Menebar Kasih, Menuai Harapan
MENDAMPINGI SEPENUH HATI. Jalinan cinta kasih Tzu Chi menyebar di Kota Batam berawal dari pendampingan relawan-relawan Tzu Chi Singapura. Baksos Kesehatan menjadi sarana bertemunya benih-benih kebajikan ini. Mulai dari proses perencanaan, pelaksanaan hingga pascabaksos kesehatan, relawan Tzu Chi Batam terus didampingi relawan Tzu Chi Singapura.
Kerlap-kerlip lampu menghiasi malam di salah satu food court di Kota Batam. Kendaraan mulai berjejer terparkir di depannya, meja-meja lengkap dengan peranti di atasnya pun sudah tertata apik. Tidak sedikit pramusaji yang menghentikan langkah pengunjung untuk sekadar menawarkan produk kedai mereka. Makin malam kursi yang disediakan makin sesak. Suasana menjadi riuh, dibalut dengan alunan irama yang diputarkan memberikan nuansa hangat bagi para penikmatnya di tengah dinginnya udara malam. Secuil aktivitas malam inilah yang menggambarkan gaya hidup sebagian warga Kota Batam setiap harinya.
Namun di balik kehidupan yang sejahtera tersebut justru masih terdapat kesenjangan. Tidak sedikit warga yang tinggal di kota Industri ini masih jauh dari kata sejahtera. Hal ini terlihat dari hadirnya ratusan warga yang mengikuti kegiatan bakti sosial yang diadakan yayasan-yayasan sosial di Batam, salah satunya baksos kesehatan yang diadakan oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia pada tanggal 28 – 30 Oktober 2016. Bekerja sama dengan Rumah Sakit Budi Kemuliaan Kota Batam. Tim medis yang dihadirkan dari Tzu Chi International Medical Association (TIMA) Batam, Jakarta, dan Singapura ini melayani 492 pasien katarak, pterygium, hernia, bedah minor, dan bibir sumbing. Kegiatan ini didukung sekitar 300 relawan Tzu Chi dan masyarakat setempat yang bergabung.
GENERASI AWAL TZU CHI. Cai Mama, relawan Tzu Chi asal Taiwan yang memimpin relawan Tzu Chi Batam yang kala itu masih berupa kelompok relawan dalam memberikan perhatian kepada masyarakat.
Tumbuhnya Tunas Cinta Kasih
Tzu Chi Batam sendiri telah sembilan kali mengadakan baksos kesehatan di kota ini. Bahkan sebelum Tzu Chi secara resmi berdiri di Batam, masyarakat Batam sudah mendapatkan perhatian relawan Tzu Chi dari negara tetangga: Singapura. Letak Pulau Batam yang secara geografis berdekatan dengan Singapura (dua jam perjalanan dengan menggunakan speed boat- red) membuat insan Tzu Chi Singapura beberapa kali mengadakan baksos kesehatan. Saat itu di Batam sendiri baru ada Cai Mama, relawan Tzu Chi asal Taiwan yang kebetulan menetap di Batam karena urusan bisnis.
“Tahun 2000 ada Tzu Chi di Batam yang dipimpin Cai Mama (masih berupa kelompok relawan -red),” kata Diana Loe, Ketua Tzu Chi Batam mengawali pembicaraan. Perkenalan Diana dengan Tzu Chi pun berawal dari Cai Mama yang memberikan informasi tentang baksos kesehatan. “Tahun 2002 Cai Mama yang selalu belanja di restoran saya, ada banyak dokter yang datang. Saya bilang kalau ada baby (Grace) sakit butuh operasi. Jadi saya datang saja ke lokasi baksos,” kisah Diana. “Tapi tidak bisa dioperasi,” lanjutnya sedih.
Tak lama setelah baksos tersebut, Cai Mama harus meninggalkan Batam lantaran suaminya telah meninggal. Ia pun kembali ke negara asalnya, Taiwan. “Jadi Batam enggak ada relawan,” ujar Diana. Dengan dorongan dari relawan Tzu Chi Singapura, Diana pun mencoba menggalang relawan Tzu Chi di Batam. “Pertama-tama kita adakan sosialisasi di tempat (restoran –red) saya. Saya undang masyarakat Batam, sedangkan relawan Singapura yang menjadi pembicaranya,” ungkapnya bernostalgia, “Jadi bisa dibilang Tzu Chi mulai lagi di Batam itu tahun 2003.”
Di masa-masa itu, para relawan terus mengadakan baksos kesehatan dan bantuan pengobatan untuk warga tidak mampu. Tentu semua ini tidak lepas dari pendampingan Tzu Chi dari Singapura. “Di Batam banyak (pasien) kasus. Boleh dibilang yang kita kerjakan cuma kasus (bantuan pengobatan) dan baksos,” ucap Diana. Meskipun begitu, di luar bantuan pengobatan dan baksos juga sering diadakan kegiatan seminar-seminar maupun lainnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat di Batam.
Tzu Chi Batam pun diresmikan pada Agustus 2005 yang digawangi oleh Radius Wibowo. “Saat itu David Liu (Ketua Tzu Chi Singapura -red) berinisiatif membentuk Tzu Chi di Batam, tapi dari beberapa relawan yang ada belum ada yang bersedia untuk menjadi ketua. Karena tergerak dan dorongan dari David Liu akhirnya saya menyanggupi menjadi ketua,” ungkap Radius. Sejak itu berbagai kegiatan dilakukan, seperti baksos kesehatan, sosialisasi Tzu Chi, dan penggalangan dana dengan mengadakan turnamen golf pengusaha di Batam. Namun karena kesibukan yang dijalaninya sebagai pengusaha, Radius hanya dua tahun mengemban tanggung jawab sebagai Ketua Tzu Chi Batam.
Pada tahun 2007, Diana Loe yang sudah kembali dari Australia menerima surat dari Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei yang berisi pengangkatan Diana Loe sebagai Ketua Tzu Chi Batam dan Wangi shijie sebagai Wakil Ketua. “Sebenarnya belum siap jadi ketua, tapi Tzu Chi Batam harus tetap jalan. Saya ditunjuk dan harus siap,” aku Diana tersenyum. “Awalnya terasa berat, tapi harus dipikul karena merupakan tanggung jawab. Ini juga merupakan masa-masa awal berdirinya Tzu Chi Batam sehingga butuh kerja sama setiap orang,” tambah Wangi, yang merangkap menjadi koordinator relawan Misi Amal.
SARANA PENGGALANGAN BODHISATWA.Kegiatan baksos kesehatan yang rutin diadakan relawan Tzu Chi Batam juga menjadi salah satu sarana untuk menggalang lebih banyak para Bodhisatwa, sehingga barisan relawan Tzu Chi di Batam pun semakin bertambah.
Media Penggalangan Bodhisatwa
Misi Amal dan Misi Kesehatan adalah dua misi Tzu Chi yang terus dijalankan relawan Tzu Chi Batam. Selain dapat membantu mengatasi penderitaan masyarakat, kegiatan baksos kesehatan juga menjadi ajang penggalangan relawan baru. Pasalnya, dari kegiatan baksos inilah jodoh awal sebagian besar relawan Tzu Chi di Batam terjalin. “Pertama kali ikut kegiatan Tzu Chi ya baksos,” ujar Wangi tersenyum.
Soehartieny atau Moi-moi yang juga merupakan relawan generasi awal di Tzu Chi Batam juga mengungkapkan hal yang sama. “Kenal Tzu Chi dari baksos kesehatan di Batu Aji tahun 2004. Saat itu jadi penerjemah karena relawannya dari luar negeri (Singapura -red),” ungkapnya. Moi-moi yang pernah menjadi penanggung jawab baksos ini menilai bahwa menggalang relawan baru pada saat kegiatan baksos sangat efektif. “Saya ajak teman-teman, saya ceritakan kalau relawan (Singapura) jauh-jauh datang ke Indonesia untuk baksos. Karena itu kita yang di Batam juga harus ikut membantu,” ujar Moi-moi.
Hingga saat ini, kegiatan baksos tetap menjadi ujung tombak sebagai media penggalangan relawan baru di Batam. “Ini salah satu cara menggalang Bodhisatwa yang sangat baik, dari sini kita bisa berkembang. Kalau nggak mengadakan baksos mungkin enggak banyak relawan Tzu Chi di Batam,” ujar Rudi Tan, penanggungjawab baksos sejak tahun 2009, sekaligus Wakil Ketua Tzu Chi Batam.
Tzu Chi tidak hanya menjalin jodoh dengan relawan di Kota Batam, tetapi juga seluruh masyarakat di Batam. Hal ini membuat masyarakat Batam yang terdiri dari berbagai suku dan golongan ini bisa menerima Tzu Chi dengan baik. Kepala Dinas Kesehatan Kota Batam, drg. Chandra Rizal, M.Si. mengatakan bahwa Batam merupakan daerah transit bagi para pendatang dengan berbagai latar belakang, meskipun begitu tetap berpayungkan budaya Melayu dan menjunjung tinggi Bhinneka Tunggal Ika (Berbeda-beda, tetapi tetap satu). “Budayanya Melayu, orang-orangnya sopan, santun, dan menghargai orang lain. Relawan Tzu Chi tujuannya membantu orang yang tidak mampu. Rasa kemanusiaan dan kepentingan bersama itu bagus, karena kita satu keluarga,” ujar Chandra Rizal, “Masyarakat kita sangat mendukung program Tzu Chi.”
Sejak
diresmikan sebelas tahun lalu, Tzu Chi di Batam telah banyak berkontribusi membantu
masyarakat setempat. Apa yang dilakukan Tzu Chi membuat banyak relawan dan
masyarakat tergerak untuk turut bersumbangsih, baik melalui waktu, tenaga,
maupun dana. Ini terlihat dari semakin panjangnya barisan relawan Tzu Chi
Batam.
TULUS MENDAMPINGI.Relawan Tzu Chi Batam mendampingi Dedi selama masa pemulihan dengan memberikan dukungan semangat padanya pascaoperasi yang dilakukan di Singapura
Memberi dan Mendampingi
Dedi Indrayanto, pria asal Padang, Sumatera Barat menderita tumor sejak usia 8 tahun. Pertemuannya dengan relawan Tzu Chi bermula ketika ia hendak mengikuti Baksos Kesehatan Tzu Chi Batam di tahun 2006.
Setelah sebelumnya sempat putus asa, Dedi mendapatkan kabar baik dari kakaknya yang bekerja di Batam. “Katanya bisa dioperasi di baksos kesehatan ini,” kata Dedi kala itu. Serasa mendapatkan angin segar, ia nekat meninggalkan tanah kelahirannya demi untuk sembuh. Namun, karena tumor di kaki kanannya sangat besar, hingga mencapai 8 kg maka membutuhkan penanganan khusus dan tidak bisa dilakukan di baksos kesehatan ini. Relawan pun tak putus asa. Mereka tetap mengupayakan penanganan terbaik untuk Dedi. “Dedi kami jadikan pasien penanganan khusus,” ujar Wendy, sapaan akrab Wangi. Dedi pun dioperasi di Singapura pada tahun 2007. Semua biaya ditanggung Tzu Chi Singapura dan relawan Batam yang mendampinginya. “Kakinya harus diamputasi dari pangkal paha,” tutur Wendy.
Pascaoperasi, relawan Tzu Chi Singapura juga menggalang hati untuk menyediakan kaki palsu untuk Dedi. Dedi pun menerima bantuan kaki palsu tersebut dengan penuh semangat. “Dedi terus berlatih menggunakan kaki palsu itu,” ujar Wendy yang mendampingi Dedi. Wendy bersama relawan Tzu Chi Batam lainnya mendampingi Dedi selama masa pemulihan dan memberikan semangat padanya. Bahkan sepulangnya dari operasi di Singapura, relawan menyambut Dedi dengan membawakan kue ulang tahun sebagai simbol menyambut hidup baru. “Baru kali ini ulang tahun saya dirayakan, bahagia banget,” ucap Dedi.
Tahun 2009, Dedi kembali ke kampung halamannya di Padang, Sumatera Barat. Ia membantu usaha kakaknya yang beternak bebek. Dedi juga sempat menerima tawaran dari Dinas Sosial untuk mengikuti keterampilan menjahit di Medan, Sumatera Utara. Dan pada Februari 2016 ini, Dedi mengikuti pelatihan yang sama di Cibinong, Jawa Barat. Hingga sekarang ia masih magang menjahit di salah satu pabrik garmen di Sukabumi, Jawa Barat. “Walaupun kakinya diamputasi, tetapi semangat Dedi besar sekali,” puji Wendy.
Meski
kini Dedi tinggal jauh dari Batam, namun Wendy masih terus memberikan perhatian
melalui komunikasi telepon untuk mengetahui perkembangannya. Perhatian inilah
yang membuat Dedi selalu terkenang dengan Tzu Chi dan para relawannya. “Saya
belum pernah tengok (lihat-red) yayasan seperti ini. Tzu Chi
memang tulus membantu kami, tanpa pamrih,” kata pria yang kini berusia 37 tahun
ini terkesan.
RENOVASI RUMAH.Karena keterbatasan ekonomi, Yurma Neli, salah seorang penerima bantuan Tzu Chi tidak mampu memperbaiki rumahnya yang mengalami kerusakan. Relawan Tzu Chi Batam membantu merenovasi rumah Yurma Neli agar lebih sehat, bersih, dan layak untuk ditempati. Selama proses renovasi rumah Yurma Neli, para tetangga juga turut membantu.
Tzu Chi Adalah Saudara
Wendy juga sempat mendampingi seorang penerima bantuan Tzu Chi Batam lainnya, Yurma Neli, ibu rumah tangga yang mendapatkan bantuan renovasi rumah pada tahun 2008. Sebelum mendapatkan bantuan renovasi rumah, bantuan Tzu Chi justru ditujukan untuk pengobatan suaminya, Zulfahmi yang menderita penyakit jantung. Sebelum dibantu Tzu Chi, biaya pengobatan Zulfahmi ditanggung keluarga. Demi kesembuhan sang kepala keluarga, sepeda motor dan barang-barang berharga lainnya ludes terjual. Meski sudah berusaha keras, namun takdir berkata lain. Pada Mei 2008, Zulfahmi tutup usia setelah menjalani operasi yang ketiga. Kepergian sang suami membuat Yurma sangat terpukul, selain itu ia mendadak harus menjadi tulang punggung keluarga bagi keempat anaknya.
Semakin hari kehidupan keluarga Yurma semakin memburuk. “Kondisi ekonominya sangat kurang jadi kita tambah bantuan beras, minyak goreng, dan lain-lain,” terang Wendy. Selain kekurangan dalam hal pangan dan sandang, tempat tinggal pun mengalami kelapukan. Jika hujan mengguyur, air masuk ke dalam rumah. “Waktu itu rumahnya bocor, banyak lubang-lubang dan rusak,” kisah Wendy. Setelah berdiskusi dengan relawan lainnya, mereka pun sepakat untuk merenovasi rumah Yurma pada September 2008. “Renovasinya menyesuaikan dengan rumah di sekitarnya, sederhana, yang penting rapi dan tidak kebocoran,” ujarnya. Tidak hanya relawan Tzu Chi yang membantu merenovasi rumah, namun para tetangganya pun turut bersumbangsih membantu tenaga.
Karena desakan kebutuhan ekonomi, Yurma sempat meninggalkan keempat anaknya demi mencari nafkah di Singapura. Beruntung keempat anaknya cukup mandiri dan mampu mengurus diri masing-masing. Relawan masih terus melakukan kunjungan kasih dan memantau kehidupan keempat anak Yurma. “Mereka berbagi tugas ketika ditinggal kerja ibunya,” kata Wendy. Sebulan sekali Yurma pulang untuk menjenguk sang buah hati. Setelah masalah ekonomi tertangani, Yurma pun kembali tinggal bersama anak-anaknya. Ia memantapkan hati untuk bekerja di Batam. Kondisi ekonominya sudah membaik sehingga ia tidak lagi menerima bantuan dari Tzu Chi pada tahun 2012. Terlebih putra sulungnya kini sudah bekerja.
Jika teringat kisah yang telah dilalui, kepedihan Yurma tak dapat dihilangkan. Namun di balik cobaan itu, Yurma justru merasa mendapat ujian yang membuatnya bisa tegar seperti saat ini. “Aku bersyukur, istilahnya aku terjatuh, tapi bisa langsung bangkit. Bersyukur telah dibantu,” ungkap Yurma. Bagi Yurma, kehadiran relawan Tzu Chi telah menenteramkan batinnya. “Kalau relawan datang aku suka, mereka banyak kasih semangat. Aku ingat ada satu relawan yang bilang, ‘kalau kita jalani hidup jangan sering tengok ke belakang’. Itu betul, karena sering tenggok ke belakang bikin kita putus asa. Dari situ aku mulai bangkit,” ujarnya dengan logat Melayu yang kental.
Karena itulah Yurma menganggap jika relawan adalah bagian dari keluarga besarnya. Keluarga yang hadir dan menopangnya tatkala dalam kondisi terpuruk. “Relawan Tzu Chi adalah saudara. Aku selalu curhat ke ibu (relawan) yayasan. Aku lebih banyak curhat kepada relawan daripada orang lain. Kalau sudah curhat, rasanya senang, terasa ringan dan bebas,” ungkapnya. Jika dulu Yurma dibantu Tzu Chi, kini ia juga turut bersumbangsih membantu sesama. Selama dua hari (28 – 30 Oktober 2016) pelaksanaan Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-114 di Batam, Yurma bersama anak-anaknya ikut menjadi relawan melayani warga yang berobat.
FESTIVAL KUE BULAN.Kegiatan bazar kue bulan yang digelar setiap tahun menjadi agenda rutin untuk penggalangan dana amal Tzu Chi di Batam. Relawan membuat kue bulan jenis snow skin yang dapat langsung dibeli di stan bazar.
Galang Hati untuk Amal Tzu Chi
Dalam menjalankan misinya, Tzu Chi Batam tidak hanya mengandalkan dana dari donatur saja setiap bulannya, tetapi juga mengadakan berbagai kegiatan untuk menggalang hati, seperti Kompetisi Golf dan Bazar Kue Bulan setiap tahunnya. Ide bazar ini awalnya muncul dari salah seorang relawan Tzu Chi Singapura yang merekomendasikan temannya yang pengusaha kue bulan untuk menjual kue bulan dengan harga khusus kepada Tzu Chi. “Kalau nggak habis bisa dikembalikan. Rasanya juga enak, jadi kita coba ambil,” kata Mina, penanggung jawab bazar kue bulan.
Tahun 2006 menjadi pengalaman pertama bagi Tzu Chi Batam dalam menyelenggarakan Bazar Kue Bulan. “Karena kurang promosi jadi kurang laku,” kata Mina, relawan yang bergabung di Tzu Chi sejak tahun 2005 ini. Melihat hasil penjualan yang tidak banyak dan kurang menarik perhatian masyarakat, Mina dan relawan lainnya kemudian berinisiatif membuat sendiri kue bulan jenis snow skin langsung di stan bazar. “Ternyata lumayan hasilnya. Kita jadi tahu ternyata orang lebih suka kalau bikinnya langsung di tempat,” ujarnya tersenyum bahagia. Sejak saat itulah, relawan Tzu Chi Batam selalu membuat kue bulan secara langsung di saat bazar.
Sementara itu untuk varian rasa, relawan menyajikan tiga rasa pada pembuatan kue bulan yang pertama. Tidak hanya berhenti pada tiga rasa, justru relawan mencari tahu lagi agar bisa menyajikan banyak varian rasa agar lebih bervariasi. Akhirnya relawan berhasil membuat kue bulan dengan satu kotak berisi sembilan buah dengan sembilan rasa. “Saya cari resep yang cocok dan warna yang sesuai. Semua ada unsur huan bao (pelestarian lingkungan),” ucap relawan yang memiliki hobi memasak ini. Bahkan untuk bahan dan cetakan, Mina sampai mencari ke luar negeri.
Semakin
banyaknya peminat kue bulan maka stok penjualan pun ditambahkan. Setiap
tahunnya jumlah pasokan barang semakin bertambah, otomatis hasil penjualan juga
meningkat. “Omset tiap tahun meningkat. Mulai dari 200 kotak, 500 kotak, bahkan
sekarang bisa sampai menjual tiga ribu kotak,” beber Mina. Seiring berjalannya
waktu, relawan “memoles” kegiatan bazar ini agar tetap menarik perhatian masyarakat.
“Bazar ramai, tapi lama-kelamaan bisa bosan juga, jadi kami sediakan juga
kue-kue kering, manisan, dan juga hiburan (Shou
yu/ isyarat tangan -red) supaya lebih
ramai,” terang Mina. Kegiatan ini juga dimanfaatkan relawan untuk memperkenalkan
Tzu Chi kepada masyarakat luas.
PERUBAHAN DIRI YANG POSITIF. Perubahan positif dirasakan terjadi pada diri keempat anak Yvone Chang sejak mengikuti Kelas Budi Pekerti Tzu Chi. Mereka kini justru kerap mengingatkan orang tua mereka dengan Kata Perenungan Master Cheng Yen.
Membekali Budi Pekerti Bagi Generasi Cilik
Relawan Tzu Chi Batam juga mengembangkan Misi Pendidikan. Moi-moi yang menggagas ini merasa bahwa Pendidikan Budi Pekerti Tzu Chi sangat diperlukan anak-anak. “Anak-anak belajar Kata Perenungan Master Cheng Yen dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari,” ungkapnya. Sebelum Misi Pendidikan berjalan di Batam, Moi-moi dan beberapa relawan lainnya pernah mengajak anak-anak mereka mengikuti kelas budi pekerti di Tzu Chi Singapura pada tahun 2006. “Anak-anak kami senang sekali,” ujarnya. Moi-moi pun mendorong relawan Tzu Chi Batam untuk mengadakan kelas budi pekerti juga.
Harapan Moi-moi terjawab pada tahun 2010, saat Tzu Chi Batam membuka kelas budi pekerti. Terpilihlah Fang fang dan Felicia Ng Li Luan sebagai pemegang tanggung jawab Misi Pendidikan. Meski pada awalnya masih ada keraguan pada diri Fang Fang dalam menjalankan Misi Pendidikan, tetapi mereka berusaha menjalankan dengan sebaik-baiknya. “Meski kita tidak ada background mengajar, tetapi kita coba saja,” ujar Fang fang tersenyum.
Dengan langkah mantap akhirnya dimulailah Kelas Budi Pekerti Tzu Chi Batam. “Murid awalnya hanya tiga puluhan,” katanya. Ketiga puluh anak ini semuanya merupakan buah hati para relawan. Berbekal tekad inilah, relawan Misi Pendidikan mulai mengumpulkan bahan materi yang akan diajarkan. Kelas budi pekerti Tzu Chi Batam pun berjalan dengan baik, terbukti dari tahun ke tahun jumlah muridnya terus bertambah. “Di tahun keenam ini, total ada 326 murid,” kata Fang fang. Tidak hanya anak didik yang meroket, relawan pendamping pendidikan (Da Ai Mama) pun bertambah. Kini ada 93 orang Da Ai Mama di Batam.
Kelas budi pekerti yang digawangi enam guru dan enam asisten guru ini berhasil mengajarkan budi pekerti dengan semangat Tzu Chi ke dalam diri anak-anak. Misalnya keempat buah hati Yvone Chang yang banyak mengalami perubahan sejak mengikuti kelas ini. Mereka adalah Febrina Jevon Ng (14), Jacelyn Jevon Ng (13), Rebecca Jevon Ng (9), dan Giselle Jevon Ng (7). Yvone Chang yang juga anggota Da Ai Mama ini mengaku anak-anaknya sering menjadikan Kata Perenungan Master Cheng Yen untuk mengingatkannya jika melakukan hal-hal yang dirasa tidak sesuai. “(Di kelas budi pekerti) belajar Jing Si Yu (Kata Perenungan Master Cheng Yen), belajar kebijaksanaan, sopan santun, dan rendah hati,” kata Rebecca menjelaskan apa yang dipelajari selama di kelas budi pekerti. “Makan jangan cepat-cepat, makan enggak boleh disisain,” timpal sang adik, Giselle.
Sementara itu sang kakak merasa telah memperoleh banyak wawasan baru selama lima tahun belajar di kelas budi pekerti ini. “Lebih bersyukur daripada mengeluh terus karena setiap orang pasti ada kekurangannya,” ungkap Febrina, “Berbakti sama orang tua, jaga adik-adik dan mencontohkan kepada adik-adik sebagai anak paling besar.” Febrina semakin giat mendalami ajaran Jing Si yang menurutnya memberikan perubahan positif baginya. “Aku mau mendalami hal-hal yang bagus, lebih sabar, pikirannya lebih dewasa dan sopan,” akunya bertekad.
Melihat perkembangan anak-anaknya yang cukup baik, sebagai orang tua Yvone merasa sangat bersyukur. “Anak-anak ada perubahan, yang tadinya bangun pagi susah, sekarang lebih disiplin. Rebecca yang sering mengingatkan kita dengan kata Perenungan Master Cheng Yen,” ujar Yvone. “Karena ada pengajaran yang baik, anak-anak sopan terhadap orang tua, dan lingkungan,” timpal sang ayah, Jepri Sudianto. Bahkan sikap-sikap yang ditunjukkan buah hatinya inilah yang membuatnya tertarik untuk mengikuti jejak istri dan anak-anaknya di Tzu Chi.
Cinta Kasih Menyebar Melampaui Samudera
Batam yang masuk dalam Provinsi Kepulauan Riau, berada dalam gugusan pulau-pulau kecil. Keadaan geografis ini mendukung para relawan Tzu Chi Batam meluaskan cinta kasih ke wilayah pulau-pulau di sekitarnya. “Di Batam banyak pendatang, relawan kita banyak yang berasal dari pulau-pulau. Mereka mengajukan diri untuk mengembangkan Tzu Chi di kampungnya,” ujar Diana. Belasan tahun menyemai cinta, masyarakat di wilayah sekitar pun dapat merasakan cinta kasih tersebut. Dua kantor penghubung pun berdiri: Tanjung Balai Karimun dan Tanjung Pinang.
Selain
kedua kantor penghubung tersebut, Tzu Chi juga mendampingi relawan di
Selatpanjang yang saat ini masih dalam tahap proses pembentukan kantor
penghubung. “Sebulan sekali kunjungan ke sana,” katanya. Diana sangat bersyukur
Tzu Chi bisa berkembang di pulau-pulau sekitar Batam. “Kita bersyukur sekali
bisa membimbing Kantor Penghubung di luar pulau,” ungkapnya. Keberhasilan ini
tentu salah satunya berkat keaktifan seluruh relawan. “Semua shixiong shijie sangat aktif di semua
kegiatan. Di Tzu Chi memang sama rata, tidak ada istilah “bawahan” dan
“atasan”. Semua tanggung jawab diri masing-masing dan saling mengisi,” ucap
Rudi bangga.
Membangun Rumah Batin
Tzu Chi Batam bertumbuh secara bertahap dari tahun ke tahun. Seiring bertambahnya para Bodhisatwa, insan Tzu Chi pun membangun komitmen untuk mendirikan rumah batin sendiri. Belasan tahun Tzu Chi Batam berpindah-pindah lokasi kantor. Mulai dari restoran hingga ruko yang dijadikan sebagai tempat pelatihan diri bagi insan Tzu Chi. Untuk mendirikan kantor, relawan Tzu Chi memohon restu Master Cheng Yen. “Pertama-tama mau bangun kantor, enggak tahunya jodoh dengan Shang Ren kasih kita jadi Jing Si Tang,” ujar Diana Loe bahagia.
Restu Master Cheng Yen inilah dijadikan cambuk bagi seluruh relawan Tzu Chi Batam. Mereka bersatu hati untuk mempersiapkan segala keperluan pembangunan Aula Jing Si mulai dari penggalangan dana hingga pengawalan proses selama pembangunan. “Tujuan bikin Jing Si Tang untuk jangka panjang. Kantor (Tzu Chi) sekarang pinjam, kalau ada kegiatan besar tidak bisa menampung. Dengan komitmen dari relawan Batam kita dirikan. Ini jalinan jodoh,” ujar Rudi Tan. Wakil Ketua Tzu Chi Batam ini menambahkan jika semua relawan bersatu hati tentu tidak akan ada kesulitan yang dilalui. “Jing Si Tang ini untuk kegiatan relawan di Kepulauan Riau. Mudah-mudahan berjalan dengan lancar,” tambahnya.
Pembangunan gedung pun sudah hampir menuju garis finish. “Sekarang sudah hampir selesai dan tinggal finishing. Semua sudah masuk, AC, pemadam kebakaran, listrik sudah jalan,” tukas Djaya Iskandar, penanggungjawab pembangunan Aula Jing Si. Pengerjaan pembangunan pun ditargetkan pada Agustus 2017 sudah siap untuk diresmikan.
Aula Jing Si bisa berdiri kokoh tentu membutuhkan aliran dana yang cukup besar. Djaya mengajak relawan lainnya untuk bersama-sama menjaga komitmen awal dalam membangun rumah batin. Selain penggalangan dana melalui genting berkah, kursi teratai, baut emas, galang dana juga dilakukan melalui bazaar kue bulan dan barang-barang lainnya. Dengan memiliki rumah batin sendiri relawan diharapkan lebih giat melatih diri. “Setelah berdirinya Aula Jing Si, relawan Tzu Chi Batam dan sekitarnya lebih kompak meningkatkan kerja sama dalam segala hal,” ungkap Djaya. “Semua orang bisa semakin bersungguh hati, sangat giat dan bersemangat, sepenuh hati, menganggap Tzu Chi rumah sendiri,” imbuh Ketua Tzu Chi Batam berharap.
Teks: Yuliati