Mengajarkan Calistung ke Anak-Anak Kampung Gubukan


Prihatin dengan anak-anak yang berada di Kampung Gubukan, relawan Tzu Chi Surabaya mengajarkan baca, tulis, dan hitung atau Calistung. Relawan berharap anak-anak Kampung Gubukan memiliki bekal untuk meraih masa depan yang lebih cerah.

*****

Berawal dari bantuan bulanan yang diberikan Tzu Chi Surabaya kepada warga Kampung Gubukan, Sophie, Sheila, dan Santoso yang merupakan keluarga dan menjadi relawan Tzu Chi Surabaya berniat menjadi relawan pendamping di sana.

Keinginan itu bukan tanpa sebab, ceritanya, pada sebuah kunjungan ke kampung Gubukan untuk memberikan bantuan bulanan, relawan melihat ada sekelompok anak-anak kecil bermain. Di kala itu hari masih siang dan bukan merupakan hari libur, sehingga relawan jadi penasaran dan bertanya kepada adik-adik itu mengapa mereka tidak berada di sekolah. Sungguh diluar dugaan, ternyata jawaban mereka sangat membuat hati miris. Anak-anak tersebut bercerita bahwa mereka tidak sekolah, bahkan di usia mereka yang sudah menginjak 8-10 tahun, mereka belum bisa membaca dan menulis.

Para orang tua dari anak-anak itu menjelaskan kepada relawan bahwa mereka tidak bisa memasukkan putra dan putrinya ke sekolah negeri yang tanpa biaya karena KTP mereka bukan penduduk Surabaya. Selain itu, mereka juga terkendala oleh faktor identitas. Anak-anak ini tidak mempunyai Akta Lahir sehingga juga tidak terdaftar di Kartu Keluarga (KK). Tanpa identitas NIK, sekolah swasta berbayar pun tidak bisa menerima mereka untuk menjadi murid.

Kondisi kehidupan orang tua mereka yang berantakan, broken home, dan kemiskinan membuat kepengurusan identitas anakanak mereka menjadi terlantar, ditambah lagi dengan adanya covid selama 3 tahun terakhir. Hari-hari yang seharusnya digunakan untuk menimba ilmu, terbuang sia-sia.

Niat mulia ini pun mereka sampaikan ke pimpinan Tzu Chi Surabaya. Tapi relawan sendiri menyadari bahwa membina dan memberdayakan warga Kampung Gubukan tidaklah mudah dan perlu kesungguhan hati. Relawan kemudian mencoba merealisasikan niatan mereka walaupun menghadapi beberapa hambatan seperti persetujuan dari para orang tua, kemauan dari anak-anak, tempat belajar, waktu pelaksanaan, relawan pengajar, dan lainnya.

Namun jika ada niatan baik, tentu ada pula jalan. Relawan pun mendapat kesempatan untuk belajar cara mengajar dari Sekolah Sinar Mulia. Ini merupakan sebuah kesempatan emas sehingga mereka betul-betul bisa memberikan pelajaran dengan benar.

Cinta kasih relawan pun tidak berhenti di situ, setiap kali mengunjungi gan en hu (penerima bantuan Tzu Chi) terpikirkan bagaimana agar mereka, khususnya yang masih berusia produktif agar tidak selalu hanya menerima bantuan. Relawan kemudian berniat memberikan bekal agar suatu saat mereka bisa hidup mandiri dengan memanfaatkan keahlian masing-masing.

Awal yang Tak Mudah
Singkat kata, kelas calistung ini pun lahir di Kampung Gubukan (11 Juni 2023) dengan tujuan yang sangat sederhana, yakni agar anak-anak setidaknya dapat membaca dan menulis sembari menunggu bisa masuk ke pendidikan formal. Seharusnya jumlah murid yang terdaftar hanyalah 6 anak, tetapi tak disangka yang hadir menjadi 12 anak dan masih ditambah 8 anak remaja yang sebagian besar adalah kakak-kakak dari adik-adik yang ikut calistung. Melihat semangat semua anak yang begitu besar dan haus akan ilmu, para relawan pun semakin mantap melaksanakan kelas calistung ini.

Suasana belajar Calistung yang menyenangkan di Balai RT 7. Anak-anak Kampung Gubukan sukacita mengikuti pelajaran.

Dukungan Ketua RT dan warga setempat yang juga meminjamkan Balai RT mereka sebagai ruang kelas, ditambah dengan dukungan dari bapak TNI Babinsa yang turut hadir pada kegiatan belajar ini menjadi dorongan ekstra bagi relawan untuk membantu anak-anak.

Dari 12 anak yang ada di kelas calistung, hanya beberapa saja yang memang belum pernah sekolah. Adapun yang pernah sekolah ternyata juga belum dapat mengenali huruf alfabet dengan lancar. Sungguh membuat prihatin. Karenanya, relawan tidak menolak kehadiran anak-anak itu, dengan segera jumlah relawan per tim ditambah untuk bisa memaksimalkan pengajaran di kelas.

Memang tidak mudah bagi para murid untuk membuka diri dengan relawan. Banyak dari mereka yang masih takut dan cenderung pendiam, ada pula yang bersikap liar dan tidak mau mendengarkan. Belum lagi ditambah dengan kurangnya sopan santun pada diri anak-anak. Mereka tidak terbiasa untuk menyapa orang, berkata tolong, permisi, bahkan mengucapkan terima kasih. Tetapi itu semua tidak menyurutkan keinginan relawan untuk mengajar mereka membaca dan menulis, malah menambah tekad relawan agar juga bisa menanamkan budi perkerti kepada setiap anak, sehingga tidak hanya akademisnya saja yang maju tetapi tutur kata dan perbuatannya juga menjadi lebih baik.

Tidak hanya berfokus kepada membaca dan menulis, para murid juga belajar berhitung dan dilatih fungsi motoriknya.

Sophie sebagai penanggung jawab merasakan bagaimana relawan tanpa lelah dan penuh sukacita menjadi pengajar setiap pekannya di Kampung Gubukan sejak 25 Juni 2023 – 1 Oktober 2023. “Saya terharu dan bangga dengan relawan yang tanpa lelah selama empat bulan ini. Kami juga bersamasama belajar cara mengajar yang benar. Rasa lelah kami terbayar ketika mereka menyambut kami dengan penuh sukacita,” ujarnya.

Dengan penuh cinta kasih relawan juga menganggap anak-anak di Kampung Gubukan seperti anak sendiri. Mereka tidak canggung untuk menggandeng, memeluk, dan memberi perhatian penuh. Selama dua bulan proses belajar mengajar berjalan, sikap dan perilaku anak-anak Kampung Gubukan pelan-pelan berubah. Mereka menjadi lebih sopan, terbiasa mengucap terima kasih, memberi hormat, dan mau ikut membantu pekerjaan rumah orang tuanya. Selain itu mereka mulai terbuka dan berani bicara.

Hasil yang Tidak Mengkhianati Proses
Setelah 2 bulan berjalan, perjuangan relawan mulai menampakkan hasil. Sikap dan perilaku anak-anak sedikit demi sedikit mulai berubah lebih baik dan sopan. Tidak hanya menyapa, mereka sudah bisa mengucapkan terima kasih tanpa diminta. Sebagian besar anak sudah bisa membaca kata per kata meskipun tidak semuanya lancar. Mereka juga sudah bisa berhitung lancar hingga angka 30.

Salah satu orang tua, Bu Sukini menceritakan, “Anak saya sekarang sudah berkurang banyak berbicara kasar. Setiap mereka mau mengumpat, mereka bisa mengerem. Anak saya yang besar sekarang juga mau bantu-bantu saya mengejarkan pekerjaan rumah seperti mencuci baju dan menyapu padahal dulunya cuek saja. Anak saya yang kecil sekarang sudah mengenal alfabet hingga ‘z’ dan bisa berhitung hingga 30.”

Dengan penuh kesabaran, relawan Tzu Chi Surabaya perlahan-lahan mengajarkan cara membaca kepada salah satu anak Kampung Gubukan.

Berita lebih menggembirakan datang dari para orang tua murid kelas calistung. Mereka yang semula acuh dan belum tergerak untuk mengurus identitas anaknya, sekarang berhasil membuatkan anaknya Akta Lahir dan mendaftarkan di Kartu Keluarga. Rupanya kesungguhan dan kerja keras relawan berhasil menggalang hati para orang tua untuk mau berupaya memikirkan masa depan anak-anaknya. Bahkan mereka langsung mendaftarkan putra dan putrinya untuk masuk sekolah dasar. Empat anak tanpa identas yang menjadi inspirasi tercetusnya kelas calistung, sekarang sudah menginjak bangku sekolah dan itu sungguh membuat perjuangan relawan tidak sia-sia. Para relawan sangat bersyukur.

“Saya berharap anak-anak bisa berubah masa depannya, tidak bekerja sebagai pengamen. Dengan adanya program ini setidaknya bisa membuka wawasan dan kebijaksanaan anak-anak hingga kelak berguna dalam kehidupan mereka,” ucap Yuliani, salah satu relawan yang juga mendampingi anak-anak.

Kampung Gubukan di Kelurahan Banjar Sugihan, Kecamatan Tandes, Kota Surabaya telah ada sejak 25 tahun yang lalu. Kampung untuk mau berupaya memikirkan masa depan anak-anaknya. Bahkan mereka langsung mendaftarkan putra dan putrinya untuk masuk sekolah dasar. Empat anak tanpa identas yang menjadi inspirasi tercetusnya kelas calistung, sekarang sudah menginjak bangku sekolah dan itu sungguh membuat perjuangan relawan tidak sia-sia. Para relawan sangat bersyukur. “Saya berharap anak-anak bisa berubah masa depannya, tidak bekerja sebagai pengamen. Dengan adanya program ini setidaknya bisa membuka wawasan dan kebijaksanaan anak-anak hingga kelak berguna dalam kehidupan mereka,” ucap Yuliani, salah satu relawan yang juga mendampingi anak-anak. Kampung Gubukan di Kelurahan Banjar Sugihan, Kecamatan Tandes, Kota Surabaya telah ada sejak 25 tahun yang lalu. Kampung yang terletak di belakang stasiun Kandangan wilayah Banjarsugihan Surabaya ini dihuni oleh sekitar 30 keluarga. Hampir semua dari warganya adalah pendatang dari luar kota Surabaya yang kebanyakan bekerja sebagai pekerja serabutan.

Awal mulanya, Tzu Chi mengenal tempat ini dengan nama Kampung Kumuh, karena kondisi kehidupan mereka yang berada dibawah garis rata-rata dan kurang layak. Namun sebutan kumuh itu sejatinya adalah kurang humanis, sehingga diputuskan untuk mengganti nama kampung ini menjadi Gubukan supaya para warga di sana tidak mempunyai stigma sebagai orang yang kumuh hidupnya, tetapi sebagai manusia yang punya harkat dan martabat seperti sesamanya.

Teks: FX Santoso Tanidjaja (Tzu Chi Surabaya)
Foto: Diyang Yoga, FX Santoso Tanidjaja, Sheila (Tzu Chi Surabaya)
Kita harus bisa bersikap rendah hati, namun jangan sampai meremehkan diri sendiri.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -