Semangat Sesendok Beras Menyebarkan Cinta Kasih
Sahwal Ardiansyah (kiri) dan siswa kelas budi pekerti lainnya serta siswa Tzu Chi School dan relawan He Qi Utara 1 turut serta dalam program Semangat Sesendok Beras Menyebarkan Cinta Kasih ini.
Terinspirasi dari para petani di Myanmar yang menabung segenggam beras setiap hari untuk membantu sesama, relawan Tzu Chi komunitas He Qi Utara 1 juga bergerak melakukan yang sama, yaitu melalui program “Semangat Sesendok Beras Menyebarkan Cinta Kasih”.
*****
Sesuai dengan Kata Perenungan Master Cheng Yen “Kehidupan ini walaupun penuh dengan penderitaan, namun juga penuh dengan harapan dan cinta kasih”, demikianlah yang terjadi di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Muara Angke, Jakarta Utara.
Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi yang dibangun pada 6 Februari 2004 ini diperuntukkan bagi para nelayan yang tinggal di bantaran Kali Adem, bagian hilir Kali Angke yang direlokasi oleh Pemprov DKI Jakarta. Yayasan Buddha Tzu Chi Indonesia membantu dengan menyediakan rumah susun (Rusun) bagi mereka. Tanggal 17 Juli 2005, perumahan ini diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso.
Selain menyediakan perumahan, relawan juga mendampingi warga dalam bentuk sosialisasi hidup bersih dan sehat (PHBS), pemberdayaan ekonomi, penyuluhan, dan baksos kesehatan kesehatan sampai dengan pendidikan bagi anak-anak di perumahan ini.
Setiap bulannya, relawan Tzu Chi dari komunitas He Qi Utara 1 memberikan bimbingan budi pekerti kepada anak-anak di rusun ini. Sejak pandemi, kelas ini sempat terhenti dan kemudian dilakukan kembali secara daring.
“Suatu kali ada satu anak yang nggak bisa ikut kelas, setelah kita cari tahu ternyata dia harus membantu orang tuanya bekerja di hari libur,” cerita Streisand, relawan yang selama ini membimbing para siswa kelas budi pekerti ini.
Menurut Minarni, relawan yang biasanya mengkoordinir absensi, anak ini tergolong rajin dan jarang absen. Setelah ditanya, tim relawan mendapat jawaban bahwa ayah anak ini sudah kehilangan pekerjaan, makanya setiap minggu anak ini harus pergi mengupas kerang bersama ibunya demi upah yang lebih banyak.
“Dan ternyata bukan cuma satu anak, ada beberapa anak yang orang tuanya juga kehilangan pekerjaan akibat pandemi,” lanjut Nancy, panggilan akrab Streisand.
Merasa tidak tega, Minarni dan tim relawan lalu berpikir untuk membantu anak-anak ini, agar nantinya jangan sampai pendidikan mereka terabaikan akibat harus membantu orang tua mencari nafkah.
Terinspirasi dari Relawan Myanmar
Minarni lalu mencetuskan ide. Ia mengajak para relawan untuk sama-sama mengumpulkan beras menggunakan metode celengan beras seperti yang dilakukan relawan Myanmar. Para relawan yang diajak pun semangat dan sepakat. Beras yang terkumpul akan dibagikan kepada anak-anak didik mereka di rusun itu, jika berlebih maka bisa dibagikan juga kepada para Lansia atau warga yang membutuhkan.
Ide ini muncul bukan tanpa sebab. Sejak pertama kali mendengar kisah celengan beras ini, Minarni sudah tersentuh, terinspirasi, dan senang dengan kisah ini.
Sahwal Ardiansyah menunjukkan celengan berasnya. Dia sangat antusias, terlebih ibunya selalu mengingatkannya untuk berbagi kepada sesama (kiri). Dari hasil celengan selama sebulan, beras itu kemudian dibagikan kepada 14 Lansia yang tinggal seorang diri di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke, juga untuk 14 keluarga siswa kelas budi pekerti (kanan).
Kisah celengan beras ini bermula dari bantuan Tzu Chi yang masuk ke Myanmar setelah hancur diterjang topan Nargis tahun 2008. Tzu Chi membangun kembali rumah dan komunitas mereka, membantu anak-anak agar bisa sekolah, serta memberikan bibit padi kepada para petani.
Saat itu relawan Tzu Chi berbagi kisah bahwa Tzu Chi bermula dari 30 ibu rumah tangga yang menyisihkan 50 sen ke dalam celengan bambu setiap hari. Warga yang mendengar pun terinspirasi dan mulai menyisihkan uang ke dalam celengan bambu. Namun, ada sebagian yang ternyata tidak mampu menyisihkan uang koin. Mereka memutuskan untuk tetap bersumbangsih, yaitu dengan cara menyisihkan segenggam beras setiap kali akan memasak.
“Setiap hari menyisihkan beras, berarti kita telah melakukan kebajikan setiap hari. Master Cheng Yen juga bilang, makan cukup 80% kenyang, sisanya 20% untuk membantu orang. Jadi sesendok beras dari beras yang kita masak tidak akan membuat kita kelaparan,” ucap Minarni yang setiap harinya memasak nasi minimal dua kali, sehingga ia pun menyisihkan beras setidaknya dua kali dalam sehari.
“Dulu sewaktu saya ada katering, sayurnya selalu saya kasih tukang sapu dekat rumah. Tapi karena pandemi sudah tidak katering. Nah, masa pandemi gini, mereka pasti kesusahan, jadi saya kumpulin beras. Kalo udah satu toples, saya berikan untuk mereka,” cerita Minarni.
Meski Minarni bisa saja langsung menyumbangkan satu karung beras, namun menurutnya maknanya sudah berbeda. “Setiap kali menyisihkan beras saat memasak, akan selalu menimbulkan rasa syukur di dalam hati kita. Kalo sekaligus kasih 10 kg, berarti kita satu kali saja berbuat baik dan satu kali saja bersyukurnya,” terang relawan yang aktif di bidang pendidikan ini.
Anak-anak juga Terinspirasi
Setelah para relawan setuju dengan ide tersebut maka Minarni mengusulkan lagi agar dilakukan sosialisasi terlebih dahulu kepada anak-anak di kelas.
“Tujuannya supaya anak-anak tahu bahwa Shigu Shibo (paman dan bibi-red) melakukan ini demi mereka. Juga mengajarkan mereka untuk tidak tamak dan serakah. Kita juga mau anakanak tahu, beras yang terkumpul ini hasil cinta kasih dan rasa sayang kita (relawan) kepada mereka yang dikumpulkan selama satu bulan,” ungkap Minarni.
Pada sesi kelas yang masih dilakukan secara daring tanggal 24 Oktober 2021, Nancy lalu mensosialisasikan kegiatan ini ke anakanak. “Kita pengen tahu reaksi mereka seperti apa. Ternyata sambutan mereka luar biasa. Begitu selesai kelas, mereka langsung kirimkan foto, sudah langsung mulai mengumpulkan sesendok beras di hari itu juga,” ucap Nancy girang, “mereka malah jadi ikutan mau nabung beras juga.”
Relawan berfoto bersama siswa kelas budi pekerti Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke, Jakarta Utara setelah kegiatan penuangan celengan beras selesai dilaksanakan.
Selama sebulan berjalan, ajakan menabung sesendok beras ini tersebar ke seluruh relawan Tzu Chi di komunitas He Qi Utara 1, anak-anak relawan, dan para siswa Tzu Chi School. Pada hari terakhir pengumpulan beras di periode pertama itu, mereka berhasil mengumpulkan hampir 200 kg beras. Hingga kini, donatur dalam program celengan beras ini mencapai hampir 70 orang, sebanyak 12 di antaranya adalah anak-anak rusun dari kelas budi pekerti itu sendiri.
Himpunan Kekuatan Cinta Kasih
Minggu, 14 November 2021, karena kasus Covid-19 di Jakarta memasuki masa landai, Nancy dan tim relawan memutuskan untuk melakukan pertemuan kelas secara tatap muka di Aula Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi, Muara Angke. Penuangan beras untuk pertama kalinya pun dilakukan. Relawan maupun anak-anak, semuanya menuang beras dengan sukacita. Hari itu juga beras tersebut langsung dikemas dan dibagikan kepada 14 warga lanjut usia (Lansia) yang tinggal seorang diri di Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi Muara Angke, juga untuk 14 keluarga siswa kelas budi pekerti.
Suksesnya pengumpulan celengan beras ini tak lepas dari antusias siswa kelas budi pekerti. Seorang siswa bernama Sahwal Ardiansyah adalah siswa pertama yang mengirimkan foto dirinya tengah menabung beras kepada relawan. Ia ini mengaku sangat semangat dan ingin ikut berbagi.
“Setelah kelas itu, Mama suka ingetin, ‘Sahwal jangan lupa masukin sesendok beras ke celengan yaa,’” kata Sahwal menirukan ucapan ibunya. “Senang sekali karena bisa berbagi,” imbuh siswa kelas 5 SD ini.
Rusmini, ibu Sahwal memang suka berkegiatan sosial makanya Sahwal pun dididik untuk gemar berbagi serta aktif ikut kelas bersama Tzu Chi. “Jadi pas Zoom (kelas budi pekerti) ada ajakan untuk menabung beras, saya ikut ingetin Sahwal dan dia langsung mulai menabung setelah kelasnya itu,” kata Rusmini.
Rusmini merasa senang bisa mengajak dan mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi orang yang bermanfaat bagi sesama. “Ya walaupun kami juga pas-pasan tapi mau juga mendidik anak untuk berbagi walau sedikit. Karena (walau) kita kelihatan susah tapi ternyata masih ada yang lebih susah. Jadi harus melihat ke bawah juga sehingga bisa bersyukur lebih banyak,” tutur ibu tiga anak itu.
Saanit, seorang Lansia yang menerima beras hari itu sangat senang dan bersukacita. Ia bercerita bahwa persediaan berasnya memang sudah tiris sehingga beras itu bisa kembali mengisi gentong di rumahnya. Nenek 60 tahun tersebut pun bersyukur bisa hidup di lingkungan yang penuh kehangatan dan perhatian, di mana anak-anak bisa dididik dengan budi pekerti yang baik.
“Semoga semuanya menjadi anak-anak yang saleh, berbakti kepada orang tua, Allah dan Rasulnya, serta berguna bagi nusa dan bangsa. Biar sukses, pintar, dan cerdas pokoknya mah,” ucap Saanit mendoakan.
Anak-anak adalah harapan, Nancy dan Minarni serta tim relawan pendidikan di komunitas He Qi utara 1 berkomitmen menjalankan program ini untuk jangka panjang, karena berhasilnya sebuah pendidikan membutuhkan waktu dan konsistensi. “Yang utama memang mengajarkan berbagi kepada para siswa, mengajak mereka untuk lebih perhatian kepada orang-orang di sekitar mereka,” ucap Nancy.
Penulis: Erli Tan, Metta Wulandari
Fotografer: Meta Wulandari, Dok. Tzu Chi Indonesia