Menghitung Besarnya Kasih Ibu

Senyum selalu menghiasi wajah Pitri (kiri), salah satu Gan En Hu atau penerima bantuan Tzu Chi.  Ketegarannya dan semangat sang Ibu membuatnya mampu melampaui ujian demi ujian.

Bukan ibu namanya apabila tidak memberikan cinta yang sedemikian hebat berwujud pelukan hangat, genggaman tangan, maupun usapan lembut untuk sang anak. Bahkan dari tangan kasarnya terlukis kerja kerasnya bagi keluarga. Sementara dari keringatnya tercium wangi harapan dan senyumnya yang seakan selalu memberi kekuatan.

Malam masih belum usai namun Idah sudah membangunkan Pitri, putri bungsunya dan memintanya bersiap untuk berangkat ke kota. Suasana di luar rumah mereka masih gelap, kabut pun masih pekat, suara jangkrik juga masih bersahutan, dan udara perkampungan yang dingin masih membuat merinding. Apalagi badan Idah tergolong kurus, kerempeng. Begitu pun dengan Pitri, hanya perutnya saja yang nampak buncit seperti orang hamil muda. Sementara itu kantong plastik bening terselip di perutnya.

Sebelum pergi, Idah memeriksa putrinya lagi, memastikan Pitri sudah siap. Ia lalu bergegas ke kandang ayam di samping ruang tidurnya. Hari itu ia menangkap 12 ekor ayam yang masih bisa dibilang piyik (anakan) untuk dijual di Pasar Citeureup. “Buat ongkos ke kota,” kata Idah. Dengan ayamnya yang dihargai 15 ribu per ekor, Idah hari itu bisa membawa 180 ribu untuk bekal ke kota. Uang yang bagi mereka sudah sangat besar nominalnya.

Mereka melanjutkan perjalanan tersebut dengan menunggu angkutan ke arah kota usai salat Subuh berkumandang. Bagi Idah dan Pitri, ‘kota’ yang dimaksud merujuk pada Jakarta. Tempat gedung-gedung tinggi nan kokoh berdiri, banyak mobil, banyak fasilitas umum, termasuk banyak rumah sakit. Salah satunya rumah sakit yang belakangan sering mereka kunjungi. Itulah kota. “Banyak artis juga,” imbuh Idah.

Perjalanan Panjang Idah dan Pitri

Hari itu adalah untuk kesekian kalinya ia bersama Pitri harus kembali ke kota untuk memeriksa kondisi si bungsu. Ia seperti sudah hafal dengan lingkungan sekitar sampai rute bus yang akan ia tumpangi. “Sejak awal memang kemana-mana cuma berdua sama Pitri. Kalau dulu mah takut, mau naik bis aja gemeteran, sekarang sudah pinter dikit,” tambahnya. Ingatan Idah bahkan masih sangat jelas ketika pertama kali ia nekat meninggalkan kampungnya di sekitaran Citeureup, Bogor menuju Jakarta untuk mengantarkan Pitri berobat. Badan mungilnya bergetar, gemetar, dan ketakutan. “Karena seumur-umur nggak pernah pergi keluar kampung,” akunya tersipu. Tapi apa boleh buat, rasa sayang mengalahkan ketakutannya.

Idah menjadi seorang buruh tani untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dengan menjadi buruh tani pula, ia mengumpulkan uang untuk biaya transportasi menuju kota demi pengobatan Pitri.

Di angkutan umum itu ia sempat kebingungan karena pembayaran dilakukan dengan kartu. “Mbak, ini bayarnya bisa pakai duit nggak?” tanya Idah setengah berbisik pada salah satu penumpang yang tengah mengantre. Ia was-was tidak bisa pergi ke kota karena tidak punya kartu untuk membayar angkutan. “Bisa kok, Bu, bisa. Ibu tinggal masuk aja dulu,” ucap Idah menirukan jawaban penumpang tersebut. “Dia jadinya malah bayarin saya sama Pitri. Alhamdulillah….,” tambah Idah.

Masa-masa awal mengantar Pitri berobat di rumah sakit pun ia lewati dengan ketidaktenangan. Ia sama sekali buta dengan istilah-istilah medis. Tindakan apa saja untuk si bungsu, ia percayakan pada dokter. “Dulu pernah saya diminta dokter untuk pergi ke satu lab, dari sana saya diminta ke ruang yang namanya saya lupa, pokoknya buat biusan (bius -red). Saya cari satu per satu di mana ruang biusan. Apa itu nama ruangannya, biusan. Lama saya putar-putar, ternyata ketemu ruangannya namanya anastesi, bukan biusan,” cerita Idah dengan tawa tergelak. Ia pun sempat berjalan kaki dari rumah sakit di Salemba ke Pasar Pramuka untuk cari obatnya Pitri. “Kaki saya rasanya mau pecah karena jalan kaki. Nggak tahu kalau Pasar Pramuka itu jauh,” imbuhnya.

Kepolosan Idah menjadi ciri khas tersendiri ketika ia kesana-kemari menemani pengobatan Pitri, maka dengan mudah dokter dan perawat mengenalnya. Ditambah lagi Pitri sempat dirawat 9 minggu lamanya di bangsal anak RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. “Saya sampai dipanggil Bu Lurah di sana,” ucapnya.

Si Pemberani Nan Pemalu

Sejak lahir, nama yang indah sudah disematkan orang tuanya untuk Pitri, Siti Nurita Pitriani. Walaupun tidak memikirkan apa arti pasti dari nama anak ketiganya itu, namun Idah dan suaminya sudah menyertakan doa sejak tangisan Pitri terdengar. “Pengennya Pitri jadi anak yang solehah, sayang sama orang tua, mudah-mudahan juga sukses punya gaji biar kayak orang-orang. Pokoknya mudah-mudahan bisa berbakti,” begitu kata Idah menuturkan doanya yang sederhana. Namun kini doa Idah kian sederhana, ia hanya ingin Pitri cepat pulih dari sakitnya.

Pitri tak segan membantu Idah melakukan pekerjaan sehari-hari. Selain kerap menemani ibunya di sawah, Pitri juga giat membantu Idah memasak, mencuci baju, dan pekerjaan rumah lainnya.

Pitri yang dilahirkan oleh pasangan Caming dan Idah pada 1 Januari 2006 itu mengidap satu kekurangan sejak ia dilahirkan, yaitu tidak mempunyai anus. Sehari pascakelahiran, Idah meminta suaminya kembali memanggilkan dukun yang membantunya melahirkan. Melalui sang dukun, Pitri kemudian dibuatkan lubang anus. Namun hari berikutnya malah terjadi pendarahan dari anus buatan tersebut. Mereka yang tak mempunyai biaya akhirnya hanya mengobati luka luarnya saja.

Lama waktu berselang sampai Pitri berusia tujuh tahun dan ia belum juga memperoleh pengobatan. Perutnya membuncit seperti sedang hamil dan keras saat dipegang. Sering kali Pitri mengalami sakit yang luar biasa di perutnya, namun Idah tidak bisa berbuat banyak. Ia hanya menemani sambil memijat sampai Pitri tertidur. “Kalau lagi rewel, ya saya gendong sampai dia berhenti nangis,” katanya.

Selama tujuh tahun tidak bisa membuang kotoran dari tubuhnya, Pitri tidak pernah mengalami pingsan atau keracunan seperti gejala yang mungkin dialami orang lain. “Paling parah sih muntah-muntah,” sambung Idah. Pitri juga aktif seperti anak lainnya, malah ia cenderung tumbuh menjadi seorang yang pemberani. Keberanian yang ditunjukkan Pitri lah yang membuat Idah seakan tertular. “Anaknya nggak ada takutnya. Dokter bilang disuntik, dia sama sekali nggak nangis. Dokter minta operasi, sampai sekarang sudah operasi keempat kali, dia juga nggak pernah bilang takut.” Begitu pula ketika ia memulai bersekolah pascaoperasi pertama yang ia jalani.

Setelah menjalani operasi pertamanya di tahun 2013 yang kala itu ditujukan untuk menguras kotoran yang ada di tubuh Pitri dan membuat lubang pembuangan di perutnya, Pitri lalu didaftarkan masuk ke sekolah. Kala itu ia bersekolah dengan kantong kolostomi yang menggantung di perut sebelah kanannya. Hal itu bukanlah masalah besar bagi Pitri, namun teman sekelasnya kerap mengejeknya. Beberapa hari ia pulang sekolah sambil menangis, Idah merasa maklum karena keadaan Pitri memang berbeda dengan teman-temannya.

Di rumah, Idah biasa merayu Pitri untuk mau bersekolah dan mengacuhkan teman-teman yang mengejeknya. “Bilang aja Pitri bentar lagi sembuh, bentar lagi operasi, sehat lagi,” bujuk Idah.

Selama memakai kantong kolostomi, Idah pun harus telaten menjaga kebersihan Pitri dan rutin mengganti kantong. Untuk itu, sebelum Pitri diperbolehkan pulang dari rumah sakit, Idah menerima kursus singkat dari para perawat untuk mengganti kantong kolostomi Pitri. “Saya diajarin cuci itu isi perutnya Pitri, Ya Allah…, takut itu pegang usus,” tutur Idah bergidik, “orang saya biasanya mah pegang cangkul, rumput, ini pegang isi perut si Pitri.” Namun lama kelamaan, ia menjadi ahli dan menularkan kemampuannya kepada Pitri. Tak jarang Pitri mengganti sendiri kantong pembuangannya tersebut di jam istirahat sekolah.

Pitri bersama kakaknya sering kali menghabiskan waktu dan belajar bersama di rumahnya. Anak ketiga Idah itu mengaku kerap izin dari sekolah karena kondisi badannya yang masih belum stabil.

Dua tahun lamanya Pitri bertahan dengan kantong kolostomi. Sebenarnya keinginan Idah lebih dari itu, ia berharap Pitri bisa seperti anak-anak lainnya. Namun biaya transportasi untuk kontrol ke kota dirasa lumayan mahal olehnya. “Kalau berobat sih gratis pakai BPJS, tapi nggak punya uang transpor,” jelas Idah.

Idah yang mengandalkan ayam hasil ternaknya rasanya harus menunggu cukup lama untuk bisa menjual ayamnya lagi. Apalagi beberapa ayam induknya hilang. Ibu tiga anak itu lalu menjadi buruh tani demi mengumpulkan uang. Hasilnya 30 ribu untuk sehari menjadi buruh di sawah. Tak jarang Pitri menyusul uminya (ibu –red) sepulang sekolah dan mencari keong sawah untuk dijual.

Suami Idah sebenarnya bekerja sebagai tukang ojek, tapi penghasilannya tak menentu. Kadang ia mencoba peruntungan dengan bengkel seadanya di rumah, tapi kebanyakan yang datang sudah dianggapnya sebagai saudara, “Jadi jarang ada yang bayar,” jelas Idah. Untuk memeriksa kondisi Pitri, Idah akhirnya sering meminjam uang kepada tetangga. “Bayarnya ada bunganya juga, lima ribu seminggu,” katanya.

Bertemu Keluarga Baru

Di bulan Agustus 2014, Pitri yang kala itu masih membawa kantong kolostomi kemana pun ia pergi, turut ikut ibunya ke Pusat Misi Pemeliharaan Perdamaian, Sentul, Bogor, Jawa Barat. Kebetulan Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia sedang melakukan baksos di sana, dan rumah Idah di Kampung Bolang, Desa Tajur, Kecamatan Citeureup hanya berjarak kurang lebih 15 km dari lokasi. Sebetulnya Idah aji mumpung saja, ia berpikir siapa tahu Pitri bisa disembuhkan oleh dokter-dokter di tempat baksos.

Idah datang ke baksos Tzu Chi bersama rombongan dari kampungnya, pagi-pagi mereka sudah dijemput menggunakan truk tentara. Sambil menggendong Pitri kala itu, Idah lalu mendaftar dan diperiksa. Hanya saja dokter tidak bisa langsung meyembuhkan Pitri, melainkan menganjurkan sekaligus meminta Idah untuk melanjutkan pengobatan Pitri yang telah berjalan. Kasus Pitri pun akhirnya ditindaklanjuti secara khusus oleh relawan Tzu Chi Bogor, Lenny Mulya.

Usai baksos kesehatan di Sentul, Lenny yang menangani Pitri bergegas melakukan survei ke Kampung Bolang, Citereup bersama beberapa relawan lainnya. “Kami datang ke lokasi baksos lagi beberapa hari setelah baksos. Di sana kami dijemput Pak RT,” jelasnya. Lenny tak menyangka bahwa rumah Idah begitu jauh dan angkutan umum pun jarang terlihat. “Rumahnya itu terpisah dari tetangganya. Sekeliling rumahnya cuma kebon singkong dan tanah kosong. Udah gitu MCK dan sumur ada di luar rumah, dari aliran kali gitu,” imbuh Lenny.

Idah bahagia dikunjungi relawan Tzu Chi, ia langsung menceritakan kisahnya yang begitu panjang bersama Pitri. “Kami jadi berpikir, selama ini sudah berapa banyak biaya yang ia habiskan untuk pergi ke Jakarta, bolak balik,” tutur Lenny. Hal tersebutlah yang akhirnya menjadi latar belakang Tzu Chi untuk memberikan bantuan biaya transportasi kepada Pitri.

Selama hampir tiga tahun lamanya pula, relawan rajin mengunjungi Pitri untuk sekadar menjenguk ataupun memberikan uang transpor yang diperlukan Pitri untuk berobat ke Jakarta. Mereka juga kerap membawakan kebutuhan rumah tangga ketika berkunjung. Mungkin terlihat seperti bukan hal yang besar, namun di balik itu ada ungkapan perhatian dan kasih sayang dari relawan kepada keluarga Idah di sela-sela kesibukan mereka. Relawan juga tidak pernah lupa bertanya kondisi Pitri secara berkala melalui sambungan telepon.

Bertemu dengan relawan Tzu Chi merupakan berkah tersendiri bagi Idah. Tzu Chi membantu Idah dengan meng-cover seluruh biaya transportasi yang dibutuhkan Idah dan Pitri untuk berobat.


Dengan bekal kasih sayang dari sang ibu, Pitri si pemalu nan pemberani tetap bergembira dalam setiap kondisinya. Hal tersebut yang juga menguatkan ibunya untuk tetap memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Selain dengan relawan Tzu Chi, Idah biasa bertemu dan ditemani oleh Hendrik (staf Bakti Amal Yayasan Buddha Tzu Chi) ketika berobat. Ibu tiga anak itu biasa bertemu Hendrik kala ia pergi ke RSCM untuk kontrol kesehatan Pitri. Melalui Hendrik pula, ia biasa menerima biaya transport apabila relawan tidak sempat mengantarkan ke rumahnya.

“Bahagia sekali bisa ketemu relawan, apalagi ibu-ibu ini mah orang dari Bogor ke sini datang jauh-jauh. Jadi buat aku juga si Pitri, anggepnya relawan mah lebih dari saudara,” seru Idah. Ia sulit menyangka bahwa akhirnya bertemu dengan orang yang bisa membantu apa yang dibutuhkannya. “Seneng banget. Terima kasih banyak sudah membantu Pitri,” ucap Idah berulang kali.

Ungkapan Cinta

Dari Idah dan Pitri, relawan belajar tentang cinta ibu yang benar tiada batasnya, juga tentang bagaimana rasa syukur harus terus dipupuk sehingga semangat tidak kunjung padam.

“Salut dengan perjuangan ibu yang penuh semangat untuk pengobatan anaknya agar bisa menjalani hidup normal seperti orang lainnya. Di tengah keterbatasannya akan biaya, mereka bahkan terus berjuang dan tegar menjalani kehidupan ini,” tutur Lenny. “Semoga mereka diberikan dan dapat memperoleh yang terbaik,” doanya.

Hingga saat ini, Pitri sudah melakukan 4 kali operasi untuk pembuatan anus. Sementara sang ibu masih tak patah semangat untuk melihat senyum anak bungsunya. Ia masih senang menjadi buruh di sawah dan Pitri masih suka menyusul ibunya untuk mencari keong lalu dijual. Satu tahapan lagi yang harus Pitri tempuh untuk benar-benar mewujudkan doa sang ibu. Ia harus melakukan operasi kelimanya untuk menyempurnakan anus buatan.

Di akhir kunjungan, Pitri yang sedikit pemalu mengungkapkan rasa cintanya pada sang ibu dengan sebuah pelukan. “Pitri pengen jadi ustazah, Mi,” bisik Pitri menjawab pertanyaan relawan tentang cita-citanya di telinga ibunya. “Amin, Nak.”

 

Penulis: Metta Wulandari , Fotografer: Anand Yahya

 

Cinta kasih tidak akan berkurang karena dibagikan, malah sebaliknya akan semakin tumbuh berkembang karena diteruskan kepada orang lain.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -