Limbah Membawa Berkah
“Terkadang kalo yang nanya nggak tahu proses pembuatannya yang rumit, mereka bilangnya kemahalan dan nawarnya nggak kira-kira. Bahkan, ada juga yang langsung pergi begitu dikasih tahu harganya,” kata Julaiha, perajin kerajinan limbah daur ulang.
Pernahkah Anda memikirkan ke mana perginya sampah-sampah plastik pembungkus produk-produk kebutuhan kita sehari-hari, seperti mi instan, pembersih lantai, deterjen, maupun sampah-sampah plastik lainnya? Seperti kita ketahui, plastik adalah salah satu jenis sampah yang tidak mudah diurai oleh tanah, butuh waktu 100 sampai 1.000 tahun untuk dapat terurai secara alamiah.
Data terakhir dari Dinas Kebersihan DKI Jakarta menunjukkan, jumlah sampah di Jakarta mencapai hampir 28.000 m3 setiap harinya. Komposisinya terdiri dari 65% sampah organik dan 34% non-organik. Dan ternyata, penyumbang terbesar sampah itu berasal dari kalangan rumah tangga, sekitar 60% dari total sampah yang terdapat di Jakarta setiap harinya.
Kreatif dan Bernilai Ekonomis
Sebenarnya
ada cara lain untuk mengurangi jumlah sampah plastik dengan aman dan ekonomis,
salah satunya dengan membuatnya menjadi barang-barang bernilai guna, seperti
tas, keranjang belanja, dompet, ataupun topi. Seperti yang dilakukan oleh
Julaeha dan suaminya, Badrus Samsih yang memilih untuk memanfaatkan kembali
sampah-sampah plastik, sekaligus sumber penghasilannya.
Siapa sangka, dari barang-barang yang kebanyakan orang pikir sebagai sampah, begitu banyak muncul ide dan kreativitas sehingga tercipta berbagai barang-barang yang memiliki nilai ekonomis. Menurut Julaeha, ide pembuatan kerajinan limbah plastik ini berawal dari adanya pelatihan dari salah satu produsen barang-barang tersebut di Indonesia. Julaeha yang menjabat Ketua PKK di tempat tinggalnya di daerah Pasar Minggu, Jakarta Selatan, bersama anggota PKK lainnya mendapat pelatihan dan bimbingan dari perusahaan tersebut. Namun dalam perjalanannya, usaha yang dirintis dan dikelola bersama-sama dalam wadah “Pokja PKK” ini mengalami pasang-surut, sehingga akhirnya Julaeha dan suaminya memilih mendirikan usaha sendiri di daerah Ragunan, Jakarta Selatan.
“Awalnya bahan baku yang dipakai hanya berasal dari produk perusahaan tertentu saja, tetapi karena saya pikir untuk pelestarian alam, akhirnya semua bahan yang memenuhi syarat dipakai juga. Apapun mereknya,” kata Julaeha dan suaminya. Dengan modal awal 2 buah mesin jahit bekas, 1 kwintal bahan baku plastik dan benang khusus (senur), mulailah keduanya merintis usaha. “Modalnya sekitar 5 jutaan,” terang Julaeha.
Kebetulan Badrus memiliki pengalaman panjang soal jahit-menjahit, sehingga untuk awalnya semua dikerjakan sendiri, mulai dari pemilahan bahan baku, mencuci, memotong, hingga menjahit. “Saya dulu pernah buka usaha konveksi,” aku Badrus. Meski sudah malang-melintang dalam hal jahitan, namun nyatanya Badrus tetap harus berlatih keras untuk bisa menjahit barang-barang plastik ini agar rapi dan hasilnya memuaskan. “Banyak yang sudah ikut pelatihan saja tidak bisa menjahit seperti ini. Sangat sulit, beda dengan menjahit pakaian,” sambung Badrus. Kini, setelah dua tahun berjalan, usaha yang mereka beri nama “KARYA NYATA” telah memiliki anak buah.
Untuk kebutuhan bahan baku, Julaeha dan Badrus menjalin kerja sama dengan kelompok-kelompok pemulung di wilayahnya. “Warga juga banyak yang ngasih sampah plastiknya ke sini, tapi nggak cukup,” jelas Julaeha. Bahkan jika sampah warga cukup banyak, mereka bersedia membayarnya. “Jadi warga dah lumayan ngerti, dan nggak asal buang sampah plastiknya,” tambah Julaeha. Setiap dua minggu sekali, bahan baku yang masih kotor itu mereka terima dari “rekan” mereka sebanyak 50-60 kg.
Bazar dan Pameran
Dalam
sehari, tidak banyak jumlah produk yang mereka hasilkan. “Dengan 2 orang
pekerja, sehari bisa jadi 6 barang, tergantung model dan kerumitannya. Kalau
model tas, paling jadinya 3,” terang Badrus. Itulah yang membuat harga
barang-barang ini menjadi mahal. Selain proses pembuatannya yang rumit, waktu
pengerjaannya pun cukup panjang. “Bahan bakunya memang murah, tapi kreatifnya
yang mahal,” sambung Julaeha seraya tersenyum. Keduanya mahfum, masyarakat
masih cenderung menilai barang-barang produksi mereka sangat mahal. “Kalau
orang yang ngerti, mereka beli. Tapi kalo yang nggak ngerti, baru denger harganya aja dah kabur,” ujar keduanya tertawa.
Untuk menyiasatinya, Julaeha dan Badrus lebih memilih memasarkan produk-produk buatannya lewat bazar ataupun pameran. Selain umumnya para pengunjungnya lebih mengerti, bersimpati dan menghargai hasil jerih payah mereka, para pembeli pun umumnya membeli lebih dari satu. “Ada yang beli beragam model dan corak, karena mereka akan gunakan sebagai suvenir ataupun contoh model di kelompoknya,” terang Julaeha yang tak keberatan jika usahanya ini banyak ditiru orang. “Saya malah senang kok. Selain mengurangi sampah, ini juga bisa membuka lapangan kerja,” tegasnya. Bahkan, Badrus bersedia memberikan pelatihan kepada kelompok, individu, maupun organisasi yang berminat mengembangkan usaha ini. “Kuncinya cuma satu, setelah punya dasar, harus kreatif dan bisa mengembangkan jenis-jenis produk. Soalnya kalau model dan jenisnya itu-itu saja, para pembeli akan bosan,” saran Badrus. Jadi, sambil ikut menggerakkan lingkungan bersih, aneka produk bisa diproduksi dari sampah-sampah plastik ini. Anda berminat? [Hadi Pranoto]
Jurnalis : Hadi Pranoto
Fotografer : Hadi Pranoto