Melindungi Bumi, Memberkahi Diri

Brilianto memanfaatkan waktunya untuk berdiskusi dengan salah satu relawan Tzu Chi, Endang Supriatna di sela-sela waktunya ketika memilah sampah di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi Kelapa Gading.

Tumpukan karung berisi botol-botol plastik daur ulang memenuhi sudut rumah. Sementara botol-botol bekas air mineral ukuran satu setengah liter yang sudah dimodifikasi menjadi pot berbagai jenis tanaman berjejer menghiasi pagar tembok. Tampak sekali kreativitas pembuatnya. Barang-barang “sederhana” ini adalah hasil karya Brilianto Pratama, bocah berusia tiga belas tahun yang tinggal di Kampung Sawah, Bekasi, Jawa Barat.

Brilianto atau yang akrab disapa Brian memiliki kebiasaan mengumpulkan sampah-sampah daur ulang di sekitar tempat tinggalnya. Mayoritas adalah botol-botol plastik minuman kemasan. Brian juga merupakan salah satu penerima bantuan pendidikan Tzu Chi. Ia memiliki inisiatif untuk melestarikan lingkungan karena terinspirasi dari kegiatan yang ia ikuti di Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi di Kelapa Gading, Jakarta Utara. Kebetulan setiap bulan diadakan Gathering Penerima Bantuan Tzu Chi di sana, dan sebelum acara dimulai para peserta diperkenalkan dengan Misi Pelestarian Lingkungan Tzu Chi sekaligus mempraktikkannya: memilah sampah daur ulang sesuai dengan jenisnya. Di sela-sela kegiatan itu, para relawan Tzu Chi juga menjelaskan tentang pentingnya menjaga bumi, termasuk menyampaikan kepada para penerima bantuan ini bahwa bantuan (beasiswa, pengobatan, ataupun tunjangan biaya hidup) yang mereka terima salah satunya berasal dari hasil daur ulang ini.

Apa yang dilihat dan dirasakannya Brian terdorong meluangkan waktunya mencari dan mengumpulkan sampah-sampah yang bernilai ekonomis. Salah satunya adalah plastik botol-botol minuman kemasan. “Yang dilakukan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi sangat bermanfaat bagi warga sekitar, khususnya keluarga penerima bantuan. Saya juga tahu kalau masih banyak orang yang lebih susah dari saya sehingga saya terinspirasi (memungut sampah),” ujar Brian. Semua itu dilakukannya karena kepeduliannya kepada misi pelestarian lingkungan, selain tentunya juga memberi manfaat secara ekonomis.

Setiap bulan minggu pertama pada hari Minggu, Brilianto bersama para penerima bantuan pengobatan, pendidikan, tunjangan biaya hidup lainnya berkumpul mengikuti acara gathering dan pembagian bantuan.


Jika tidak memiliki banyak pekerjaan rumah, Brilianto menyembapatkan diri untuk memungut sampah di lingkungan sekitar tempat tinggalnya. Kemudian dipilah dan dikelompokkan sesuai dengan jenis sampah.

Brian mengumpulkan botol-botol plastik sepulang sekolah. Lokasi sekolah yang cukup jauh dari tempat tinggalnya ia manfaatkan untuk mengumpulkan sampah di sepanjang jalan. Brian memang selalu jalan kaki untuk pulang-pergi sekolah. Selain itu terkadang jika sedang tidak banyak pekerjaan rumah, ia pun menyempatkan diri keluar rumah untuk memungut sampah. “Kalau misalnya ada waktu kosong atau libur juga saya pakai untuk mengumpulkan sampah (daur ulang),” kata sulung dari empat bersaudara ini. Botol-botol plastik ini kemudian dikumpulkan, dibersihkan (label dan plastik penutupnya), dipipihkan, baru kemudian dipilah dan dikelompokkan sesuai dengan jenisnya. Dengan karung besar botol-botol itu diletakkan di salah satu sudut rumah. Botol-botol ini ini pun siap untuk dijual ke pengepul.

Selain dijual, botol-botol pastik itu “disulap” Brian menjadi buah karya tangannya. Ia membuat lampion. Semua itu dilakukannya tanpa menganggu aktivitas dan prioritas utamanya: belajar. Memang tugas utama Brian adalah belajar demi menggapai cita-citanya, namun di sela-sela waktunya ia juga mencari ide kreatif yang bisa dikembangkan untuk menghasilkan sesuatu. “Pernah membuat lampion cuma waktunya yang terbatas. Baru dapat 5 lampion, satunya saya jual 15.000 rupiah,” akunya tersenyum bangga. Ia juga ingin mengembangkan bakat kreasinya mengubah sampah menjadi barang-barang yang bisa berguna untuk orang lain. Dalam istilah Tzu Chi: mengubah sampah menjadi emas, dan mengubah emas menjadi cinta kasih. “Kalau ada waktu ingin dikembangkan lagi,” sambungnya.

Kesungguhan Hati Ayah dan Anak

Aktivitas yang dilakukan Brian ternyata mengundang perhatian keluarga, terutama kedua orang tuanya. Mereka sangat mendukung inisiatif Brian. Mereka turut bangga melihat Brian bukan merupakan tipe anak yang pemalu ketika harus memungut sampah daur ulang. “Enggak ada rasa malu, selagi itu berguna untuk diri sendiri dan orang lain enggak malu,” tegas siswa kelas delapan SMP Strada ini.

Ayah Brian, Krisna Sederhanawan merasa bangga dengan apa yang dilakukan anak sulungnya tersebut. Ia pun bersyukur sejak mengenal Yayasan Buddha Tzu Chi, Brian memiliki pemikiran yang lebih matang dan dewasa. Krisna mengaku, awalnya ia tidak menduga pengajuan bantuan pendidikan untuk anaknya akan dikabulkan Tzu Chi. “Karena kalau dilihat dari tempat tinggal kami mungkin tidak ada yayasan yang bersedia membantu kami. Tapi saya ceritakan apa adanya, bahwa saya dan keluarga tinggal di sini adalah numpang,” ujar Krisna. Krisna mengajukan bantuan ketika Brian akan memasuki SMP, saat itu ia bekerja sebagai buruh angkut galon air minum. Brian dibantu Tzu Chi sejak memasuki SMP Strada, Kampung Sawah, Bekasi. “Saya senang dan bersyukur. Kalau tidak diterima, uang dari mana untuk membayar uang pangkalnya,” akunya. “Saya salut dengan (yayasan) Buddha Tzu Chi karena bisa merasakan apa yang saya rasakan. Tinggal bersama keluarga lain yang mampu dalam satu rumah sebenarnya lebih ‘menyiksa batin’ kami.  Dan relawan Tzu Chi merasakan hal ini, bukan hanya melihat dari luar saja, tapi tapi juga dari batin,” sambungnya.

Penghasilan Krisna, bapak empat anak itu berkisar satu setengah juta, sementara ia harus menanggung kebutuhan keluarga sehari-hari dan memenuhi kebutuhan anak-anaknya yang masih kecil. Tidak heran jika saat itu Brian terkadang harus berangkat ke sekolah tanpa uang saku. “Sangking enggak ada uangnya,” ucap Krisna tersenyum. “Brian orangnya semangat enggak pernah ngeluh,” imbuhnya sambil memandang buah hatinya.

Melihat kondisi anaknya yang harus berjalan kaki demi belajar meraih prestasi, sebagai seorang ayah tentu tidak tega melihatnya. Ia pun menyadari kalau nilai Brian pun sempat mengalami penurunan. “Wajar kalau akhirnya hasil raportnya kurang karena sudah lelah duluan, konsentrasinya enggak maksimal,“ kata Krisna. Hingga suatu saat Krisna mendapatkan pekerjaan yang baru dan penghasilannya pun lumayan untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Ia kini bekerja sebagai koster (penjaga dan pengurus) di salah satu gereja di Jakarta.

Aktifitas dan kreatifitas Brilianto dalam mengumpulkan sampah dan menjualnya mendapatkan dukungan dari keluarga. Ayah Brilianto pun turut membantu melakukan pemilahan sampah di saat senggang. 

Pekerjaan yang cukup jauh dari tempat tinggalnya mengharuskan Krisna tinggal terpisah dari keluarganya. Seminggu sekali setiap hari Selasa yang menjadi hari liburnya dimanfaatkan untuk pulang ke rumah dan bercengkerama bersama keluarga. Namun melihat semangat putra sulungnya yang terus mengumpulkan botol-botol plastik daur ulang, Krisna pun ikut memilah dan memipihkan sampah botol-botol platik tersebut. Tak heran di sela-sela waktunya untuk istirahat bersama keluarga ia manfaatkan juga untuk memilah barang-barang daur ulang di rumahnya bersama Brian. Dengan diajari anaknya, Krisna makin mahir dalam mengelompokkan botol-botol plastik sesuai dengan warna dan jenisnya. Melihat kegigihan Brian, Krisna pun menghubungi toko galon air minum tempatnya bekerja dulu untuk mengumpulkan tutup galon yang sudah tidak terpakai maupun galon-galon yang sudah usang untuk “depo mini” putranya. Ia melakukan semua ini sebagai wujud dukungannya terhadap apa yang dilakukan Brian. “Awalnya anak saya enggak terpikirkan mengumpulkan barang-barang daur ulang, tapi sepulangnya dari Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi akhirnya ia jadi terinspirasi. bisa ikut mengumpulkan. Saya mendukung sekali, kita mesti go green dan berpikir kreatif,” ungkap Krisna.

Manfaat dari Sampah

Selain untuk menjaga kelestarian bumi, pengumpulan barang-barang daur ulang  yang dilakukan Brian secara tidak langsung juga berkontribusi besar dalam pengembangan belajarnya. Hasil penjualan barang-barang daur ulang itu oleh Brian digunakan untuk membeli berbagai sarana penunjang belajarnya. “Aku pakai buat beli buku, bayar kursus, dan perlengkapan-perlengkapan sekolahku,” ucap Brian tersenyum. “Dan mungkin (ke depan) aku juga bisa donasikan sebagian ke Tzu Chi,” sambungnya. Hal ini pun diiyakan oleh ayahnya. “Beli buku (kamus) dan buat kursus dari hasil penjualan barang daur ulang. Lumayan membantu juga,” ujar Krisna bangga.

Ide untuk mengumpulkan barang-barang daur ulang ini memang belum lama, sehingga hasil yang diperoleh pun belum banyak. Aktivitas ini juga hanya sambilan. Meski begitu Brian sudah beberapa kali merasakan hasilnya. “Paling besar penjualan dapat lima puluh ribu lebih,” akunya. Buah dari hasil keringatnya kerja kerasnya ini membuatnya merasa bersyukur. “Senang banget rasanya memiliki ide seperti ini (mengumpulkan barang daur ulang) , bisa menghasilkan sesuatu yang berguna buat aku sendiri,” ungkapnya.

Setelah merasakan sendiri manfaatnya, Brian juga berkeinginan untuk mengajak teman-teman sebayanya melakukan kegiatan serupa seperti dirinya. Meski begitu ia sadar tidak mudah untuk menularkan semangat pelestarian lingkungan ini. “Kadang ada yang bilang kalau ini tidak penting, cuma sekadar sampah, padahal kalau aku bilang ini adalah sesuatu yang bernilai, lebih dari sekadar sampah,” ucapnya.

Bagi Brian mencoba hal-hal baru sangatlah menyenangkan, sehingga apa yang dilihatnya dari Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi dan dirasakan bisa diterapkan di rumahnya pasti ia kerjakan. Belum lama ini Brian membuat pot dari botol-botol bekas yang ditanami bunga maupun sayur-sayuran. “Ide untuk menanam tanaman dengan pot botol air minum juga dari depo. Pas di parkiran aku baru ngeh kayak ada yang menggantung ini apa? Ternyata dari botol bekas,” ucapnya diikuti tawa.

Membagikan Kesadaran

Banyak hal yang diperoleh Brian selama berkegiatan di Tzu Chi setiap awal bulan tersebut. Selain bisa mengenal lebih dekat Tzu Chi dan relawannya, juga mengenal para penerima bantuan yang lain. “Kita (penerima bantuan) saling berbaur, sambil pilah sampah kita ngobrol. Saling sharing dan saling menguatkan,” kata Brian. Bukan hanya lebih mengenal relawan dan penerima bantuan lainnya, tetapi juga ada perubahan diri yang cukup besar efeknya. “Dulu enggak punya kesadaran mungut sampah, mungkin aku menjadi salah satu pelaku yang suka buang sampah tidak pada tempatnya. Tapi sekarang aku jadi pelaku untuk mengingatkan teman-teman,” aku Brian yang bercita-cita menjadi pendeta ini. “Semua itu sesuai kesadaran, jadi selagi ada kesadaran kita bisa berubah,” imbuhnya.

Di usia belasan tahun ini Brilianto tidak memiliki rasa malu untuk memungut sampah-sampah plastik botol bekas air minum kemasan. Baginya apa yang dilakukan untuk melestarikan lingkungan dari banyaknya sampah yang makin menggunung.

Menyadari banyaknya sampah akibat semakin meningkatnya konsumsi masyarakat membuat Brian berpikir bahwa diperlukan pemahaman bahaya sampah bagi lingkungan. Meskipun ketika bertemu dengan orang yang tidak membuang sampah pada tempatnya ia selalu mengingatkan, namun hal ini tidaklah cukup. Brian memiliki keinginan untuk menerapkan kegiatan pelestarian lingkungan di lingkungan sekolahnya dulu. Sekolahnya memang sudah menerapkan program sehari tanpa sampah dengan melarang semua anak didik membawa barang-barang sekali pakai. Namun itu saja baginya belum cukup, masih banyak sampah-sampah daur ulang yang belum termanfaatkan.

Pemikiran Brian tidak berhenti pada lingkungan sekolah saja. Banyak hal yang sudah ia rencanakan, terutama dalam lingkungan sekitar tempat tinggalnya. “Aku berencana ingin membuat program di lingkungan Rukun Tetangga (RT) ini agar tidak hanya aku yang berubah, tapi semua orang juga melakukannya dan memiliki kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan,” ungkap Brian. Tekad seorang bocah berusia belasan tahun akan pentingnya menjaga bumi sangat dipuji ayahnya. “Apa yang sudah Tzu Chi tanamkan juga mesti diberikan ke orang lain. Yang penting ingat alam dan jangan merusaknya,” ujar sang ayah memberikan pesan kepada anaknya.

Brian merupakan satu dari sekian banyak anak-anak yang sudah memahami akan pentingnya kontribusi diri dalam menyokong keluarga, membantu sesama, dan bahkan menjaga alam. Karena ia selalu berpikir bahwa Tuhan menciptakan dirinya pasti memiliki manfaat dan tujuan yang baik, saling menguatkan satu sama lain. Inilah yang menjadi pedoman hidupnya dalam melakukan sesuatu yang berguna untuk orang lain.

Memberikan sumbangsih tanpa mengenal lelah adalah "welas asih".
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -