Mewujudkan Angan yang Nyaris Padam
RUMAH BERATAP RENDAH. M. Marham (45) membersihkan rumah kontrakannya yang mirip goa. Atapnya rendah karena terletak di lantai bawah, di bawah tempat tinggal empunya kontrakan. Sedangkan ruangannya gelap, sempit, dan Lembap. Sudah empat tahun, Marham membawa istri dan empat anaknya menempati rumah kurang layak huni tersebut setelah rumahnya terbakar pada 2012 lalu.
Hati Marham merasa senang tak terkira setiap kali mendorong satu gerobak pasir ke arah rumahnya. Ia seperti terbakar. Bukan oleh teriknya matahari, namun karena semangat. Ia terbakar semangat. Tiap butiran pasir yang ia pindahkan, rasanya mewakili rasa bahagianya yang sukar dihitung oleh angka. Berjuta-juta kegembiraan dan mungkin miliaran rasa syukur.
Kota Palembang akhir tahun 2015 terasa sangat panas. Suhu udaranya pernah mencapai 33 atau 34 derajat Celcius. Panas tinggi, terik, dan menyengat. Tak banyak yang ingin keluar ruangan dan tentu banyak yang memilih diam di dalam, menghidupkan pendingin ruangan (Air Conditioner) dengan suhu yang berlawanan dengan cuaca luar. Kalau bisa sesejuk mungkin.
Sementara cuaca sedang galak-galaknya. M. Marham (45) yang tidak punya pendingin ruangan (AC), tidak lantas memilih untuk duduk di depan kipas angin. Dia punya kipas angin, hanya saja dia tak punya rumah. Rumahnya terbakar di tahun 2012 lalu, ketika istrinya sedang sibuk menyiapkan perlengkapan lebaran. Hanya beberapa hari menjelang Hari Kemenangan, keluarga Marham malah merasa kalah. Rumahnya habis.
Mereka lalu mengontrak. Marham membawa sang istri, Yulianawati dan ketiga anaknya untuk pindah ke tempat yang jaraknya hanya sejengkal dari rumah lama mereka. Hampir setiap hari istrinya membersihkan puing sisa kebakaran sampai lahannya benar-benar tinggal tanah kosong, tak ada yang lain. Kalau rindu akan rumahnya, Yulianawati duduk di emperan rumah tetangga atau berdiri di ambang pintu dapur kontrakannya sembari memandang lahan kosong yang beberapa kali dijadikan tempat nongkrong anak-anak muda.
Marham tak sampai hati melihat istrinya memendam rindu akan rumah yang nyaman. Ditambah lagi, saat itu Yuli sedang mengandung anak ke-4 mereka. Marham makin merasa sedih karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk istrinya. Ia pun tidak tega dengan kondisi keluarganya yang berjubel menjadi satu di rumah kontrakan yang lebih mirip goa. Atapnya rendah karena terletak di lantai bawah, di bawah tempat tinggal empunya kontrakan. Gelap, sempit, dan Lembap. Tiap musim hujan, mereka siaga banjir sepanjang hari. Anak pertama dan kedua pun sering tidak pulang ke kontrakan dan memilih menginap di rumah teman atau kerabat. Alasannya karena tempat tinggal mereka tidak cukup ruangan untuk sekadar melepas lelah dan memejamkan mata.
Maka, di cuaca panas itu Marham sedang mengumpulkan uang. Ia bekerja dengan keras di pabrik mebel, tak jauh dari rumahnya. Gaji yang ia dapatkan setiap minggunya langsung ia berikan ke istri. Ada dua pilihan, yang pertama ditabung untuk membangun rumah dan yang kedua digunakan untuk keperluan sehari-hari. Marham bercerita bahwa uang jerih payahnya selalu habis di opsi kedua. Kebutuhan bayar kontrakan per bulan ditambah biaya ini-itu, termasuk keperluan sekolah anak-anaknya, makan, dan lain sebagainya. “Mau bangun rumah lagi? Sudah, cukup berkhayal saja,” katanya singkat dengan sedikit tawa.
Ada ungkapan pasrah saat itu. Rela ataupun tidak, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Namun ia tidak pernah lupa untuk berdoa. Beruntung ia memiliki istri yang sabar dan mau mendampinginya dalam kondisi apapun. Mereka saling menguatkan.
SURVEI LAPANGAN. Pada November 2015, rombongan relawan Tzu Chi datang dengan satu program “Bebenah Kampung Palembang” di Kelurahan 13 Ilir. Relawan Tzu Chi Palembang didukung oleh relawan Tzu Chi Jakarta turun bersama melihat langsung kondisi lingkungan warga.
MEMPERKENALKAN MISI TZU CHI LAINNYA. Selain bantuan bedah rumah, relawan juga telah mengadakan dua kali baksos degeneratif pada 1 Mei 2016 dan 12 Juni 2016. Mereka juga membuat bazar murah di Kelurahan 13 Ilir yang tujuannya untuk berbagi semangat membantu sesama dan memperkenalkan Tzu Chi kepada lingkungan sekitar.
Rumah dalam Mimpi
Di hari yang panas itu, cerita Husni Thamrin sedikit berbeda dengan Marham. Ia sedang berkutat dengan tugasnya di sekolah sebagai seorang satpam. Perawakannya yang tinggi besar, membuatnya diterima menjadi salah satu petugas keamanan di sana. Hari itu ia bersyukur karena cuaca beberapa bulan itu masih panas sehingga istrinya tidak terlalu repot memindahkan baskom ke lantai atas rumahnya untuk menampung air hujan karena atap mereka sudah bocor di mana-mana. Sama seperti tiga rumah di samping kanan dan satu rumah di samping kiri rumahnya.
Ada lima rumah berderet, termasuk rumah Husni. Lima rumah itu milik lima saudara – Sutina, Latifa, Sanip, Nurhayati, dan Lindawati – yang kondisinya menyatu. Dindingnya menempel satu sama lainnya. Sebenarnya, bangunan lima rumah itu sama, seragam. Sama-sama pengap, ventilasi kurang, dan atapnya sudah tidak tahu apa masih bisa disebut atap atau tidak karena selalu koyak saat diterpa angin. Yang jelas, kelima rumah itu sama-sama sudah tidak layak huni dan perlu perbaikan. Fondasi lantai bawah rumah itu campuran antara batako dan kayu. sementara itu lantai atasnya dibuat dari kayu, tripleks, dan seng. Kondisinya sudah membahayakan karena usia. Kayu sudah rapuh, sedangkan seng sudah berkarat dan berlubang karena pengaruh cuaca.
Ingin rasanya Husni, suami Lindawati, memperbaiki rumahnya. Namun untuk itu ia harus membongkar rumah saudaranya juga karena dinding rumah yang menyatu satu sama lain. Seluruh keluarga Husni dan penghuni lima rumah itu sepakat untuk membangun rumah mereka bersama satu saat nanti. Namun mereka tidak mematok kapan waktunya, karena terbentur biaya. Husni yang bekerja menjadi petugas keamanan saja masih merasa belum bisa memenuhi target. Itupun masih ditambah dengan sampingan menjadi tukang ojek sepulangnya bekerja. “Bagaimana dengan keluarga lain yang kerjanya serabutan?” kata Husni, “rasa-rasanya membangun rumah ini cukup jadi mimpi saja.”
SOSIALISASI WARGA. Helen, koordinator Program Bebenah Kampung Tzu Chi di Palembang melakukan sosialisasi Program Bebenah Kampung Tzu Chi, sekaligus memperkenalkan Tzu Chi kepada warga penerima bantuan.
GOTONG ROYONG. Selain para seniman bangunan, warga penerima bantuan pun turun langsung dalam membangun rumah mereka. Semua bekerja dengan penuh kekompakan untuk mewujudkan mimpi bersama.
Menjawab Kerinduan
Mereka yang merindukan rumah layak, merasa tidak pernah tahu kapan rindunya akan usai. Memikirkan biaya puluhan juta untuk mewujudkan mimpi membangun rumah layak pun rasanya menakutkan. Lalu membuat rindu mereka luruh dengan sendirinya, sebelum nanti rindu itu akan datang kembali. Selalu begitu berulang-ulang.
Sampai akhirnya, pada November 2015 lalu rombongan relawan Tzu Chi datang memperkenalkan diri di lingkungan mereka. Relawan membawa satu program bernama “Bebenah Kampung Palembang”. Dalam program ini, Tzu Chi Palembang didampingi oleh Tzu Chi Jakarta ingin bersama meringankan beban warga dan membantu mereka yang patut dibantu caranya dengan merenovasi rumah mereka hingga dapat ditinggali dengan sehat dan tenteram. “Ada 100 rumah yang akan dibedah oleh Tzu Chi dan ini merupakan tahap pertama yang kami lakukan di Palembang,” jelas relawan Tzu Chi Palembang, Hellen Friscilla.
Berbekal senyum, dan catatan dari kantor kelurahan, relawan datang melakukan survei ditemani ketua RT setempat. Mereka menyusuri wilayah Kelurahan 13 Ilir dari gang ke gang saat matahari tepat di ubun-ubun. Lalu keluar-masuk melihat langsung kondisi rumah warga yang telah mengajukan bantuan. Di dalam rumah, relawan sesekali mendongakkan wajah melihat cahaya yang masuk melalui lubang di atap. Sesekali mereka juga menganggukkan kepala ketika warga bercerita tentang rumahnya.
Relawan banyak bertanya dan mendata, mulai dari nama, pekerjaan, penghasilan, biaya hidup, biaya makan, biaya listrik, dan lain sebagainya. Lalu layaknya petugas sensus, mereka berkeliling melihat kondisi rumah. “Ini rumah usianya sudah berapa tahun, Bu?”, “Apakah dokumennya lengkap?” Atau “Kenapa gentengnya nggak diganti kalau bocor?” Ini adalah pertanyaan yang kerap dilontarkan. Tujuannya untuk mengetahui kondisi sebenarnya dari masing-masing keluarga. Karena Master Cheng Yen (pendiri Yayasan Buddha Tzu Chi) menuturkan bahwa, apabila memberikan bantuan relawan harus tahu kondisi penerima bantuan, dengan begitu bantuan baru bisa diberikan tepat sasaran untuk mereka yang membutuhkan.
Setelah menjalankan rangkaian survei dan prosedur lainnya, 17 nama warga, termasuk Marham dan Husni Thamrin beserta empat saudaranya diterima menjadi penerima bantuan Bebenah Kampung tahap 1. Betapa hari itu tidak dapat dilupakan oleh mereka. Luapan doa bercampur kerinduan untuk tinggal di tempat yang “normal” akhirnya terjawab. Bersabar sedikit lagi.
SERAH TERIMA KUNCI. Warga menerima kunci rumahnya masing-masing dalam acara Serah Terima Kunci Rumah Tahap 1, Program Bebenah Kampung Palembang pada 4 Juli 2016. Tepat dua hari sebelum perayaan Hari Raya Idul Fitri 2016.
Menularkan Kebaikan
Hellen Friscilla, yang juga bertanggung jawab sebagai koordinator lapangan proyek Bebenah Kampung sempat ditanyai salah satu temannya ketika dengan berani rombongan relawan Tzu Chi masuk ke Kelurahan 13 Ilir. “Katanya wilayah itu termasuk daerah rawan,” kata Hellen mengingat ucapan temannya.
Di Kelurahan 13 Ilir, warganya memang kurang sejahtera dengan pekerjaan yang serabutan. Lingkungan rumah yang kumuh pun terlihat jelas. Kebanyakan rumah warga dibangun dengan kayu dan hanya mereka yang berkecukupan yang membangun rumahnya dengan batu atau batako. Tidak ada jalan besar di sana, hanya ada jalan selebar kira-kira dua meter yang dipagari rumah warga di sepanjang gang. Setiap pagi, di atap bagian depan atau samping rumah, banyak tergantung baju yang belum kering, sisa pencucian. Airnya menetes, membuat jalan sempit itu ikut berair.
Di sana rumornya juga banyak terjadi kejahatan seperti pencurian atau aksi penodongan. Pemudanya pun akrab dengan minuman beralkohol dan judi. “Banyak premannya,” kata Hellen kembali menirukan ucapan temannya. Hal tersebut memang bukan lagi menjadi rahasia. Bahkan setiap Hellen berkeliling untuk melihat rumah yang sedang diperbaiki, selalu ada pemuda setempat yang menemaninya dan menawarkan meminjamkan tempat untuk menyimpan tasnya. “Dia takut kalau saya di-copet,” kata Hellen tertawa.
Namun ia melalui Tzu Chi Palembang datang dengan tekad ingin membantu sesama. Maka ia yakin, “Kalau datang dengan niat baik dan tulus, bertutur kata dengan lembut, saya yakin sekeras apapun orang yang kita temui, mereka pasti akan baik sama kita. Sebenarnya tidak ada sedikit pun rasa takut untuk masuk ke wilayah itu. Kalau tujuannya untuk membantu, tidak usah takut diganggu.” Dalam proses pembangunan terbukti bahwa tidak ada hal negatif yang dirasakan relawan. Mereka menjalin komunikasi dan silaturahmi yang baik dengan warga setempat.
Untuk mendukung pembangunan renovasi rumah, relawan Tzu Chi beberapa kali mengundang penerima bantuan dan juga seniman (pekerja) bangunan untuk datang ke Kantor Tzu Chi. Di sana mereka berkenalan dengan Yayasan Buddha Tzu Chi hingga pulang membawa celengan bambu. Para penerima bantuan itu mengaku ingin juga bisa membantu orang lain lewat uang-uang koin. “Semoga nanti bisa membantu orang lain mewujudkan mimpinya seperti yang saya alami,” kata Marham. Relawan juga telah mengadakan dua kali baksos degeneratif di Kelurahan 13 Ilir. Responnya luar biasa. Mereka pun pernah membuat bazar murah di wilayah yang sama.
KEINGINAN MEMBANTU SESAMA. Warga penerima bantuan yang sebelumnya telah ikut dalam Sosialisasi Misi Amal Tzu Chi (SMAT) turut menuangkan isi celengan bambu mereka dalam acara Serah Terima Kunci. Melalui dana kecil dari celengan tersebut, mereka berharap dapat membantu orang lain yang juga membutuhkan bantuan.
Keringat untuk Keluarga
Selain berbagai kegiatan Tzu Chi, penerima bantuan pun diajarkan untuk mencintai rumah mereka bahkan sebelum rumah itu berdiri. Baik Marham maupun Husni Thamrin beserta para saudaranya, turut membantu seniman bangunan mengangkat berbagai material dari luar gang rumah mereka.
Hati Marham maupun warga lain rasanya senang tak terkira setiap kali mendorong satu gerobak pasir ke arah rumah mereka. Tiap butiran pasir yang ia pindahkan, seolah mewakili rasa bahagianya. Sudah lama Marham ingin membuat hati istrinya itu senang, namun susah ia wujudkan. Setelah menerima “hadiah” ini, ia tak segan-segan untuk membantu para seniman bangunan untuk segera menyelesaikan rumahnya.
Pasir, batu bata, ataupun semen, diangkutnya dengan semangat. Selain senang, hatinya juga dipenuhi dengan rasa syukur karena teman-teman di musala tak sungkan membantunya mengangkut bahan-bahan material. “Setiap membantu para tukang, saya selalu berkata dalam hati bahwa khayalan saya dan istri juga anak-anak kami akan terwujud. Maka semangat saya tak habis,” ucap Marham menerawang sembari tersenyum. Ia pun tak lelah mengamplas daun pintu hingga kayunya halus. Kurang lebih 30 hari, bangunan rumah baru akhirnya menampakkan hasil. “Ini bingkisan Lebaran yang sangat indah,” kata Marham.
Sementara itu, Husni masih tidak percaya bahwa mimpinya akan menjadi nyata. Sampai akhirnya ada rombongan seniman bangunan mendatanginya untuk meminta izin merobohkan tempat tinggalnya. “Langsung saya izinkan, nggak pakai mikir dua kali lagi,” ujarnya berbunga. Ia tak segan-segan mengajak seluruh anggota keluarga untuk mengangkut material. “Ya sekarang kalau kita nggak bantu, ini kan rumah kita sendiri. Orang lain membantu kita, masa kita diam nggak bantu apa-apa,” ucap ayah 3 anak ini. “Apa yang bisa kita bantu ya kita bantu. Apalagi kita masih muda, masih kuat, cuma perlu sedikit kekompakan untuk mewujudkan apa yang kita mau,” tambahnya menyemangati saudara-saudara sepupunya.
Semua bekerja dengan penuh kekompakan untuk mewujudkan mimpi bersama. Baik para seniman bangunan, penerima bantuan, maupun relawan. “Di sini kami dapat satu hal bahwa kami yang awalnya bukan siapa-siapa, nggak kenal, cuek. Tapi begitu ada bedah rumah, ikatan silaturahmi, persaudaraan, semua terjalin dengan baik. Relawan merangkul kami. Bukannya jenuh atau capek, mereka malah ikut bantu, bergerak, sama-sama bekerja, sama-sama berpikir, dan menyelesaikan rumah. Ada kegotong-royongan. Rasa saling membantu itu kental sekali,” ucap Husni lagi.
RUMAH BARU. Marham menata bingkai foto kenang-kenangan dari relawan Tzu Chi. Ada dua bingkai foto yang diberikan oleh relawan yang berisi Kata Perenungan Master Cheng Yen dan foto rumah lama.
Bingkisan untuk Warga
Kekompakan dari berbagai pihak tersebut diwujudkan dengan berdirinya 17 rumah dalam kurun waktu 49 hari. Sejak memulai pembangunan pada 16 Mei 2016, pembangunan terus dilanjutkan hingga rumah-rumah tersebut berdiri dan peresmiannya dilakukan pada 4 Juli 2016. Tepat dua hari sebelum perayaan Hari Raya Idul Fitri 2016. “Ini benar-benar bingkisan Lebaran yang istimewa,” tutur Marham.
Hellen pun tak kalah bahagia dengan para penerima rumah itu. Teddy Kurniawan, relawan yang mendampingi Hellen juga merasakan hal yang sama. “Walaupun sempat ragu berkaitan dengan singkatnya waktu. Namun apabila niat baik, maka dukungan pasti selalu ada,” tuturnya. Mereka berharap para warga ini akan masuk ke rumah baru dengan semangat baru dan momen baru yang penuh dengan kegembiraan. “Kita tahu bahwa sudah lama mereka menghuni rumah yang sempit dan tidak layak, maka kita bisa bayangkan di momen Lebaran ini mereka sudah bisa menjamu keluarga di rumah baru,” tambah Hellen.
Empat tahun lamanya menunggu, keluarga Marham akhirnya mendapatkan apa yang menjadi doa mereka. Rumah yang nyaman. Ada 3 kamar di dalamnya. Satu untuknya, satu untuk anak perempuannya yang sudah menginjak remaja, satu lagi untuk anak laki-lakinya. Ia tidak perlu khawatir lagi karena anaknya pasti pulang. Sementara itu keluarga Husni Thamrin tak perlu was-was ketika musim berganti. Istrinya tak perlu lagi memindahkan perabot dan menggantinya dengan baskom untuk menampung air hujan karena atap yang bocor. Semua merasa senang.
Lebaran pertama di rumah baru pun digelar. Kerabat Marham dari Plaju, Seberang Ulu, sejak pagi sudah bersiap melihat rumah baru Marham untuk bersilaturahmi di Hari Kemenangan. Momen Lebaran itu mereka gunakan untuk mensyukuri nikmat Allah. “Menjelang lebaran empat tahun lalu kami kehilangan rumah. Tak disangka, menjelang Lebaran tahun ini kami mendapatkan rumah kami kembali,” tutur Marham penuh haru.
Walikota Palembang yang diwakili oleh Ir. Sudirman, Staf Ahli Walikota Bidang Ekonomi, Pembangunan, dan Investasi juga mengucapkan ungkapan syukur dan selamat kepada warga. Ia berpesan agar warga bisa menjaga rumah mereka masing-masing sekaligus lingkungan dan rasa persaudaraan. “Karena yang terpenting dari program ini adalah cinta kasih. Bahwa relawan Tzu Chi tidak mengharapkan hal lain selain saling membagi cinta kasih kepada sesama,” ungkapnya. Ke depannya, pemerintah palembang akan terus mendukung Program Bebenah Kampung Tzu Chi yang masih akan dilanjutkan untuk memberi warga kehidupan yang lebih baik.