Secercah Harapan Bagi Warga Binaan
Dengan kesabaran dan perhatian yang tulus, relawan Tzu Chi Tebing Tinggi membimbing warga binaan (narapidana) menjadi pribadi yang lebih baik. Tetesan air Dharma secara terus menerus mampu meresap ke batin mereka yang mengharapkan kesejukan. Bila kita tidak memberi kesempatan dan jalan keluar bagi mereka, maka akan semakin sulit bagi mereka untuk kembali ke jalan yang terang
*****
Tidak mudah bagi relawan Tzu Chi ketika memutuskan masuk ke sebuah tempat dimana banyak orang justru menghindarinya: lembaga pemasyarakatan. Sebagai tempat pembinaan, sejatinya mereka yang “sempat salah arah” ini seharusnya sudah pulih dan bisa diterima di masyarakat selepas menjalani masa binaan. Namun, hukuman untuk mereka ternyata tidak selesai sampai di sini, seringkali mereka yang telah menyelesaikan masa hukuman masih juga dikucilkan mereka juga dikucilkan di masyarakat.
Tergerak dan peduli dengan kehidupan para narapidana, Wardi, Sutanto, Chrisno Wijaya, Aliang, dan Sugiharto, relawan Tzu Chi Tebing Tinggi membulatkan tekad untuk membimbing secara spiritual dan mental kepada warga binaan di Lapas Tebing Tinggi yang beragama Buddha. Secara rutin relawan Tzu Chi mengunjungi mereka.
“Ini bukan pekerjaan mudah, butuh ketulusan, kesabaran, dan dukungan banyak pihak. Mereka manusia biasa yang bisa berbuat salah dan juga bisa bertobat bila dibina dan diberi kesempatan,” kata Wardi, relawan yang juga Wakil Ketua Tzu Chi Tebing Tinggi.
Salah satu tantangan yang dihadapi adalah kondisi batin mereka umumnya belum stabil, bahkan ada yang mengalami tekanan mental. Selain itu, sebagian besar mereka tidak pernah atau jarang dikunjungi keluarga sehingga merasa terbuang.
“Ini yang mempengaruhi batin mereka sehingga mudah marah dan diliputi kebencian. Karena itu mereka butuh siraman Dharma dan pendampingan. Kita memperlakukan mereka layaknya saudara sendiri, dengan begitu pelan-pelan mereka mulai bisa membuka pintu hatinya,” ungkap Sutanto.
Dimulai dari Kunjungan Kasih
Jalinan jodoh relawan Tzu Chi dengan warga binaan di Lapas Tebing Tinggi dimulai dari kunjungan kasih relawan ke Lapas dan memberi bantuan matras (alas tidur) untuk warga binaan anak-anak. Setelah itu berlanjut dengan inisiatif relawan Tzu Chi membangun kembali Cetiya (rumah ibadah umat Buddha) yang kondisinya memprihatinkan.
Setelah cetiya jadi, tentu butuh pembinaan bagi warga binaan yang beragama Buddha untuk lebih dekat dan mempelajari Dharma. Hasilnya pun tak sia-sia. Setelah setahun berjalan, banyak membawa perubahan positif pada warga binaan.
Secara berkala, relawan dan Tim Medis Tzu Chi melakukan berbagai pendampingan dan pemeriksaan kesehatan bagi warga binaan di Lapas. Seluruh kegiatan diharapkan dapat memberikan inspirasi bagi para warga binaan untuk menjadi lebih baik.
Pembinaan yang dilakukan relawan berupa sharing Dharma (bedah buku), kebaktian bersama, dan berbagai kegiatan lainnya, seperti perayaan Waisak, Imlek atau baksos kesehatan. Agar bervariasi, terkadang relawan juga mengajak rohaniwan atau Pandita yang memberi wejangan Dharma, pelatihan meditasi, dan lainnya. Baksos kesehatan diadakan karena melihat banyaknya penghuni Lapas yang terkena penyakit kulit, THT, dan penyakit lainnya. Relawan Tzu Chi juga memberikan bantuan seperti odol, sikat gigi, sabun antiseptik, dan pakaian bekas layak pakai kepada 1.600 warga binaan.
Namun apakah pembinaan di dalam Lapas saja sudah cukup? Tentu tidak. Saat mereka telah bebas relawan tetap mendampingi. Bagi yang tidak lagi diperhatikan keluarga, relawan Tzu Chi menjadi pengganti keluarga mereka. Perhatian ini yang membuat mereka terharu dan bertekad untuk melangkah di jalan yang benar. Salah satunya Juniadi.
“Sebelum (relawan) Tzu Chi datang, di sini seperti tidak ada kehidupan. Namun setelah mendengar Dharma yang disampaikan relawan Tzu Chi, ini menjadi pengingat bagi saya bahwa inilah saatnya untuk bertobat,” kata Juniadi.
Ada satu pesan dari relawan yang selalu diingat dalam benak Juniadi, “Relawan bilang ke saya, ‘Kalo kamu di sini tidak bisa berubah maka saat bebas kamu juga sulit untuk menjadi orang baik.’ Master Cheng Yen sering berceramah tentang penderitaan, kebodohan, keserakahan, dan ini mengena di hati saya. Karena itu saya berikrar untuk berhenti mengonsumsi Narkoba,” kata Juniadi, “awal-awal banyak godaan, namun setiap teringat tekad akhirnya saya bisa mengalahkan itu.”
Hingga tahun 2020 ini, sudah ada sembilan orang warga binaan yang telah bebas. Ada yang kembali ke kampung halaman dan memulai kehidupan baru bersama keluarga, namun tetap menjalin hubungan dengan relawan Tzu Chi.
“Meski jauh, kita tetap berkomunikasi. Kami rutin membimbing mereka melalui WhatsApp,” kata Wardi. Namun tidak semua keluarga berkenan memaafkan dan menerima mereka kembali. Bagi mereka yang bebas namun tidak bisa kembali berkumpul bersama keluarga, relawan Tzu Chi yang kemudian menjemput mereka. “Kami antar mereka pulang ke rumah mereka. Kadang ada yang ditolak keluarga, namun kita tetap berupaya mempersatukan kembali,” kata Chrisno Wijaya dan diamini Wardi dan Sutanto.
Menyatukan Kembali Hubungan Orang Tua dan Anak
Warga binaan yang telah bebas saat ini dan bahkan salah satunya telah menjadi relawan Tzu Chi. Ia adalah Sugiharto atau yang akrab disapa Aliang.
“Aliang adalah warga binaan yang pertama kami bina setelah bebas,” kata Wardi.
Aliang kini bekerja di perusahaan salah satu relawan Tzu Chi yang bersedia membimbingnya. Rusli, relawan Tzu Chi yang “berani” menerima Aliang mengungkapkan alasannya, “Kalau tidak ada yang memberi kesempatan dan kepercayaan, terus mereka mau kemana. Ujungujungnya terjerumus kembali ke dunia hitam.”
Pada waktu itu, menjelang masa kebebasannya, Aliang merasa resah. Ia mengalami pergolakan batin yang hebat. “Biasanya orang mau bebas pasti sangat senang, tapi saya justru kebalikannya. Yang ada dalam pikiran saya, mau kemana setelah bebas? Keluarga tidak menerima saya lagi, apalagi teman-teman tentu takut mendekati saya. Teman yang mau menerima saya pastinya teman Narkoba lagi, dan saya akan terjerumus lagi. Kapan saya terbebas dari lingkaran setan ini?” kenang Aliang.
Aliang melakukan pertobatan kepada kedua orang tuanya usai keluar masuk lapas. Ia tak ingin kembali dalam pergaulan hitam yang berulang kali membuatnya tersesat.
Pikiran baik dan buruk saling tarik menarik. Aliang kemudian teringat pesan Wardi untuk menghubunginya saat bebas. Di sisi lain, ia seolah-olah terus dipanggil teman-teman lamanya untuk kembali ke dunia hitam. Ini ibarat suara Bodhisatwa dan Mara sedang bertempur dalam hatinya. Apalagi hanya ada uang 10 ribu rupiah di kantongnya saat itu, pemberian teman satu selnya.
“Kalau dipakai beli pulsa, saya nggak bisa makan, tapi kalau buat beli makanan saya nggak bisa telepon,” pikir Aliang bimbang. Beruntung kemudian Aliang, memilih untuk menelepon Wardi.
Dengan nada segan Aliang meminta tolong untuk meminjam uang untuk ongkos pulang ke Medan. Wardi bersama relawan Tzu Chi lainnya segera menjemput Aliang dari Lapas dan mengantarnya pulang. “Saya setiap hari melafalkan nama Buddha seribu kali di cetiya. Tzu Chi yang menyelamatkan saya, saya harus Gan En kepada Master Cheng Yen dan relawan Tzu Chi,” ungkap Aliang.
Kini Aliang telah aktif menjadi relawan Tzu Chi. Berbagai kegiatan diikutinya, mulai dari daur ulang, baksos kesehatan, donor darah, kunjungan kasih, bedah buku, dan kegiatan lainnya. Aliang juga selalu mendampingi relawan ke Lapas untuk pembinaan.
“Saya ceritakan pengalaman hidup saya, dan bagaimana Tzu Chi mengubah saya. Harapannya agar bisa memotivasi teman-teman untuk memilih jalan yang benar,” kata Aliang. Dan usaha relawan Tzu Chi dan Aliang tidak sia-sia. Sampai saat ini sudah ada dua warga binaan yang mengikuti jejaknya. Bekerja dan menjalani hidup dengan baik selepas menjalani masa hukuman.
Pada saat acara Doa Bersama Bulan Tujuh Imlek Penuh Berkah 2019, Aliang melakukan pertobatan di depan ratusan hadirin. Ia meminta maaf kepada kedua orang tuanya yang saat itu juga hadir dan berikrar akan menjadi orang yang baik, berbakti kepada orang tua, dan menjadi relawan Tzu Chi.
Sambutan tepuk tangan memberi semangat kepada Aliang. Rangkulan hangat dari relawan memberi kelegaan dalam diri Aliang, bagaikan mengangkat batu besar yang menghimpit dadanya. Ternyata pertobatan di depan umum sangat mujarab, bisa melenyapkan rasa tidak percaya diri. Yang paling berbahagia dari perubahan sikap Aliang tentulah orang tuanya. Karena malu dengan sikap dan perbuatan anaknya dulu, orang tua Aliang sudah menyatakan putus hubungan melalui surat kabar. Artinya segala tindak-tanduk Aliang bukan lagi tanggung jawab mereka.
Saat hari pertama Aliang bebas dan pulang ke rumah, orang tuanya tidak berkenan menerimanya. “Saya yakinkan Papa dan Mama kalau saya sudah berubah. Saya juga jelaskan kalau saya sudah memahami ajaran Buddha tentang hukum karma, karena itu saya mau berubah,” tegas Aliang.
Tak langsung percaya, orang tua Aliang kemudian menelepon Wardi. Mendengar penjelasan Wardi, barulah Papanya melunak dan bisa menerima kembali kehadiran putranya di rumah. “Papanya Aliang sangat berterima kasih dan bilang, ‘kalau relawan Tzu Chi saja mau menerima dan membina anaknya maka sebagai orang tua saya lebih siap memaafkan dan menerimanya kembali’,” kata Wardi.
Melihat hasil pertobatan di depan umum cukup efektif, Tzu Chi Tebing Tinggi kembali mengadakan pertobatan kepada dua orang mantan warga binaan lainnya Apau dan Aseng dalam acara Pemberkahan Awal Tahun 2020 yang diselenggarakan pada 16 Februari 2020 lalu. Dan hasilnya, Apau dan Aseng kini juga sudah lebih percaya diri dan bersosialisasi dengan masyarakat. Mereka juga telah bekerja dan hidup mandiri. Dan yang terpenting, tekad mereka mendapat restu, dukungan, dan doa dari banyak orang.
Penulis: Wardi (Tzu Chi Tebing Tinggi), Hadi Pranoto