Melatih Diri, Menenangkan Batin
Ajaran Jing Si adalah giat mempraktikkan jalan kebenaran, mazhab Tzu Chi adalah Jalan Bodhisatwa di dunia. Ajaran Jing Si bertujuan untuk melatih kita agar setiap orang memiliki kondisi batin yang hening dan jernih, tekad yang luhur dan luas serta tak tergoyahkan dalam masa tak terhingga (Jing Ji Qing Cheng, Zhi Xuan Xu Mo, Shou Zhi Bu Dong, Yi Bai Qian Jie). Empat kalimat pertama dari Sutra inilah semangat inti dari ajaran Jing Si. (Master Cheng Yen)
Bagi para relawan Tzu Chi, tentu sudah tidak asing dengan lagu yang sering didengar dan dilantunkan saat menjalankan pradaksina (meditasi berjalan ala Tzu Chi- red) dalam berbagai kegiatan dan kesempatan. Ya, lagu itu tidak lain adalah petikan dari sutra dasar filosofi Tzu Chi, yaitu Sutra Amitharta (Sutra Makna Tanpa Batas).
Master Cheng Yen sangat menyukai sutra ini dan memilih sutra ini sebagai landasan Tzu Chi. Menurut Master Cheng Yen, di dalam keheningan itulah muncul tekad dalam diri yang harus selalu terus dijaga.
Pada dasarnya setiap orang memiliki sifat hakiki yang jernih dan murni. Cara mempertahankan hati yang jernih dan murni salah satunya adalah dengan tidak berpikiran negatif, yakin, dan terus bergerak maju mengatasi segala rintangan. Ketika menghadapi kesulitan, kita harus selalu ingat bagaimana perasaan kita saat pertama kali mengenal Tzu Chi, saat pertama kali mendengar Dharma, hingga memutuskan bergabung dengan Tzu Chi. Tekad awal ini harus kita pertahankan hingga masa yang tak terhingga.
Setelah mendengar dan memahami Dharma, kita juga harus menjaga hati dengan baik dan terjun ke tengah masyarakat. Dengan terjun ke masyarakat maka kita bisa melihat berbagai metode Dharma yang terpampang di hadapan kita. Tanpa melewati masalah, kebijaksanaan tidak akan bertumbuh. Inilah cara insan Tzu Chi melatih diri: membina diri ke dalam dan berkegiatan kemanusiaan di masyarakat.
Me-recharge Batin dan Mendalami Ajaran Jing Si
Pentingnya Sutra Makna Tanpa Batas sebagai semangat inti dari Tzu Chi membuat tema Sutra Makna Tanpa Batas menjadi pembahasan utama dalam Pelatihan Kamp 4 in 1 di tahun 2017. Istimewanya, dalam pelatihan ini para relawan Tzu Chi di Indonesia memperoleh kesempatan untuk belajar, memahami, dan mendalami Dharma yang dibawakan secara langsung oleh 4 Shifu (biksuni dari Griya Jing Si Taiwan), yaitu De Ju, De Gen, De Ning, dan De Jian. Pelatihan yang diadakan selama dua hari (16 - 17 September 2017) di Aula Jing Si, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara ini diikuti oleh 823 peserta. Para relawan berasal dari Jakarta dan kota-kota lainnya, seperti: Bandung, Bali, Batam, Biak, Lampung, Medan, Padang, Pekanbaru, Pelembang, Surabaya, Singkawang, Makassar, Tangerang, dan Tanjung Balai Karimun.
Pelatihan 4 in 1 menjadi agenda rutin bagi relawan Tzu Chi Indonesia dan sebagai sarana untuk melatih dan menenangkan diri. Jika sehari-harinya relawan terus bergerak bersumbangsih membantu orang lain yang membutuhkan maka ada kalanya mereka juga memerlukan waktu sejenak untuk me-recharge batin dengan menyelami Dharma. “Pada dasarnya dalam Pelatihan 4 in 1 itu kita menyamakan langkah, meng-update informasi terbaru sekaligus menenangkan diri,” ujar Merry Liang, koordinator kegiatan. Di hari pertama, para peserta diajak menyalin penggalan sutra dalam lirik lagu. “Dengan menyalin (lirik lagu) itu kan mereka jadi benar-benar memahami tulisan itu artinya apa, jadi itu salah satu kesempatan mereka mendalami Dharma Master Cheng Yen,” kata Merry.
Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Sugianto Kusuma merasa sangat bersyukur sekaligus menaruh harapan kepada para peserta pelatihan untuk bisa memanfaatkan kesempatan mempelajari Dharma secara langsung dari para Shifu dari Griya Jing Si Taiwan. “Saya rasa ini kesempatan luar biasa. Betapa luar biasa perjuangan Liu Su Mei Shijie (Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi –red) saat meminta kepada Master Cheng Yen agar keempat Shifu ini bisa datang ke Indonesia,” katanya, “ini suatu jodoh yang luar biasa, akhirnya Master mengizinkan dan bahkan bisa datang empat orang.”
Setelah mengikuti training, Sugianto Kusuma berharap relawan Tzu Chi Indonesia juga bisa menjalankannya. Hal ini karena ladang berkah di Indonesia yang sangat luas dan membutuhkan uluran cinta kasih dari banyak orang. “Diharapkan Tzu Chi Indonesia bisa berkembang (lebih) luas dan kita bisa ada (kantor penghubung/perwakilan) di seluruh provinsi di Indonesia.
Ringkasan Sutra Makna Tanpa Batas
De Ju Shifu mengajak insan Tzu Chi Indonesia untuk lebih mendalami dan memahami Sutra Makna Tanpa Batas yang menjadi semangat inti Dharma Jing Si dan Mazhab Tzu Chi. Membina diri ke dalam, dan berkegiatan kemanusiaan di masyarakat merupakan cara insan Tzu Chi melatih diri.
Kamp 4 in 1 ini juga menimbulkan kesan yang mendalam bagi para Shifu dari Taiwan yang hadir, salah satunya adalah De Ju Shifu yang membawakan materi tentang Ringkasan Sutra Makna Tanpa Batas. Menurut De Ju Shifu, melihat para peserta yang cukup banyak dan bersungguh-sungguh mengikuti pelatihan ini membuatnya terharu. “Walaupun ada perbedaan bahasa, tetapi dari sikap dan konsentrasi terlihat mereka sangat bersungguh hati,” ungkapnya.
De Ju Shifu juga menyampaikan tentang pentingnya Sutra Makna Tanpa Batas yang menjadi semangat inti Dharma Jing Si, dan juga Mazhab Tzu Chi. Karena itulah penting bagi setiap insan Tzu Chi untuk mempelajari dan memahaminya, termasuk mengetahui sejarahnya.
Semua berawal 52 tahun silam, ketika Master Cheng Yen yang baru menjadi biksuni menetapkan tiga tekad untuk tidak menerima persembahan/sumbangan, tidak mengadakan pelayanan doa-doa, dan tidak menerima murid. Beliau berencana menutup diri, hanya mau melatih diri untuk mencari makna hidup. “Niat awalnya seperti itu, tapi di pondok kayu ketika Master Cheng Yen tengah menyalin Sutra Bunga Teratai (di dalamnya ada Sutra Makna Tanpa Batas -red), beliau menemukan ajaran Buddha sangat baik dalam membimbing akan kebenaran hidup,” kata De Ju Shifu. Saat menyelami Sutra Lotus (Sutra Bunga Teratai), Master Cheng Yen menemukan bahwa untuk mencapai Kebuddhaan harus ada satu proses dan bahwa Buddha mengajarkan jalan untuk menjadi Bodhisatwa (penolong bagi makhluk lain –red).
Kisah sebercak darah di sebuah klinik membuat Master Cheng Yen merasa tidak tega melihat penderitaan. Saat itu Master Cheng Yen tengah mengunjungi kerabat yang sakit. Ketika berada di pintu masuk klinik tersebut, Master Cheng Yen terhenti dan terkejut melihat genangan darah di lantai. Ternyata genangan darah itu berasal dari seorang warga desa yang keguguran. Secara bergantian wanita tersebut dipanggul dari desanya hingga ke klinik. Tetapi sesampainya di klinik, wanita itu terpaksa harus kembali tanpa perawatan karena tidak mampu membayar uang muka pengobatan. Dari sini Master Cheng Yen melihat ajaran Buddha sangat baik, tapi di dunia juga masih banyak makhluk yang menderita. Master merasa tidak tega dan kemudian memutuskan untuk terjun ke masyarakat. Peristiwa ini disambung kunjungan tiga biarawati Katolik dan celengan bambu menginspirasi Master Cheng Yen untuk mendirikan Yayasan Kemanusiaan Tzu Chi untuk membantu orang-orang miskin.
Menjernihkan Hati Sendiri dan Orang Lain
Pengetahuan” bisa membedakan benar dan salah di dunia, sedangkan “kebijaksanaan” bisa memahami prinsip kebenaran di dunia. Bodhisatwa memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan, bukan saja bisa membedakan benar-salah di dunia, tetapi bisa memahami prinsip kebenaran di dunia.
Semangat
ajaran Buddha adalah berempati terhadap penderitaan semua makhluk, dan semua
manusia menjalani empat fase kehidupan: lahir, tua, sakit, dan mati. Dengan
terjun ke masyarakat maka kita akan melihat penderitaan, dan dengan melihat
penderitaan maka membuat kita menyadari berkah yang kita miliki, dan mencoba
untuk menolong mereka yang menderita. Karena itulah Kitab Wu Li Yang Yi Jing (Sutra Makna Tanpa Batas) ini menjadi sumber
inspirasi dan kekuatan. Meski dengan begitu Master Cheng Yen kemudian
“melanggar” salah satu sumpahnya, yaitu tidak menerima murid. “Ini pelanggaran
yang saya lakukan terhadap tekad saya sendiri,” kata Master Cheng Yen dalam
salah satu ceramahnya. Beliau tidak kuasa menolak para murid yang berdatangan
padanya, dan beliau juga berpikir bahwa untuk bisa membangun kekuatan di jalan
cinta kasih ini memerlukan dukungan dari banyak orang.
Pelatihan relawan menjadi sarana bagi insan Tzu Chi untuk melatih dan menenangkan diri di sela-sela aktivitas relawan yang terus bergerak bersumbangsih membantu masyarakat. Seperti embun, tetesan Dharma yang meresap ke dalam batin menjadi penyejuk yang melembutkan hati, rasa, sikap, dan perbuatan.
Sutra Bunga Teratai sendiri terdiri dari 28 Bab dengan 68 ribu huruf. Di dalam Sutra Bunga Teratai ini ada tiga bagian, salah satunya adalah Sutra Makna Tanpa Batas. Sutra Makna Tanpa Batas ini relatif simple dibanding dengan Sutra Bunga Teratai, tetapi memiliki makna yang sangat dalam. Jika Sutra Bunga Teratai terdiri dari 8 Bab, Sutra Makna Tanpa Batas hanya tiga: Bab Sifat Luhur, Bab Pembabaran Dharma, dan Bab Sepuluh Pahala. Syair Sutra Makna Tanpa Batas ini menjadi prinsip kehidupan Master Cheng Yen dan Yayasan Buddha Tzu Chi. “Batin yang jernih dan hening” adalah bentuk ketulusan yang diwujudkan dalam rasa syukur, menghormati, dan cinta kasih. “Tekad yang luas dan luhur” adalah kebenaran, sepenuh hati dalam setiap saat dan menggenggam saat ini. “Teguh tak tergoyahkan” adalah keyakinan, yaitu tanpa ego dan tanpa pamrih merealisasikan apa yang diucapkan. “Dalam masa tak terhingga” diwujudkan dalam bentuk kesungguhan menjalankan praktik melatih diri dengan tekad tak tergoyahkan.
Jodoh Master Cheng Yen mendalami Sutra Bunga Teratai terjalin ketika beliau diminta untuk membabarkan Dharma di Kompleks Buddha Teratai dari bulan Maret 1961 – September 1962. Di sini juga Master Cheng Yen untuk pertama kalinya merasakan pengalaman retret selama tujuh hari. Di dalam Sutra Bunga Teratai itu ada Trilogi Sutra Bunga Teratai, yang salah satunya adalah Sutra Makna Tanpa Batas. Saat melihat Sutra Makna Tanpa Batas Master Cheng Yen merasa sangat tergugah. Saat itu usianya masih sangat muda, 24 tahun. Master saat itu juga tidak mampu membeli Kitab Mahapitaka dan belum bisa menulis atau menyalin dengan kuas.
Master Cheng Yen kemudian membeli Kitab Sutra Makna Tanpa Batas yang berisi penjelasan dalam bahasa Jepang, yang ditulis oleh Nikkyo Niwano. “Penjelasan Nikkyo Niwano membuat saya memahami ternyata semangat Buddha dan Bodhisatwa bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari,” ungkap Master. Dari sini Master Cheng Yen berharap ajaran Buddha bisa dipraktikkan dalam keseharian sekaligus menjadi panduan dan pendidikan semua orang. Master Cheng Yen menganalogikan Dharma Sutra Makna Tanpa Batas yang bisa meresap dan menyejukkan batin setiap orang dengan tetesan embun. “Suatu hari, saat membaca Sutra Makna Tanpa Batas saya melihat kata tetesan embun. Embun tidak terlihat oleh mata, tetapi bisa dirasakan. Saat malam kita tidak bisa melihat embun, tetapi embun itu ada dan membasahi bumi. Tanpa kita sadari embun memberi manfaat yang sangat besar,” kata Master Cheng Yen.
Pada masa itu kondisi perekonomian di Taiwan cukup sulit. Master Cheng Yen yang saat itu tengah membangun pagar untuk pondok kayunya harus bolak-balik naik ke perbukitan untuk mencari batang bambu. Saat itu gereja banyak memberikan bantuan kepada masyarakat di pedesaan, khususnya di daerah pegunungan. Di sepanjang perjalanan menuju bukit itu Master melihat banyak gereja. Setiap kali melihat gereja, beliau memberi hormat sambil membungkukkan badan. “Saya menghormati ajaran agama lain. Apalagi mereka (pihak gereja) juga membantu masyarakat,” kata Master Cheng Yen. Ini merupakan spirit dari cinta kasih universal Tzu Chi yang tidak memandang suku, ras, agama, dan golongan.
Selama 50 tahun lebih, mengacu pada inti Sutra Makna Tanpa Batas, relawan Tzu Chi terus melatih diri, menjernihkan hati dan pikiran, serta bertindak sebagai Bodhisatwa dunia yang mengembangkan 4 Misi Tzu Chi (Amal, Kesehatan, Pendidikan, Budaya Humanis) di seluruh dunia, mempraktikkan ajaran Buddha dalam kehidupan sehari-hari, dan membawa semangat Bodhisatwa ke tengah masyarakat. Seperti yang disampaikan Master Cheng Yen dalam ceramahnya, “Kita harus menjernihkan hati kita dan orang lain. Bila hati manusia tidak terjernihkan, dunia takkan dapat diselamatkan. Jadi, untuk menyelamatkan bumi, hati manusia harus dijernihkan terlebih dulu. Sebelum menjernihkan hati orang lain, kita harus menjernihkan hati sendiri terlebih dulu. Satu-satunya cara untuk menjernihkan hati adalah dengan mempelajari Dharma.”
Ajaran Jing Si seperti tubuh, dan Dharma bagaikan aliran darah. Karena ada darah maka tubuh kita menjadi sehat. Bagaikan sumsum tulang di tubuh kita yang terus memproduksi sel darah. Jika tidak ada fungsi ini maka tubuh kita tidak akan sehat. Jadi, kita harus mendalami Dharma sehingga jiwa kebijaksanaan kita bisa berkembang.
Seperti saat kita menyeduh teh maka aromanya pun akan ikut terbawa menempel di baju kita. Hal yang sama juga terjadi pada saat kita mendalami Dharma, segala tindak-tanduk dan perbuatan kita pun akan ikut terbawa positif. Semoga selalu maju dalam dharma, berkah, dan kebijaksanaan.
Penulis: Hadi Pranoto