Sepasang Implan Koklea Mengubah Segalanya
Reynand bersama ayahnya, Arie Dedy Heri Wibawa belajar bersama berbagai frasa bunyi-bunyian dan huruf vokal untuk memperlancar kemampuan pengucapan dan berbicara. Perkembangan Reynand kian pesat setelah menjalani operasi pemasangan implan koklea.
Arie Dedy Heri Wibawa dan Murni Natalia Barus bersukacita bisa bergabung dan bersumbangsih melalui Tzu Chi. Sepasang suami istri ini sepenuh hati ingin membantu sesama sebagai ungkapan syukur karena uluran tangan penuh cinta kasih dari para donatur dan relawan telah mewujudkan impian Reynand untuk bisa mendengar.
*****
Pada pekan-pekan menjelang Idul Fitri 2022 lalu, relawan Tzu Chi dari berbagai komunitas di Jakarta sibuk dengan kegiatan pembagian paket lebaran. Pertengahan hingga akhir bulan April itu ribuan karung berisi beras didistribusikan ke berbagai wilayah, relawan sangat sibuk. Baik di sela-sela hari kerja dan hari libur, agenda pembagian paket sembako selalu penuh. Relawan yang berpartisi dalam pendistribusian ini pun tak terhitung.
“Wah saya nggak ngitung nih tadi udah berapa beras yang saya angkat (berikan kepada pemilik kupon),” jawab Arie Dedy Heri Wibawa sambil tertawa bahagia. “Mungkin sudah lebih dari 200 kilo,” lanjutnya masih dengan mata berbinar. Hari itu adalah hari pertama Arie ikut berkegiatan Tzu Chi bersama relawan komunitas He Qi Timur. Ia juga mengajak istrinya, Murni Natalia Barus untuk ikut berkegiatan.
Nah sementara Arie dan para relawan laki-laki lainnya mengangkat beras, Murni dan relawan perempuan bertugas mengemas 10 bungkus mi instan DAAI. “Kemasnya harus cepat, biar nggak tunggu-tungguan pas pemilik kupon datang,” katanya sembari tersenyum.
Tulusnya Hati Ingin Membalas Budi
Arie Dedy Heri Wibawa dan Murni Natalia hari itu. “Sampai pas pulang naik motor itu masih sempat bilang ke istri, ‘Wah seneng banget ya Mah hari ini,” kata Arie. Tapi rasa itu bukanlah keistimewaan yang pertama yang ia rasakan setelah mengenal Tzu Chi karena sebelumnya keluarga mereka sudah lebih dulu merasakan hal yang sangat istimewa.
“Tzu Chi sudah membantu anak ketiga kami, Reynand, dengan sepasang implan koklea,” kata Arie. “Sungguh (bantuan yang) tidak bisa dibayangkan atau bisa kami balas. Kebaikan dari donatur kepada Tzu Chi, lalu disampaikan kepada anak kami berupa implan koklea yang nilainya tidak akan bisa kami beli. Kami sangat bersyukur sekali, berterima kasih kepada seluruh donatur dan relawan yang telah memberikan kebaikan kepada Reynand,” lanjutnya.
Perasaan istimewa dan wujud syukurnya itulah yang mendasari keluarga kecil ini ikut turun menjadi relawan. Arie mengatakan dengan kesadaran hati dan keinginannya sendiri, ia ingin belajar dari para relawan untuk bisa memanfaakan apa yang ia punya, yakni tenaga untuk membalas budi para donatur.
“Kesannya dalam hati yang paling dalam adalah senang bisa berbagi walaupun kalau dibandingkan dengan apa yang sudah diberikan donatur kepada Reynand itu tidak sebanding. Tapi kami berdua sudah berkomitmen untuk akan selamanya berbagi, membalas budi kebaikan dari para donatur,” tuturnya lugas.
Hidup untuk Memaafkan
Reynand adalah anak ketiga dari Arie dan Murni yang kini berusia enam setengah tahun. Apabila melihat langsung, pasti semua orang akan suka padanya karena tubuhnya gempal dan menggemaskan. Ia juga terhitung kooperatif sekali. Setidaknya semua itulah yang dirasakan Murni akhir-akhir ini. Rey semakin mudah diarahkan, mau belajar, dan mudah diajak berdiskusi. Sementara enam tahun ke belakang, kondisinya 180 derajat berbeda.
Dididik untuk senantiasa berperilaku baik dan mau berbagi pada semua orang, Reynand sedikit demi sedikit menabung dan turut mendonasikan hasil tabungannya kepada Tzu Chi demi membantu temanteman seperjuangannya dalam memperoleh implan koklea.
Sebabnya bukan seperti yang para tetangga gunjingkan yang mengatakan bahwa Rey, panggilan akrabnya menderita down syndrome. Sama sekali tidak. Tapi Rey divonis tuli oleh dokter ketika usianya dua tahun. Saat itu kondisi telinga kirinya hanya mampu menerima suara pada frekuensi 95 desibel dan telinga kanan 90 desibel. Kondisi tunarungu itu, membuatnya menjadi tunawicara hingga usianya sekitaran 6 tahun.
Berbagai cara pernah mereka lakukan agar anaknya bisa berbicara, itu pun jauh sebelum mereka tahu apa yang diderita oleh Rey. Arie yang berasal dari Yogyakarta sempat menuruti anjuran para sesepuh untuk membeli cincin 24 karat lalu dikerokkan ke lidah Rey. “Mitosnya bisa bikin cepet ngomong. Kami nabung dulu tuh, Kak, menuruti para orang tua. Tapi kan bukan itu permasalahannya.. hahaha,” jelas Arie tertawa mengingat masa tersebut.
Arie dan Murni mengetahui kekurangan anaknya pada tahun 2018 dan merasa terpukul. Ditambah lagi semakin bertumbuh, Rey semakin sulit dikendalikan.
Setiap harinya, Arie bercerita, Rey baru bisa tidur di pukul 4 atau 5 subuh dan hanya tidur dalam kurun waktu 2 jam saja. Pukul 7 pagi biasanya dia bangun dan terus aktif sampai subuh di hari berikutnya. Makanya ketika pukul 2 atau 3 dini hari, dia masih aktif berteriak-teriak dan dirasa mengganggu para tetangga. Arie menambahkan bahwa dokter memang sudah mewanti-wanti kalau-kalau siklus tubuh Rey tidak bagus dan tidak terkendali adalah pengaruh dari ketidakkeseimbangan telinga dan otak.
Itu pula yang membuat para tetangga bergunjing. “Ada yang bilang Rey autis, down syndrome, sampai terang-terangan ngatain dia gila,” tutur Murni. “Jujur dulu sangat malu, rendah diri. Apalagi saya kerja di bidang kesehatan (bidan) tapi selalu diomongin orang, anak saya ada kekurangan. Ada rasa sakit hati,” tambahnya. Tapi Murni berbesar hati, sakit hatinya ia simpan saja dan terus merawat Rey dengan cinta kasih yang sangat lapang. Ia sadar bahwa orang di sekitarnya tidak mengetahui kondisi Rey yang sesungguhnya. Ia bersabar dan belajar memaafkan.
Banyak Belajar dari Anak Usia 6 Tahun
Setelah tahu keterbatasan Rey, Arie dan Murni mulai mencari cara bagaimana bisa membantu anaknya. Walaupun sudah mengetahui bahwa implant koklea adalah jalan satu-satunya, mereka tetap mencoba dan mengupayakan untuk menggunakan alat bantu dengar (ABD). Arie optimis karena menurut iklan produknya, bisa (membantu pendengaran di desibel Rey). Selain memakai ABD, Rey juga mengunjungi terapis dan dokter dengan teratur. Sang ayah pun dengan besar hati melepas pekerjaannya sebagai Manager RnP (Risk and Prevention) tindak kriminal untuk secara khusus merawat Rey.
Relawan Tzu Chi secara rutin melakukan kunjungan kasih sebagai bentuk dukungan dan perhatian kepada keluarga Arie dan Murni serta Reynand, kakak, dan adiknya.
“Kami niatkan bahwa ini (Rey) adalah titipan Tuhan yang harus kami besarkan, kami jaga, dan menjadikannya sebagai anak yang melebihi orang tuanya. Kami yakin, rezeki sudah Tuhan atur,” tutur Arie.
Tapi sangat tidak mudah bagi Arie yang terbiasa bekerja dengan keras dan tegas, lalu harus merawat Rey yang sama sekali tidak bisa diperlakukan dengan serupa. Dari hatinya yang paling dalam, ayah empat anak ini sempat menolak berlaku halus pada Rey.
Arie memaparkan, pekerjaannya sebagai Manager RnP tindak kriminal adalah menangani kasus kriminal di kantornya, mulai dari menangkap, membawanya ke pengadilan, dan memenjarakan mereka. Setiap bulannya pasti ada sindikat pencurian yang ia tangani. Untuk itu ia harus keras dan tegas karena semua menyangkut hukum. “Tapi dikasih Tuhan anak seperti ini. Hati saya awalnya nggak menerima kalau harus lembut dengan Rey,” aku Arie.
“Ketika keras ya nggak bisa berjalan dengan baik. Saya sampai bicara kepada diri sendiri, ‘anak ini nggak bisa kamu kerasin. Nggak bisa. Buang kerasnya. Harus sabar lagi, sabar lagi, sabar lagi,’” kata Arie, “Karena dulu kalau pakai ABD itu ketika minta minum, kepala saya (rasanya mau) pecah. Minta minum gelas yang dibanting. Minta makan, piring yang dilempar ke saya. Saya banyak belajar sekali dari Rey.”
Jalan Tuhan untuk Kesembuhan Reynand
Semua hal tersebut sedikit demi sedikit berubah ketika keluarga kecil ini bertemu dengan Tzu Chi yang jalinan jodohnya pun berawal dari Noel, pasien implan koklea lainnya yang juga dibantu oleh Tzu Chi.
Dalam prosesnya yang tidak begitu lama, Tzu Chi memberikan bantuan berupa sepasang implant koklea yang kini sudah terpasang di kedua telinga Reynand. Operasi pemasangan implant dilakukan pada 10 September 2021 dan diaktifkan pada 10 Oktober 2021. Semua berjalan lancar. Pada proses terapi pun, kondisi pendengaran Reynand menunjukkan perkembangan yang sangat baik karena sudah 100 persen bisa mendengar.
“Saat ini Rey sudah bisa panggil Mami, Papa, mau bobo, huruf vocal (juga) sudah bisa dilafalkan dengan jelas, A, I, U, E, O, sudah bisa menirukan berbagai ucapan juga. Puji Tuhan, ketemu dengan Tzu Chi itu mukzizat. Istilahnya Tuhan tunjukkan jalan itu tidak terlalu susah untuk kami,” ungkap Murni ringan padahal sejauh ini ia sudah menghabiskan setidaknya enam tahun untuk merawat Rey dalam berbagai kondisi yang berat.
“Sekarang yang masa terberat itu, perkataan orang terdekat, tetangga, semua menjadi tidak terasa, tertutup dengan berbagai kata-kata yang sudah bisa diungkapkan oleh Rey. Jadi rasa marah itu sudah nggak ada, rasa benci juga sudah nggak ada. Tzu Chi membantu sekali,” lanjutnya.
“Betul, semua ini jalan Tuhan bagi kami. Makanya kami sangat belajar untuk memberikan apa yang kami punya, tenaga atau hal lain kepada orang yang membutuhkan, orang yang kekurangan, semampu kami berdua saling berbagi,” imbuh Arie mengangguk menimpali perkataan sang istri, “Itulah pelajaran yang kami dapatkan dari Tzu Chi karena sudah menolong anak kami dengan penuh kasih sayang. Kenapa kami tidak mencontoh dan menyerap semua yang baik juga dari Tzu Chi, kasih sayang, saling berbagi, saling menolong, walaupun tidak semuanya dalam bentuk materi dan uang, mungkin tenaga. Dari cinta kasih itu, kami ingin juga menjadi relawan Tzu Chi.”
Ingin Juga Menjadi Relawan Tzu Chi
Arie dan Murni yang terinspirasi dari relawan Tzu Chi sejak pertama kali bertemu, langsung berniat dan dengan inisiatif sendiri mencari tahu sebanyak-banyaknya tentang organisasi kemanusiaan yang menaungi para relawan ini. Entah dari internet, media sosial, juga televisi. Seperti Arie yang akhirnya tahu bahwa Tzu Chi berasal dari Taiwan dengan Master Cheng Yen sebagai pendirinya. Ia pun sempat mempunyai tanda tanya besar, mengapa Master Cheng Yen bisa baik hati sekali, yang melalui Tzu Chi bisa membantu orang membutuhkan?
Perhatian dan dukungan dari relawan dan donatur kepada keluarga membawa Arie dan Murni memutuskan bergabung menjadi relawan Tzu Chi.
“Dengan uang yang tidak sedikit jumlahnya yang sama sekali tidak mampu kami dapatkan, ternyata melalui orang-orang yang penuh cinta kasih bisa saling membantu. Saya bersyukur dan berterima kasih sekali,” kata Arie, “makanya kami ingin sekali menjadi bagian dari orangorang baik di Tzu Chi melalui tenaga kami karena kami sadar bahwa berbagi itu indah.”
Inisiatif dari keluarga ini bahkan mendapatkan apresiasi dari Vivi Tan dan Wie Sioeng, pasangan relawan Tzu Chi dari komunitas He Qi Timur yang menjadi pendamping keluarga Reynand. Wie Sioeng secara pribadi mengaku salut karena keluarga ini mau mencari tahu tentang Tzu Chi. “Walaupun secara iman kami berbeda, tapi di sana ada kasih. Bapak Arie pun niat sekali. Kami belum cerita tentang celengan Tzu Chi, dana kecil amal besar, tapi bapak sudah punya niat untuk berdana dengan celengan sendiri. Disumbangkan ke Tzu Chi yang nantinya bisa digunakan untuk membantu anak-anak berkebutuhan khusus lainnya. Juga ada inisiatif juga untuk ikut jadi relawan. Sangat salut,” kata Wie Sioeng.
Sama halnya dengan Vivi Tan yang juga salut mengetahui jiwa sosial dari keluarga kecil ini termasuk menyumbangkan celengan kepada Tzu Chi, dan ABD (diberikan) kepada orang yang membutuhkan alih-alih dijual lagi. “Papa Rey saat itu bilang, ‘Saya mau Bu, bantubantu jadi relawan’. Lalu pas saya pulang dia juga ada kasih celengan yang sudah ada tanggalnya. Ternyata sudah dikumpulin dari jauh hari. Hal ini membuat kami terkesan,” tutur Vivi.
Vivi sendiri mengamini doa Arie untuk Rey bahwa semoga Rey bisa cepat bicara seperti kakak dan teman-temannya. Semoga nanti pun ketika dia besar, Rey bisa seperti para relawan Tzu Chi bisa membantu orang-orang yang membutuhkan. “Harus bisa,” harap Arie tersenyum sambil menganggukkan kepala.
Teks dan Foto: Metta Wulandari