Perjalanan Koin Celengan Bambu
Relawan dituntut harus teliti saat menghitung uang
yang berasal dari sumbangsih masyarakat ini. Koin Celengan Bambu dihitung
setiap Selasa dan Jumat mulai pukul 09.00 WIB hingga 17.00 WIB.
Gemerencing koin terdengar begitu nyaring di salah satu ruang di lantai enam Tzu Chi Center. Belasan relawan tampak fokus menghitung uang logam, juga uang kertas yang berasal dari sekolah dan institusi yang beberapa hari lalu menuangkan Celengan Bambu. Sebelum disalurkan kepada yang membutuhkan, masih ada proses yang harus dilalui, yaitu penghitungan dan penukaran koin.
Berada tepat di depan ruang Akunting Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia, relawan menamakan ruangan ini Ruangan Koin Cinta Kasih. Terdapat lima meja yang di atasnya terhampar uang yang didominasi koin.
“Dipisahkan dulu uang kertas dan uang koin. Kemudian dipilah perpecahannya, 100, 200, 500, 1.000, dan uang asing. Uang kertasnya juga begitu,” kata Delima (55 tahun), relawan yang bertugas mencatat rincian koin dan uang kertas.
Setelah dipilah berdasarkan pecahan, uang tersebut kemudian dimasukkan dalam kantong plastik yang setiap kantongnya berisi 500 keping. Sementara untuk uang kertas berisi 100 lembar.
“Setelah itu saya akan merekap jumlah keseluruhan uang yang hari ini dihitung dan menyerahkan rincian itu kepada Kepala Bagian Penghitungan, Shigu Ama,” tambah Delima.
Daftar mata uang asing yang membantu relawan penghitung
koin.
Donasi Uang Asing
Ng Soei Hoa atau biasa dipanggil Ama (artinya nenek, karena dianggap senior –red), yang disebut namanya oleh Delima tampak menyusun daftar mata uang asing lengkap beserta gambarnya. Daftar mata uang asing ini diharapkan membantu relawan yang selama ini bingung saat memilah mata uang yang tidak tertera nama negaranya.
“Biar relawan mudah, tidak satu-satu tanya. Makanya saya pikir, ini kalau jelas kan relawan bisa tahu ini uang mana,” kata Ama.
Yang bersumbangsih melalui celengan bambu memang tak hanya warga Indonesia. Warga negara asing yang berada di Indonesia juga kerap bersumbangsih dan memasukkan uang dari negaranya. Karena itu relawan harus tahu nama resmi negara dalam bahasa aslinya, misalnya Netherland untuk Belanda, dan Egypt untuk Mesir.
Sementara uang yang tidak terdapat tulisan alphabet nama negaranya, para relawan bisa mengenalinya melalui gambar di daftar mata uang asing yang disusun oleh Ama. Uang asing yang sering dijumpai para relawan yang menghitung koin ini antara lain Malaysia, Filipina, Jepang, Taiwan, Tiongkok, India, Arab, Australia hingga Eropa.
Semangat dan Sebaran Celengan Bambu
Siswa-siswi SMP Strada Santa Maria Tangerang siap mengisi kembali celengan mereka usai penuangan.
Sejak tahun 2013, karyawan PT APLUS di seluruh cabangnya secara konsisten memberikan kontribusi mereka kepada masyarakat melalui Celengan Bambu Tzu Chi.
Celengan bambu mengandung semangat bahwa siapa pun dapat beramal sekalipun dengan dana kecil. Dari dana yang terhimpun melalui celengan bambu, Yayasan Buddha Tzu Chi kemudian menyalurkannya kepada orang-orang yang membutuhkan, terutama dari keluarga tidak mampu. Misalnya untuk biaya pengobatan, pendidikan, bedah rumah, dan warga yang menjadi korban bencana alam.
Celengan bambu bermula pada tahun 1966, saat Master Cheng Yen, pendiri Tzu Chi memulai kegiatan amal untuk membantu sesama. Master mengajak 30 ibu rumah tangga untuk ikut serta dengan menyisihkan 50 sen dolar NT (sekitar 400 rupiah) sehari dan memasukkannya ke dalam celengan bambu. Hingga kini, semangat celengan bambu telah menyebar ke-53 negara dan telah membantu banyak orang di dunia.
Di Indonesia, celengan bambu telah tersebar di sekolah-sekolah, kampus, pabrik, perusahaan, pusat perbelanjaan, bank, komunitas, instansi pemerintah dan juga perorangan. Mereka mendapatkan celengan bambu saat mengikuti Sosialisasi Tzu Chi yang biasanya digelar oleh Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia dan atau Kantor Penghubung Tzu Chi. Tiga bulan setelah mengikuti sosialisasi, biasanya dilakukan penuangan celengan secara bersama-sama.
Yuli Simorangkir dan Andre Zulman dari Sekretariat Tzu Chi Indonesia kerap mengadakan Sosialisasi Tzu Chi dan mendampingi relawan melakukan kegiatan penuangan celengan bambu. Yuli melihat, kesadaran masyarakat dalam bersumbangsih makin tinggi. Yuli juga takjub dengan anak-anak sekolah yang sudah memiliki kepedulian terhadap sesama. “Siswa sekolah ini menabung di celengan bambu dari uang jajan mereka loh, jadi bukan ditambahin uang jajannya,” jelas Yuli.
Agar tangan tak menghitam, relawan biasanya terlebih
dulu mengoleskan tangan dengan lotion.
Relawan lainnya menggunakan sarung tangan dari bahan latex (karet).
Sambil Melatih Otak
Hampir setiap pekan, donasi dari Celengan Bambu terkumpul dan siap untuk dihitung. Jumlahnya bisa berkantong-kantong. Koin celengan bambu ini dihitung setiap Selasa dan Jumat di Ruangan Koin Cinta Kasih. Penghitungan biasanya dimulai pukul 09.00 dan selesai pada pukul 17.00 WIB.
Meski harus teliti, bukan berarti relawan yang menghitung koin tak bisa menikmati kegiatan ini. Herlina Irawati, relawan dari He Qi Barat yang berusia 74 tahun menganggap hitung koin sebagai kegiatan amal sekaligus cara melatih otak.
“Kan kita cari 100, 200, 500, lalu menghitung itu kan otaknya juga bekerja. Saya tidak merasa capek soalnya bisa sambil mengobrol, tangannya gerak tapi mulutnya sambil ngobrol,” kata Herlina Irawati.
Herlina menjadi relawan sejak tahun 2001 dan hampir setahun ini ikut menghitung koin. Uang logam yang sudah lewat di banyak tangan membuat tangan Herlina biasanya jadi bernoda hitam sehabis menghitung koin. Untuk memudahkannya mencuci tangan dari noda hitam, ia terlebih dulu mengoleskan tangan dengan lotion. Relawan lainnya menggunakan sarung tangan dari bahan latex (karet).
Penghitungan koin celengan bambu berada di bawah tanggung jawab Departemen Accounting. Setelah menerima rekap rincian uang yang sudah dihitung dari Ama, Kepala Bagian Penghitungan, pihak Accounting menyetorkan uang tersebut kepada bank. Rika Efendi dari Departemen Accounting menilai sumbangsih tenaga dan waktu para relawan sangat membantu sehingga mempercepat penyaluran donasi kepada orang-orang yang membutuhkan.
“Tantangan dari penghitungan koin ini ya ketelitian karena berkaitan dengan jumlah. Sangat membantu sih karena ada relawan, mereka hitungnya juga cepat,” kata Rika.
Menghargai Setiap Sen
Uniknya karena uang yang disetor sebagian besar koin dalam jumlah yang sangat banyak, pihak bank sendiri yang mengambilnya ke Kantor Tzu Chi. Dalam hal ini petugas Bank Artha Graha dan Bank Sinarmas yang kantor cabangnya berada di area Tzu Chi Center mengangkutnya dengan menggunakan troli. Selain menyetorkan langsung ke bank, Rika juga melayani penukaran uang koin dari minimarket dan toko-toko untuk keperluan uang kembalian. Tentu ini meringankan Rika karena jumlah uang koin yang akan disetor ke bank bisa berkurang karena berganti menjadi uang kertas.
Pegawai pick up dari Bank Sinar Mas, Dina Fitria mengakui penghitungan koin oleh relawan sebelum menyetorkannya ke bank cukup efektif meski pihaknya tetap menghitung ulang. “Sebelum disetor, dari Tzu Chi menghitungnya dulu dan memasukkannya per denom. Kalau sudah selesai, baru kita bisa bawa,” kata Dina dari Bank Sinar Mas.
Setelah uang disetor ke bank dan masuk dalam rekening yayasan, masih ada satu tugas yang harus diselesaikan. Uang yang rusak atau tidak berlaku lagi dan sudah terkumpul cukup banyak, ditukarkan ke Bank Indonesia.
“Itu kan sumbangan dari orang. Dia mau bantu orang melalui Tzu Chi, jadi kita harus sayang dong uang yang rusak itu, harusnya bisa jadi uang dan bantu orang lebih banyak. Makanya kita ke Bank Indonesia,” ujar Ama, Kepala Bagian Penghitungan koin.
Sementara uang asing yang tidak diterima oleh bank, pihak penghitungan koin menawarkannya kepada teman. “Misalnya kita tahu nih teman-teman mau ke luar negeri. Kita tawarkan koin negara tujuan dia, nanti dia tukar, uangnya setor langsung ke Tzu Chi,” lanjut Ama.
Hilmi Zamzani, petugas penukaran uang dari Bank Indonesia sempat terkejut saat Ama mengeluarkan tumpukan koin dan uang kertas dari wadah plastik besar. Pasalnya uang tersebut merupakan uang lama, mulai dari pecahan Sen, Rp 1, Rp 5, Rp 100 dan uang kertas kuno lainnya. Ia makin terkejut lagi kalau tumpukan uang ini merupakan sumbangsih masyarakat dari berbagai lini untuk membantu orang lain.
“Oh jadi Tzu Chi yang memberikan celengan dan Tapi terserah berapa saja yang dimasukkan ke celengan? Wah bagus sekali ya, kalau bisa enggak satu yayasan tapi banyak yayasan yang melakukan ini,” kata Hilmi.
Dari Masyarakat untuk Masyarakat
Donasi masyarakat melalui Celengan Bambu digunakan untuk membantu pengobatan dan biaya hidup orang yang sakit, beasiswa pendidikan, bedah rumah, renovasi sekolah, dan bantuan bencana. Ini merupakan perwujudan dari Misi Amal, sebagai akar misi Tzu Chi. Sebelum memberikan bantuan, relawan Tzu Chi melakukan survei ke rumah calon penerima untuk memahami kondisi kehidupan mereka dan menentukan jenis bantuan yang dibutuhkan. Ini karena pemberian bantuan Tzu Chi memiliki prinsip langsung, tepat sasaran, dan memiliki manfaat yang nyata. Sementara yang bertugas melakukan Misi Amal adalah seluruh relawan Tzu Chi dengan Departemen Bakti Amal sebagai fasilitatornya.
Kepala Departemen Bakti Amal, Santi mengatakan, biaya yang dikeluarkan Departemen Bakti Amal tidak tentu setiap bulannya. Untuk keperluan beasiswa pendidikan misalnya, bisa saja mencapai ratusan juta rupiah dalam satu bulan karena Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dibayar setiap tiga bulan sekali. Karena itu pengeluaran di bulan Juli umumnya sangat tinggi bersamaan dengan tahun ajaran baru. Sementara penggunaan uang untuk biaya pengobatan yang paling besar adalah untuk pasien dengan penyakit berat seperti kanker. Hingga kini sudah banyak orang yang terbantu dari donasi masyarakat melalui celengan bambu.
“Orang sering tanya, ‘Dana Tzu Chi ke mana sih kan sekarang ada BPJS (Jaminan kesehatan dari pemerintah –red)?’ Padahal masih banyak orang yang belum memiliki BPJS, dan penanganan penyakit mereka tidak bisa menunggu. Selain itu ada kondisi kecelakaan yang tidak ditanggung BPJS,” jelas Santi.
Menanam Berkah Kembali
Aliong (kanan) menyerahkan Celengan Bambu kepada relawan untuk disetorkan dananya ke Yayasan Buddha Tzu Chi. Aliong bahagia dapat ikut bersumbangsih.
Aliong merupakan salah satu dari sekian banyak penerima bantuan Tzu Chi. Hingga September 2016, Aliong (46 tahun) telah menjalani kemoterapi sebanyak 30 kali. Pada Januari 2015, Aliong yang bekerja sebagai sopir pribadi mengira benjolan di anusnya adalah ambeien. Ia pun berobat ke pengobatan alternatif di kawasan Sawah Besar, Jakarta Pusat. Namun berkali-kali berobat, ia tak kunjung sembuh, malah dari lubang pembuangan air besarnya itu terus keluar nanah.
Aliong kemudian menjalani operasi di Rumah Sakit Tarakan Jakarta pada bulan Maret 2015, lubang pembuangan air besarnya ditutup. Biaya operasi saat itu sudah menggunakan BPJS. Karena sudah tidak bisa bekerja, untuk menutupi biaya sehari-hari, Aliong mendapat bantuan dari teman dan gereja. Bantuan itu berjalan hingga delapan bulan lamanya hingga akhirnya ia mendapat bantuan dari Tzu Chi. Bantuan yang ia dapat dari Tzu Chi adalah biaya untuk membayar obat yang tidak ditanggung BPJS, biaya transportasi ke rumah sakit, biaya hidup bulanan, dan popok sekali pakai.
Aliong kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Kanker Dharmais untuk menjalani radioterapi. Radioterapi adalah salah satu metode pengobatan yang menggunakan sinar radiasi untuk membunuh sel-sel kanker. Sejak mendapat bantuan Tzu Chi pada November 2015, Aliong pun mendapat kunjungan dan perhatian rutin dari relawan yang membuatnya tenang saat menjalani pengobatan. “Saya banyak terima kasih dengan Buddha Tzu Chi, walaupun saya kemo di rumah sakit, selalu datang dan hadir teman-teman dari Buddha Tzu Chi, dan semuanya sangat memperhatikan. Saat kondisi saya lemah usai kemoterapi dan berjalan tidak stabil, relawan membawakan tongkat agar dapat membantu saya berjalan,” ujarnya. Saat artikel ini ditulis, Aliong tengah menunggu kondisinya memungkinkan untuk operasi pengangkatan tumor. Jika belum memungkinkan maka Aliong harus lanjut menjalani kemoterapi.
Relawan juga membawakan Celengan Bambu agar Aliong dapat menanam berkah. Aliong menerima celengan itu pada 3 Februari 2016 dan mulai mengisinya. Pada 9 Agustus 2016, untuk pertama kalinya Aliong menyetorkan sumbangannya ke Tzu Chi melalui relawan. Ia pun mulai merasakan kebahagiaan dari bersumbangsih. “Saya kalau sudah bisa jalan normal, udah dioperasi, udah sembuh, saya akan kunjung ke Buddha Tzu Chi. Saya akan membalas budi, saya akan datangi juga kepada orang-orang yang sakit, seperti saya didatangi orang,” tekadnya.
Menabung untuk Orang Lain
Kebahagiaan karena bisa menyisihkan sebagian rezeki untuk membantu orang lain dirasakan ratusan ribu donatur Tzu Chi Indonesia. Istilah donatur dipakai untuk menyebut orang-orang yang bersumbangsih, baik melalui celengan bambu maupun yang memberikan bantuan dana secara langsung setiap bulan.
Itu juga yang dirasakan Rudy Haryanto (36 tahun), petugas satuan pengamanan (Satpam) di Depo Pelestarian Lingkungan di kawasan Pengangsaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Rudy menabung di celengan bambu sejak tahun 2014 hingga kini. Bagi Rudy, tak harus memiliki harta berlimpah untuk menjadi seorang donatur karena yang dibutuhkan adalah hati yang kaya. “Bagi saya ini juga salah satu cara untuk melatih bagaimana kita bisa berbagi kepada orang lain melalui apa yang kita punya walaupun keadaan kita sendiri minim,” ujarnya.
Untuk mengisi celengan bambu, Rudy menyisihkan dari sisa uang belanja. Rudy makin termotivasi mengisi celengan bambu saat melihat raut wajah bahagia para penerima bantuan Tzu Chi yang dijumpainya.
Kebahagiaan yang sama dirasakan siswa-siswi Sekolah Dharma Putra Tangerang yang pada Oktober ini melakukan penuangan Celengan Bambu untuk kali kedua. Para siswa dan guru mendapatkan Celengan Bambu saat mengikuti sosialisasi Misi Amal Tzu Chi pada 11 April 2015 lalu.
“Isi celengan yang saya tuangkan ini dari uang saku saya. Kalau masih ada sisa, dimasukkan ke celengan. Uang saku saya sehari 10 ribu rupiah. Yang saya masukkan celengan kadang lima ribu, kadang dua ribu rupiah,” kata Kezia Octavia, siswi kelas 6B.
Sementara itu Cecilia Ang, siswi SMP kelas 9C mengaku tak menyangka celengannya hampir penuh. “Kan ini koin ya, kita mau berapa saja ya masukkan saja, nanti tanpa sadar tiba-tiba dikeluarkan, wah kok banyak ya. Tanpa sadar kita membantu orang lain,” kata Cecilia.
Ratusan siswa sekolah ini antusias menuangkan isi Celengan Bambu Tzu Chi. Mereka dan ribuan donatur Tzu Chi lainnya bersumbangsih agar makin banyak orang yang dapat dibantu. Bagi Tzu Chi, sumbangsih sekecil apapun pasti memberikan berkah bagi yang menerima dan mendatangkan kebahagiaan bagi yang memberi. Seperti yang pernah Master Cheng Yen sampaikan, “Sumbangsih yang dilakukan sendiri adalah suatu kesenangan dalam kehidupan dan dapat mengembangkan nilai-nilai kehidupan”.
Penulis: Khusnul Khotimah | Erli Tan