Menemukan Bakat Tiffany (Bagian I)
Tanpa diajari, Tiffany sejak kecil sudah gemar belajar bahasa mandarin dari kamus yang ia pelajari sendiri. |
| ||
Salah satu di antaranya adalah Tiffany Komara yang pada bulan Juli 2010 ini akan genap berusia 19 tahun. Tiffany adalah gadis ceria bertubuh tinggi dengan postur yang langsing mendekati kurus. Wajahnya berbentuk oval dengan mata yang terlihat cerdas terletak di antara batang hidungnya yang sedikit mancung. Begitu tiba di toko buku Jing Si, Tiffany langsung merengek kepada salah satu karyawan di situ, “Setel ceramah Master, setel ceramah Master,” katanya dengan logat yang terbata-bata. “Tiffany minta dengan baik kepada shijie,” kata Meilissa mengingatkan. Di dalam keluarga, Tiffany Komara adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Meski sejak kecil telah autis, namun Tiffany memiliki kecerdasan yang baik dalam bahasa Mandarin, melukis, dan bermusik. Sebagai seorang ibu, ia menyadari betul kenyataan dan tantangan yang harus dihadapi. Kenyataan dan tantangan yang harus dihadapi dengan penuh keberanian dan ketangguhan. Meilissa juga tidak pernah enggan untuk menjawab keingintahuan banyak orang tentang kisah putrinya. Meilissa adalah seorang sosok ibu yang penuh dedikasi terhadap keluarganya. Kelahiran Anak Pertama Namun semakin Tiffany tumbuh besar, ia tidak seperti anak-anak yang lain. Perilaku tenangnya yang tidak terusik saat menyaksikan televisi dan kemampuan menyerap kalimat yang mengagumkan membuat Meilissa bertanya-tanya dalam hati, adakah kelainan pada putrinya. Ditambah lagi dengan belum terlihatnya keterampilan Tiffany berbicara padahal waktu itu ia sudah berusia 2 tahun. Meski begitu, Tiffany ternyata pandai menyusun kalimat melalui permainan huruf yang sebelumnya tidak diajarkan sama sekali. Ia juga sangat menyukai mainan berbentuk puzzle. Kenyataan ini membuat Meilissa terkejut dan mendorong dirinya untuk segera melakukan sesuatu yang terbaik bagi Tiffany.
Ket : - Belum dikenalnya autisme di tahun 90-an membuat banyak orang memandang anak autis dengan sebelah mata. Meski banyak pandangan miring, Melissa tetap berkeyakinan kalau putrinya yang autis memiliki kelebihan dibandingkan anak-anak lain. (kiri) Maka dengan penuh kecemasan Meilissa membawa Tiffany ke rumah sakit untuk diperiksa oleh seorang psikiater. Melalui pemeriksaan psikologis yang tidak terlalu mendalam, psikiater itu mengatakan kalau kondisi Tiffany merupakan bawaan sejak lahir. Dan ini termasuk kasus yang langka di Indonesia pada waktu itu. Karena merasa masih membutuhkan jawaban yang paling tepat mengenai keadaan putrinya Meilissa kemudian beralih ke psikiater lain yang ia anggap lebih ahli. Tak puas dengan jawaban yang ada, ia terus mencari sampai akhirnya bertemu dengan seorang professor di bidang kejiwaan. Namun jawaban yang diberikan oleh sang profesor juga tidak berbeda dengan psikiater sebelumnya; kondisi Tiffany merupakan bawaan sejak lahir. Hal itu tidak lantas membuat Meilissa menjadi putus asa. Ia terus melanjutkan pencarian kebenaran hingga akhirnya bertemu dengan seorang dokter ahli bedah otak di salah satu rumah sakit swasta. Begitu berjumpa dengan dokter itu, Meilissa langsung bertanya, “Dok, anak saya kalau dipanggil namanya ia tidak mau menengok. Tapi ia bisa bernyanyi?” Dengan enteng dokter itu menjawab, “Anak kamu kalau tidak tuli ya bodoh.” “Tetapi ia bisa bernyanyi dok. Berarti tidak tuli kan?” desak Melissa. “Yang menjadi dokter saya apa kamu?” Kata dokter itu dengan ekspresi tersinggung. Tanpa berkata-kata Meilissa pun langsung meninggalkan ruang praktik dokter itu. “Sedih rasanya kalau anak saya dibilang bodoh,” katanya mengenang. Setelah berkali-kali mendapatkan jawaban yang tak memuaskan, penyembuhan Tiffany pun Meilissa alihkan ke pengobatan alternatif. Di pengobatan alternatif, sang tabib menjelaskan kalau di dalam pembuluh darah otak Tiffany terdapat angin yang mengendap. Satu-satunya cara untuk menghilangkannya adalah dengan mengonsumsi obat yang ia sarankan. Alih-alih, setelah obat habis dikonsumsi pun keadaan Tiffany tak jauh lebih baik. Bertemu Dokter Melly
Ket : - Untuk mengisi waktu luang, Meilissa dan Tiffany seringkali bermain ke toko buku Jing Si, Kelapa Gading. Di tempat ini Tiffany seolah mendapatkan kenyamanan dan ketenangan. (kiri). Autisme adalah gangguan perkembangan yang sangat kompleks pada anak. Gejala penyakit ini sudah timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun. Karena penyakit ini, si anak tidak akan mampu berinteraksi dan berkomunikasi dengan dunia luar secara efektif. Akibatnya anak pun menjadi terisolasi dari lingkungan sosial dan masuk dalam dunianya sendiri. Diagnosis ini dirasa bagaikan pukulan berat yang menghantam diri Meilissa. Maka untuk memberikan semua yang terbaik bagi putrinya, Meilissa segera mengikutkan Tiffany dalam sebuah terapi autis seperti apa yang disarankan oleh dokter Melly. Melalui terapi autis inilah perkembangan bicara dan respon Tiffany terhadap lingkungannya mengalami perkembangan. Untuk lebih menunjang kemampuannya belajar dan bersosialisasi maka Meilissa pun memasukkan Tiffany ke sekolah umum. Saat itu memang tidak mudah memasukkan Tiffany ke sekolah biasa, karena pada tahun 90-an masih banyak orang yang belum paham dan dapat menerima kondisi anak autis. Kebanyakan dari mereka menganggap Tiffany sebagai anak yang mengalami gangguan jiwa. “Seringkali orang menganggap Tiffany sebagai anak yang tidak waras. Tetapi harus bagaimana lagi, karena waktu itu autis belum populer dan banyak orang yang belum paham,” jelas Meilissa. Sikap Tiffany memang terlihat berbeda dengan murid-murid yang lain. Ia lebih sering acuh dengan keadaan di lingkungannya, meski begitu ia juga memiliki kemampuan menyerap pelajaran dengan sangat baik. Itu sebabnya meski Tiffany terlihat berbeda secara perilaku dan emosional tetapi ia mampu mengikuti pendidikannya hingga kelas 2 sekolah menengah pertama. Namun pandangan sebelah mata terhadap anak autis di masa itu tetap menjadi kendala bagi Tiffany untuk melanjutkan sekolahnya. Semua ini terjadi ketika sekolah tempat Tiffany belajar mengganti kepala sekolah yang lama dengan kepala sekolah yang baru. Kepala sekolah baru itu langsung menilai Tiffany sebagai anak yang tidak cocok menempuh pendidikan. Akhirnya dengan berat hati Meilissa menyudahi pendidikan formal Tiffany hingga kelas 2 SMP. “Begitu ganti kepala sekolah, kepala sekolah yang baru menganggap Tiffany tidak cocok bersekolah di sekolah umum. Jadi lebih baik saya berhentikan sekolahnya,” tutur Meilissa. Setelah berhenti sekolah, Meilissa sebisa mungkin mengatur jadwal kegiatan Tiffany agar terus aktif sepanjang hari selama satu minggu melalui berbagai kursus. “Daripada dimusuhin oleh gurunya lebih baik saya kursuskan sekalian. Jadwalnya harus padat seperti waktu ia sekolah. Senin sampai Sabtu sekolah berarti Senin sampai Sabtu harus penuh jadwalnya,” kata Meilissa. Bersambung ke Bagian Dua | |||