Memberi Hidup Kedua untuk Baju Bekas
Bayangkan sebuah lemari yang penuh sesak dengan pakaian yang hampir tidak pernah dipakai. Sementara itu, di belahan dunia lain, tumpukan limbah tekstil semakin menggunung, mencemari lingkungan dan mengancam kelestarian Bumi. Industri fashion yang kita cintai diam-diam menjadi salah satu penyumbang polusi terbesar di dunia. Namun, di balik semua itu, ada cara untuk memperbaiki keadaan—dari thrifting hingga upcycling, banyak orang mulai mengambil langkah kecil yang berdampak besar ini.
*****
Industri fast fashion telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern, menawarkan pakaian trendi dengan harga terjangkau dan produksi cepat. Namun, di balik kemudahan ini, terdapat dampak lingkungan yang signifikan. Setiap tahun, diperkirakan 92 juta ton limbah tekstil dihasilkan secara global, dengan sebagian besar berakhir di tempat pembuangan akhir (TPA).
Jika tren ini berlanjut, jumlah tersebut diproyeksikan meningkat menjadi 134 juta ton per tahun pada 2030. Selain itu, industri fashion bertanggung jawab atas sekitar 10% emisi gas rumah kaca global, melepaskan sekitar 1,2 miliar ton gas rumah kaca ke atmosfer setiap tahun.
Konsumsi air yang masif juga menjadi masalah, dengan industri ini menyumbang 20% dari total air limbah global. Di Indonesia, fenomena ini juga memprihatinkan; pada tahun 2021, negara ini menghasilkan sekitar 2,3 juta ton limbah pakaian, setara dengan 12% dari total limbah rumah tangga.
Di tengah permasalahan ini, muncul individu-individu yang mengambil langkah nyata untuk mengurangi dampak negatif industri fashion, salah satunya dengan thrifting.
Berburu “Harta Karun”
Sebut saja Pasar Senen di Jakarta Pusat yang menjadi salah satu pusat thrifting terbesar dan tertua di Indonesia. Begitu melangkah ke dalam area pasar, suasana yang semarak langsung terasa. Deretan kios kecil dan lapak-lapak berjejer rapat, dipenuhi tumpukan pakaian bekas dalam berbagai gaya, warna, dan ukuran. Aroma kain yang bercampur dengan udara khas pasar tradisional menyambut para pengunjung yang datang berburu barang murah.
Di Pasar Senen Jakarta Pusat, pengunjung sibuk mencari pakaian yang sesuai dengan gaya mereka di antara tumpukan barang di lantai. Budaya thrifting yang semakin digemari ini tidak hanya memberi akses kepada barang terjangkau, tetapi juga mendukung pelestarian lingkungan dengan mengurangi limbah tekstil.
Suara pedagang yang menawarkan dagangan mereka berpadu dengan celoteh para pembeli yang sibuk menawar harga. Beberapa orang terlihat memilah-milah tumpukan baju dengan teliti, meraba tekstur kain, dan memastikan kondisi pakaian masih layak pakai. Tidak jarang, mereka menemukan merek-merek ternama dengan harga yang jauh lebih murah dibandingkan di pusat perbelanjaan besar.
Di salah satu sudut pasar, terlihat beberapa remaja antusias mencoba jaket denim oversized, sementara sekelompok lainnya berdiskusi tentang pakaian vintage yang sedang tren. Ada juga kolektor barang fashion yang berburu item langka, seperti kemeja oxford klasik atau kaos band edisi terbatas.
Jalanan antar-lorong cukup sempit, membuat para pengunjung harus berdesakan, terutama di akhir pekan saat pasar mencapai puncak keramaiannya. Beberapa kios memiliki rak yang lebih tertata rapi, sementara lainnya hanya menumpuk baju dalam karung besar, mengundang pembeli untuk membongkar dan mencari harta karun mode mereka sendiri.
Pembeli dengan antusias memilih dan mencoba berbagai pakaian, mereka sangat teliti dalam mencari yang sesuai sebelum membeli. Harga yang terjangkau membuat masyarakat tertarik untuk membeli berbagai produk thrifting ini.
Selain pakaian, Pasar Senen juga menawarkan berbagai aksesori, mulai dari topi, tas, hingga sepatu sneakers bekas yang masih dalam kondisi cukup bagus. Beberapa pedagang bahkan menyediakan jasa cuci dan reparasi pakaian di tempat, sehingga pembeli bisa langsung mendapatkan barang thrift dalam kondisi terbaiknya.
Meskipun ramai, suasana di Pasar Senen tetap terasa akrab dan penuh semangat. Bagi banyak orang, thrifting di sini bukan sekadar aktivitas belanja, tetapi juga pengalaman berburu dan menemukan pakaian unik dengan harga yang terjangkau, sekaligus berkontribusi dalam gerakan fashion berkelanjutan.
Thrifting, Gaya Hidup Sederhana dan Ramah Lingkungan
Salah satunya yang pernah berburu harta karun di sana adalah Marini, seorang ibu yang kini juga seorang guru di Tzu Chi School. Di masa mudanya, ia bercerita bahwa selalu memilih untuk mengurangi sampah pakaian melalui thrifting, membeli dan menggunakan pakaian bekas yang masih layak pakai, dan Pasar Senen selalu menjadi tujuan utamanya karena ada hal yang selalu bisa ditemukan.
Dengan cara ini, Marini tidak hanya mengurangi limbah tekstil, tetapi juga memperpanjang siklus hidup pakaian dan mendukung ekonomi sirkular. Kini ketika sudah jarang nge-thrif, ia masih selalu melakukan aksi cinta lingkungan itu dengan cara yang tidak jauh berbeda.
“Kalau sekarang biasanya di ruang DAAI Mama, ada banyak donasi dari anak-anak, ada baju yang sudah tidak muat lagi tapi masih bisa dipakai, ada juga mainan. Kemarin saya ambil beberapa seragam anak yang sudah lulus dan disumbangkan kembali. Seragam yang masih bagus dan layak pakai ini saya akan gunakan untuk anak saya,” ujar Marini dengan senyum ramah.
Marini dengan bangga memamerkan seragam TK dari Tzu Chi School yang ia temukan di ruangan Daai Mama. Selain baju, ada juga tas, watao (kaos kaki pelapis), dan berbagai barang lainnya yang masih bisa dipakai untuk anak-anaknya. Bagi Marini, thrifting bukan sekadar tren, tetapi juga cara untuk mengurangi sampah dan memberi manfaat bagi lingkungan.
Bagi Marini, thrifting bukan hanya sekadar tren, tetapi lebih kepada bagaimana ia bisa membantu mengurangi beban sampah yang ada di Bumi ini. Ia merasa bahwa lebih baik memanfaatkan barang yang sudah ada daripada membuangnya begitu saja. “Daripada dibuang, lebih baik dipakai lagi. Itu juga bagian dari prinsip Tzu Chi, menggunakan kembali, mengurangi sampah, dan memberikan manfaat bagi orang lain,” tambahnya.
Keputusan untuk ikut serta dalam pelestarian lingkungan melalui thrifting ini datang dari pengalamannya sehari-hari sebagai ibu yang harus menghadapi masalah pakaian anak yang tumbuh cepat. “Anak saya yang masih kecil sering sekali mengenakan seragam yang terkena noda. Jadi, daripada harus membeli seragam baru yang harganya cukup mahal, saya memutuskan untuk mengambil seragam bekas yang masih layak pakai dari program Daai Mama,” jelasnya.
Marini tak hanya memanfaatkan barang bekas untuk anak-anaknya, namun juga untuk dirinya sendiri dan keluarganya. Ia mengenang masa-masa ketika masih lajang, ia sering membeli barang thrift di Pasar Senen, seperti jaket winter dan celana jeans yang harganya jauh lebih murah daripada membeli barang baru.
“Waktu itu saya beli jaket tebal di Pasar Senen dengan harga hanya 50 ribu, jauh lebih murah dibandingkan di toko. Saya yakin barang thrift bisa bertahan lama asalkan dicuci dengan benar,” ungkapnya.
Tidak hanya itu, Marini juga mendorong suaminya untuk bergabung dengan gerakan thrifting. “Suami saya dulu sempat suka beli produk merk tertentu, tapi setelah melihat saya, dia juga mulai sadar. Sekarang dia malah beli celana jeans dan barang lainnya di pasar thrift. Malah, dia merasa puas karena harganya jauh lebih terjangkau,” ceritanya dengan penuh tawa.
Kesadaran akan pentingnya mengurangi sampah fashion semakin menguat dalam diri Marini seiring berjalannya waktu. “Fashion itu tidak harus selalu baru dan branded. Trennya selalu berulang, jadi kenapa harus tergoda dengan barang mahal yang akhirnya hanya akan menjadi sampah? Dengan thrifting, kita bisa mengurangi sampah pakaian yang berlebihan dan lebih bijak dalam berbelanja,” ujarnya tegas.
Dalam menjalani kehidupannya, Marini tidak hanya berfokus pada dirinya sendiri, tetapi juga berusaha menularkan nilainilai pelestarian lingkungan kepada anakanaknya. “Saya ajarkan anak saya untuk tidak membuang mainan atau barang-barang yang masih bisa dipakai. Saya juga sering membawa pulang barang-barang bekas dari kelas, seperti pensil warna atau mainan, dan memberikannya kepada anak saya. Selama masih layak pakai, kenapa harus dibuang?” tuturnya.
Selain itu, Marini juga merasa bahwa Tzu Chi memberikan kontribusi besar dalam membentuk kesadarannya akan pentingnya menjaga Bumi. “Saya bekerja di Tzu Chi sudah hampir 11 tahun. Di sini saya semakin menyadari bahwa setiap tindakan kecil yang kita lakukan, seperti memakai barang bekas atau mendonasikan barang yang masih bisa digunakan, dapat berdampak besar untuk Bumi kita,” katanya dengan penuh keyakinan.
Marini menyadari bahwa perubahan besar dimulai dari langkah kecil yang dilakukan oleh setiap individu. “Mindset kita yang harus diubah. Tidak harus memakai barang baru atau branded untuk merasa percaya diri. Justru dengan menggunakan barang yang sudah ada, kita turut berkontribusi menjaga Bumi ini agar tetap lestari,” tutupnya.
Setali Indonesia: Menjahit Harapan dari Limbah Fashion
Sejalan dengan semangat Marini dalam mengurangi limbah fashion, di level yang lebih besar, Setali Indonesia hadir sebagai gerakan yang merespons permasalahan industri fashion yang kerap menghasilkan limbah berlimpah dari pakaian yang terbuang dengan kreativitas dan inovasi, namanya upcycling.
Bukan sekadar bisnis, Setali adalah sebuah gerakan yang berangkat dari kesadaran kolektif untuk memberi kehidupan kedua bagi kain dan pakaian bekas.
Ketika berbincang dengan Intan Anggita Pratiwie, pendiri Setali, ada hal yang langsung terasa, mereka tidak sekadar terinspirasi, tetapi merespons masalah yang ada.
“Fashion waste itu nyata, dan Setali adalah cara kami menghadapinya,” ujar Intan.
Setali Indonesia berkomitmen untuk memaksimalkan kain perca hasil produksi dengan mengolahnya menjadi sebuah karya seni yang bernilai. Setiap potongan kain yang awalnya terbuang, diubah menjadi produk kreatif yang tidak hanya memperpanjang umur kain, tetapi juga memberikan sentuhan artistik yang unik. Proses ini mencerminkan dedikasi Setali dalam menciptakan keberlanjutan dan memberikan nilai lebih pada material yang sering kali dianggap tidak berguna.
Babby Febrilia, seorang recycling artist di Setali, mengamini hal tersebut. Baginya, semua orang yang bergabung di Setali memang memiliki ketertarikan terhadap upcycling dan thrifting. Tidak ada sistem rekrutmen formal, semuanya berkembang secara organik, dari ketertarikan hingga akhirnya menjadi bagian dari tim.
“Kita awalnya dari hobi. Aku dulu jualan thrifting, ikut talkshow dan workshop tentang sustainable fashion, lalu ketemu Intan. Dari situ diajak bergabung. Sekarang kami punya 15 orang di tim, semua dengan kecintaan yang sama pada lingkungan,” cerita Babby.
Intan bercerita tentang karyanya yang berjudul: Gamam Lambung, Ganar Layung menggambarkan momen matahari yang turun di waktu senja, disambut oleh ikan-ikan yang menari di permukaan laut.
Seiring waktu, Setali bukan hanya mengubah pakaian bekas menjadi karya baru, tetapi juga aktif dalam edukasi dan kampanye keberlanjutan. Mereka sering diundang menjadi pembicara di berbagai universitas, berkolaborasi dengan pemerintah, dan bahkan berpartisipasi dalam programprogram tingkat ASEAN untuk membahas sustainable fashion.
“Kami ingin lebih dari sekadar daur ulang. Sustainable fashion itu bukan hanya tentang memperpanjang usia pakaian, tetapi juga memahami asal-usulnya, siapa yang membuatnya, dan bagaimana dampaknya di masa depan,” kata Intan.
Namun, menjalankan misi ini tidak selalu mudah. Salah satu tantangan terbesar adalah mengubah pola pikir masyarakat, terutama di daerah, yang masih memandang pakaian bekas sebagai sesuatu yang kurang berharga. Babby yang pernah mengisi workshop di salah satu daerah melihat tantangan ini secara langsung.
“Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, atau Jogja, sustainable fashion sudah mulai dianggap keren. Tapi di daerah, masih banyak stigma bahwa pakaian bekas itu ‘nggak elite’. Itu tantangan kita, bagaimana memberi nilai baru pada pakaian lama,” jelasnya.
Setali berkolaborasi dengan salah satu brand market dalam proyek Upcycling Project Exhibition, yang fokus pada pembuatan pakaian daur ulang dari hasil donasi pakaian yang dikumpulkan melalui kotak Recycle di toko tersebut. Proses ini mendukung gerakan yang berfokus pada keberlanjutan dan pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, Setali terus berevolusi. Mereka kini memiliki berbagai program, dari workshop kreatif, pameran seni, hingga riset dan pengembangan di bidang tekstil. Tidak hanya itu, mereka juga bekerja sama dengan pemerintah dan berbagai brand untuk mencari solusi yang lebih luas dalam pengelolaan limbah fesyen.
Setali juga menyerap limbah tekstil dalam jumlah besar melalui berbagai instalasi dan pameran. Misalnya, dalam salah satu instalasi di salah satu pameran fesyen, mereka berhasil menggunakan kembali 30 kilogram limbah tekstil sepanjang 8 meter. Pada tahun lalu, proyek terbesar mereka adalah dengan satu brand market, di mana mereka berhasil menyerap hingga 4.000 kilogram limbah tekstil dari berbagai lokasi di seluruh Indonesia. Setiap instalasi dan pameran yang mereka lakukan selalu melibatkan kalkulasi jumlah limbah yang mereka daur ulang, menjadikan proyek-proyek ini lebih dari sekadar seni, tetapi juga solusi nyata terhadap permasalahan fashion waste.
“Dulu kita sempat nonprofit dan itu berantakan. Sekarang kita harus profitable supaya bisa sustain. Kita ingin membuat fabric lab, manufaktur, dan banyak inovasi lainnya yang muaranya ya waste management yang jauh lebih baik. Kalau nggak ada roda ekonomi, mimpi besar ini nggak akan jalan,” kata Intan.
Babby Febrilia (tengah - berkebaya) bersama delegasi ASEAN di Art for All 2023 di Bangkok ketika mewakili Setali dan Indonesia untuk ikut mengadakan workshop pembuatan tas dari limbah fashion untuk para penyandang disabilitas.
Setali juga bukan hanya menjadi pelopor dalam gerakan sustainable fashion, tetapi juga menciptakan sebuah warisan yang terus berkembang. “Dulu, tujuh tahun lalu, sustainable fashion baru mulai naik, dan belum ada yang melakukan ini se-intens kami. Kebanyakan hanya sekadar workshop atau pengumpulan limbah. Kami memilih untuk konsisten dan berkomitmen,” cerita Intan.
Bagi mereka, keberlanjutan bukan hanya soal kain bekas, tetapi juga bagaimana manusia memandang pakaian itu sendiri. Dari apprentice yang tertarik dengan desain hingga mereka yang fokus ke pengembangan workshop, Setali menjadi wadah bagi berbagai latar belakang untuk berkolaborasi.
“Dari tahun 2020, aku mulai melihat bagaimana ini bisa masuk ke fine arts, supaya lebih luas lagi. Aku ingin ada narasi yang lebih dalam, bukan sekadar ‘ini adalah limbah kain’, tapi juga ada cerita tentang tubuh manusia, identitas, dan bagaimana kita memandang pakaian,” lanjutnya.
Pengalaman residensinya di Jepang semakin membuka wawasan Intan.
Setali Indonesia aktif dalam edukasi dan workshop keberlanjutan, mengajak masyarakat untuk lebih peduli terhadap fashion yang ramah lingkungan. Selain menjadi pembicara di universitas, Setali juga sering mengadakan workshop dan kolaborasi dengan berbagai pihak untuk memperkenalkan konsep sustainable fashion.
“Di sana, ada tradisi mandi bersama. Semua orang jadi sama, tak ada baju, tak ada status sosial. Itu menginspirasi aku tentang bagaimana kita seharusnya tidak terlalu terikat dengan pakaian. Sustainable fashion harus lebih dari sekadar tren, tapi juga memahami esensinya—siapa yang membuat pakaian, bagaimana fungsinya dalam siklus hidup, dan apakah ia akan menjadi limbah yang mencemari lingkungan atau bisa terus digunakan,” tambahnya.
Meski begitu, Setali tetap menjalankan misinya dengan pendekatan yang ringan dan tidak menggurui. Mereka percaya bahwa perubahan gaya hidup harus datang secara alami, bukan dipaksakan.
Intan Anggita Pratiwie dan Babby Febrilia berbincang santai, berbagi cerita dan pengalaman tentang perjalanan Setali Indonesia dalam berinovasi di bidang pengelolaan fashion waste.
Intan memperlihatkan salah satu koleksi baju upcycling. Ia juga menceritakan dampak positif yang dihasilkan oleh Setali dalam mengurangi sampah tekstil dan menciptakan perubahan ramah lingkungan melalui upcycling.
“Kita nggak bisa nyuruh orang berhenti belanja. Kita sendiri suka belanja! Tapi kita belanja dengan sadar, tahu batasan, dan bertukar pakaian dengan sesama. Sustainable fashion bukan tentang melarang, tapi tentang pilihan yang lebih bijak,” kata Intan.
Dari hobi kecil hingga gerakan yang berdampak luas, perjalanan Setali adalah bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari hal sederhana. Dengan kreativitas, edukasi, dan semangat kolaborasi, mereka menjahit harapan baru dari setiap potongan kain yang hampir terlupakan. Sebuah perjalanan yang belum selesai, tetapi terus berkembang dengan setiap benang yang mereka sulam.
“Kita tuh emang modal kita rileks, ya. Kita tuh memang mengandalkan segala keterbatasan yang ada sehingga kita lebih peka dan evolving dari itu. Bermula dari kas kosong, sekarang jadi bisa ngidupin beberapa orang untuk berkarya dan akhirnya bisa sustain dan lebih solid.”
Setali Indonesia dan Control New, yang didukung oleh Pijak Bumi Menampilkan koleksi JF3 “Reboot and Reuse”. Konsep “Reboot” adalah upaya mereka untuk menata ulang sistem produksi pakaian agar lebih berkelanjutan. Dalam koleksi ini mereka memanfaatkan 328 kg baju bekas hasil donasi, di mana pakaian yang masih layak di-upcycle menjadi karya baru, sementara yang tidak layak dihancurkan untuk dijadikan bahan baku lainnya.
Mereka tidak sekadar bicara soal sustainable fashion, tetapi juga membuktikan bahwa perubahan yang berarti bisa dimulai dari langkah kecil. Dari kain yang terbuang, mereka menciptakan karya. Dari kesadaran kecil, mereka membangun gerakan. Setali Indonesia adalah bukti bahwa masa depan fashion tidak harus berbasis konsumsi berlebihan, tetapi bisa menjadi lebih bijak, lebih berkelanjutan, dan lebih bermakna bagi banyak orang.
Setali bukan hanya menjadi pelopor dalam gerakan sustainable fashion, tetapi juga menciptakan sebuah warisan yang terus berkembang. Dari kain yang terbuang, mereka menciptakan karya. Dari kesadaran kecil, mereka membangun gerakan.
Nymphaea: Kompetisi yang Menumbuhkan Gerakan Besar
Semangat mengolah kembali limbah tekstil juga muncul di kalangan anak muda. Dari komunitas Anak Teratai He Qi Barat 1, Christian Ray Evan dan Aba Bu Bu Ong Gautama Sadikin mengembangkan produk upcycling bernama Nymphaea. Berawal dari sebuah kompetisi daur ulang, mereka berhasil membuktikan bahwa kreativitas bisa menjadi solusi bagi permasalahan fashion waste.
Dari bahan jeans bekas, Anak Teratai He Qi Barat 1 menciptakan Nymphaea, sebuah produk upcycling yang inovatif, terbuat dari bahan jeans bekas yang tidak hanya memiliki nilai fungsional, tetapi juga menyampaikan pesan penting tentang kepedulian terhadap lingkungan.
Dari bahan jeans bekas, mereka menciptakan Nymphaea—sebuah produk yang tak hanya bernilai fungsional, tetapi juga menyuarakan kepedulian terhadap lingkungan. Awalnya, Nymphaea hanyalah ide dalam sebuah kompetisi daur ulang. Christian dan Aba Bu, yang tergabung dalam komunitas Anak Teratai, mendapat tantangan untuk menciptakan sesuatu dari bahan bekas. Dengan dorongan dari mentor mereka, mereka memutuskan untuk membuat tas dari jeans bekas.
“Kami berpikir, apa bahan fashion yang paling sering digunakan di dunia? Fast fashion sangat kencang, dan salah satu yang banyak digunakan adalah jeans,” ujar Aba Bu. Dari sana, mereka mulai mengeksplorasi potensi jeans sebagai bahan utama produk mereka.
Menggunakan jeans bukan tanpa alasan. Selain dikenal awet dan timeless, jeans juga memiliki dampak lingkungan yang cukup besar. Christian menjelaskan bahwa produksi jeans memerlukan konsumsi air yang luar biasa banyak. “Satu potong jeans bisa membutuhkan 3.000 hingga 4.000 liter air untuk produksi,” katanya.
Tak hanya boros air, pewarnaan jeans juga kerap menggunakan bahan kimia yang mencemari lingkungan. “Dulu, pewarnaan jeans menggunakan tanaman Indigofera tinctoria. Sekarang, lebih banyak digunakan pewarna sintetis yang limbahnya langsung dibuang ke sungai,” lanjut Christian.
Fakta-fakta inilah yang semakin memperkuat tekad mereka untuk membuat produk yang lebih ramah lingkungan.
Keputusan untuk menggunakan jeans bekas bukan hanya didasarkan pada keberlanjutan, tetapi juga aksesibilitas bahan. “Di Depo Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, kami menemukan banyak stok jeans yang sudah tidak terpakai,” kata Aba Bu. Mereka pun melihat ini sebagai peluang untuk mengolah bahan yang berlimpah menjadi sesuatu yang bernilai.
Namun, upcycling jeans bukan perkara mudah. Tekstur yang tebal dan sulit dijahit menjadi tantangan tersendiri. Meski begitu, bagi mereka, setiap jahitan adalah bentuk kepedulian terhadap bumi. “Kami ingin menunjukkan bahwa dari bahan yang dianggap limbah, bisa lahir sesuatu yang berharga,” tambah Christian. Itulah mengapa mereka juga bekerja sama dengan para orang tua anak asuh lainnya untuk menjahit berbagai produk tas mereka.

Produk Nymphaea telah diproduksi dan dipasarkan baik secara offline maupun online. Berkat kreativitas dan inovasi yang dituangkan dalam desainnya, produk ini berhasil menarik perhatian dan banyak diminati oleh masyarakat
Kini, Nymphaea bukan hanya tentang tas berbahan jeans bekas. Ini adalah sebuah pergerakan untuk mengajak orang lebih peduli terhadap limbah tekstil. Melalui produk mereka, Christian dan Aba Bu ingin menginspirasi lebih banyak orang untuk berpikir dua kali sebelum membuang pakaian lama mereka.
“Jika kita bisa mengolah sesuatu yang sudah ada menjadi lebih bernilai, kenapa harus terus membeli yang baru?” kata Aba Bu. Bagi mereka, Nymphaea adalah simbol harapan—bahwa sesuatu yang tampak tak berguna pun masih bisa diberi kehidupan kedua.
Di tangan anak-anak muda seperti Christian dan Aba Bu, upcycling bukan sekadar tren, tetapi bentuk nyata dari kepedulian terhadap Bumi. Nymphaea menjadi bukti bahwa perubahan bisa dimulai dari hal kecil, dari satu potong jeans bekas yang kembali bermanfaat, dan dari niat tulus untuk menciptakan sesuatu yang lebih baik bagi dunia.
Penulis: Metta Wulandari
Foto: Arimami Suryo A., Dok. Setali Indonesia, Dok. Nymphaea