Membangun Fondasi Karakter Sejak Dini


Mendidik bukan sekadar menjadikan anak cakap secara akademis, namun juga berkarakter mulia. Dan pendidikan budaya humanis dijadikan Sekolah Tzu Chi Indonesia sebagai upaya untuk menyelaraskan keduanya.

Musik berdering memecah keheningan selasar lantai 4 Sekolah Dasar (SD) Tzu Chi Indonesia pagi itu. Musik itu menjadi tanda jam pelajaran telah usai. Benar saja tak berselang lama, suara riuh khas anak-anak mulai terdengar di semua kelas.

Dari balik pintu kelas P5 Kindness keluar siswi yang tampak berjalan tergesa-gesa. Meski begitu ia tetap melambaikan tangannya tersenyum menyapa kami sembari mengucap “hai...” Ia berjalan dan terus mempercepat langkahnya menuju gedung Gan En, Tzu Chi Center, PIK. “Takut telat,” ucapnya lembut. Ia pun terus melangkahkan kakinya yang terkadang berlari kecil. Ternyata ia akan perform membawakan isyarat tangan Rang Ai Chuan Chu Qu dalam acara gathering istri Rong Dong bersama 10 kawan-kawannya.

Lieselotte Kayleen namanya. Gadis cilik enerjik ini terus menebar senyum dan tampil gemulai. Gerakan tangan mungilnya pun hampir tak ada yang salah, begitu juga dengan lirik lagu yang dinyanyikan. “Sekitar dua minggu latihannya,” kata sang Mama, Streisand. Nancy, sapaan karibnya yang hadir dalam acara tersebut pun memberikan pujian. “Dia anaknya memang gampang ingat sih,” akunya tersenyum.


Pendidikan budaya humanis yang diajarkan sekolah memberika dampak positif bagi Lieselotte Kayleen, salah satunya semakin sayang terhadap orang keluarga.

Tampil isyarat tangan bukan hal baru bagi Lieselotte. Pasalnya sejak kelas 1 hingga kelas 3 SD, ia sudah mengikuti ektrakurikuler Shou Yu. Maka tak heran jika sosoknya sering muncul dengan gerakan-gerakan indah menampilkan isyarat tangan di atas panggung kegiatan besar Tzu Chi. “Saya sangat bangga dan mendukung Lieselotte menjadi bagian tim isyarat tangan. Ini melatih keberanian dia dan team work juga,” ujar Nancy.

Ren Wen Adalah Pilihan Utama
Orang tua Lieselotte memasukkannya di sekolah Tzu Chi Indonesia sejak masih duduk di kelas Nursery (Kelompok Bermain). Bukan tanpa tujuan, Nancy yang tinggal di daerah Citra Dua, Jakarta Barat membawa misi agar anaknya memiliki karakter yang baik. “Tujuan utama saya masukin ke Tzu Chi School nomor satu karena ren wen nya,” tegas Nancy.

Menurutnya pendidikan budaya humanis (ren wen) yang diajarkan sekolah sangat memberikan dampak positif bagi Lieselotte. Banyak hal-hal kecil yang berubah dalam diri anak semata wayangnya itu. Nancy pun tak menyangka. “Dari TK diajarin untuk (mengucapkan) gan en (terima kasih). Menerima barang dengan dua tangan sambil membungkuk itu kebawa, sambil ngomong gan en itu otomatis. Meskipun (barang) itu dari waiter/waitress. Kadang foto saja posisi tangannya fang zhang (mudra),” ujarnya tertawa.

“Ketika neneknya tidur nggak selimutan dia otomatis bantu selimutin. Secara tindakan sangat kebawa sekali dari sini (sekolah),” sambung Nancy. Lieselotte pun menganggukkan kepala tanda setuju. “Karena nenek sayang sama aku, jadi aku juga harus sayang sama nenek,” ungkap Lieselotte tersipu.

Lieselotte yang sejak masih di TK sudah diajarkan untuk melipat baju sendiri, menyumpit dengan benar, dan membereskan barang miliknya sendiri juga dilakukan di rumahnya. Terlebih Nancy tidak menggunakan jasa asisten rumah tangga, sehingga Lieselotte memiliki banyak kesempatan untuk melakukan segala sesuatunya dengan mandiri.

Hal ini juga didukung dari sekolah melalui PR yang diberikan seperti memasak nasi, mengupas buah sunkist, dan keterampilan-keterampilan lainnya. “Waktu itu masak telur mata sapi, tapi ini agak susah misalnya butter terlalu banyak, wajan terlalu panas jadi hasilnya nggak terlalu bagus. Pas (praktik) di sekolah punyaku luber dikit, kalau di rumah sukses,” kata Lieselotte girang. Meskipun sering mengerjakan apapun sendiri, namun orang tuanya tetap melakukan pengawasan.

Bukan hasil yang dilihat oleh Nancy melainkan proses belajar yang dilakukan Lieselotte yang justru ia berikan apresiasi, melihat banyak perubahan yang dialami anaknya. “Terharu, senang, bangga. Itu yang saya rasakan,” ungkap Nancy yang juga relawan Daai Mama ini.

Pendidikan Kehidupan Sehari-hari
Tidak hanya Nancy, sebagian besar orang tua murid menjatuhkan pilihan di Sekolah Tzu Chi karena gaungan pendidikan budaya humanis. “Semua orang tua yang kirim anaknya ke sini tujuannya cuma satu, ingin anaknya memiliki karakter yang baik,” kata Caroline Widjanarko, Kepala SD Tzu Chi Indonesia.

Untuk menunjang pendidikan karakter inilah, Sekolah Tzu Chi Indonesia memberikan pendidikan budaya humanis melalui kelas budaya humanis. Di dalam kelas budaya humanis ini, murid-murid diajarkan bagaimana meracik teh, merangkai bunga, dan kaligrafi. Namun apakah kelas budaya humanis dapat membentuk karakter yang baik?


Orang tua murid tampak bahagia melihat buah hati mereka belajar membasuh kaki orang tua, satu kebiasaan yang terus diajarkan oleh Sekolah Tzu Chi Indonesia sebagai wujud bakti pada orang tua.

Caroline menegaskan kelas budaya humanis yang diajarkan Sekolah Tzu Chi Indonesia hanyalah media atau cara. “Karena kalau kita bicara pendidikan karakter kalau tanpa menggunakan cara atau media kan nggak bisa, masa metodenya ceramah terus kan nggak mugkin,” jelasnya.

Kelas budaya humanis yang diajarkan Sekolah Tzu Chi Indonesia memang bukan bertujuan agar menjadi master dalam meracik teh, merangkai bunga, ataupun menulis kaligrafi. Namun masing-masing yang diajarkan memiliki filosofi yang dapat diamalkan dalam kehidupan.

“Melalui meracik teh dia belajar banyak hal termasuk bagaimana menyajikan teh. Menyajikan teh kepada orang tua ada tata caranya. Menuang teh pelan-pelan di sini belajar kesabaran, ketenangan batin. Termasuk juga kaligrafi ini susah lho mesti pelan-pelan tidak bisa buru-buru. Kalau merangkai bunga banyak daun-daunnya atau akarnya miring ini boleh dibuang, sama seperti sifat manusia yang buruk boleh dibuang,” papar Caroline. “Setiap kali mereka belajar selalu ada makna di situ,” sambungnya.

Banyak filosofi kehidupan yang diterima melalui pendidikan di kelas budaya humanis, Lieselotte yang kini sudah duduk di bangku kelas 5 SD pun sudah merasakannya. “Bikin teh itu harus yong xin (bersungguh hati), pelan-pelan jangan terkena tangan. Kita juga belajar agar kita sabar,” ungkapnya.

Metode pendidikan budaya humanis yang diterapkan sekolah Tzu Chi inipun didukung dengan penerapan pendidikan kehidupan sehari-hari. “Nah yang kita lakukan dari pendidikan kehidupan sehari-hari adalah untuk menanamkan kebiasaan baik pada diri anak dan membuang kebiasaan buruknya. Dari situ baru kita bisa melihat apakah pendidikan ini bisa berhasil atau tidak,” ujar Caroline.

Misalnya yang dilakukan SD Tzu Chi Indonesia, pendidikan kehidupan sehari-hari diajarkan dimulai dari detil terkecil dalam kehidupan anak. Seperti jika bertemu siapapun harus memberikan salam dan senyum. Ketika petugas keamanan sekolah membukakan pintu mobil maka anak-anak juga diajarkan untuk mengucapkan terima kasih dan tersenyum. Budaya mengantre juga diajarkan dan dipraktikkan di sekolah, seperti ketika mengambil makan siang.

Ngantri makan siang kita harus sabar, kita harus hargai teman-teman yang bagi (makanan) meskipun sangat lambat, mereka juga sangat bekerja keras,” Lieselotte menuturkan.

Adapula kegiatan bersih-bersih di sekolah. Dalam kegiatan ini Lieselotte memiliki pengalaman berharga dari membersihkan toilet. “Sebenarnya bersihin toilet tidak gampang dan juga kita perlu agar tidak menghabiskan cairan pembersih, jadi hemat,” terangnya.

Caroline menjelaskan, kegiatan bersih-bersih yang diadakan sekolah tidak serta merta hanya membuat sebuah kegiatan, melainkan memiliki tujuan yang ingin dicapai. “Melalui kegiatan ini mereka diajak sharing bagaimana perasaan mereka, dan banyak yang menyadari bahwa tidak mudah menjadi petugas kebersihan jadi kita harus hormat pada mereka,” ujar Kepala SD Tzu Chi Indonesia yang bergabung sejak awal berdirinya sekolah ini. “Makanya ketika anak-anak disuruh cuci WC aja orang tua terima, padahal di rumah sendiri enggak pernah nyentuh yang kayak gitu. Itulah sebagai penguat kita apa yang kita lakukan semua demi anak,” imbuhnya.


Tidak hanya mendidik secara akademis, Sekolah Tzu Chi Indonesia juga mengajarkan kemandirian dalam kehidupan sehari-hari melalui kegiatan Daily Life Skill, seperti salah satunya menyiapkan sarapan mereka sendiri.

Kegiatan sehari-hari yang dipraktikkan anak-anak di sekolah, ternyata tidak sedikit dari mereka yang mengaplikasikannya juga di rumah masing-masing. Seperti menyapu, mencuci piring, melipat baju, memakai sepatu sendiri dan lain sebagainya.

Begitu juga rasa empati dan simpati yang tumbuh dalam diri anak-anak. Contohnya saja Lieselotte yang mendengar kabar teman sekelasnya mengalami patah tulang di tangan akibat tertabrak motor. Sontak ia segera membuat surat untuk temannya tersebut. Tidak hanya surat, Liselotte juga memberikan pendampingan dan membantu temannya merapikan buku, membawakan tas, dan lain-lain selama masa penyembuhan. Bahkan teman-teman lain sekelasnya melakukan hal yang sama.

“Dikasih tahu mamanya si anak dan gurunya, aku kaget juga. Kok anak ini (Lieselotte) bisa ya?” ujar Nancy kagum. “Yang saya salut ya empatinya yang selama ini nggak saya lihat dan ternyata selama ini punya,” akunya bangga sekaligus haru.

“Habis bantuin (teman) saya merasa happy karena saya telah membuat karma baik,” timpal sang anak.

Menjadi Makin Terampil
Perubahan karakter seperti memiliki rasa empati dan simpati pada anak-anak tenyata sudah terbentuk sejak masih di TK. Hal ini diungkapkan oleh Kepala TK Tzu Chi Indonesia. “Mereka memiliki rasa empati, rasa simpati sudah terlihat,” ucap Iing Felicia Joe.

Di TK juga diajarkan Kata Perenungan Master Cheng Yen untuk menunjang pendidikan budaya humanis. “Kata perenungan kalau dihafal bisa saja, tapi di balik kalimat yang sederhana ada makna yang mendalam,” ujar Iing Felicia. Apakah mereka paham? “Jadi kita ajarkan secara konkrit dari kata perenungan itu,” tukasnya.

Dalam pendidikan budaya humanis, TK Tzu Chi Indonesia mengajarkan keterampilan sehari-hari seperti sopan santun, jujur, tanggung jawab, mandiri. Makanya anak-anak sejak usia dini sudah diajarkan melipat baju sendiri, memakai sepatu sendiri, menyusun buku dan barang-barang sendiri, membawa tas sendiri, berbaris, mengantre, dan lain-lain. Anak-anak pun makin terampil melakukannya secara mandiri.

“Secara kesehariannya pun kita bisa katakan sudah membudaya. Berarti mereka paham kalau datang ke sekolah penampilan rapi. Pada saat mereka datang mereka antre melakukan kegiatan rutin scan ID. Scan ID yang siapkan anak-anak jadi ada tanggung jawab tersendiri. Pada saat antre tidak boleh potong jalur. Mereka paham antre memiliki selang waktu, mereka harus sabar,” ungkap Iing.

Menyelaraskan Pendidikan di Sekolah, Keluarga, dan Lingkungan
Keterampilan sehari-hari yang dimiliki dan dilakukan anak-anak juga ditopang adanya peran penting guru sebagai role model bagi mereka. Makanya Sekolah Tzu Chi Indonesia juga menyiapkan tenaga pendidik yang sudah dibekali dengan pendidikan budaya humanis. Guru-guru yang datangnya dari berbagai negara dengan latar belakang dan budaya yang berbeda-beda pun diberikanlah pelatihan budaya humanis setiap awal tahun ajaran. “Di training itu membedah apa sih budaya humanis? Dilanjutkan adanya pembinaan atau pelatihan berkelanjutan dari masing-masing unit,” ujar Iing.

Namun dalam mendidik karakter siswa tidak cukup hanya dari sekolah, melainkan perlu dukungan dari pendidikan orang tua dan lingkungan. Lebih lanjut Iing mengatakan, “Masa-masa keemasan seorang anak pada saat usia di KB atau TK, karena mereka belum paham untuk semua hal jadi mereka akan melihat apa yang di depan mereka baik guru, pengasuh, orang tua. Karena ini usia emas jadi kami berusaha memberikan yang terbaik.”


Para siswa K2 memberikan sebuah lilin kepada siswa K1 dalam kegiatan Handover, yakni kegiatan memperkenalkan sekaligus mewariskan tanggung jawab yang telah siswa K2 emban ke adik-adik kelas mereka di K1. Kegiatan ini juga merupakan pelatihan kemandirian, di samping kegiatan belajar di kelas.

Untuk mencapai hal ini, Sekolah Tzu Chi Indonesia tidak bisa melakukannya sendiri melainkan juga menggandeng orang tua dan semua elemen yang berhubungan dengan pendidikan. “Kami selalu mengingatkan guru melalui pelatihan-pelatihan hal apa dan bagaimana mereka harus bertindak dan menstimulasi anak-anak. Guru bukan hanya mengajar di kelas, tetapi menjadi guru pembimbing yang memberikan edukasi mendalam dan holistik kepada anak,” ujar Iing.

Begitu juga kepada pengasuh, “Kami secara berkala ada workshop untuk pengasuh. Kami berbagi pengetahuan sebenarnya peran pengasuh di mana? Apa yang harus dilakukan. Kami bimbing.” Termasuk dengan orang tua yang juga diberikan kegiatan parenting. “Agar orang tua memahami tujuan pendidikan apa, bagaimana dan apa yang harus dilakukan ke anak yang berada di usia dini ini,” lanjut Iing.

Tidak hanya itu, sekolah juga mengingatkan kepada tenaga kependidikan termasuk petugas keamanan dan kebersihan di sekolah untuk memberikan edukasi kepada anak-anak. “Jadi si anak bisa merasakan ketika dengan ibu kebersihan dengan guru semua sama, tidak beda perlakuan,” ucapnya.

Melalui berbagai upaya yang dilakukan sekolah demi membangun fondasi karakter yang kuat pada anak, Iing berharap mereka menjadi pribadi yang bisa membawa perubahan positif. “Saya sangat bersyukur apabila mereka sudah meninggalkan bangku sekolah ini mereka jadi agen perubahan buat diri mereka, keluarga, dan lingkungan yang ada,” ungkapnya.

Sekolah Tzu Chi Indonesia memang sangat mengedepankan pendidikan budaya humanis, namun bukan berarti tidak mempertimbangkan pendidikan akademik. Sehingga tujuan orang tua menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah ini pun sesuai harapan: berwawasan tinggi dan berkarakter mulia. Dan Nancy telah merasakannya, “Hingga sekarang tujuan awal tercapai banget bagi saya. Mau akademik, mau budaya humanisnya dua-duanya bagus.”

Penulis: Yuliati

Seulas senyuman mampu menenteramkan hati yang cemas.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -