Semangat Juang di Tanah Pejuang
Kota Surabaya
memiliki pesonanya tersendiri, apalagi kalau bukan sebagai kota yang menyimpan
sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia. Bangunan bersejarah seperti
Tugu Pahlawan, Jembatan Merah, juga Hotel Majapahit seolah mewariskan semangat
juang bagi warga atau siapapun yang berkunjung ke kota ini. Di Kota Pahlawan
inilah Tzu Chi Surabaya berada dan turut berjuang mewujudkan masyarakat yang
harmonis, aman dan tenteram, serta dunia yang bebas bencana.
****
“Orang kusta itu sangat menderita Mbak. Menderita sekali orang kusta itu.” Kalimat itu terlontar dari mulut Zainudin (50), mantan penderita penyakit kusta yang tinggal di Panti Rehabilitasi Kusta di Kelurahan Babat Jerawat, Kecamatan Benowo, Surabaya siang itu.
“Serba salah. Mau baik sama orang tapi orang menerimanya seperti itu. Padahal pikiran kita dengan orang luar itu sama, ingin berbuat baik,” lanjutnya.
Sejauh ini, mantan penderita kusta masih banyak mengalami diskriminasi baik langsung maupun tak langsung. Banyak orang enggan mendekat karena takut tertular. Padahal yang tinggal di panti rehabilitasi sejatinya telah dinyatakan sembuh.
“Dikira orang seperti saya ini masih ada kustanya karena kan kecacatan masih ada. Tahun 1987 saya sudah dinyatakan sembuh dan mendapat semacam sertifikat dari Rumah Sakit Kusta Kediri. Saya kerja juga tidak pernah kambuh,” katanya lebih lanjut.
Bagi Zainudin, diterima, dihargai, dan dimanusiakan, itulah yang diinginkan para mantan penderita kusta. Karena itu bagi mereka, perhatian relawan Tzu Chi sejak tahun 2002 bagai oase di padang pasir.
Penyakit kusta atau lepra merupakan penyakit menular yang disebabkan bakteri mycobacterium leprae. Kusta menyerang sistem saraf, dan biasanya diawali munculnya bercak putih pada kulit seperti panu namun tak terasa gatal. Kusta bisa disembuhkan dengan multidrug therapy (MDT), kombinasi dari tiga obat yaitu clofazimine, rifampisin, dan dapson yang dikonsumsi selama 6-24 bulan. Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization / WHO) sudah menggratiskan obat ini. Jika tak diobati, penderita akan mengalami kecacatan pada jari, bahkan mata.
Jari-jemari tangan Zainudin pun tinggal separuh. Ini karena kurangnya pengetahuan orang tuanya hingga membuat Zainudin yang saat itu baru kelas 1 sekolah dasar terlambat diobati dan kemudian putus sekolah. Baru pada usia 20 tahun Zainudin berobat di Rumah Sakit Kusta Kediri. Ia dirawat selama enam bulan hingga sembuh.
Saat kembali ke kampung halamannya di Bangkalan Madura, Zainudin bingung karena tak ada yang mau menerimanya bekerja. Ia pun memutuskan kembali ke Kediri. Beruntung ada seorang dermawan yang membantunya dan mantan penderita kusta lainnya untuk bekerja sebagai tukang becak. Sang dermawan ini juga mencarikan kos yang mau menerima para mantan penderita kusta.
Suatu hari Zainudin diberitahu seorang teman tentang sebuah panti di Surabaya yang khusus menampung mantan penderita kusta. Singkat cerita, Zainudin pun pindah ke panti Benowo ini pada tahun 1993 dan menikah setahun kemudian dengan Rini yang tak pernah sakit kusta. Mengingat diskriminasi yang kerap dialami, Zainudin sebelumnya tak pernah membayangkan suatu saat bakal menikah. Ia pun dikaruniai dua anak. “Tidak pernah punya pikiran sampai nikah. Sampai punya anak tidak pernah. Ibaratnya masa depan sudah hancur,” jelasnya.
Penghasilan Zainudin sebagai tukang becak motor tak menentu. Kadang membawa pulang lima puluh ribu rupiah, kadang hanya lima ribu rupiah. Karena itu ia dan keluarganya bersyukur dengan perhatian Tzu Chi Surabaya sejak tahun 2002 yang rutin melakukan Kunjungan Kasih di panti.
Para penghuni panti sangat bersyukur dengan perhatian yang terus-menerus diberikan relawan Tzu Chi.
“Tzu Chi dari dulu terus-terusan perhatiannya ke orang kusta itu. Sangat-sangat membantu. Yang dimaksud sangat membantu itu yang pertama pastinya dari bantuan yang sudah diberikan. Cuma yang lebih penting lagi itu masih ada orang yang mau berkunjung ke sini. Kan jarang orang mau berkunjung ke sini sebelumnya,” kata Zainudin.
Dalam tiap Kunjungan Kasih, relawan selalu memberikan bantuan sembako seperti beras, gula, minyak, bahkan sabun mandi. Relawan juga menyemangati mereka. Panti milik Pemerintah Kota Surabaya ini dihuni oleh 108 orang baik yang dewasa maupun anak-anak. Kebanyakan mereka berasal dari luar Surabaya (78 jiwa), dan dari Surabaya sendiri ada 30 jiwa.
Di bulan Oktober 2017 lalu, kunjungan kasih bahkan dilakukan sebanyak dua kali menyusul adanya donasi susu kental dari donatur. Koordinator kegiatan ini, Pik Liang memanggil satu persatu perwakilan kepala keluarga (KK) sambil menyerahkan kuitansi donasi. Tak mau ketinggalan berbuat kebajikan, para penghuni panti telah lama bersumbangsih melalui Tzu Chi. Tepatnya sejak bencana tsunami Aceh tahun 2004. Karena itu meski telah bertahun-tahun menjadi koordinator kegiatan ini, Pik Liang selalu terharu saat penghuni panti dengan semangat memberikan donasinya.
“Sampai tak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Mereka biarpun penghasilannya minim, tapi masih mau menyumbang untuk bantu sesama. Terharu sekali saya. Biarpun dananya kecil, tiap bulan cuma lima ribu, ada yang tiga ribu, ada yang dua ribu, tapi kita dengan senang hati menerima. Mereka punya hati yang luhur,” ucap Pik Liang sambil menyeka air mata yang tak mampu ditahannya.
“Tambah senang sebetulnya, jadi kami ada rezeki sedikit itu ada yang menyalurkan. Belum tentu kami punya rezeki bisa menyalurkan karena terbatasnya pergaulan sama masyarakat,” begitu kata Zainudin.
Selain senang bersumbangsih, Zainudin bahkan sudah beberapa tahun kini aktif mendampingi para penderita kusta untuk berobat. “Di Madura yang sudah saya dampingi yang tanpa cacat kulit, tanpa cacat tangan dan kaki itu ada 15 orang, dari kampung saya dan luar kampung. Saya kalau mendampingi itu lebih banyak torok (nombok). Tapi karena saya tahu penderitaan orang kusta seperti apa jangan sampai ia menderita seperti saya, cuma itu tujuannya,” pungkasnya.
Tangis
Bahagia Mesinem
Mesinem selalu menantikan kunjungan relawan Tzu Chi. Kepada relawan, Mesinem mengeluhkan kakinya yang terasa sakit.
Dukuh Kupang yang padat penduduk selalu heboh tiap kali Sutina (59) dan relawan Tzu Chi Surabaya lainnya berkunjung. Semuanya menyapa, semuanya mengajak untuk mampir. Bahkan Sutina punya panggilan khas “Ibu RT”. Layaknya Bu RT, Sutina menjadi tempat curahan hati warga Dukuh Kupang. Dari masalah ekonomi, kesehatan, bahkan masalah keluarga.
Tak lupa Sutina mengingatkan warga untuk selalu bersyukur meski menghadapi masalah yang pelik. Ia juga mengingatkan warga untuk menyisihkan sedikit rezeki guna bersumbangsih. Pendekatan dari hati ke hati itulah yang membuat warga tergugah dan sukarela menjadi donatur. Beberapa dari mereka sudah pernah ikut kegiatan Tzu Chi seperti saat buka puasa bersama, juga tahun baru Imlek.
Di Dukuh Kupang ini Tzu Chi Surabaya juga memberikan perhatian pada beberapa warga secara khusus, seperti Mesinem (80), salah satu Gan En Hu atau penerima bantuan Tzu Chi Surabaya selama hampir empat tahun ini. Mesinem hidup sendiri di rumah sempit berukuran 3x7 meter. Suaminya meninggal setahun lalu karena penyakit stroke. Dua anak laki-lakinya yang sudah berumah tangga tinggal di luar Kota Surabaya dan jarang menjenguknya.
“Sudah saya tunggu dari tadi Bu, Pak…,” ujar Mesinem sambil menyeka air matanya. Langkah kakinya tertatih-tatih. Sutina dan Dju Tjue (64) buru-buru menghampiri dan bergantian memeluknya.
“Ojo nangis toh.. (jangan menangis),” kata Sutina lembut.
Begitulah Mesinem yang selalu menangis bahagia jika relawan datang. Ia selalu terharu dengan perhatian relawan Tzu Chi Surabaya kepada dirinya sejak suaminya masih hidup dulu. Selain sembako, relawan bergotong royong memperbaiki rumahnya hingga terlihat lebih bersih.
“Dulu ya gelap begitu rumah ini. Panas, tidak bisa kelihatan. Sekarang dia tinggalnya bisa lebih enak,” kata Sio San, relawan lainnya.
Sebelumnya rumah Mesinem hanya beralaskan tanah, dan kini sudah diplester. Relawan juga membuatkannya tempat tidur. Almarhum suaminya yang dulu mengalami stroke juga diberikan bantuan kasur air agar punggungnya tak lecet. Relawan juga rutin memotong rambut dan kumis almarhum suami Mesinem agar terlihat lebih terawat.
Mesinem kini sudah tak bisa bekerja. Ia hanya mengandalkan bantuan dari Tzu Chi dan pemberian tetangga. Kadang juga dari anaknya, meski sangat jarang. Walau begitu, ia masih selalu ingin bersumbangsih dan mengisi celengan bambu-nya.
“Terakhir yang sulung pulang memberi uang tiga ratus ribu rupiah. Sementara anak saya yang kedua, Ipin tidak pernah pulang,” ujarnya. Lagi-lagi ia menangis.
“Loh baju yang dibelikan Bu Tina cocok ya,” kata Dju Tjue mencoba mengalihkan kepiluan di hati Mesinem.
“Iya cocok, Bu,” kata Masinem yang akhirnya tersenyum.
“Cantik loh,” kata Dju Tjue sambil memasangkan satu kancing di baju Masinem. Yang dipuji pun tak tahan untuk tidak tertawa.
“Iya saya pakai, Bu, saya suka bajunya. Saya senang kalau relawan ke sini, dibawakan segala macam, ya susu, ya baju, satu kantong besar waktu itu. Mereka seperti orang tua saya sendiri. Saya menganggapnya begitu,” kata Mesinem sambil tertawa di akhir kalimatnya.
Kunjungan kasih siang itu akhirnya berlangsung lebih dari dua jam karena tetangga Mesinem ikut menimbrung dan berbincang-bincang dengan Sutina, Dju Tjue, dan Sio San. Relawan meminta tolong kepada para tetangga Mesinem untuk turut memberi perhatian kepada Mesinem yang hidup sebatang kara ini.
“Iya bu, kami gantian kok memberi makanan,” jawab para tetangga Mesinem bersahutan.
“Yang penting ibu jaga kesehatan ya. Kalau pagi ada matahari, ibu bisa berjemur sambil ngobrol sama tetangga. Jalan juga hati-hati nanti kesandung,” ujar Dju Tjue kepada Mesinem.
“Dongakno waras yo, Bu (doakan sehat ya bu), matur nuwun (terima kasih) sudah ke sini,” ujar Mesinem sambil memeluk Sutina sebagai akhir dari kisah kunjungan kasih siang itu.
Seperti Derasnya
Aliran Kali Jagir
Sejak 2008 hingga kini, Vivian Fan menahkodai Tzu Chi Surabaya.
Keakraban relawan Tzu Chi Surabaya dengan para penghuni panti, juga dengan Mesinem merupakan gambaran bagaimana relawan Tzu Chi Surabaya selalu berusaha mengalirkan cinta kasihnya bagi masyarakat sekitar. Bagaikan pintu air Kali Jagir yang berdiri kokoh menahan derasnya air yang mengalir ke arah timur di Kota Surabaya. Pun tak jauh dari pintu air Kali Jagir yang tersohor itu, Kantor Tzu Chi Surabaya berdiri, tepatnya di Komplek Ruko Mangga Dua Center, Jl. Jagir Wonokromo 100, Ruko B. No. 1-2 Surabaya, Jawa Timur.
Lima belas tahun hadir di tengah masyarakat, berbagai kegiatan sosial kemanusiaan telah dilaksanakan oleh Tzu Chi Surabaya. Dari bakti sosial kesehatan, bantuan pendidikan, pengobatan secara tuntas, bantuan darurat bencana, bedah rumah, hingga kunjungan kasih ke panti kusta.
Tzu Chi Surabaya bermula dari sekumpulan ibu-ibu asal Taiwan yang tinggal di Surabaya. Mereka telah mengenal Tzu Chi sewaktu masih di Taiwan. Beberapa dari mereka seperti Vivian Fan kenal dengan Ketua Tzu Chi Indonesia Liu Su Mei. Suatu waktu Liu Su Mei berkunjung ke Surabaya membicarakan tentang kemungkinan mendirikan Tzu Chi di Kota Pahlawan. Setelah pembicaraan itu disepakatilah untuk mendirikan Tzu Chi Surabaya.
Tzu Chi Surabaya memulai kegiatannya pada 25 Februari 2002 dan secara resmi berdiri pada 8 Mei 2003 dengan diketuai Melisa Tedjo. Sementara sejak 2008 hingga kini, Vivian Fan melanjutkan estafet kepemimpinan Melisa. Tzu Chi Surabaya memulai kegiatannya di misi amal dengan membantu biaya pengobatan kepada pasien dari keluarga kurang mampu. Di tahun 2002 pula, relawan mulai mengunjungi Panti Benowo.
Pelabuhan Tanjung Perak menjadi saksi saat 7.000 ton beras dikirim dari Hualien Taiwan untuk dibagikan kepada masyarakat kurang mampu di wilayah Jawa Timur pada medio 2004.
Ada satu kegiatan besar pada tahun 2004 yang tak akan bisa dilupakan Vivian Fan, yakni pembagian beras sebanyak 7.000 ton kepada masyarakat kurang mampu di Jawa Timur. Beras itu dikirim dari Taiwan ke Surabaya melalui kapal yang berlabuh di Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.
“Kita membagikannya itu selalu hari Sabtu dan Minggu tidak berhenti selama 1,5 tahun. Kadang-kadang Sabtu ada satu tempat. Lalu minggunya pagi sama siang dua tempat. Senin itu harus kembali ke kantor karena mau hitung kupon, mau ditotal. Nah Selasa sudah tahu hasilnya berapa. Selanjutnya meeting untuk minggu yang akan datang dan siapkan logistik lagi. Sabtu Minggu lagi selanjutnya terus begitu,” kenang Vivian.
Saat itu, jumlah relawan tak sampai sepuluh orang. Namun semangat relawan menggebu dan begitu kompaknya. Satu hal lainnya yang membuat Vivian terkesan adalah semangat warga Surabaya yang membantu pembagian beras ini. Di antaranya dari kalangan kalangan pengusaha, karyawan Sinar Mas, Tjiwi Kimia, dan dari komunitas umat Buddha di Surabaya. Pembagian beras ini juga membuat Tzu Chi Surabaya makin dikenal masyarakat luas.
Ketua Tzu Chi Surabaya yang pertama, Melissa Tedjo saat membagikan beras kepada warga pada tahun 2004.
Berkah dari Bedah Rumah
Cinta kasih relawan Tzu Chi juga mengalir ke Kabupaten Mojokerto, 50 kilometer di sisi barat daya Surabaya. Di awal tahun 2010, Tzu Chi Surabaya memulai proyek bedah rumah. Melalui serangkaian survei, sebanyak tujuh rumah di Desa Sekarputih Kelurahan Kedundung, Mojokerto pun dibedah. Mas’ud Yunus yang waktu itu menjadi Wakil Walikota Mojokerto hadir dalam pembukaan acara bedah rumah yang saat itu digelar pada 26 Januari 2010.
Bing, relawan Tzu Chi Surabaya menjelaskan, bedah rumah ini memakan waktu sekitar dua bulan. Saat pembongkaran rumah, relawan bergotong royong dengan warga sekitar.
“Kita libatkan warga sama relawan dari Surabaya, dan dibantu dari Sinar Mas juga. Sebelum dibedah dengan sesudah dibedah bedanya jauh sekali. Rumah sudah rapi, lalu ekonominya juga meningkat. Kesehatan mereka pun ikut meningkat,” kata relawan yang mengetuai Tim Tanggap Darurat Tzu Chi Surabaya ini.
Bedah rumah di Mojokerto ini telah mengubah hidup para penerima bantuan. Siti Mutmainnah (51) tak pernah membayangkan impiannya untuk memiliki rumah yang lebih layak benar-benar terwujud. Karena itu setiap relawan Tzu Chi Surabaya datang berkunjung, air matanya selalu berlinang.
“Saya sangat berterima kasih kepada Buddha Tzu Chi khususnya yang sudah menolong saya. Alhamdulillah apa yang diberikan kepada saya membawa berkah. Membawa berkah itu begini, suami saya ya sudah dapat kerjaan, anak saya selain sekolah juga bisa kuliah. Trus saya sendiri biarpun kerjaannya itu sosial, tapi saya masih dibutuhkan oleh masyarakat. Saya sebagai pemandi jenazah,” kata Siti Mutmainnah.
Siti memiliki dua orang anak. Sebelum rumah dibedah, saat hujan, keluarga ini begitu sengsara. Bocor dan banjir kerap membuat kedinginan, apalagi jika hujan turun pada malam hari.
“Dulu rumah kan masih gedek (anyaman bambu), ya amburadul. Kalau hujan bocornya itu ke mana-mana. Waktu acara peresmian dulu, saya yang memberi sambutan sedikit, saya ucapkan rasa terima kasih saya kepada yayasan karena bisa mengubah hidup saya,” tambah Siti Mutmainnah.
Relawan Bing saat bertamu ke rumah Muntari dan istrinya Karniti, warga Mojokerto yang rumahnya dibedah oleh Tzu Chi Surabaya pada tahun 2010. Lingkungan rumah warga pun menjadi lebih bersih.
Kebahagiaan yang sama juga dirasakan Muntari (85) yang rumahnya tidak jauh dari Siti Mutmainnah. Malahan permintaannya agar rumahnya disekat menjadi dua bagian pun disetujui relawan. Kini Muntari dan istrinya Karniti (72) hidup bersebelahan dengan anaknya yang sudah menikah.
“Mirip kandang ayam dulunya rumah saya. Sering kebanjiran. Nelongso (sedih) sekali. Waktu diberitahu akan direnovasi pikiran langsung plong. Selama ini pikiran ya susah,” kata Muntari yang dulu bekerja sebagai tukang becak. Kini Muntari dan istrinya Karniti sudah tidak bekerja, tinggal menikmati masa tua dengan dikelilingi sang cucu.
Program bedah rumah ini pun makin membuat Tzu Chi Surabaya makin dikenal. Tak hanya di Surabaya, Mojokerto, cinta kasih relawan Tzu Chi Surabaya sudah mengalir di hampir semua kabupaten di Jawa Timur, termasuk menyeberang ke Pulau Madura.
Cinta Kasih yang All Out
Relawan Becky Ciang (kiri), membantu pasien di Baksos Kesehatan Tzu Chi ke-118 yang bekerja sama dengan Polda Jatim dan Biddokes Polda Jatim di Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya.
Walikota Surabaya Tri Rismaharini (berkerudung) saat hadir dalam pembagian 1.500 paket bantuan sembako untuk para petugas kebersihan di Surabaya, 21 Juli 2013. Dalam kegiatannya Tzu Chi Surabaya kerap bekerja sama dengan berbagai instansi.
Kepala Rumah Sakit (Karumkit) Bhayangkara Surabaya Kombes Pol. dr. Heru Prima punya pandangan sendiri tentang kiprah Tzu Chi Surabaya di Jawa Timur.
“Kami beberapa kali bekerja sama dengan Tzu Chi. Sebelum saya di Surabaya, saya juga di Kediri. Kami sudah empat kali mungkin krja sama dengan Tzu Chi. Kami sangat apresiasi Tzu Chi karena beliau-beliau (relawan –red) memang tulus betul dengan semangatnya untuk menolong masyarakat, terutama masyarakat yang (terkena penyakit) katarak. Kami sifatnya hanya pengerahan massa, tapi Tzu Chi betul-betul all out membantu itu,” ujarnya.
Baksos kesehatan katarak memang menjadi salah satu concern Tzu Chi Surabaya mengingat jumlah penderitanya yang masih cukup banyak. Baksos katarak yang digelar Tzu Chi Surabaya pun selalu dihadiri ratusan orang yang datang dari berbagai wilayah di Jawa Timur. Karena itu Heru Prima berharap Tzu Chi Surabaya terus eksis supaya lebih banyak lagi masyarakat yang bisa terbantu.
“Banyak (yang bekerja sama dengan kami), tapi ya tidak all out, paling hanya dana saja untuk operasional operasinya. Tapi untuk konsumsi, yang mendampingi, tidak ada. Saya lebih senang dengan Tzu Chi. Dan lain kok, keikhlasannya. Kalau Tzu Chi itu ikhlas, menuntunnya itu bagian dari bahasa fisik. Sampai keluarganya diperhatikan, lebih-lebih makanannya,” tambahnya.
Ketua Tzu Chi Surabaya Vivian Fan berterima kasih atas apresiasi yang dituturkan Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Surabaya Heru Prima. Ini juga menjadi semacam pecut bagi Tzu Chi Surabaya agar lebih giat dan terus berpadu dengan elemen masyarakat lainnya demi meringankan beban penderitaan orang banyak.
“Tzu Chi kan punya tekad untuk menyucikan hati manusia dan menciptakan dunia yang damai, ya kita yang di Surabaya harus menciptakan damai di Surabaya dan sekitarnya. Bagi saya bukan Tzu Chi bisa bantu berapa orang atau Tzu Chi bisa kegiatan berapa banyak, tapi juga bisa mengubah cara pandang orang lain tentang kehidupan itu sendiri jadi lebih baik,” kata Vivian.
Vivian juga mengakui dengan karakter masyarakat Jawa Timur yang
senang diajak berkegiatan yang positif, ini juga menjadi kekuatan bagi Tzu Chi
Surabaya untuk terus menyebarkan cinta kasih.
Penulis: Khusnul Khotimah
Fotografer : Anand Yahya dan Dokumentasi Tzu Chi Surabaya