Melangkah Berbagi Berkah


Sudah lebih dari setahun yang lalu bencana gempa dan tsunami menimpa Palu, Sigi, dan Donggala, Sulawesi Tengah. Sudah setahun pula, bantuan jangka pendek, menengah dan panjang dijalankan bertahap oleh relawan Tzu Chi. Jalinan jodoh semakin erat, hubungan kehangatan sungguh bagai keluarga. Setahun bukanlah akhir, karena cinta kasih tak mengenal kata usai.

***

Tawa dan sorak-sorai anak-anak menyambut relawan Tzu Chi memasuki kawasan hunian sementara (Huntara) Kabonena di Kecamatan Ulujadi, Kota Palu, Sulawesi Tengah. Tidak mudah untuk mencapai lokasi pengungsian yang berada di perbukitan ini. Terlebih masih ada beberapa jalan rusak yang belum diperbaiki pascagempa. Sepanjang perjalanan, dari atas, relawan bisa melihat wajah Kota Palu yang dikelilingi lautan.

Meski cuaca sangat terik menyengat, namun keramahan para pengungsi membuat sejuk hati relawan. Warga menyambut hangat kedatangan 13 relawan yang mengunjungi mereka. Kedatangan relawan utamanya adalah untuk memberi perhatian sekaligus memverifikasi warga calon penerima bantuan Perumahan Cinta Kasih Tadulako, Palu dan Perumahan Cinta Kasih Pombewe, Kab. Sigi, Sulawesi Tengah. 

Seperti salah satu relawan, Ng Siu Tju yang tak henti-hentinya memberi semangat dan dukungan kepada warga yang berkesah padanya. “Ibu semangat ya…, harus bangkit!” kata Ng Siu Tju sambil memeluk warga bernama Umi. Begitu pula relawan Tzu Chi lainnya, Betty Anie Arifin. Semua relawan yang hadir memberi semangat dan motivasi kepada warga di pengungsian.

Belajar dari Para Korban Bencana
Dalam setiap pemberian bantuan bencana, Tzu Chi memegang prinsip “langsung, prioritas, sesuai kebutuhan, menghargai dan cepat”. Prinsip “Langsung” mengkondisikan relawan untuk berinteraksi langsung dengan penerima bantuan. Prinsip “Prioritas” menjadi pegangan relawan saat harus menentukan pihak yang dibantu. Sedangkan prinsip “Menghargai” menunjukkan bahwa Tzu Chi memandang penerima bantuan dengan penuh penghormatan sebagai sesama manusia. Hal inilah yang melandasi relawan melakukan verifikasi dan survei langsung ke Huntara.

Berinteraksi langsung dengan para korban bencana juga memberi pengalaman dan warna baru bagi para relawan. Salah satunya dirasakan oleh Betty Anie Arifin.

“Mendengar cerita mereka yang terkena bencana, rasa cinta kasih kita juga semakin terpanggil. Mereka ada yang kehilangan harta benda, dan bahkan anggota keluarganya,” kata Betty, “tetapi mereka tetap semangat dan mau bangkit lagi. Ini yang perlu kita teladani.”


Ng Siu Tju (kiri) dan Betty Anie Arifin menghibur anak-anak di huntara. Pada setiap kesempatan, relawan selalu berusaha mendekatkan diri dengan warga sehingga kehadiran mereka bukan hanya untuk memastikan data, namun juga memberikan keceriaan.

Hal yang sama dirasakan Leni Darmawang, relawan Tzu Chi Makassar. “Meski menjadi korban bencana, tetapi mereka masih bersyukur karena selamat, masih diberi kehidupan,” kata Leni. Padahal banyak dari mereka yang harus menyaksikan sendiri saat orang-orang yang mereka sayangi menjadi korban gempa dan likuefaksi.

Puspawati, relawan Tzu Chi yang sejak tahap verifikasi pertama di Palu mengikuti kegiatan ini melihat antusiasme warga untuk tinggal di Perumahan Cinta Kasih sangat tinggi. “Karena tinggal di Huntara segala sesuatunya terbatas. (Keluhan) yang paling banyak adalah jauh dari tempat kerja maupun usaha,” kata Puspawati.

Dalam proses verifikasi ini, selain mengkonfirmasi data di lapangan, relawan juga harus bisa merasakan apa yang dirasakan warga. “Penderitaan mereka juga penderitaan kita, dan kebahagiaan warga juga kebahagiaan para relawan,” kata Puspa. Proses verifikasi ini juga salah satu cara agar bantuan yang diberikan bisa tepat sasaran. “Kita benar-benar berusaha agar mereka yang membutuhkan rumah adalah mereka yang benar-benar membutuhkan. Kita utamakan mereka yang memiliki anak kecil, Lansia, dan mereka yang memang benar-benar tidak memiliki tempat tinggal,” tegas Puspa.

Panggilan Hati
Pada kloter pertama bantuan ke Palu, tahun 2018 lalu, relawan merasakan hal yang sama. Mereka berkeliling wilayah bencana setiap hari dan pulang setelah seminggu membagikan bantuan untuk digantikan dengan relawan lainnya. Namun ada satu relawan yang hampir tiga pekan lamanya tak beranjak dari Palu. Dia Chandra Ferdinan, relawan Tzu Chi Biak.

Chandra tiba di Palu sejak 7 Oktober 2018 dan baru pulang Kamis, 25 Oktober 2018. Tidak tega dengan warga Palu, begitu alasan yang membuat Chandra tinggal lebih lama.

“Bencana tsunami dan likuefaksi di Palu ini membuat banyak warga kehilangan rumah, kehilangan keluarga. Sedangkan saya di Biak, Papua bisa dibilang aman dan tenteram, itu saya sangat tidak tega. Betul-betul hati saya pilu sekali melihat penderitaan mereka,” katanya.


Chandra Ferdinan dan Aida Angkasa memberikan bantuan kepada warga di Palu dan sekitarnya. Mereka menghabiskan waktu berminggu-minggu untuk membantu menyalurkan bantuan.

Bersumbangsih tulus dan ikhlas dari hati itulah yang membuat Chandra seolah tak merasakan lelah yang berarti. Padahal setiap hari dari pagi hingga malam, Chandra dan relawan lainnya harus mendistribusikan bantuan hingga ke pelosok Palu, Sigi, dan Donggala.

Tak jauh berbeda, Aida Angkasa (54) berada di Palu sejak 10 Oktober 2018 dan berencana pulang pada 28 Oktober 2018. Ibu dari dua anak ini merasa bersumbangsih dalam bentuk materi belumlah cukup baginya mengingat kerusakan di Palu sangatlah dahsyat.

“Hari ini saya masih lebih baik dari saudara-saudara kita. Jadi kenapa kita tidak membantu walaupun hanya tenaga,” kata Aida yang memiliki pengalaman memberikan bantuan bagi warga korban gempa dan tsunami di Aceh selama empat tahun. Saat itu, ia mendapatkan tugas untuk memverifikasi warga yang layak mendapatkan rumah bantuan dari Tzu Chi.

Tak jarang, Aida berada dalam momen-momen yang membuatnya tak kuasa menahan air mata. Misalnya saat pertama kali ke wilayah Petobo, salah satu wilayah yang paling hancur akibat tsunami.

“Begitu masuk di reruntuhan itu, hati saya langsung tersentuh, bahkan ngilu karena merasakan berapa banyak jiwa itu di tempat kaki saya berpijak itu mungkin masih begitu banyak yang tertimbun. Saat itu saya hanya bisa berdoa untuk mereka. Benar-benar waktu itu merinding dan mencekam di situ,” ujar Aida yang bergabung dengan Tzu Chi sejak tahun 2002 ini.

Dipercaya sebagai koordinator, banyak hal yang harus dilakukan Aida. Berkat kerja sama semua relawan Tzu Chi yang saling mendukung dan juga saling mengisi, semua kendala dapat diselesaikan. Tapi ada satu hal yang membuat Aida makin semangat dalam upaya penyaluran bantuan Tzu Chi di pelosok-pelosok Palu, Sigi, dan Donggala. Tak lain dan tak bukan adalah keramahan warga.


Joe Riadi bersalaman dengan Jusuf Kalla yang saat itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden RI. Sejak awal pembagian bantuan, Ketua Tim TTD ini selalu maju paling depan, tentu dengan dukungan seluruh relawan lainnya untuk bersama memulihkan kondisi warga.

“Dengan tidak sengaja saya ke tempat pengungsian itu dan mendapatkan (bantuan) asisten logistik dari warga setempat. Mereka itu bekerja dengan gembira, padahal sangat capai sekali dari pagi sampai malam. Itu yang membuat saya lebih semangat. Mereka yang kena musibah saja tidak mengeluh apalagi kita yang keadaannya lebih baik, kenapa kita tidak berbuat lebih banyak,” kata Aida.  

Proyek Panjang Pembagian Bantuan
Menjadi orang yang paling awal tiba di Palu, Joe Riadi atau akrab dipanggil Ayao dan beberapa relawan tim advance lainnya sempat dilarang untuk pergi oleh Sugianto Kusuma, Wakil Ketua Tzu Chi Indonesia. Hari itu H+2 setelah bencana, rencana pemberian bantuan sudah dikoordinasikan dan sudah matang. Sebelum subuh mereka sudah ada di bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta Timur untuk bersiap ke Palu dengan pesawat Hercules kepunyaan TNI. Dengan kuota terbatas, hanya ada 4 relawan yang diizinkan ikut penerbangan. Sisanya diisi anggota TNI dan bahan bantuan logistik.

“Logistik Tzu Chi sudah naik semua, roti, obat, alat medis, tapi ketika mau naik pesawat Shixiong Aguan menelepon, melarang kami untuk pergi,” ingat Ayao. Ia sempat bingung, penasaran dengan keputusan tersebut. Namun setelah berkoordinasi, relawan kembali pulang sedangkan barang tetap terbang.

Bukan tanpa alasan, berita tentang penjarahan yang terjadi di lokasi bencana membuat Wakil Ketua Tzu Chi Indonesia itu memutuskan untuk menunda keberangkatan relawan. “Keselamatan relawan juga merupakan hal yang utama,” begitu kata Ayao menjelaskan alasan Sugianto Kusuma.

Dua hari berselang, Ayao dan tim menggunakan pesawat komersil berangkat ke Makassar dan subuh hari berikutnya mereka pergi ke Palu dari Makassar dengan pesawat Hercules. Sejak hari itu, proses pembagian bantuan tak mengenal hari libur.

Ayao sendiri terhitung lebih dari 13 kali mengunjungi Palu dalam setahun ke belakang. Sebulan pernah dua atau tiga kali untuk melakukan verifikasi warga calon penerima bantuan hunian tetap (Huntap) sekaligus melihat progress pembangunan Perumahan Cinta Kasih yang dibangun Tzu Chi di Palu.

“Saya sudah ditunjuk sebagai koordinator verifikasi warga untuk Palu, sekaligus membantu Shixiong Hong Tjhin yang mengurus izin-izin terkait berbagai macam hal yang diperlukan. Jadi hubungan dengan warga, ke walikota, ke BNPB, kita teknis ikut semua,” ungkapnya.


Sarpin Lie (ketiga dari kiri), koordinator pembagunan hunian tetap Palu, mendampingi Menteri ATR / BPN Sofyan Djalil, mengontrol langsung progres pembangunan perumahan. Ia juga memantau seluruh bahan material yang digunakan untuk memastikan kualitas bangunan.

Karena kerap ke Palu, Ayao juga kerap membantu Sarpin Lie yang bertugas sebagai koordinator pembangunan. “Ya kami semua sekalian melakukan yang kami bisa. Saling mengisi karena tujuannya sudah sepakat, membantu warga. Kita harus memastikan apa yang kita kerjakan itu ada manfaatnya untuk warga,” kata Ayao.

Dalam perjalanannya di Tzu Chi, Ayao sungguh memegang komitmen termasuk dalam pembangunan Huntap di Palu. Dalam kunjungan kerja Wakil Presiden Jusuf Kalla 7 Oktober 2019, Ayao sengaja membatalkan pertemuan dengan keluarga di Singapura. Tiket yang ia pesan dari Malaysia ke Singapura terpaksa harus hangus. Namun kepuasan hati tidak bisa terganti ketika ia mendengar langsung saat Wapres memberikan jalan keluar dari kendala yang berkaitan dengan lahan perumahan yang menghambat pembangunan. Usai hari itu, fotonya bersalaman dengan Jusuf Kalla langsung menjadi profile photo di akun whatsappnya.

Ditambah ketika Presiden Jokowi juga berkunjung ke sana, bukan hanya Ketua dan Wakil Ketua Tzu Chi saja yang bangga, Ayao pun merasa menjadi bagian di antara kebahagiaan semua orang yang telah menantikan rumah. Kedatangan Presiden menjadi sebuah apresiasi yang sangat besar bagi Tzu Chi. Kini, profile photo whatsapp Ayao sudah berganti menjadi gabungan antara ia bersalaman dengan Jusuf Kalla dan Jokowi.

“Bayangkan shijie, setelah diverifikasi, lalu Pak JK datang, disusul 3 minggu kemudian Pak Jokowi hadir. Warga itu setiap sore selalu mendatangi proyek (Huntap). Mungkin setiap hari ada 30 sampai 40 warga yang datang lihat-lihat rumah, raba-raba dindingnya,” ungkap Ayao, “raut wajah mereka itu senang, sudah tidak sabar pengen pindah rumah.”

Melihat warga yang sudah berharap begitu tinggi, relawan tentu tak ingin memberikan yang seadanya. Ayao pribadi tak pernah melupakan apa yang dikatakan Sugianto Kusuma. “Mereka (para warga terdampak) itu sudah setahun tinggal di tenda. Sebisa mungkin kita harus kasih rumah yang bagus, yang layak, supaya mereka bisa semangat membangun kehidupan baru,” kata Ayao mengingat pesan Sugianto Kusuma.

Rumah Nyaman dan Tahan Gempa
Pesan itu juga selalu diingat Sarpin Lie, Koordinator Pembangunan Huntap Palu. Diberkahi pengamatan yang tajam, Sarpin sangat jeli dalam menilai suatu barang. Apakah harganya cocok, spesifikasinya sesuai, cukup rapi atau tidak pengerjaannya. Ketelitiannya tak perlu diragukan lagi dalam mengontrol pembangunan proyek.


Hunian tetap yang dibangun oleh Tzu Chi merupakan jenis conwood yang didesain aman dari gempa dan tahan cuaca.

Dengan mempertimbangkan berbagai kondisi pascabencana di Palu, juga pemaparan dari BNPB tentang wilayah geografis Indonesia yang berada di ring of fire (daerah rawan bencana), serta batasan zona aman pembangunan, Sarpin bersama relawan tim pembangunan lainnya memilih material yang aman. Aman berarti tahan gempa sekaligus nyaman untuk ditinggali.

Sarpin menjelaskan, saat ini bentuk rumah yang dibangun di Perumahan Cinta Kasih Tadulako, Palu dan Perumahan Cinta Kasih Pombewe, Sigi adalah rumah jenis conwood (kontruksi rumah tanpa kayu) yang didesain mampu menahan guncangan gempa. Conwood adalah material berbahan dasar campuran serat fiber dan semen Portland berkualitas sehingga selain tahan gempa, juga tahan terhadap paparan cuaca. Proses pembangunannya pun mudah dan cepat, hanya membutuhkan waktu 7 hari.

“Warga mengharapkan sekali kembali mempunyai rumah permanen dengan kualitas yang bagus, sekarang sedang pematangan verifikasi,” ujar Lie Sarpin. “Karena ini sistem dengan gerak cepat dan bangun cepat, semoga sesuai dengan pesan Wakil Ketua Yayasan Tzu Chi agar pembangunan lebih cepat selesai,” imbuhnya.

Selain rumah bertipe 36, di kompleks perumahan Cinta Kasih Tadulako dan Pombewe juga akan dibangun sekolah, klinik, masjid, dan pasar. Masing-masing rumah tipe 36 itu luas tanahnya 150 meter persegi. Di dalamnya terdiri dari ruang tamu, 2 kamar tidur, kamar mandi, dan dapur.

Melihat sendiri dukungan luar biasa dari berbagai pihak, Sarpin sama seperti Ayao, sama-sama tak ingin mengecewakan. Apalagi mengingat warga sudah begitu lama tinggal di tenda maupun huntara. “Saya senang karena pemerintah daerah mendukung dan menyediakan tanah, juga lahan yang cukup luas dan strategis untuk nantinya menjadi tempat tinggal warga yang membutuhkan. Kembali lagi, semoga prosesnya cepat sehingga bisa segera ditinggali warga,” tutur Sarpin.

Lebih dari setahun berlalu. Sarpin mengaku tak sabar melihat gurat-gurat senyum bisa hadir di wajah warga yang tanpa beban, yang sesekali berkunjung ke proyek di sore hari bersama keluarga mereka. Ia berharap dapat segera melihat rumah-rumah cinta kasih itu terisi dengan kehangatan dari masing-masing keluarga. “Sejalan dengan perkiraan Sugianto Kusuma, semoga tahun 2020 nanti, para warga bisa berlebaran dengan nyaman di huntap,” doanya.

Penulis: Tim Redaksi
Menyayangi dan melindungi benda di sekitar kita, berarti menghargai berkah dan mengenal rasa puas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -