Perahu Dharma mengarungi Lautan Kebijaksanaan
Suatu hari di bulan Juni 2018, Effendy, relawan Tzu Chi dari komunitas He Qi Timur pelan-pelan keluar dari rumah. Seragam lengkap relawan Tzu Chi sudah ia kenakan: celana putih dan kaos biru berlogo Kapal Tzu Chi. Sang istri, Susi yang juga relawan Tzu Chi berusaha mengalihkan perhatian buah hatinya, Keenan Dvesantaka Zhang yang baru berumur 3,5 tahun. Keduanya memang sudah sepakat hari itu, Effendy mengikuti kegiatan Tzu Chi, dan Susi menjaganya di rumah.
Di rumah, Keenan yang menyadari absennya sang ayah kemudian mencarinya. Kali ini Susi tak lagi bisa membujuknya. Keenan merajuk dan menangis. “Ya, begitu. Pokoknya kalau tahu ayahnya pakai seragam Tzu Chi pasti mau ikut,” terang Susi. Effendy tak mengajak putranya karena kondisi Keenan kurang sehat.
Sekitar 20 menit, sampailah Effendy di Kantor Sekretariat He Qi Timur di Mall of Indonesia, Jakarta Utara. Ia menjadi yang pertama tiba. Meja dan kursi pun ia susun senyaman mungkin agar diskusi siang itu bisa berlangsung hangat.
Effendy adalah penanggung jawab kegiatan Bedah Buku Komunitas He Qi Timur dalam rangka persiapan pementasan Wu Liang Yi Jing (Sutra Makna Tanpa Batas) dan HUT Tzu Chi Indonesia ke-25. Ia bertanggung jawab membekali para relawan yang akan mementaskan persamuhan Dharma pada Januari 2019 agar mengerti dan memahami Dharma. “Tujuannya agar saat pementasan nanti relawan tidak hanya menampilkan gerakan saja, tetapi juga memahami isi dari Sutra Wu Liang Yi Jing ini,” terang Effendy.
Memahami dan Mendalami
Selain Effendy, hampir seluruh relawan di berbagai He Qi (komunitas relawan) dan kantor penghubung Tzu Chi juga sibuk mempersiapkan diri. Sepanjang tahun 2018, relawan Tzu Chi di berbagai wilayah melakukan berbagai persiapan, seperti menyalin Sutra, bedah buku, hingga mengikuti lomba Shou Yu Wu Liang Yi Jing.
Memasuki usia ke -25, Tzu Chi Indonesia berupaya mengajak seluruh relawan untuk memahami dan mendalami Dharma. Berbagai cara dilakukan agar Dharma bisa diserap dan dipahami oleh semua orang.
Ajaran Jing Si adalah giat mempraktikkan jalan kebenaran, Mazhab Tzu Chi adalah Jalan Bodhisatwa di dunia. Ajaran Jing Si bertujuan untuk melatih kita agar memiliki kondisi batin yang hening dan jernih, tekad yang luhur dan luas serta tak tergoyahkan dalam masa tak terhingga (Jing Ji Qing Cheng, Zhi Xuan Xu Mo, Shou Zhi Bu Dong, Yi Bai Qian Jie). Empat kalimat pertama dari Sutra inilah semangat inti dari ajaran Jing Si.
Sutra Makna Tanpa Batas berisikan tiga Bab: Sifat Luhur, Pembabaran Dharma, dan Sepuluh Pahala. Meski simpel, namun Sutra ini memiliki makna yang sangat dalam dan menjadi inti dari semangat insan Tzu Chi.
Sebanyak 865 orang relawan melafalkan dan melakukan gerakan isyarat tangan Sutra Wu Liang Yi Jing di Aula Jing Si, bersama-sama menciptakan suasana yang anggun dan khidmat.
Setiap relawan Tzu Chi perlu memahami dan mendalami makna Sutra ini agar memiliki panduan dan keteguhan ketika menjalani tugas kemanusiaan. Ketika memiliki “keyakinan dan kekuatan” di dalam diri maka dengan sendirinya tidak akan mudah melupakan tekad awal di Tzu Chi. Ketika menghadapi kesulitan, harus selalu ingat bagaimana perasaan kita saat pertama kali mengenal Tzu Chi, saat pertama kali mendengar Dharma, hingga memutuskan bergabung dengan Tzu Chi. Tekad awal ini harus dipertahankan hingga masa yang tak terhingga.
Berbagai Metode Terampil
Dimulai di Aula Jing Si Jakarta pada 25 Maret 2018, para relawan Tzu Chi dari berbagai He Qi mengikuti Kelas Menyalin Sutra. Kegiatan ini mendapat respon cukup besar. Dari target 100-an peserta, yang datang sebanyak 304 orang. Tak semuanya relawan, ada juga masyarakat umum.
Menyalin Sutra bukan hanya sekadar menggoreskan tinta di atas kertas ataupun belajar kaligrafi, tetapi harus meresapi isi dan makna sesungguhnya dari kalimat yang akan disalin. Dalam menyalin sutra ini, ada buku khusus yang digunakan yaitu buku Sutra Makna Tanpa Batas yang dicetak oleh Tzu Chi Indonesia. Buku ini memudahkan relawan yang tidak mengerti bahasa mandarin, karena di dalam buku ini sudah ada tulisan yang dicetak tipis sehingga relawan bisa mengikuti garisnya.
Bagi Suherman, relawan Tzu Chi dari Komunitas He Qi Barat 1, menyalin Sutra melatih ketenangan batinnya sehingga tetap jernih. “Ini suatu kesempatan yang luar biasa. Menyalin Sutra penuh dengan ketelitian, pelan-pelan jadi bisa. Yang utama adalah memahami Dharma Master Cheng Yen,” ungkapnya.
Ada yang merasa sulit, namun ada pula yang sudah terbiasa, seperti Rosa Zhow. Relawan Tzu Chi komunitas He Qi Barat 2 ini mengaku tidak terlalu susah menyalin dan menulis kaligrafi. Kebetulan ia dulu di sekolah mendapatkan pelajaran bahasa Mandarin dan menulis kaligrafi. Bagi Rosa, kaligrafi bisa melatih konsentrasi, meningkatkan fokus, dan menenangkan jiwa. “Kalau saya baca Sutra ini sepintas saja, selalu mudah lupa. Tapi dengan berlatih menulis, setiap kata setiap huruf bisa saya ingat. Saya jadi bisa menyelami makna sebenarnya,” tandasnya.
Tzu Chi Indonesia, untuk yang pertama kalinya menggelar Kelas Menyalin Sutra pada Minggu, 25 Maret 2018. Melalui metode ini, relawan diajak untuk membaca dan memahami isi Sutra Makna Tanpa Batas.
Selain di Jakarta, di berbagai Kantor Cabang dan Penghubung Tzu Chi Indonesia juga dilakukan kegiatan menyalin sutra. Di Medan, kegiatan menyalin Sutra dimulai di awal bulan Mei 2018. Sementara di Tanjung Balai Karimun, kegiatan menyalin Sutra Makna Tanpa Batas dilakukan pertama kali pada 19 Mei 2018. Wiyzhien, relawan Tzu Chi Tanjung Balai Karimun yang menjadi pembawa materi mengajak para relawan agar bisa lebih mengerti setiap arti dan makna kegiatan yang diikutinya. “Kita datang mengikuti kelas menyalin sutra dan mendengarkan ceramah Master Cheng Yen karena ada kesungguhan hati. Jangan hanya mendengarkan, tetapi kita harus praktikkan,” katanya.
Dharma Sebagai Obat
Selain Menyalin Sutra, pendalaman Misi Tzu Chi yang dilakukan adalah dengan mengikuti kegiatan Bedah Buku. Di sini para relawan mendalami Dharma melalui buku-buku yang ditulis oleh Master Cheng Yen, dan juga diisi dengan sharing dari pengalaman hidup para relawan. Salah satu relawan dari komunitas He Qi Pusat, Noni Thio menceritakan pengalamannya mendapat ladang berkah menjadi koordinator bedah buku Wu Liang Yi Jing. “Bertanggung jawab di bagian ini tentu saya harus banyak membaca dan memahami maknanya supaya bisa men-sharingkan dengan baik,” tegasnya.
Noni yang menjadi salah satu bagian persamuhan Dharma Wu Liang Yi Jing juga mengungkapkan keterbatasannya dalam memahami bahasa Mandarin, sementara materi yang harus dihafalkan banyak. Tidak patah semangat, di manapun ia berada, ia terus mendengarkan lagu Wu Liang Yi Jing. “Karena ada tekad jadi berhasil dihafalkan walaupun tidak semua,” ujarnya diikuti senyum bahagia.
Selain menghafal bahasa Mandarinnya, Noni juga berusaha memahami makna yang terkandung di dalamnya. Bahkan ketika dirinya sedang menghadapi masalah, syair-syair dalam Sutra Makna Tanpa Batas justru menjadi obat dan solusinya. “Selalu dalam keadaan Samadhi. Hati tetap tenang teguh tidak tergoyahkan sampai masa tak terhingga”. Ketika menghadapi masalah, Noni melafalkan syair ini dalam hatinya. “Itu yang membuat saya akhirnya memilih untuk tetap diam, tetap tenang, dan tidak marah,” katanya penuh semangat.
Hati Pun Tergetar
Syahdu, tenang, dan teduh. Itulah suasana Persamuhan Dharma Sutra Makna Tanpa Batas (Wu Liang Yi Jing) yang ditampilkan para relawan. Sebanyak 865 orang relawan melafalkan Sutra dan melakukan gerakan isyarat tangan (shou yu) dengan sangat indah di Jiang Jing Tang, Aula Jing Si, lt. 4, PIK, Jakarta Utara, pada Minggu, 13 Januari 2019. Suasana ini tercipta karena ratusan relawan yang mementaskan persamuhan ini telah mempersiapkan hatinya dengan sepenuh jiwa. Melalui gerakan isyarat tangan yang serempak, ratusan relawan menyelami makna tiap kata dalam Sutra Makna Tanpa Batas yang lagunya diperdengarkan melalui video dengan gambar latar yang indah.
Tim penyusun materi mempersiapkan dan meringkas berbagai materi terkait Sutra Makna Tanpa Batas dengan ringan sehingga mudah dipahami oleh para relawan Tzu Chi di Indonesia.
“Ini membuat saya sangat-sangat terharu. Semua relawan berlatih dengan sepenuh hati,” kata Lim Airu, penanggung jawab latihan isyarat tangan untuk persamuhan ini. Secara intensif latihan ini digelar sejak dua bulan sebelumnya. “Dengan persamuhan ini mau tidak mau relawan harus tahu isi lagunya apa. Gerakannya tidak sekadar gerakan tangan saja, tetapi harus ada ekspresinya. Relawan secara tidak langsung (harus) menyelami artinya, menyerap maknanya,” tambahnya.
Inggriani Widargo yang akrab dipanggil Inge (66) merupakan relawan Komite Tzu Chi dari He Qi Barat 2 yang kembali tampil memperagakan isyarat tangan Wu Liang Yi Jing. “Saya telah lama tertarik mempelajari Shou Yu (isyarat tangan), bahkan Shou Yu bagi saya adalah gerbang yang membuka hati saya untuk berjodoh dengan Tzu Chi,” kata Inge.
“Tergetar hati saya setiap menampilkan Shou Yu Wu Liang Yi Jing ini. Sangat luar biasa, pembabaran Dharma lewat gerak dan lagu ini. Saya sangat terharu, bersyukur dan berbahagia terlibat sebagai salah satu penampil dan pelatihnya,” lanjut Inge dengan mata berkaca-kaca.
Ketua Tzu Chi Indonesia Liu Su Mei mengaku sangat terharu dengan penampilan Persamuhan Dharma Wu Liang Yi Jing. Liu Su Mei menjelaskan, dari dulu Master Cheng Yen berharap murid-muridnya mendalami Dharma Sutra Makna Tanpa Batas. Namun dari dulu pula, selalu ada keraguan apakah relawan Tzu Chi di Indonesia bisa melakukannya, mengingat mayoritas terkendala bahasa. “Kalau melihat kali ini, karena banyak tim juga, saya juga gan en sama tim ini, misalnya tim yang translate (materi), yang mengajar, dan lainnya sehingga semua orang ada satu kesepahaman bahwa kali ini di 25 tahun Tzu Chi Indonesia, kita sebenarnya bisa. Ini artinya semua relawan bersatu hati dan sepaham. Sepaham dengan satu hati, itu sangat penting,” terang Liu Su Mei.
Tulang Punggung Persamuhan
Penampilan Persamuhan Dharma Wu Liang Yi Jing ini sudah dipersiapkan dengan sangat rinci. Tim penyusun materi misalnya, setiap pagi pukul 07.00 hingga 10.00 WIB, mereka selalu menyiapkan materi sebelum dibagikan untuk belajar bersama. “Harus berusaha supaya bisa ada materi yang lebih mudah untuk diserap oleh semua relawan,” kata Livia Tjin, relawan Komite yang masuk dalam tim penyusun materi. Begitu pula dengan tim lainnya. Semua bekerja keras dengan semangat untuk bersama-sama berbagi dan menyerap Dharma.
Setelah satu tahun mendalami Dharma, Persamuhan Dharma Wi Liang Yi Jing menjadi puncak rangkaian pendalaman Dharma Sutra Wu Liang Yi Jing yang dilakukan di Indonesia.
Tim penyusun materi yang lain, Hendry Chayadi, juga mengungkapkan rasa syukurnya kepada seluruh relawan. “Saya yakin Master Cheng Yen sudah tunggu kita untuk ada hari ini (mendalami Dharma dan melakukan Persamuan Dharma Wu Liang Yi Jing), sudah lama sekali,” katanya, “Jadi saya yakin, hari ini melihat muridmurid di Indonesia, (Master Cheng Yen) bisa merasa tenang.”
“Semoga ini bukan akhir, ini adalah awal dari apa yang Master Cheng Yen harapkan bahwa insan Tzu Chi selain bersumbangsih juga harus mendalami ajaran. Jadi mengembangkan berkah dan kebijaksanaan secara bersamaan,” tambah Hendry.
Dan semua komitmen dan kerja keras selama setahun lebih bersama-sama menyelami Dharma itu terbayar dengan persamuhan Dharma yang begitu khidmat. Bahkan Master Cheng Yen memuji relawan Tzu Chi Indonesia yang telah berhasil menyelami Dharma dan membawakannya dengan berbagai keterbatasan bahasa. “Master bilang kalau pementasan Indonesia kali ini luar biasa, semua bersatu hati. Dari gambar saja kita bisa lihat kalau nggak bersatu hati tidak mungkin suasananya bisa menggetarkan,” ungkap Chia Wen Yu.
“Batin yang jernih dan hening” adalah bentuk ketulusan yang diwujudkan dalam rasa syukur, menghormati, dan cinta kasih. “Tekad yang luas dan luhur” adalah kebenaran, sepenuh hati dalam setiap saat dan menggenggam saat ini. “Teguh tak tergoyahkan” adalah keyakinan, yaitu tanpa ego dan tanpa pamrih merealisasikan apa yang diucapkan. “Dalam masa tak terhingga” diwujudkan dalam bentuk kesungguhan menjalankan praktik melatih diri dengan tekad tak tergoyahkan. Semoga barisan insan Tzu Chi Indonesia terus bergerak maju dalam Dharma, berkah, dan kebijaksanaan.
Editor: Hadi Pranoto / Ivana