Meniti Asa Melalui Sentuhan Jemari

USAHA MEMENUHI HAK ASASI. Aria Indrawati, salah satu penggagas Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra saat ditemui di tempat kerjanya. Ia menjelaskan bagaimana pemenuhan hak asasi bagi tunanetra masih sangat kurang.

Yang terindah di langit adalah bintang-bintang. Yang terindah di bumi adalah cinta kasih. Kata perenungan Master Cheng Yen itu yang tiba-tiba teringat dalam benak saya ketika melihat banyak sekali anak muda datang untuk melakukan pengetikan buku untuk tunanetra. Mereka memakai kaus berwarna senada, putih dan membawa peralatan ketik pribadi yang datang dari berbagai kalangan. Ada yang mahasiswa, ada masyarakat umum, dan ada juga relawan Tzu Chi. Saat ditanya mengapa mau repot-repot mengetik untuk tunanetra jawaban mereka hampir sama: kepedulian.

Mereka tidak menghabiskan banyak waktu untuk membuka lembar demi lembar salinan buku yang mereka terima. Jari 893 relawan pengetikan ini langsung luruh beradu dengan keyboard laptop, seakan tak ingin menunda waktu untuk mewujudkan angan dari para tunanetra untuk membaca.

Menyediakan Mata Bagi Tunanetra

Pada satu kesempatan lain sebelum kegiatan itu berlangsung, saya sempat menghubungi Aria Indrawati, Biro Humas Yayasan Mitra Netra untuk bertanya mengenai kegiatan Pengetikan Ulang Buku untuk Tunanetra (PUBT). Ia tidak banyak bercerita mengenai kegiatan. Ia justru memberikan satu pertanyaan kepada saya yang membuat saya berpikir tentang nasib tunanetra. “Ada tidak perpustakaan untuk tunanetra?” Itu pertanyaan yang dilontarkan Sarjana Hukum lulusan Universitas 17 Agustus Semarang ini. Tanpa perlu menunggu jawaban saya, dia mengatakan bahwa tidak ada perpustakaan khusus bagi mereka yang penglihatannya sangat terbatas. “Atau setidaknya sampai saat ini memang belum ada perpustakaan bagi tunanetra,” ralatnya.

Jadi bagaimana mereka bisa melihat dunia? Padahal ada ungkapan yang mengatakan bahwa buku adalah jendela dunia. “Melalui membaca, saya bahkan bisa berkeliling Paris, saya bisa ‘melihat’ apa yang belum pernah saya lihat secara nyata,” ucap Aria bersemangat. Aria yang juga merupakan seorang tunanetra merasa bahwa buku Braille (buku timbul) itu adalah laksana mata baginya.

Aria, yang merupakan salah satu penggagas dari Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra telah puluhan tahun merasakan susahnya mendapatkan buku bacaan. “Saya lahir di keluarga yang hobi membaca, namun saya tidak bisa melihat. Tapi jangan salah, saya memang tidak bisa melihat, tapi saya juga hobi membaca,” tegasnya. Hobi membacanya dulu timbul dari hobi mendengarkan cerita dari kakaknya setelah membaca satu buku. Dia bercerita bahwa orang tua mereka dulu sering sekali membawa mereka pergi ke toko buku. Begitu tiba di sana, semua saudaranya sibuk mencari buku bacaan kesukaan mereka. “Saya cuma bisa menunggu mereka selesai membaca dan menceritakannya kepada saya,” tutur anak ke-4 dari tujuh bersaudara ini. “Itu karena buku Braille belum tersedia. Dan sampai sekarang pun masih sangat susah,” tambahnya.

Menurut data dari Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) peningkatan jumlah terbitan buku cukup pesat di Indonesia, ada sekitar 10.000 buku yang diterbitkan per tahunnya. “Sementara Mitra Netra yang setiap hari bekerja mengetik buku Braille, hanya bisa menghasilkan sekitar 100 buku dalam satu tahun. Dan itu lebih fokus ke buku pelajaran,” ucap Aria prihatin. Aria mengatakan bahwa kondisi ini sangat darurat bagi para tunanetra karena mereka tidak hanya membutuhkan buku pelajaran, tapi juga buku-buku pengetahuan umum. Termasuk buku-buku hiburan, hobi, atau pengetahuan umum lainnya.

Aria mengungkapkan fakta yang menunjukkan masih sangat terbatasnya ketersediaan buku untuk tunanetra dan hingga saat ini belum ada usaha apa pun dari pihak pemerintah untuk mengatasi hal tersebut. Hal inilah yang menambah gencar niatan untuk membuat suatu terobosan bagi kaum tunanetra. “Kami sangat concern dalam pemberdayaan tunanetra di bidang pendidikan dan kami memaknai pendidikan itu dalam arti yang luas. Tidak hanya pendidikan formal di sekolah, tetapi pendidikan secara keseluruhan termasuk akses ke buku karena buku merupakan bagian dari proses pendidikan seumur hidup,” tuturnya. Langkah afirmatif untuk memberikan pertolongan pertama dalam masa darurat tersebut kemudian dicetuskan dalam pembuatan satu gerakan, Gerakan Seribu Buku untuk Tunanetra yang dicanangkan sejak 30 Januari 2006.

Sembilan tahun “Gerakan Seribu Buku” berjalan bukan tidak ada kendala. “Awalnya hanya sedikit sekali orang yang mendukung kami,” kata Aria. Dalam periode dua tahun awal, ia menjelaskan bahwa kebanyakan masyarakan takut akan jeratan Pasal 44 pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 yang mengatur mengenai Hak Cipta. Dalam pasal 1 undang-undang tersebut disebutkan bahwa “Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah).”

“Mereka konsen akan hal itu karena ketidakpahaman mereka bahwa UU Hak Cipta juga memaklumi pengadaan buku untuk tunanetra, dalam hal ini untuk buku Braille,” tegas Aria. Dalam setiap proses produksi buku Braille, Aria menerangkan bahwa mereka selalu memenuhi patokan dalam undang-undang berupa subjek penerima buku yang merupakan para penyandang tunanetra, sebaran buku yang dilakukan melalui layanan perpustakaan dan tidak dikomersialkan (atau dijual), sumber disebutkan secara lengkap mulai dari pengarang, penerbit, tahun, cetakan, dan lain sebagainya. “Itu semua syarat dalam undang-undang yang telah kami penuhi. Jadi jelas kami tidak melanggar undang-undang,” tambahnya.

BENTUK KEPEDULIAN. Berbekal peralatan pribadi dan kepedulian untuk sesama, para relawan yang mayoritas mahasiswa ini secara sukarela menyisihkan waktu mereka untuk hadir dalam kegiatan pengetikan ulang.

Jemari-jemari Relawan Pengetikan

Pandangan salah akan pelanggaran hak cipta itu akhirnya luruh seiring waktu, namun proses pemenuhan hak membaca bagi tunanetra belum sepenuhnya berjalan mulus. Buktinya ketersediaan buku Braille masih sangat minim. Hingga kini Yayasan Mitra Netra masih harus mengandalkan enam karyawannya, relawan rutin, dan relawan non rutin untuk membantu memenuhi ketersediaan buku Braille.

Relawan rutin merupakan mereka yang dengan sukarela membantu melakukan pengetikan buku dengan waktu yang tidak terbatas. Hingga kini ada sebanyak 723 relawan rutin yang bergabung. Sedangkan relawan non rutin merupakan mereka yang membantu melakukan pengetikan buku hanya dalam satu event penyelenggaraan saja, misalnya dalam kegiatan PUBT. Salah satunya adalah Jesicca Juventia, Alumni Universitas Atmajaya, Jakarta Pusat yang ikut dalam PUBT di Tzu Chi Center pada Minggu, 5 April 2015 lalu. Jesicca yang sejak kecil sudah akrab dengan kegiatan kemanusiaan mengaku senang telah menjadi bagian dari acara PUBT. “Kegiatan seperti ini sangat bagus untuk mengasah kepedulian kita,” ucapnya. Dari sana, ia pun ingin berbagi cerita mengenai kepedulian ini kepada banyak orang agar bisa saling menginspirasi dan lebih banyak relawan yang ikut dalam kegiatan serupa.

Nggak pernah ya ikut kegiatan seperti ini, jadi saya ikut daftar,” kata Erli Tan, salah satu relawan Tzu Chi yang juga meluangkan waktu untuk ikut kegiatan pengetikan. “Analoginya sih kayak celengan bambu, dari satu bab kecil yang kita ketik, kalau kita kumpulkan semuanya bisa menjadi satu buku,” tambahnya.

Indah, salah satu pengetik buku di Mitra Netra menuturkan bahwa kehadiran para relawan sangat membantu terpenuhinya permintaan buku dari para tunanetra, utamanya buku-buku bacaan umum yang tidak membutuhkan perlakuan khusus. “Kami biasa meminta bantuan relawan untuk mengetik buku umum, fiksi, non fiksi, dan buku apa saja yang tidak mengandung unsur pornografi dan SARA,” ucapnya.

Relawan rutin biasa mengerjakan pengetikan buku selama waktu yang tidak terbatas. Pihak Mitra Netra sengaja tidak membatasi waktu pengetikan para relawan karena memahami kesibukan dari masing-masing relawan. Terlepas dari itu mereka tetap mengerjakan dalam waktu yang tidak lama karena ada tanggung jawab pribadi kepada para tunanetra. “Paling lama biasa 3 sampai 4 bulanan sudah setor hasil ketikan. Itu juga tergantung dengan ketebalan buku yang diketik,” ujar Indah.

Beda hasilnya jika pengetikan dilakukan oleh relawan non rutin yang ada dalam satu even seperti PUBT. “Kita langsung mendapatkan hasil yang banyak,” terang Indah. Seperti kegiatan PUBT yang pernah dilakukan di Tzu Chi Center, PIK, Jakarta Utara. Kegiatan yang diikuti oleh 893 relawan non rutin tersebut bisa menghasilkan 80 buku dalam waktu 1 bulan. “Jadinya sangat membantu,” tambah karyawan yang sudah bergabung selama 11 tahun di Mitra Netra ini.

PUBT sendiri adalah gerakan menulis massal yang digaungkan oleh sebuah komunitas bernama Fency (Fellowship of Netra Community) dan bekerja sama dengan Mitra Netra. Terhitung sudah lima kali diadakan sejak gerakan ini diperkenalkan pada publik 2013 lalu. “Tujuannya untuk mengasah kepedulian masyarakat kepada kaum disabilitas, khususnya para tunanetra,” ucap Tarini, salah satu perwakilan Fency. Ia berharap bahwa melalui hal-hal kecil dari lembaran-lembaran buku yang diketik secara berkala bisa menjadi besar dan bisa membantu para tunanetra memenuhi kebutuhan mereka dalam membaca.

Hasil tulisan dari relawan rutin maupun non rutin kemudian dikonversi dalam bentuk huruf Braille, pdf, digital talking book, e-book dan e-pub. “Kami kemudian membuat katalog buku baru untuk tunanetra di wilayah lain. Kami kirim permintaan mereka melalui online dan juga upload di perpustakaan online,” jelas Indah. Di perpustakaan online, Braille bisa di-download setelah mereka menjadi members, proses ini sangat mempermudah proses kirim sebelumnya. “Sebelumnya biaya membengkak karena proses kirim, namun sekarang bersyukur karena teknologi internet sudah maju pesat,” tambah Indah. Mitra Netra juga mengirim hasil ketikan relawan ke-43 Sekolah Luar Biasa (SLB) yang tersebar di Jawa, Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan.

PENCAPAIAN TAK TERDUGA. Hasil dari relawan ketik terbukti dapat membantu para tunanetra dalam memenuhi kebutuhan bacaan mereka. Hal ini bisa terlihat dari hal-hal tak terduga yang telah dicapai oleh tunanetra, salah satunya Sofian Sukmana.

Peningkatan Taraf kehidupan

Bagi kaum tunanetra, adanya relawan ketik membuat mereka bisa sedikit bernapas dalam ruang yang disebut masyarakat, yang dinilai sebagai pembentuk stigma oleh Aria. “Persepsi dan sikap dari masyarakat yang menganggap disabilitas itu orang yang lemah dan kekurangan akan menghambat mereka,” ucapnya. Seperti Santi Puspita Dewi, salah satu tunanetra yang sempat ditolak untuk masuk ke salah satu universitas swasta. Dan banyak tunanetra lainnya yang mengalami penolakan yang sama. “Sama seperti saya yang dulu ditolak masuk SMP, padahal nilai saya lebih dari cukup,” kata Aria yang tidak menginginkan hal ini terjadi pada tunanetra lainnya. Beruntung Aria kemudian bisa menempuh pendidikannya hingga meraih gelar sarjana hukum.

Ketegaran hati tunanetra seperti Aria ataupun Santi memang sangat teruji. Beberapa kali ditolak masuk sekolah maupun universitas, namun akhirnya ada juga yang mau menerimanya dan menyatakan sanggup memberikan pengajaran pada mereka. Santi bahkan merasakan berhutang budi pada banyak orang yang membantunya melihat dunia. Begitu juga dengan Herman.

BENTUK TERIMA KASIH. Ungkapan terima kasih banyak diucapkan oleh para tunanetra kepada relawan pengetikan. Mereka juga ingin membuktikan pada relawan pengetikan bahwa apa yang telah relawan kerjakan tidaklah sia-sia.

Herman, tunanetra asal Pontianak, Kalimantan Barat merasa begitu bersyukur bisa mengenal Mitra Netra. “Senang karena ternyata banyak yang peduli pada kami,” kata pria 29 tahun ini. Ia yang sempat merasa terpukul atas hilangnya penglihatan di usia remaja akhirnya bisa mengambil sisi positif dan bersyukur atas apa yang diterimanya. Ia kini memilih banyak belajar dari buku-buku Braille dan mengejar ketertinggalannya. Kepedulian relawan pun membuatnya tersadar bahwa ucapan terima kasih saja tidak cukup untuk relawan. “Makanya saya ingin membuktikan kepada relawan kalau apa yang mereka lakukan itu tidak percuma karena kami di sini merasa sangat terbantu dengan hasil pengetikan mereka,” ujar Herman.

Selain mereka berdua, ada pula Sofian Sukmana, penderita tumor mata yang juga merupakan penerima bantuan Tzu Chi yang kini tengah menyelesaikan tahap akhir perkuliahannya di salah satu universitas swasta di Jakarta Selatan. Dulunya, Sofian banyak menimba ilmu di Mitra Netra. Ia belajar komputer, huruf Braille, bahasa Jerman, Inggris, dan berbagi banyak kisah di sana. Motivasi dan dukungan dari teman, relawan pengetikan, maupun relawan Tzu Chi membawanya bisa menjalani dan menerima kekurangannya. Hingga kini, ia dan Tzu Chi tengah menyiapkan pembentukan kelas komputer untuk para tunanetra. Melalui kelas itu, nantinya ia ingin berbagi ilmu yang telah ia peroleh kepada tunanetra lainnya.

Cerita-cerita kesuksesan tunanetra inilah yang selalu dinanti oleh Aria dan relawan pengetikan. Kisah Sofian atau kisah Rosa Mery, tunanetra lulusan Sastra Jerman Universitas Indonesia yang kini menyempatkan waktu memberikan bimbingan untuk tunanetra lainnya. Banyak kisah pencapaian tak terduga dari tunanetra lainnya yang membuatnya mempertegas satu hal bahwa, tidak ada yang membedakan antara orang biasa dengan tunanetra, termasuk hak asasi atau kewajibannya.

Pencapaian tak terduga yang tak lepas dari banyak jemari itu membuat Aria bergidik. Impian Mitra Netra untuk membuat tunanetra cerdas, mandiri, dan juga bisa berkarya dalam masyarakat telah disambut baik dengan kepedulian banyak orang. Ia tak habis-habisnya berucap syukur dan terima kasih atas semua relawan yang membantu mewujudkan tingginya angan sang tunanetra.

Berbicaralah secukupnya sesuai dengan apa yang perlu disampaikan. Bila ditambah atau dikurangi, semuanya tidak bermanfaat.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -