, pertumbuhan masih terus berjalan, didukung dibangunnya pusat kegiatan Tzu Chi (Tzu Chi Centre) yang mencakup Aula Jing Si di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. “Saat memulai Tzu Chi Indonesia, saya juga tidak membayangkan akan sampai pada ‘kondisi’ hari ini, hanya berpikir lakukan saja semampunya, lakukan dengan baik. Karena sejak awal Master tak pernah memaksa kita untuk masuk Tzu Chi, tapi kita sendiri yang sukarela menyatakan bersedia bergabung, maka kita pun harus memenuhinya,” ujar Su Mei.
Semakin besar kapal, semakin besar angin. Banyaknya relawan, bertambahnya kegiatan dengan sendirinya juga mengundang masalah-masalah baru, namun Su Mei dengan ketetapan hati menyatakan bahwa yang terpenting adalah setiap relawan menjaga diri agar tetap ada dalam jalur Tzu Chi, sambil diiringi rasa syukur. Ini sangat berbeda dengan belasan tahun lalu, di mana dengan karakter “pimpinan perusahaan” ia mengalami kesulitan menangani para relawan yang tidak mungkin diperlakukan seperti terhadap “karyawannya”. “Jika dulu menemui hal yang kurang berkenan, saya akan berkata pada relawan, ‘Andai Anda karyawan saya, mungkin sudah saya persilakan mundur’. Tapi sekarang saya hanya berpikir, ‘Sungguh syukur ada Anda semua yang bersedia membantu’,” ungkapnya.
Selama mengemban tanggung jawab di Tzu Chi Indonesia sebagai ketua, tekad Su Mei berkali-kali diperkuat dengan pedoman “Bila sudah menerima sebuah tanggung jawab maka harus dikerjakan dengan baik”. Meski Su Mei sendiri tidak pernah mengklaim bahwa ia telah sangat baik mengerjakan tugas sebagai ketua ini, ia berusaha menyelesaikan setiap tugas yang datang dengan sebaik mungkin. Bersyukur tekad ini mendapat dukungan dari suami dan anak-anaknya. Meski awalnya datang dengan niat mengurus usaha bersama suami, pada tahun 1995 suaminya justru menyarankan agar Su Mei melepaskan tugas-tugas di perusahaan sehingga dapat berkonsentrasi penuh di Tzu Chi. “Yang terpenting adalah saling berlapang dada dalam keluarga. Tanpa pengertian dari suami ataupun anak-anak, tidak mungkin segalanya dapat berjalan baik,” ungkapnya.
Kini, bagi Su Mei negara Indonesia telah menjadi kampung halaman kedua yang mengisi bagian penting dalam hidupnya. “Kelak, entah saya masih tinggal di Indonesia atau tidak, saya berharap para relawan dan Tzu Chi di Indonesia dapat semakin maju. Semoga semua ini dapat terus diwariskan tanpa henti,” harap Su Mei.
Franky Oesman Widjaja:
Katalisator Cinta Kasih
Sejak tahun 1998, mengikuti langkah sang ayah, Franky pun bergabung dalam barisan Bodhisatwa Tzu Chi untuk ikut serta mengemban tanggung jawab untuk mewujudkan visi Tzu Chi dengan sepenuh hati dan tak kenal lelah.
*****
Franky Oesman Widjaja, anak bungsu pengusaha besar Grup Sinarmas, Eka Tjipta Widjaja ini punya andil besar dalam perusahaan yang dirintis ayahnya. Bersama kakak-kakaknya, Franky menangani banyak perusahaan berskala besar yang tersebar di seluruh Indonesia. Tak heran bila jadwal hariannya penuh dengan berbagai rapat dan pertemuan. Segala kesibukan mengelola dan mengembangkan perusahaan, tetap tak menyurutkan panggilan jiwanya untuk bersumbangsih bagi sesama yang membutuhkan.
Semula Franky hanya mengetahui Tzu Chi dari obrolan dengan Wen Yu, sekretaris ayahnya yang juga merupakan relawan Tzu Chi. Saat itu Wen Yu sangat berharap dapat mengajak Eka Tjipta untuk bertemu dengan Master Cheng Yen. Upaya tak kenal lelah Wen Yu akhirnya membuahkan hasil. Di tahun 1998 pada usia 76 tahun, Eka Tjipta Widjaja dengan istri bersama Franky dan istri berkunjung ke Hualien, Taiwan. Lawatan itu meninggalkan kesan sangat mendalam bagi Franky. Secara spontan dalam kunjungan itu pula ia berkeinginan untuk menyatakan diri berguru kepada Master Cheng Yen, dengan restu dari kedua orang tuanya. “Saat bersujud, saya sadar beban di atas bahu semakin berat. Akan tetapi, asalkan perlu dan patut dikerjakan, tidak pernah terpikirkan halangan yang mungkin menghadang, pokoknya ‘kerjakan saja’, sekalipun menjumpai kesulitan, yakin akhirnya dapat diatasi,” tukasnya.
Sekembalinya Franky dari Taiwan, tepat saatnya Indonesia dilanda krisis moneter dan kerusuhan. Ini bagaikan cobaan bagi kesungguhan Franky untuk mempraktikkan ajaran welas asih Tzu Chi. Bersama dengan relawan Tzu Chi di Indonesia, Franky ikut dalam pembagian paket sembako bagi masyarakat Jakarta yang kurang mampu. Ini merupakan upaya “meredam kebencian dengan cinta kasih”, sekaligus merupakan tantangan yang belum pernah dihadapi. Bukan saja memerlukan koordinasi berkesinambungan dengan pejabat pemerintah, juga dibutuhkan sistem pembagian yang rapi, dan antisipasi keamanan. Franky pun mengerahkan karyawan perusahaannya untuk ikut serta dalam pembagian beras tersebut.
Pembagian beras berskala besar tahun 1998 itu tidak diimbangi dengan jumlah relawan yang besar juga karena saat itu Tzu Chi belum berkembang seperti saat ini. Oleh karena itu Franky pun membuat sistem pembagian beras yang disebutnya dengan sistem satu dan sistem dua. “Saat itu insan Tzu Chi menjalankan sistem satu dan kita (grup Sinarmas) incharge sistem dua,” ungkap Franky. Sistem satu yang dimaksud Franky adalah filosofi serta misi visi Tzu Chi yang harus dimiliki oleh relawan Tzu Chi, dan sistem dua adalah bagaimana cara pelaksanaannya yang ditangani oleh tenaga profesional. “Dengan falsafah yang bagus, hasilnya akan lebih bagus lagi. Kita melihat bagaimana Tzu Chi bisa sukses karena adanya falsafah yang mendorong. Dan juga organisasi apapun jika tidak memiliki sistem dua maka tidak akan bertumbuh besar,” Franky memaparkan.
Menurut Franky, falsafah Tzu Chi yang mengajak semua orang untuk bersumbangsih dan berbuat baik adalah sangat baik, mudah diaplikasikan dan perlu disebarkan kepada banyak orang. “That‘s a part of our mission. Menularkan. Kita adalah katalis (sesuatu yang berfungsi untuk mempercepat terjadinya perubahan-red), mengajak yang kaya mau membantu, dan mendorong agar yang dibantu pun mau membantu yang lain lagi. Itu juga dapat menjadi katalis bagi semua NGO, sehingga dampaknya lebih besar lagi. Timbul multiplier effect, tukasnya.” Franky juga mengharapkan hal yang sama ketika memperkenalkan falsafah Tzu Chi pada para pengusaha. “Either you do it in Tzu Chi or outside, it’s the same. Efeknya sama yaitu you can do a lot of things, do good things for society,” ujarnya berbesar hati.
Bekerja Tzu Chi membuat Franky mendapatkan banyak peristiwa berkesan. Ia mengaku ada banyak hal yang tak kan bisa dilihat dan dirasakannya jika ia tidak bergabung dan ikut turun langsung di kegiatan Tzu Chi. “Yang pertama kali bagi beras, kita harus turun ke tempat yang bau sekali. Menyusup ke lorong-lorong yang kalau masuk harus miring-miring. Kita juga baru tahu kalau di Kramat (Jakarta Pusat) ada anak-anak yang untuk tidur malam hari harus bergantian (karena kekurangan tempat). Malammalam mereka main bola karena tunggu giliran tidur,” ungkapnya. Franky melanjutkan, “Melihat itu semua apalagi yang mau dikomplain dari diri. Bagaimana kita tidak ‘Gan En’ (bersyukur) terus?!”
Sugianto Kusuma:
Lakukan Saja!
“Chi Hong” dan “Tzu Yuan”. Tanggal 24 April 2002, Sugianto Kusuma dan istrinya Rebecca Halim menerima nama baru dari Master Cheng Yen, saat mereka menyatakan berguru pada beliau, arti nama itu adalah “menolong sesama” dan “bertekad luhur”. Sejak menetapkan hati untuk memilih jalan Tzu Chi, Sugianto yang sering dipanggil Aguan Shixiong ini mencurahkan segenap pikiran dan waktunya untuk mewujudkan misi kemanusiaan Tzu Chi.
*****
Sugianto Kusuma atau yang biasa disapa Aguan mulai mengenal Tzu Chi Indonesia, ketika terjadi banjir besar di Jakarta tahun 2002. Saat banjir masih menggenangi banyak wilayah di Jakarta, ia sempat berinisiatif secara pribadi melakukan pembagian makanan ke rumah-rumah warga yang mengalami banjir. Sebelumnya Aguan tidak memiliki banyak kesempatan untuk mencermati kesulitan hidup warga yang tinggal di Jakarta, “Biasanya kita kan hanya dari rumah ke kantor, itu pun lewat tol. Atau pergi ke luar negeri. Kalau lihat juga hanya lewat TV. Waktu banjir itu, sesudah lihat semuanya, baru benarbenar merasakan apa yang Master bilang, ‘Antara yang miskin dan kaya, perbedaannya terlalu jauh’.” Penderitaan hidup warga Jakarta yang dilihatnya saat itu memberi kesan mendalam bagi Aguan.
Kebetulan tak lama kemudian ia diajak oleh Eka Tjipta Widjaja untuk mendukung rencana Tzu Chi membangun rumah bagi warga yang tinggal di bantaran Kali Angke yang terkena banjir dan akan direlokasi. Sebagai pengusaha di bidang properti, rencana pembangunan rumah ini terdengar sangat mudah baginya, maka serta-merta Aguan setuju. Ketika pergi menemui Master Cheng Yen bersama relawan Tzu Chi Indonesia yang lain, Aguan selalu menjawab “No problem (tidak masalah–red)” terhadap berbagai tugas yang diajukan padanya. Maka ia pun dikenal sebagai “Mr. No Problem”.
Tapi tidak semua berjalan semudah dalam bayangan Aguan semula, khususnya karena Tzu Chi memiliki cara tersendiri. “Tadinya saya pikir untuk biaya (pembangunan rumah), bisa ditanggung separuhseparuh dengan Franky, tapi ternyata kan gak boleh, harus kumpulkan cinta kasih dari banyak orang. Kita harus turun sendiri untuk cari sumbangan,” ceritanya. Sungguh pengalaman baru bagi Aguan yang selama ini lebih banyak menjadi donatur, berbalik harus meminta donasi. Tetap saja, tantangan ini tak membuat Aguan “kalah”. Ia mulai mengunjungi teman-temannya sesama pengusaha. Berdasarkan pemahaman cinta kasih universal yang diperolehnya setelah membaca buku Kao Yan (tantangan–red) yang ditulis oleh seorang relawan Tzu Chi Kanada, Aguan menjelaskan pada teman-temannya. “Saya tanya pada mereka, ‘Adakah kalian berbuat sesuatu untuk orang yang kesusahan?’, mereka jawab, ‘Tidak ada.’ Saya bilang, kalau jarak kaya-miskin terlalu jauh, wajar terjadi kecemburuan. Tapi kalau kita ada kepedulian, jaraknya bisa dipersempit, sehingga negara menjadi tenteram. Kalau negara tenteram, kehidupan ekonomi baru dapat berputar dengan baik,” terang Aguan.
Aguan cukup berhasil meyakinkan teman-temannya. Banyak pengusaha ikut bergabung menjadi donatur bahkan relawan Tzu Chi karena mengikuti ajakannya. Dalam masa penyelesaian pembangunan Perumahan Cinta Kasih, dan berbagai proyek besar Tzu Chi lain seperti bantuan pascatsunami Aceh atau bedah kampung, meski selalu ada masalah yang menghadang Aguan dengan mantap tetap berkata, “No Problem”. “Kerja Tzu Chi jangan terlalu banyak mikir, saya nggak mikir terlalu panjang, lakukan saja!” tegasnya.
Sebagai pimpinan perusahaan dan kepala rumah tangga, waktu yang dimiliki Aguan sesungguhnya sangat padat. Namun beberapa hari seminggu, ia selalu menyempatkan datang ke kantor Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia untuk mengurus berbagai tugas sebagai Wakil Ketua. Ia juga tidak banyak berhitungan dalam mendukung dana yang dibutuhkan Tzu Chi untuk menjalankan misinya. “Saya merasa dalam kerja Tzu Chi ini tidak ada yang susah atau berat. Yang penting niatnya ikhlas. Dengan begitu pikiran kita jernih,” ungkapnya. Sumbangsih di Tzu Chi memberikan ketenteraman batin yang Aguan harapkan, sehingga aktivitas di Tzu Chi justru dianggapnya sebagai “refreshing” batin.
Ini pun salah satu perubahan besar yang dialaminya. “Dulu kalau ada pressure di pekerjaan, biasanya kita akan cari pelarian. Caranya ya kumpul dengan temen-temen, karaoke, dan suka pulang malem,” ungkapnya. Setelah menjadi relawan Tzu Chi, sejumlah sila (aturan–red) yang harus ditaati membuat Aguan mulai berlatih mengendalikan diri. Ia menggantikan kepuasan sesaat dari kesenangan duniawi dengan kepuasan batin yang lebih langgeng dari membagi cinta kasih pada orang banyak. “Master mengajarkan praktik. Ajaran agama itu harus dijalani, itu yang penting,” kata Aguan.
Penulis: Ivana, Juliana Santy
Fotografer: Anand Yahya, Ivana