Menjaga Sebersit Niat Awal di Jalan Bodhisatwa


Menjadi seorang komite bukanlah akhir dari perjalanan kerelawanan Tzu Chi, melainkan sebuah awal dalam mengemban tanggung jawab yang lebih besar dan wadah pelatihan diri tanpa henti.

***

Di penghujung tahun 2017, sebanyak 120 relawan Tzu Chi Indonesia pulang ke kampung halaman batin, Taiwan. Mereka yang telah melalui awal perjalanan dalam pelatihan diri di Jalan Bodhisatwa, akan dilantik menjadi murid Master Cheng Yen yang seutuhnya. Menjadikan Hati Buddha sebagai hati sendiri dan Tekad Guru sebagai tekad sendiri.

Di antara 120 relawan itu, ada Indah Melati Setiawan, seorang relawan penderita kanker tulang yang ikut dilantik menjadi relawan komite. Selama pelatihan berlangsung, ia duduk di kursi roda. Relawan Tzu Chi Taiwan membantunya setiap saat, termasuk mendorong kursinya dengan penuh senyuman dan kehangatan.

“Hal yang paling membuat saya terharu ketika dilantik menjadi komite adalah perhatian relawan Tzu Chi di Taiwan yang sangat besar ditujukan untuk saya. Selama pelatihan saya diberikan kursi roda, relawan mendorong kursi saya sepanjang waktu. Saya bisa fleksibel duduk di belakang saat pelatihan. Ketika makan, saya diberikan tempat tidak jauh dan tidak mengharuskan saya banyak berjalan. Tempat tidur pun disediakan dengan sangat nyaman. Sungguh sambutan keluarga yang sangat mengesankan,” ungkap Indah mengingat perhatian tiada henti yang diberikan oleh relawan Tzu Chi.

Indah sangat senang sekaligus bangga. “Saya pikir orang pincang seperti saya sudah tidak ada gunanya lagi,” kata Indah tersenyum lebar. Ternyata sebaliknya, Tzu Chi menyambutnya dengan sangat terbuka sejak dirinya bergabung hingga dilantik menjadi Komite Tzu Chi.

Saat berkunjung ke Taiwan, Indah sebenarnya agak nekat karena ia baru saja melewati masa pemulihan pascaoperasi pelvis (tulang panggul). Namun restu dari dokter yang merawatnya membuatnya berani. “Saya kan survival kanker, saya tidak tahu waktu saya sampai kapan. Jadi sebisa mungkin saya menggenggam kesempatan yang ada untuk menjadi murid Master,” katanya ringan.


Indah Melati Setiawan merasa bahagia karena bisa ikut dalam training sebelum dilantik menjadi relawan Komite di Taiwan. Walaupun dengan menggunakan kursi roda, ia tetap memegang tekad dan semangat.

Menjalani penerbangan selama 6 jam dari Jakarta ke Taipei, Indah meminta kursi paling belakang di pesawat untuk memudahkan posisi duduknya. Kakinya pun sempat bengkak sepanjang mengikuti training komite di Taiwan. “Maka dari itu saya menggunakan kursi roda karena susah berjalan dan tidak boleh terlalu lelah,” jelas Indah.

Sepanjang perjalanannya, ia tidak menyangka akan bertemu dengan Master Cheng Yen dan dilantik oleh beliau. Memang sejak divonis kanker, Indah seakan kehilangan tujuan hidup. Keadaan Indah pun berubah secara drastis. Ia putus asa. “Saya menangis siang dan malam, tapi kalau di depan mama saya, saya tidak berani menangis,” katanya.

Menggunakan tongkat bantu untuk berjalan pun menjadi masalah bagi anak keenam dari delapan bersaudara ini. Ia berubah sensitif karena menjadi pusat perhatian banyak orang. “Kenapa lihat-lihat? Kamu nggak pernah lihat orang pakai tongkat? Nanti kamu juga akan pakai tongkat,” begitu ucapan kasarnya terhadap orang yang melihatnya. Bisik-bisik di belakang Indah pun akan menjadi masalah karena ia akan merasa dibicarakan di belakang. “Saya memang sangat emosional saat itu,” imbuhnya tersipu.


Indah (menggunakan kursi roda) aktif dalam berbagai kegiatan di Tzu Chi walau mengalami banyak tantangan. Dengan kekurangannya tersebut, ia juga kerap memberikan motivasi bagi para penerima bantuan untuk tidak patah semangat dan memiliki harapan.

Kemudian ia mendengar Tzu Chi dan memutuskan untuk bergabung menjadi relawan. Pertama mengikuti kegiatan bedah buku, relawan Tzu Chi di komunitas He Qi Utara cukup terkejut ketika Indah mengaku menderita kanker. “Waktu itu relawan langsung mengajak saya untuk menjenguk relawan yang sedang sakit kanker juga. Mereka meminta saya untuk memberikan motivasi,” ucapnya. Tak dipungkiri dia merasa sangat senang. Mulai dari sana pula, Indah merasa bahwa ternyata ia masih diperlukan, masih bisa membantu sesama, serta berkontribusi dengan caranya sendiri. “Akhirnya saya merasa ada gunanya. Relawan juga menyambut saya dengan sangat baik sehingga saya tambah semangat,” timpalnya senang.

Indah lalu aktif mengikuti berbagai kegiatan Tzu Chi. Banyak hal yang ia pelajari dan banyak hal pula yang ia berikan terutama dalam sharing motivasi bersama para penerima bantuan Tzu Chi. Ia mendengarkan berbagai keluhan mereka, meningkatkan semangat mereka, dan berbagi pengalamannya sendiri. “Saya ingin tetap belajar di Tzu Chi dan selamanya menjadi murid Master Cheng Yen, berjalan di Jalan Bodhisatwa,” katanya mantap.

Menjadi Murid yang Seutuhnya


Master Cheng Yen bersama murid-muridnya di tahun-tahun awal berdirinya Tzu Chi. Mereka menjadi relawan komite angkatan pertama yang turut mendirikan dan menjadi penyokong kegiatan kemanusiaan Tzu Chi.

Relawan komite merupakan relawan yang berkomitmen penuh terhadap Tzu Chi. Mereka mengemban tanggung jawab dan terus menerus melatih diri, menjadikan misi Tzu Chi sebagai ladang pelatihan diri di Jalan Bodhisatwa untuk mencapai visi Tzu Chi.

Dulu, pada tahun 1966, Master Cheng Yen mendirikan organisasi amal Tzu Chi untuk meringankan penderitaan mereka yang miskin dan sakit. Pengikut Master, yang kala itu adalah 30 ibu rumah tangga, menjadi generasi pertama yang turut mendirikan, menjadi penyokong, sekaligus menjadi relawan komite Tzu Chi. Mereka juga yang menjadi kekuatan utama dari Tzu Chi saat itu.

Pada tahun 1989, ketika Tzu Chi membuka Sekolah Keperawatan, para relawan komite laki-laki secara sukarela membentuk tim untuk menjaga ketertiban selama perayaan dilaksanakan. Tahun berikutnya, tim tersebut secara resmi bernama Tzu Cheng, yang membawa harapan Master Cheng Yen dalam menumbuhkan ketulusan, integritas, keyakinan, dan kejujuran. Mereka juga harus mempraktikkan kebajikan, welas asih, sukacita, dan ketenangan hati, mematuhi Sepuluh Sila Tzu Chi, bertanggung jawab dalam keluarga, dan memulai siklus cinta kasih di masyarakat.

Kini, setiap tahunnya relawan dari berbagai belahan dunia – setelah melalui serangkaian pelatihan – pulang menuju kampung halaman batin dan berikrar untuk menjadi murid Master Cheng Yen yang seutuhnya dengan menjadi relawan komite Tzu Chi.

Menjalankan Sila Sebagai Wujud Menyayangi Diri Sendiri

Master Cheng Yen berharap relawan komite mampu membawa semangat dan mempraktikkan Dharma dalam kehidupan mereka, mengemban visi Tzu Chi untuk menyucikan hati manusia, menciptakan masyarakat aman dan damai, serta dunia bebas dari bencana.

Master Cheng Yen juga menjaga murid-muridnya dengan benteng berupa Sepuluh Sila Tzu Chi. Lima yang pertama merupakan lima sila pada Pancasila Buddhis (tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak minum minuman beralkohol) dan lima lainnya merupakan arahan yang diberikan Master; tidak merokok, menggunakan Narkoba, dan makan pinang; tidak berjudi dan berspekulasi; berbakti kepada orang tua dan menjaga sikap dan berkelakuan dalam berbicara; mematuhi peraturan lalu lintas; dan tidak berpolitik dan ikut demonstrasi.

Bagi Master Cheng Yen, hal terpenting bagi seorang manusia adalah mampu mengemban kewajiban diri masing-masing, bisa berperilaku sopan dan sesuai aturan, serta berjaga-jaga pada posisi masing-masing dengan segenap kemampuan. Tentu saja, pertama-tama harus terlebih dahulu mencintai diri sendiri, baru bisa mencintai orang lain. Jika setiap orang bisa memahami arah kehidupannya sendiri, suasana hatinya tidak akan mudah terpancing. Hal itu memang tidak ada hubungannya dengan orang lain, tapi memiliki hubungan besar dengan diri sendiri, jadi kita harus menyayangi diri sendiri, harus terlebih dahulu mencintai diri sendiri.

Hidup Penuh Keteraturan


Like Hermansyah (kedua dari kanan), Fungsional Pelatihan Tzu Chi Indonesia mengajak setiap relawan untuk terus menempa diri dengan Dharma, mempraktikkan ajaran Master, dan menjadi murid Master yang seutuhnya.

Dituliskan dalam Buku Tantangan, Master Cheng Yen memiliki aturan bagi insan Tzu Chi dalam tata cara makan, berpakaian, berdiri, berjalan, duduk, dan berbaring. Ketika makan, tangan kita harus diposisikan seperti mulut naga mengulum mutiara dan burung phoenix minum air. Kita harus memegang mangkuk di tangan kiri dengan ibu jari menekan pinggiran mangkuk dengan ringan dan empat jari lainnya menyokong mangkuk di dasarnya. Dengan cara ini, tangan akan terlihat seperti “mulut naga” dan “mutiara” yang dimaksud adalah mangkuk. “Burung phoenix minum air” berarti bahwa kita harus menggerakkan sumpit dengan elegan dan gesit, seperti burung phoenix minum air. Cara makan seperti ini akan dapat menunjukkan kewibawaan seorang praktisi Buddhis.

Master Cheng Yen juga sangat mementingkan kepatutan dan wibawa dalam hal berpakaian. Beliau sering kali berkata, “Ketika kita bersikap patut maka pikiran baru bisa tenang.” Di setiap pertemuan Tzu Chi, anggota komite perempuan harus mengikat rapi rambut mereka dalam jepit jaring, yang sering dijuluki orang luar sebagai “gaya rambut Tzu Chi”. Mereka mengenakan qipao (gaun khas Tiongkok) warna biru tua yang dijuluki "jubah kelembutan dan kesabaran”. Ketika mengenakan qipao, relawan wanita melengkapi bajunya dengan sebuah bros berbentuk kapal. Maknanya bahwa Tzu Chi membawa satu tujuan untuk menyeberangkan makhluk yang menderita ke pantai bahagia.

Selain qipao, ada pula seragam bernama ba zhen dao bagi relawan komite wanita. Di dalam seragam tersebut ada delapan kancing yang merupakan pengingat bagi para murid Master untuk terus berlatih dalam jalan kebenaran beruas delapan: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perilaku benar, matapencaharian benar, usaha benar, perhatian benar, dan konsentrasi benar. Relawan komite juga bisa mengenakan kaus biru dan celana putih yang disebut “busana langit biru dan awan putih” kaum pria juga memakai seragam biru putih.

Menjadi Murid Idaman Sang Guru


Relawan Komite Tzu Chi melayani sesama dalam berbagai kesempatan melalui misi-misi Tzu Chi. Selain ditujukan untuk penerima bantuan, misi-misi Tzu Chi sekaligus merupakan wadah pelatihan diri untuk relawan.

Ketika Master Cheng Yen ditahbiskan oleh gurunya, Master Yin Shun, Master menerima enam kata; Demi Ajaran Buddha, Demi Semua Makhluk. Master menjadikan enam kata tersebut sebagai pedoman menjalankan visi misi Tzu Chi. Lalu ketika relawan dilantik menjadi komite, Master memberi empat kata, “Hati Buddha Tekad guru”, yang dipasangkan di dada.

Hati Buddha merupakan hati yang penuh cinta kasih terhadap semua makhluk, sedangkan Tekad Guru adalah menapaki jalan Bodhisatwa. Sehingga pada intinya relawan komite harus melatih diri ke dalam, melayani, mempraktikkan pelatihan diri di tengah masyarakat, sehingga pada akhirnya bisa menjadi inspirasi bagi lebih banyak orang lainnya.

Relawan Komite Senior Tzu Chi Indonesia, Like Hermansyah, yang juga Ketua He Qi Pusat menjelaskan bahwa untuk menjadi relawan komite, selain harus memenuhi persyaratan administrasi, setiap relawan juga harus terlebih dahulu mempunyai hati, memegang sebersit niat, dan mempunyai tekad yang kuat, serta semangat Bodhisatwa. Setelah itu relawan baru bisa mengembangkan diri, belajar, dan melatih diri. “Artinya bukan hanya bekerja Tzu Chi saja, relawan komite juga harus mau berubah, membuang sifat-sifat buruk dalam diri pribadi,” tegasnya.

Lebih lanjut Like menggarisbawahi tentang praktik nyata dalam Jalan Bodhisatwa. Bodhisatwa diartikan sebagai orang yang bisa membantu menghilangkan penderitaan dan memberikan kebahagiaan bagi orang yang kesusahan. Sehingga murid Master bukan hanya mendengar arahan Master Cheng Yen, tapi juga harus menelaah, memahami, dan mempraktikkannya. Melakukan segala sesuatu tanpa pamrih.

“Dengan berbuat baik kita belajar berlatih membuang sifat-sifat buruk kita, makanya kita dikatakan sebagai relawan komite, kita komit. Belajar berubah, berusaha mengubah sifat-sifat buruk kita melalui proses membantu orang dan menjalankan fungsi-sungsi dalam kepengurusan Tzu Chi,” jelas Like. “Intinya kita harus membawa visi Tzu Chi di setiap misinya,” tambah relawan yang telah bergabung dengan Tzu Chi sejak tahun 1998 ini.


Di Tzu Chi, setiap relawan diibaratkan sebagai seorang Bodhisatwa dunia. Di mana Bodhisatwa adalah sosok yang bisa membantu menghilangkan penderitaan dan memberikan kebahagiaan bagi orang yang kesusahan.


Berani mengemban tanggung jawab dan berkomitmen penuh akan misi Tzu Chi merupakan syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang relawan Komite. Relawan Komite juga harus senantiasa mengingat tekad awalnya.

Pada setiap kesempatan pelatihan kerelawanan calon komite maupun komite, tak jarang pula relawan diberikan pengertian tentang bagaimana sebenarnya relawan yang menjadi idaman Master Cheng Yen. Ada delapan poin untuk menjadi relawan idaman Master Cheng Yen, antara lain: Rendah hati dan tidak menganggap diri sendiri paling hebat; Menjaga diri agar tetap bebas dari pengaruh buruk demi mengembangkan moralitas; Tanpa kemelekatan pada cinta kasih individu dan memperlakukan orang dengan pandangan setara; Hati lapang dan mampu mengendalikan emosi diri; Bekerja dengan bersungguh hati tanpa berseteru dengan orang lain; Dalam tutur kata dan perilaku terkandung tata krama dan budaya humanis; Memiliki ilmu, moralitas, serta batin yang jernih; serta Berpegang pada pedoman pokok dan tidak mempersoalkan hal-hal sepele.

Dalam perjalanannya Like juga berpesan kepada relawan untuk tidak melupakan sebersit niat yang timbul dalam hati dan juga tekad awal. Hal tersebut adalah modal utama untuk menempa diri di Jalan Bodhisatwa. “Ingatlah tekad awal karena dalam proses pelatihan diri ini, tidak dipungkiri akan menemui banyak masalah dan rintangan. Jangan karena rintangan, kita merasa tidak semangat dan memutuskan untuk mundur. Karena kita seharusnya bisa bersyukur sudah bertemu dengan guru yang sangat bijaksana. Jangan karena orang yang kadang-kadang tidak sengaja melukai, kita malah memutuskan hubungan dengan Master Cheng Yen karenanya,” jelas Fungsional Pelatihan Tzu Chi Indonesia ini.

Hidup Berproses Layaknya Kupu-kupu


Tjauw A Loi belajar tentang makna kehidupan melalui berbagai kegiatan Tzu Chi, salah satunya dengan pelestarian lingkungan. Di usianya yang tak lagi muda, ia tetap memilih menggenggam kesempatan untuk bersumbangsih.

Setelah sebelas tahun menjadi relawan Tzu Chi, sekuntum bunga akhirnya merekah indah mengiringi langkah Bodhisatwa Pelestarian Lingkungan bernama Tjauw A Loi. Seutas kata fo xin shi zhi (Hati Buddha Tekad Guru) terurai di dadanya.

A Loi adalah relawan lain yang akhirnya dilantik menjadi relawan komite. Ia mengaku tak menyangka bisa mengenakan qipao yang artinya dirinya sudah menjadi relawan Komite Tzu Chi. Dengan dibantu oleh relawan Tzu Chi lainnya, A Loi berganti seragam di gudang Depo Pelestarian Lingkungan Tzu Chi Duri Kosambi ketika kegiatan bedah buku dilakukan. Mereka juga membantu menyematkan konde dan bunga di dada A Loi. Nenek enam cucu itu diam saja, matanya berkaca-kaca, dan perasaannya berkecamuk dalam hati. “Saya sangat bahagia, bersyukur,” kata A Loi pelan dengan senyuman selalu tergurat di wajahnya.

Pada kesempatan pelantikan relawan komite di Taiwan November 2017 lalu, A Loi tidak bisa datang langsung. Bukan karena tidak mau, tapi karena penyakit jantung yang dideritanya. “Saya takut merepotkan banyak orang,” akunya lirih. Pasalnya beberapa waktu sebelum itu, A Loi pernah pingsan di depo. Beruntung banyak orang melihat kejadian itu dan langsung memberinya obat yang selalu ia bawa kemana pun ia pergi. Relawan lansia di depo juga sempat panik dan langsung berdoa bersama untuk kesehatan A Loi. “Kalau saya kumat, pertama saya pusing, lalu badan dingin, kaku, kejang. Jadi kalau sudah mulai pusing, saya langsung minum obat,” jelasnya.


Setelah bergabung selama 10 tahun di Tzu Chi, A Loi dilantik menjadi relawan Komite. Walaupun tidak dapat dilantik secara langsung oleh Master Cheng Yen karena penyakit jantung yang dideritanya, namun semangatnya untuk bersumbangsih tak pernah pudar.

Walaupun sedih karena tidak bisa berjumpa langsung dengan Master Cheng Yen, tapi A Loi berusaha mengusir rasa kecewanya dengan berdoa untuk semua relawan dan Master Cheng Yen. Sebelum diberikan kesempatan untuk memberikan sharing di bedah buku, beberapa relawan He Qi Barat menyempatkan datang ke rumah A Loi untuk memberikan seragam komitenya. Ia sangat senang. Akhirnya di usia senjanya, 82 tahun, ia bisa menjadi murid Master yang seutuhnya.

Diibaratkan seperti kupu-kupu, setelah berproses dari ulat dan melakukan banyak hal, memakan ini itu, lalu terbungkus dalam kepompong dan bermetamorfosa. Begitulah A Loi yang kini aktif turut pelestarian lingkungan layaknya kupu-kupu.

Sejak tahun 2007 A Loi sudah bergabung menjadi relawan Tzu Chi, dulu ia aktif di TK dan SD Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng sebagai Da Ai Mama. Menjadi Da Ai Mama di sekolah, ia lakoni sejak pagi seperti anak sekolah. Jam enam pagi ia sudah mulai keluar dari rumah. Sepulangnya dari sana, ia ke Rumah Sakit Cinta Kasih Tzu Chi untuk kembali menjadi relawan pendamping di sana. “Saya biasa jenguk pasien, antar makanan, bantu melipat kasa, bantu kemas obat sampai sore,” ceritanya senang. Ia juga sempat ikut belajar pelestarian lingkungan di Depo Pelestarian Lingkungan Cengkareng, Jakarta Barat.

Saat berkunjung ke Depo Pelestarian Tzu Chi Cengkareng, A Loi melihat tumpukan botol daur ulang yang tinggi menggunung. Di sana ia berpikir, “Sampah setinggi ini kapan bisa selesai dipilah? Kalau sedikit orang pasti lama sekali.” Sejak saat itu juga, ia mulai ikut kegiatan daur ulang. Hingga akhirnya Depo Daur Ulang Tzu Chi Duri Kosambi berdiri, A Loi aktif di sana karena lebih dekat dengan tempat tinggalnya.

Di usianya yang sudah senja, A Loi sengaja memilih untuk tidak menghabiskan waktu dengan sia-sia. Walaupun untuk berjalan saja sudah susah, nenek yang lahir tahun 1936 ini justru mengaku berlatih kesabaran dari keterbatasannya dalam berjalan. “Pelan-pelan saja,” katanya. Selain itu, tulangnya yang sudah bengkok karena skoliosis pun bukan menjadi alasan baginya untuk absen melakukan pelestarian lingkungan.

“Justru di sini saya banyak berterima kasih karena sudah diberikan kesempatan untuk menjadi murid Master dan bersama-sama berbuat kebajikan,” katanya, “perjalanan ini tentu tidak selesai di sini, kalau bisa pasti saya akan lebih dari ini. Harus lebih giat, bukan malah bersantai dan tidak melatih diri lagi.”

Episode Hidup Tak Terlupakan


Dilantik menjadi relawan Komite Tzu Chi oleh Master Cheng Yen pada 16 November 2017 lalu menjadi momen tak terlupakan bagi Zainah Mawardi (almarhumah). Sepulangnya dari Hualien, kepada reporter Majalah Dunia Tzu Chi, Zainah kala itu sempat menceritakan pengalamannya saat dilantik oleh Master Cheng Yen. “Ketika memberikan nametag ke Master Cheng Yen dan disematkan nametag itu yang paling tidak saya lupakan. Saat-saat bahagianya lah,” ujar guru mata pelajaran Budaya Humanis di SD Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng seminggu setelah dilantik oleh Master Cheng Yen.

Air mata Zainah saat itu benar-benar tak bisa dibendung. Apalagi mengingat kondisinya yang tengah berjuang untuk survive dari penyakit kanker. “Setelah sekian lama, sudah 14 tahun menjadi relawan kok baru dilantik, baru menjadi murid Master yang sesungguhnya dalam kondisi saya yang kurang sehat. Menurut saya mestinya kalau mau dilantik itu dalam kondisi sehat, masih agak muda, dan fit,” sesalnya. 

Pelantikannya kali ini juga berarti pertemuannya yang ketiga kali dengan Master Cheng Yen secara langsung. Zainah sangat bersyukur mendapat kesempatan bersantap siang bersama Master Cheng Yen yang juga mendoakannya agar lekas sembuh.

Zainah sudah mengenal Tzu Chi sejak pertama masuk menjadi guru di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat, tahun 2003 lalu. Sejak menjadi guru di sekolah tersebut, saat itu juga ia masuk menjadi relawan Tzu Chi. Sepanjang perjalanannya, banyak perubahan yang ia rasakan.

Zainah pernah bercerita bahwa sempat merasa malu mengaku berprofesi sebagai guru. Ia merasa “image” guru kerap dipandang rendah oleh sebagian orang, tetapi setelah bergabung di Yayasan Buddha Tzu Chi pemikiran itu berubah. “Saya benar-benar melihat anak-anak didik yang awal-awal sekolah berdiri berasal dari bantara Kali Angke, saya merasa sangat tersentuh, merasakan jiwa keguruan saya, dan jiwa keibuan saya. Malah sekarang saya bangga sekali menjadi seorang guru, saya berani mengatakan saya adalah guru,” katanya haru.

Bagi Zainah tak ada perbedaan setelah ia dilantik kecuali tekad yang makin kuat untuk siap memikul tanggung jawab yang lebih besar. Karena mengawali perjalanannya sebagai relawan di Misi Pendidikan Tzu Chi dan kebetulan menjadi guru budaya humanis, ia pun bertekad untuk lebih meningkatkan praktik budaya humanis di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Sayang, Tuhan berkehendak lain.

Walaupun saat ini Zainah telah berpulang akibat penyakit yang dideritanya, namun semangatnya masih terus diwariskan dan menjadi motivasi bagi murid-muridnya di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi. Semangat tersebut juga diharapkan dapat menyebar di hati para relawan lainnya untuk terus menggenggam tekad dan berjalan di Jalan Bodhisatwa, mewariskan cinta kasih ke generasi berikutnya.

Perjalanan panjang dedikasi Zainah yang penuh dengan cinta kasih tidak akan begitu saja terhenti. Seperti kata perenungan Master Cheng Yen, Cinta kasih tidak akan berkurang karena dibagikan, malah sebaliknya akan semakin tumbuh berkembang karena diteruskan kepada orang lain.

Penulis: Metta Wulandari

Cara kita berterima kasih dan membalas budi baik bumi adalah dengan tetap bertekad melestarikan lingkungan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -