Menyiapkan Generasi Bangsa yang Cerdas dan Berbudi Pekerti


Bermula dari pemikiran dan cita-cita seorang putra Singkawang yang ingin memajukan pendidikan di tanah kelahirannya, sebuah sekolah dengan pendidikan budaya humanis dan budi pekerti pun berdiri di Kota Seribu Kuil. Sekolah ini menjadi Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi yang pertama di luar Jakarta.

*****

Pagi yang cerah di Jalan Alianyang, Kota Singkawang, tepatnya di depan Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi, siswa-siswa TK dan SD berdatangan memasuki gerbang sekolah. Mereka disambut sapaan ramah dan hangat dari guru-guru, “Selamat Pagi”. Siswa-siswa lalu membalas juga dengan sikap yang sopan, kemudian dengan tertib memasuki kelas. Tepat pukul 06.45 WIB bel berbunyi dan kelas pun dimulai.

Suasana belajar mengajar yang tenang terlihat di setiap kelas di jenjang Sekolah Dasar, Taman Kanak-kanak (TK), maupun Kelompok Bermain (KB). Meski sebagian siswa terlihat tidak canggung bersosialisasi dengan teman-temannya, namun ada juga yang takut masuk ke kelas dan harus diajak perlahan oleh gurunya.

Sekolah Cinta Kasih (SCK) Tzu Chi Singkawang ini adalah Sekolah Tzu Chi pertama di luar Jakarta yang baru diresmikan pada 27 Agustus 2022 lalu. Sama seperti SCK Tzu Chi Cengkareng, Jakarta Barat, dan Tzu Chi School di PIK, Jakarta Utara, sekolah ini juga menekankan pendidikan humanis dan budi pekerti, selain tentunya kecakapan akademis.

Sekolah Idaman di Kota Kelahiran
Semuanya bermula dari Pui Sudarto, Ketua Tzu Chi Singkawang yang lahir dan besar di Kota Singkawang. Ia merasa kualitas dan mutu pendidikan di Singkawang masih perlu ditingkatkan. Pui yang selama ini banyak mengerjakan proyek pembangunan dan Sekolah Tzu Chi di Jakarta, berpikir suatu saat Tzu Chi juga bisa membangun sekolah di kota kelahirannya.

“Di Singkawang banyak sekolah, namun masih sedikit yang fokus pada pendidikan budi pekerti dan budaya humanis. Sekolah Tzu Chi mengutamakan budaya humanis dan tentunya pendidikan (akademik) tetap penting,” jelas Pui mengenai alasannya perlu ada Sekolah Tzu Chi di Singkawang. Pui bersama relawan Tzu Chi asal Singkawang lainnya kemudian memutuskan untuk membangun sekolah yang sama seperti Sekolah Tzu Chi di Jakarta. Rencana pembangunan sekolah ini juga disambut hangat oleh Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Liu Su Mei.

Guru Sekolah Cinta Kasih menyambut para siswa setiap paginya sebelum proses belajar mengajar. Hal ini adalah salah satu bentuk dari budaya humanis Tzu Chi, yakni saling menghormati dan menghargai.

Ketua Pelaksana Tzu Chi Singkawang Susiana Bonardy menyebut bahwa Liu Su Mei meminta agar sekolah ini bisa segera dibangun, karena beberapa kali kunjungannya ke Singkawang, beliau melihat banyak sekali anak-anak yang tidak bersekolah.

“Melihat itu beliau berpikiran, wah... di Singkawang butuh sekolah nih. Harapannya dengan bertambahnya fasilitas pendidikan, anak-anak bisa sekolah dan mewujudkan citacita mereka. Dan untuk yang tidak bisa sekolah di luar daerah, mereka tetap bisa mendapatkan sekolah yang bermutu di Singkawang ini,” cerita Susiana.

Setelah peletakan batu pertama pada 18 Februari 2019, proses pembangunan pun dimulai. Pui mengungkap, proses pembangunan ini tidak mudah, banyak tantangannya. Salah satunya adalah pandemi di tahun 2020, ditambah lagi dengan material dan isi sekolah yang sebagian besar dikirim dari Jakarta. Pengiriman tersebut pernah terkendala hingga berminggu-minggu. Perjalanan darat dari Pontianak ke Singkawang juga cukup jauh dan jalannya terbilang sempit. Namun yang membuat hati Pui tenang adalah respon positif dari Pemerintah Daerah, Walikota, dan tokoh masyarakat lainnya di Singkawang yang mendukung sepenuhnya pembangunan sekolah ini.

Kualitas Terbaik dari yang Terbaik
Bukan saja pembangunan fisik yang tidak mudah, namun membangun “software-nya” juga tidak kalah menantang. Tugas merekrut guruguru berkualitas yang dapat menjadi teladan bagi siswa-siswa SCK Tzu Chi Singkawang ini pun menjadi tanggung jawab Freddy Ong (Direktur SCK Tzu Chi) dan Asep Yaya Suhaya (Kepala SCK Tzu Chi Singkawang). Ini juga menjadi tantangan tersendiri karena perbedaan karakter dan budaya. Meski demikian Freddy dan Asep rupanya sudah memiliki cara jitu dalam perekrutan ini.

Proses perekrutan guru Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Singkawang telah melalui seleksi yang ketat. Pihak sekolah juga mengatur jadwal pelatihan untuk para guru dengan harapan mereka bisa menerapkan budaya humanis Tzu Chi ketika berinteraksi dengan murid-muridnya.

Ada sembilan langkah yang harus dilalui para calon guru, mulai dari tes tertulis, psikotes, dan beberapa kali interview. Proses yang lumayan panjang ini bisa memberikan gambaran, apakah calon guru ini bisa dibentuk dan dibimbing ke depannya.

“Poin terpenting buat kami dalam merekrut, apakah mereka mempunyai awareness yang tinggi dalam mendidik anak-anak. Apakah sejak awal sudah terlihat mereka menyukai anak-anak, itu bisa terlihat dari rasa cinta yang mereka munculkan saat proses interview,” jelas Asep.

Asep menyebut, proses seleksi ini memakan waktu hampir satu tahun. Dari 164 pelamar, akhirnya terpilih 20 guru terbaik dari yang terbaik. Freddy menegaskan bahwa SCK Tzu Chi Singkawang sangat serius ingin menghasilkan generasi-generasi berprestasi di Singkawang. “SCK Tzu Chi Singkawang bukan sekolah abal-abal, bukan dibangun asal-asalan. SDM (guru dan staf) kami sudah pilihan, dan itu luar biasa, kami menyeleksinya dengan sangat ketat,” jelas Freddy.

Tahap selanjutnya adalah membekali para guru dengan budaya humanis Tzu Chi, strategi mengajar, dan cara menangani siswa, yaitu melalui pelatihan selama 20 hari di SCK Tzu Chi Cengkareng, Jakarta pada Januari 2022. “Kita adakan training dan praktik langsung, diperkenalkan Tzu Chi itu seperti apa, napas Tzu Chi seperti apa. Dapat dulu napas Tzu Chi-nya baru secara langsung bisa diterjunkan di sekolah ini,” kata Freddy.

Sekembali dari pelatihan mereka juga masih dipantau untuk merancang lesson plan yang terdiri dari doa, pembahasan Kata Perenungan Master Cheng Yen (pendiri Tzu Chi), dan silent sitting, yang ditetapkan sebagai ritual setiap pagi di semua kelas.

“Untuk pembacaan kata perenungan, kita jelaskan arti kata perenungan tersebut. Silent sitting adalah untuk mengurangi gelombang otak ke gelombang beta. Jadi setelah nyaman mereka (para siswa) akan mudah menerima apa pun. Setelah itu kita adakan relaksasi, kita percaya bahwa dalam keadaan rileks, maka semua informasi yang baik akan cepat diserap,” jelas Asep.

Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Singkawang membuka tahun ajaran pertamanya pada tanggal 11 Juli 2022. Menurut Susiana Bonardy, relawan komite yang mendampingi guru dan siswa terutama bidang budaya humanis ini mengatakan bahwa para guru sudah mempraktikkan langsung apa yang diajarkan di Jakarta.

“Saya lihat mereka (guru-guru) itu saling bekerja sama dengan baik, mendukung satu sama lain. Mereka juga sangat antusias, mereka bangga bisa menjadi bagian dari Tzu Chi. Saat proses belajar mengajar nilai budaya humanisnya sudah dipraktikkan,” kata Susiana.

Bertekad Mengubah Karakter Anak menjadi Lebih Baik
Salah satu guru, Angeline Wunata (19) adalah yang termuda dan sedang melanjutkan pendidikan S1-nya. Ia aktif di wihara dan sudah terbiasa menghadapi anak-anak. Di sekolah ini ia diberi tanggung jawab dan dipercayakan menjadi guru Budaya Humanis. Ia bertekad menjadi guru karena sedih melihat anak-anak yang tumbuhnya tidak sesuai umur dan kurang mendapatkan pendidikan yang baik. “Saat ditanya kenapa saya ingin jadi guru? Saya jawab, karena saya mau mengubah karakter anak-anak menjadi berbudi luhur, berbudi pekerti baik, bermoral baik,” tutur Angeline semangat.

Di kelas Budaya Humanis Tzu Chi, Angeline bukan hanya mengajarkan teori tentang budaya humanis, tetapi lebih ke praktik dan membuat suasana lebih fun dengan bernyanyi dan menari bersama.

Sedikit berbeda dengan guru-guru lainnya, Angeline menjalani satu kali lagi pelatihan di Jakarta yaitu pada bulan Mei 2022 di Tzu Chi School, PIK, Jakarta Utara. Berbekal pelatihan yang ia dapat di Jakarta serta strateginya sendiri dalam mengajar, Angeline bisa menangani siswa dengan baik. “Di kelas, saya lebih mengedepankan praktik, karena kalau teori saja mereka akan bosan, jadi saya harus lebih kreatif lagi. Tujuannya membuat mereka memahami budaya humanis tetapi dengan cara yang fun,” terangnya.

Meski masih butuh proses panjang tapi Angeline yakin karakter para siswa perlahan akan terbentuk, dan kelak bisa memiliki budi pekerti yang luhur.

Sementara itu Larasati (24) yang dipercaya menjadi wali kelas 1A SD, sebelumnya pernah menjadi tenaga pengajar di lima sekolah di Singkawang. Di salah satu sekolah itu Laras pernah dibekali sebuah penggaris panjang untuk digunakan ketika menghukum siswa yang tidak taat aturan.

“Saya menolak menghukum pakai penggaris itu, saya juga menolak memarahi siswa karena saya kan perasa (sensitif) ditambah pasti siswa punya latar belakang yang lebih rumit mungkin di lingkungan rumahnya sehingga terbawa ke sekolah. Tapi saya dianggap tidak menuruti aturan sekolah,” papar Laras. Ia tidak menggeneralisasi seluruh sekolah melakukan hal yang sama. Dari pengalaman itu, ia merasa guru bukanlah sekadar pekerjaan yang dilakukan asal anak pintar. Tapi juga diperlukan hati untuk mendidik anak menjadi pintar dan mempunyai sikap yang baik dan mampu menunjukkan rasa hormat kepada orang lain.

Dari pelatihan yang diikutinya di Jakarta, Laras melihat bahwa guru SCK Tzu Chi Cengkareng ada yang datang langsung ke rumah siswa untuk memberi pelajaran tambahan, mendidik anak tentang cara berperilaku, mengasihi siswa dan mendukung prestasi siswa, serta mau belajar hal baru untuk memberikan yang terbaik bagi siswa. “Makanya saya bangga bisa bergabung di Sekolah Tzu Chi Singkawang karena sebagai pendidik, saya dulu juga belum dapat seratus persen menerapkan kemoralan dan perilaku yang seharusnya, apalagi mengajarkannya kepada para siswa,” akunya.

Suasana kelas yang diajar Larasati, guru wali kelas 1-A yang tertib, tenang namun tetap menyenangkan. Laras membiasakan para muridnya untuk tertib di dalam kelas dan selalu memperhatikan pelajaran.

Sebagai wali kelas, Laras selalu mengarahkan siswanya untuk menjadi anakanak yang memiliki pribadi baik terlebih dulu baru disusul dengan kecerdasan. “Karena kalau pintar saja tapi tidak berperilaku baik, itu tidak ada gunanya. Makanya saya berusaha mendidik mereka menjadi siswa yang baik,” tutur lulusan S1 Pendidikan Matematika ini.

Meski dikenal berhati lembut dan sensitif, tapi saat mengajar di kelas Laras sangat tegas dan tidak segan menegur saat siswa berbuat salah. Ia ingin menumbuhkan rasa tanggung jawab dan mandiri para siswa. Untungnya orang tua siswa mengerti apa yang Laras lakukan adalah demi kebaikan anak.

Alhamdullilah 25 orang tua siswa ini benarbenar care, selalu merangkul, dan support saya. Bisa diajak kerja sama juga saat saya minta tolong untuk ajarin di rumah. Itu salah satu yang membuat saya semangat,” ungkap Laras.

Selain guru, memang peran orangtua juga sangat penting dalam mendidik anak-anak. Asep, Kepala Sekolah Cinta Kasih Singkawang menyebut bahwa di sekolah ini ada program membaca di mana saat di sekolah pelakunya adalah guru, sedangkan di rumah adalah orang tua.

“Tujuan program ini untuk membangun dan mendekatkan hubungan antara anak dan orang tua. Pendidikan dasar sebetulnya di rumah, kami hanya sebagai pendukung saja. Sejak awal sudah kami komunikasikan dengan orang tua, apabila orang tua mengikuti program kami, perubahan pada anak akan signifikan,” kata Asep yang sebelumnya adalah Kepala SMP Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng.

Hari Peresmian Penuh Bahagia
Setelah beroperasi hampir dua bulan, Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Singkawang diresmikan, yaitu pada Sabtu, 27 Agustus 2022. Momen bersejarah ini dihadiri Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Liu Su Mei, Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia Sugianto Kusuma dan Franky O.Widjaja, Ketua Tzu Chi Singkawang Pui Sudarto, Walikota Singkawang Tjhai Chui Mie, serta relawan Tzu Chi dan tamu undangan lainnya.

Walikota Singkawang Tjhai Chiu Mie menandatangani prasasti pada acara peresmian Gedung Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Singkawang. Peresmian ini dihadiri oleh Ketua dan Wakil Ketua Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, Kapolda Kalbar Irjen Pol. Drs. Suryanbodo Asmoro, M.M, Panglima Kodam XII/ Tanjungpura Mayjen TNI Sulaiman Agusto.

Kebahagiaan pun terasa apalagi didukung suasana yang kental dengan toleransi. Para guru menyambut tamu dan menampilkan tarian pembuka dengan mengenakan pakaian adat tiga suku mayoritas di Kalimantan Barat yaitu Dayak, Melayu, dan Tionghoa. Dilanjutkan dengan penampilan isyarat tangan dari murid TK dan SD, guru dan staf SCK Tzu Chi Singkawang, serta relawan Tzu Chi. Setelah itu dilakukan penandatanganan prasasti oleh Walikota Singkawang Tjhai Chui Mie, lalu bersama-sama menarik kain selubung papan nama.

Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Singkawang dibangun di atas lahan seluas 10.000 m2. Pada tahun ajaran pertama ini baru membuka jenjang Kelompok Bermain (KB), TK, dan SD kelas 1 - 4, dengan jumlah siswa 233 orang, yang terdiri dari 12 kelas. Jenjang SMP akan dibuka tahun 2023 dan SMA/SMK di tahun berikutnya.

Sekolah ini memiliki fasilitas seperti ruang budaya humanis, perpustakaan, klinik, laboratorium komputer dan bahasa, laboratorium Fisika, Kimia, Biologi dan IPS, aula, ruang serbaguna, ruang pimpinan, ruang kepala sekolah, ruang wakil kepala sekolah, ruang guru, ruang staf, dapur, dan toilet.

Teks: Clarissa Ruth, Metta Wulandari
Fotografer: Anand Yahya
Kerisauan dalam kehidupan manusia disebabkan dan bersumber pada tiga racun dunia, yaitu: keserakahan, kebencian, dan kegelapan batin.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -