Membina Desa Mandiri Pangan

Malam gelap di Desa Bilayuk, Kecamatan Mempahulu, Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Berteman tintir, kami berbincang. Lampu minyak tanah dengan sumbu dan api kecil yang menyala itu membawa aroma khas yang berbaur di udara. Sedikit menghangatkan ketika udara pegunungan mulai tak lagi ramah.

Kegelapan masih panjang, lalu teh hangat di poci berpindah ke gelas-gelas kecil tepat di samping kolam ikan di depan kami. “Tehnya diminum Dek,” kata seorang pria bertubuh gempal bernama Benny Benedictus. Senyum hanya terlihat di separuh bibirnya yang disinari cahaya dan sisanya termakan pekat malam. “Ini kalian lagi apes aja, datang pas mati lampu,” katanya sambil memangku Claudia Dinihari (4), anak bungsunya. “Saya sering nginep di sini (kediaman Benny Benedictus –red), tapi baru kali ini ngrasain mati lampu,” kata Bambang Mulyantono, relawan Tzu Chi Singkawang yang menemani kami untuk beberapa hari ke depan. Malam itu dia mengenakan baju koko beserta kain sarung, bersiap menjalankan salat berjamaah di kediaman Benny, seorang umat Kristiani. Memberikan bimbingan bagi para petani di desa itu membuat Bambang sering pulang malam, “Kalau sudah begitu, kadang saya memilih untuk numpang tidur di rumah warga,” ucapnya.

Sejak pertengahan tahun 2012 lalu, Bambang didaulat untuk menjadi koordinator tim ahli pertanian Tzu Chi dalam program pertanian berkelanjutan di beberapa wilayah di Singkawang. Sebelumnya, pada bulan Mei di tahun yang sama, lima ahli pertanian dari Tzu Chi Taiwan datang untuk melakukan survei terhadap pertanian di sana. Sejak saat itulah Bambang kerap menghabiskan waktu untuk bersosialisasi dengan para petani di berbagai wilayah di Singkawang, termasuk di Bilayuk.

Percakapan kami masih saja berlanjut di tempat berbeda, ruang tamu keluarga Benny. Donatus, yang sebelumnya ikut berbincang bersama kami sudah terlebih dahulu pulang, namun rumah Benny kian ramai karena Ferry dan Adrio, yang juga petani bimbingan tim ahli Tzu Chi datang menyusul dan menemani kami. Panjang obrolan mereka mengenai pertanian dan dari perbincangan kami di malam gelap itu, saya memberi julukan tersendiri untuk masing-masing petani: Donatus, si Pembina; Ferry, si Kreatif; dan Adrio, si Cerdas.

Lain Ladang, Lain Belalang

Donatus, si Pembina. Merupakan seorang TNI Angkatan Darat (AD), anggota Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan usianya belum genap 50 tahun. Sebagai ujung tombak TNI dalam pembangunan daerah, ia bersikeras menjalankan tugasnya dalam memberikan pembinaan di Desa Caokng, yang juga merupakan desa tempatnya tinggal. Pembinaan yang ia lakukan lebih banyak mengarah pada apa yang ada di masyarakat. “Namanya kita memanfaatkan kearifan lokal,” katanya.

Ayah tiga anak ini bercerita bahwa sejak menteri pertanian menandatangani MoU dengan TNI AD, ia sebagai Babinsa diwajibkan untuk mendampingi warga di bidang pertanian dalam usaha menyukseskan ketahanan pangan. “Memang kami melihat potensi dari wilayah kami adalah pertanian, maka dari itu kami fokus untuk menggarap pertanian,” tuturnya. Dengan bimbingan dari pemerintah melalui Petugas Penyuluh Lapangan (PPL), masyarakatnya mencoba untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bersama. Namun hasilnya berbeda.

Donatus memaparkan kepada kami bahwa permasalahan pada mayoritas petani timbul sejak lahan belum digarap sampai hasil panen akan dipasarkan. Petani miskin di wilayah itu juga sulit mendapatkan modal, baik berupa bibit, pupuk, obat-obatan, termasuk mesin pertanian. Mereka juga merasa sulit mendapatkan akses informasi mengenai teknologi cocok tanam yang benar. Di samping itu, wawasan lingkungan dan akses pasar yang mereka miliki juga sangat terbatas.

Dalam menangani permasalahan di awal masa cocok tanam, Donatus yang juga didaulat menjadi ketua kelompok tani sejak tahun 2007 lalu benar-benar menjalankan tugasnya dan berpegang teguh pada konsep kelompok tani. Setiap masa tanam akan datang, ia mengumpulkan anggotanya untuk menyusun Rencana Definitif Kelompok (RDK) dan Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (RDKK). RDK yang merupakan jadwal kerja harian dirasa membantu karena berisi jadwal apa saja yang akan dilakukan dalam masa cocok tanam. Sedangkan RDKK, dibuat sebagai acuan dan rincian mengenai apa saja yang dibutuhkan oleh petani. “Dari RDKK, kami membuat proposal dan meminta bantuan biaya operasional kepada pemerintah,” jelas Donatus. “Tapi permasalahannya belum selesai di sana,” tambah si Pembina, “semua akan berlanjut dengan akan dikemanakan hasil panen kami nanti??”

Ferry, si Kreatif. Merupakan seorang petani biasa. Ia mempunyai 3 nama panggilan: Ferry, Vincent, dan Gondrong. “Bisa dipanggil pakai nama apa saja,” katanya sambil tersenyum. Si Kreatif ini bernama asli Ferry. Sedangkan Vincent merupakan nama anak pertamanya, dan Gondrong merupakan identitas tersendiri baginya karena rambutnya yang panjang.

Selain sawah yang letaknya agak jauh dari rumahnya, Ferry juga mempunyai tanah di depan rumah yang ukurannya belum pasti karena ia sendiri belum pernah mengukurnya. Lahan berbentuk terasering (penanaman dengan membuat teras-teras yang dilakukan untuk mengurangi panjang lereng dan menahan atau memeperkecil aliran permukaan agar air meresap ke dalam tanah) itu diberi patok bertuliskan “KEBUN KKN STKIP PATA 2015”. Ia menuturkan bahwa beberapa waktu lalu ada sekelompok mahasiswa Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Pamane Talino, yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kebun miliknya. “Saya memang suka berbagi ilmu dan suka membantu orang,” katanya ringan.

Di kebun petaknya itu, Ferry tengah mencoba sebuah penelitian kecil-kecilan mengenai efektivitas media tanam dan penggunaan pupuk organik bagi padi, khususnya varietas padi sawah yang ia coba tanam di gunung. Di lahannya tersebut, ia memisahkan petakan padi menjadi beberapa bagian dan membedakan media tanamnya. “Yang satu media tanamnya pakai tanah yang saya campur dengan jerami, yang satunya lagi nggak pakai jerami,” katanya menceritakan tanaman padi yang berusia 18 hari di lahan teraseringnya.

Ia menjelaskan, tanaman padi yang usianya sama tersebut memiliki perbedaan pertumbuhan walau dirawat dengan cara yang sama. “Pembedanya hanya di media tanamnya saja. Dan sudah terlihat yang pakai jerami lebih bagus, lebih tinggi, dan subur,” katanya. Ia menambahkan bahwa kesuburan tanaman juga sangat bergantung dengan pupuk yang dipakai, dan pupuk organik merupakan pupuk ramah lingkungan yang juga ramah terhadap segala tanaman. “Sangat cocok untuk dipakai,” tambah Ferry. Ia sengaja memanfaatkan pupuk organik karena pada dasarnya ia mempunyai keterbatasan biaya dalam pemenuhan pupuk kimia. Dan dengan modal coba-coba, ketekunan, serta kreativitasnya, Ferry ternyata berhasil membuat pupuk organik. Kini ia gencar melakukan penelitian-penelitian lain serta membagikan resep tersebut untuk petani lainnya. “Kalau sudah terbukti bagus baru saya bagikan ke teman-teman,” tegasnya yakin.

Kreativitas yang dimiliki Ferry tentunya telah terasah dan kian hari ia kian berani menjajal berbagai macam eksperimen di lahannya. Berbeda dengan dulu ketika belum banyak mengetahui mengenai seninya bertani. “Dulu nanem padi masih acak-acakan,” katanya tersipu.

Adrio, si Cerdas. Dulunya merupakan seorang staf lapangan dari Yayasan Karya Sosial Pancur Kasih (Pentis). Sejak tahun 2009, ia melakukan bimbingan dan pendampingan termasuk memfasilitasi beberapa kegiatan sosial kemasyarakatan, khususnya dalam hal pengairan. Ia banyak melakukan diskusi dengan warga untuk mengenalkan bagaimana meningkatkan taraf ekonomi dan sosial melalui air. “Pada dasarnya saya memang suka belajar dan berbagi ilmu,” kata Adrio. Pada 2010 hingga 2011, Adrio sempat melakukan live in di Bilayuk untuk benar-benar membantu warga dalam membuat saluran air, sumur, irigasi, sanitasi, dan sebagainya.

Berbagai pengalaman yang didapatnya dari seminar yang diikutinya membuat Adrio menjadi orang kepercayaan Yayasan Pentis. Sempat satu waktu ia mengikuti pembelajaran mengenai pengairan di wilayah Pandeglang, Banten, Jawa Barat. Ia kemudian mencoba menerapkan hasil belajarnya tersebut di Pontianak, Kalimantan Barat. Hasilnya tidak perlu diragukan. “Dari enam bagian yang saya kerjakan, semuanya bisa berfungsi dengan baik. Puji Tuhan..,” ungkapnya penuh syukur.

Satu hal yang ia rasakan kurang adalah masa setelah program pengairan usai. Petani di wilayah tersebut masih bingung terhadap apa yang hendak dilakukakan selanjutnya seperti bagaimana memanfaatkan air dan lahan tanam yang mereka punya. Adrio menjelaskan bahwa walaupun konsep pengairan warga telah tertata, namun apabila mereka masih menggunakan konsep pertanian konvensional maka kebanyakan petani tidak banyak meraih keuntungan. Dari sana, ia ingin sekali memberikan bimbingan mengenai pertanian kepada warga. “Tapi dulu saya belum kompeten di bidang ini,” tuturnya.

Memperkenalkan Program Pertanian Amal Tzu Chi

Keluhan dari Donatus mengenai pasar, kendala Ferry mengenai seni dalam bertani, dan masalah Adrio mengenai bimbingan pertanian seakan terjawab dalam satu Program Pertanian Berkelanjutan yang kini dikenal dengan Program Pertanian Amal (PPA).

PPA yang dikenalkan oleh Tzu Chi Singkawang kepada warga sejak 2012 silam merupakan salah satu perwujudan misi amal sekaligus pelestarian lingkungan. Dalam praktiknya, Tzu Chi Singkawang juga mempunyai tujuan untuk membantu meningkatkan kesejahteraan taraf hidup masyarakat Kalimantan Barat, khususnya para petani. Dan hal itu difokuskan bagi petani yang kurang mampu.

Menjawab keluhan Donatus mengenai akses pasar, Ketua Tzu Chi Singkawang, Tetiono yang mempunyai perusahaan distribusi pertanian bersedia menampung seluruh hasil panen dari petani tanpa kecuali. Selain itu, Tzu Chi juga memberi bantuan pinjaman sarana produksi pertanian berupa benih, pupuk, herbisida atau pestisida, dan bimbingan teknologi cocok tanam. Pinjaman sarana produksi pertanian dibayar setelah panen dengan tanpa bunga. Sedangkan bimbingan teknis cocok tanam yang diberikan oleh tenaga ahli pertanian Tzu Chi.

Adrio bersyukur bisa mengenal PPA tidak lama setelah program pengairannya usai. “Bisa langsung nyambung gitu,” ucapnya tersenyum. Sambutan akan hadirnya program baru dari Tzu Chi tersebut juga beragam, namun kebanyakan dari mereka merasa antusias karena bimbingan yang diberikan dianggap cuma-cuma. Terlebih tenaga pembimbing dirasa proaktif dalam memberikan pengetahuan baru.

Dalam perkembangannya, Tzu Chi berfokus pada tiga desa di wilayah kabupaten Landak yang antara lain Desa Caokng, Bilayuk, dan Calumang dalam menjalankan PPA. Wilayah ini menurut Bambang dirasa perlu mendapatkan perhatian karena antusias warga tinggi dan lokasi desa yang jauh dari pusat kota dan kabupatennya. “Kota kabupaten kami itu letaknya kurang lebih 100 kilometer dari sini. Jadi kebanyakan warga lebih banyak pergi ke Singkawang daripada ke Landak,” jelas Donatus. Warga di tiga desa tersebut memang lebih banyak melakukan proses jual-beli barang ke Singkawang yang juga cukup menyita waktu. Perjalanan ke Singkawang sendiri bisa ditempuh kurang lebih selama 4 jam dengan menggunakan kendaraan bermotor. Akses jalan yang kurang memadai menambah lamanya perjalanan yang dibutuhkan. Hal ini juga menjadi salah satu kendala dari warga desa dalam menyalurkan hasil panennya. Walaupun ada keraguan di awal perkenalan, namun hasil yang diperoleh warga pada masa pascapanen tidak bisa menyembunyikan bagaimana senangnya mereka ikut dalam PPA.

Konsep Pola Tanam System of Rice Intensification (SRI)

Dalam membimbing para petani, Tzu Chi secara proaktif turun ke lapangan dan memberikan pendampingan berkepanjangan kepada warga untuk menerapkan pola tanam System of Rice Intensification (SRI). Insinyur Marudut Sinambela, seorang dosen fakutas pertanian di Politeknik Tonggak Equator, Pontianak yang juga merupakan ahli pertanian Tzu Chi yang menerapkan konsep pertanian ini. “Belum banyak yang memakai pola SRI dalam pertaniannya karena prosesnya sangat membutuhkan kesabaran. Hanya saja kalau diterapkan hasilnya akan lebih bagus,” katanya.

Proses yang dimaksud membutuhkan kesabaran dalam pola SRI, dimulai sejak masa tanam akan dilakukan yaitu dengan pengolahan tanah. “Konsep SRI memaksa petani untuk mengolah tanah karena kunci awalnya ada di sana,” ucap Sinambela. Berbeda dengan pertanian konvensional yang melakukan tanam padi dengan melubangi tanah terlebih dahulu, SRI justru melakukan sistem olah tanah dan melakukan hal yang berbeda dengan sistem konvensional. Tujuan pengolahan tanah adalah mengubah fisik tanah menjadi gembur atau berlumpur dengan kedalaman kurang lebih 30 sentimeter, “Sehingga akar dari anakan padi akan mudah menembus lapisannya,” tambahnya.

Setelah tanah diolah, benih ditabur di lokasi yang berbeda. Biasanya menggunakan media berupa tampah atau nampan. Saat usia benih mencapai 7-10 Hari Setelah Semai (yang biasa dikenal dengan istilah HSS), benih padi dengan gabah yang masih menempel di tunasnya dipindahkan ke media tanah yang telah diolah. Sisa gabah tersebut akan menjadi makanan sementara bagi benih sebelum akarnya mampu beradaptasi dengan lingkungan barunya, sehingga benih tidak mengalami stagnasi atau stress usai dicabut. Dengan menanam benih di usia muda, produktivitas anakannya akan semakin banyak dan produktif untuk mengeluarkan malai (buliran padi). “Ini juga berkaitan dengan sistem olah tanah. Apabila tanah tidak gembur maka akar dari benih usia 7-10 hari itu akan susah menembus lapisan dan tidak akan berkembang,” tegasnya.

Hal tersebut berbeda dengan yang pola tanam konvensional yang memindahkan benih saat usia benih mencapai 20-25 HSS. Sinambela menjelaskan bahwa pada usia 20 HSS, benih padi akan mengeluarkan 2-3 anakan sehingga apabila menggunakan sistem konvensional, benih akan semakin berdesakan dalam satu lubang yang mengakibatkan pemenuhan kebutuhan cahaya, udara, dan nutrisinya tidak dapat terserap secara sempurna. “Hasilnya adalah pertumbuhan daunnya memang banyak (rimbun), tapi yang menghasilkan malai tidak akan sebanyak pola SRI,” ucapnya.

Dalam pola SRI, Sinambela menekankan bahwa penanaman benih dalam satu bidang hanya diperlukan 2-3 benih dengan kedalaman 1 sentimeter. Hal ini menurut Sinambela akan mempermudah akar untuk terus bertumbuh dan semakin dangkal penanamannya, penyerapan cahaya, udara, dan nutrisinya akan semakin cepat dan maksimal.

“Langkah selanjutnya,” kata Sinambela, “melakukan pola pengairan yang cukup dan melakukan pemupukan dengan pupuk organik.” Sinambela menjelaskan bahwa pada dasarnya semua tanaman membutuhkan air, “Namun dalam kadar secukupnya.” Pemberian air yang cukup tersebutlah yang diterapkan dalam pola SRI. “Jadi tidak perlu digenangi,” tambahnya. Ia menilai sebagian besar petani melakukan pola pengairan yang kurang tepat dengan menggenangi sawah mereka dengan air, hal itu justru akan mengundang hama keong mas. “Pola SRI penerapannya adalah memberikan air yang cukup,” tegasnya. Hal tersebut banyak sekali manfaatnya. Berdasarkan penuturan Sinambela, pemberian air yang cukup melalui sistem irigasi berupa parit bisa menjadi salah satu cara untuk menanggulangi hama keong mas. “Jadi pengairan hanya kita lakukan di parit saja, sementara tanah tempat padi tumbuh, kita keringkan,” jelas Sinambela. Membuat dan mengari parit di sekeliling petak tanah juga mencegah hama anjing tanah (orong-orong) merusak tanaman padi. Hal tersebut dibenarkan oleh Adrio. “Kalau diperhatikan, cara hidup anjing tanah adalah di pematang sawah. Bagi sistem tanam yang tidak pakai parit, anjing tanah banyak menyerang tanaman di pinggiran pematang. Tapi kalau dia pakai parit (pola SRI), dia tidak bisa loncat dan ini sudah terbukti,” tuturnya.

Proses terakhir yang perlu diperhatikan dalam pola tanam SRI adalah pemupukan organik. Menurut Sinambela, pupuk organik merupakan pilihan yang cocok untuk dipergunakan di wilayah Kalimantan Barat (Kalbar). “Kalau tanah di (Pulau) Jawa, kandungan kalsium dan magnesium tinggi karena banyak gunung. Berbeda dengan tanah di Kalbar yang kebanyakan adalah lahan gambut dan bergambut, Ph-nya rendah, dan asamnya tinggi. Maka, kualitas air di sini lebih buruk,” jelasnya. Pupuk organik cocok karena tanah di Kalbar termasuk tanah marginal, yang rusak, dan kandungan bahan organiknya rendah. “Maka mau tidak mau supaya bahan produksinya baik, bahan organik harus ditambah melalui pupuk-pupuk organik,” tambah Sinambela.

Pupuk organik sendiri mudah ditemukan dari lingkungan sekitar. Seperti Ferry yang memanfaatkan hasil fermentasi dari air cucian beras (yang mengandung mikroba atau bakteri pseudomonas fluorescens – salah satu bahan baku pupuk organik cair) yang dicampur dengan air kelapa (yang mengandung natrium, kalium, magnesium, kalsium, vitamin, protein). Ia juga melakukan eksperimen dengan membuat fermentasi air dengan jerami (yang mengandung nitrogen, fosfor, kalium, sulfur, kalsium, magnesium) dan kotoran ternak. Sementara itu Adrio memanfaatkan fermentasi serabut kelapa (yang mengandung kalium, fosfor, kalsium, magnesium, natrium) dan hama di sawahnya untuk diolah menjadi pupuk.

Adrio yang membantu Sinambela dalam memberikan bimbingan pada warga juga mewanti-wanti petani untuk tidak menggunakan pupuk kimia untuk membasmi hama berupa rerumputan. Hal ini dikarenakan padi dan rumput mempunyai satu family yang sama: Poaceae. “Jadi kalau tujuannya untuk membasmi rumput, pasti juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan padi,” jelasnya. Maka dari itu, ia tetap memberikan anjuran pada warga untuk memanfaatkan pupuk organik dan melakukan pembasmian hama secara manual.

Desa Mandiri Pangan, Desa Mandiri Benih

Dari semua proses yang dijalankan, para petani benar merasakan manfaatnya. Donatus menuturkan bahwa setelah mengikuti PPA yang menerapkan pola tanam SRI, hasil panennya bisa mencapai 2 ton dengan tanah seluas 0.3 hektar. “Dulu sebelum ikut SRI, cuma bisa panen sekitaran 1 ton saja atau setara sama 20 karung padi,” jelasnya. Ia juga merasa bahwa SRI membawa pengaruh positif bagi dirinya juga warga lain. “Malalui PPA dan pola tanam SRI kami secara tidak langsung diajarkan untuk bekerja dengan sungguh-sungguh karena menggunakan manajemen yang baik. Mulai dari bagaimana kita memilih bibit yang baik, pengolahan tanah yang baik, pemupukan yang baik, maka dari itu tentu hasilnya sangat berbeda dengan yang terdahulu. Sehingga anggota kelompok tani merasa bersyukur karena ada perubahan dan perbaikan,” tutur Donatus. Ia juga mengapresiasi usaha relawan Tzu Chi serta Sinambela karena telah proaktif membantu cita-cita warga untuk mencapai swasembada pangan.

Ferry bahkan konsen membagikan ilmu-ilmunya mengenai pola tanah, pemupukan, dan hal lain yang ia tahu untuk siapapun yang berkenan. Ia mendukung benar PPA yang diperkenalkan oleh Tzu Chi tersebut karena telah merasakan sendiri bagaimana manfaat yang ia terima berupa pengetahuan mengenai seni bertani dan merasakan peningkatan hasil panen. “Apabila butuh tenaga bantuan untuk sosialisasi saya bersedia untuk terus ikut serta,” tegas Ferry.

Melalui PPA, mereka juga mempererat jalinan jodoh dengan Tzu Chi melalui baksos kesehatan umum yang diadakan pada 14 Desember 2012, baksos gizi yang ditujukan bagi anak-anak pada 14 Juni 2015, dan telah melakukan training relawan abu-putih pada 1 Mei 2015. Dalam training itu, 47 warga dilantik sebagai relawan baru, termasuk Donatus, Ferry, dan Adrio. “Ini merupakan wujud dari perbuatan baik dan mulia, pekerjaan nyata, maka masyarakat merespon baik akan hadirnya Tzu Chi,” ucap Donatus. Senada dengan Donatus, Adrio menyatakan bahwa dengan menjadi relawan Tzu Chi ia bisa membantu masyarakat lebih luas lagi.

Bambang sendiri merasa senang bahwa kehadiran Yayasan Buddha Tzu Chi bisa diterima oleh warga dengan tangan terbuka. Bahwa tujuan Tzu Chi untuk membantu meningkatkan kesejahteraan petani juga sudah mulai menunjukkan hasil. “Ke depannya Tzu Chi ingin menjadikan desa binaan ini mandiri benih dan semoga bisa sebagai pusat benih untuk Kalbar,” katanya. Hal itu jugalah yang menjadi mimpi Sinambela. “Jadi ke depannya mereka tidak hanya menjadi desa mandiri benih bagi diri sendiri namun harapannya kebutuhan dari satu Kabupaten Landak bisa terpenuhi dari sini. Nanti berkembang bisa memenuhi kebutuhan Provinsi Kalbar dalam jangka panjang. Kita yakin itu bisa asalkan semuanya mau bekerja sama dengan baik,” tegas Sinambela.

Penulis: Metta Wulandari | Fotografer: Willy

Bila kita selalu berbaik hati, maka setiap hari adalah hari yang baik.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -