Shijie Suang Ing Dalam Kenangan


Saat saya membuka ponsel di pagi hari, di dalam grup ada sebuah pesan yang dikirimkan oleh Shu-juan yang berbunyi, “Seorang Shijie di Indonesia meninggal karena Covid-19. Saya mengenal Shijie ini, sungguh berduka.” Saya terkejut dan bertanya, “Siapa?” Shu-juan menjawab, “Hiu Suang Ing.”

Saya berteriak, “Astaga!” Air mata seketika mengucur tak terkendali. Untuk pertama kalinya, saya merasa bahwa Covid-19 dan kematian begitu dekat dengan kita.

Hiu Suang Ing dikabarkan meninggal dunia pada 27 Juli 2021. Pada bulan Agustus 2004, saya dan putra saya pergi ke Jakarta, Indonesia untuk melakukan wawancara. Kami bertemu dengan banyak relawan Tzu Chi dan menulis banyak artikel. Salah satunya berjudul Rumah Singgah Virginia Kusuma.

Saya menyajikan kembali artikel ini agar semua orang dapat mengenal saudara se-Dharma dari Indonesia yang penuh cinta kasih dan welas asih ini. Saya juga mendoakan Shijie Suang Ing yang telah menyempurnakan jalinan jodohnya di kehidupan ini, segera terlahir dan datang kembali ke dunia Tzu Chi. Semoga kita dapat bertemu lagi.

*****

Rumah Singgah Virginia Kusuma


Sekitar pukul lima sore (2/9/2004), kemacetan mulai terjadi di jalanan Jakarta. Relawan Komite Tzu Chi Indonesia, Virginia Kusuma, mengemudikan mobilnya dan mau tidak mau mengikuti arus kendaraan yang tersendat-sendat.

“Dulu saya juga ada sopir, tetapi seringnya pas sampai di kantor yayasan atau lokasi baksos kesehatan, saya menghabiskan waktu seharian, sopir yang menunggu tidak melakukan apa-apa,” kata Virginia, “jadi saya putuskan untuk menyetir mobil sendiri saja.”

Biasa disapa Suang Ing, Virginia Kusuma membawa kami ke “asrama” miliknya. “Asrama” yang dimaksud di sini adalah sebuah rumah kos bertingkat yang terletak di dekat dua universitas. Ruangan di dalamnya disekat menjadi banyak kamar untuk disewakan kepada para mahasiswa.

“Seluruhnya ada lebih dari 100 kamar,” Suang Ing menjelaskan sambil tersenyum, “saya sisakan dua kamar khusus untuk pasien Tzu Chi agar mereka bisa tinggal sementara di sini. Saya sudah tidak ingat berapa banyak orang yang pernah tinggal di sini dalam empat tahun terakhir.”


Leluhur Suang Ing berasal dari Meixian, Guangdong, Tiongkok. Sedangkan suaminya orang Fuzhou. Meskipun menimba ilmu di sekolah Katolik dan mengikuti misa setiap minggunya, tetapi Suang Ing tidak menjadi seorang umat Katolik. Setelah seorang teman memperkenalkannya dengan Tzu Chi pada tahun 1996, ia langsung merasa cocok dan semakin terlibat di dalamnya.

Berhubung mengemban tanggung jawab atas baksos kesehatan dan survei kasus, dirinya seringkali mendapati pasien dari luar kota yang harus tinggal di Jakarta untuk menjalani operasi. Suang Ing mengurus persoalan tempat tinggal mereka sebelum dan sesudah operasi, karena ia memiliki “asrama” yang sangat praktis.

“Rumah kos saya memiliki kantin prasmanan, makanannya murah, dan ada mesin cuci untuk mencuci pakaian,” jelas Suang Ing, “dengan tinggal di sana, mereka nyaman, saya juga nyaman, sama sekali tidak merepotkan.”

Suarsih: Pasien Pertama di Asrama
 

Pasien Tzu Chi pertama yang tinggal di “asrama” itu ialah Suarsih, yang menderita tumor besar di punggungnya. Untuk menyambung hidup, dia harus mengemis di sebuah desa nelayan terpencil.

Melihat Suarsih di lokasi baksos kesehatan, Suang Ing mengira dia adalah seorang perempuan tua berusia enam puluhan. “Dia sangat kurus dan rambutnya kusut, sebenarnya saat itu dia baru berusia 37 tahun,” kenang Suang Ing.

Karena tubuhnya terlalu lemah, dokter menyarankannya agar dirawat inap di rumah sakit terlebih dahulu untuk pemulihan kondisi tubuh. Suang Ing dan relawan Tzu Chi lainnya sering mengunjunginya dan membawakannya makanan bergizi. “Saya memintanya untuk makan sebutir telur dan minum segelas susu setiap pagi dan sore hari,” ujar Suang Ing.

Suang Ing menerangkan bahwa Suarsih memiliki tumor seberat 13 kilogram di punggungnya, menjalani operasi selama delapan jam, dan mendapat transfusi darah sebanyak empat ribu cc. Setelah menjalani operasi, ternyata dia tidak harus dirawat di unit perawatan intensif dan dapat langsung diantar ke kamar rawat inap umum. Di luar dugaan, kondisinya membaik dengan cepat.

Setelah keluar dari rumah sakit, Suarsih harus menjalani rawat jalan dan kontrol berkala, sehingga tidak mungkin untuk segera pulang ke kampungnya. Tanpa berpikir panjang, Suang Ing mengosongkan satu kamar “asrama”-nya untuk tempat tinggal Suarsih.

Setelah tumornya diangkat, tubuh Suarsih menjadi lebih berisi, rambutnya dipotong pendek, penampilannya berubah secara keseluruhan. Dia tinggal di rumah kos Suang Ing selama tiga bulan sebelum kembali ke rumahnya.

“Dia merasa berat untuk pergi dan berkata ingin tetap tinggal sebagai pembantu saya, saya bilang kepadanya, ‘Putrimu masih kecil dan masih harus bersekolah, kamu harus menjaga mereka’,” kenang Suang Ing.

Suarsih kemudian kembali ke kampung halamannya dan bekerja sebagai buruh cuci pakaian. Ketika Tzu Chi menggelar baksos kesehatan, dia akan terjun sebagai relawan untuk membawa pasien datang ke Jakarta.

Suriana yang Mengagetkan Para Mahasiswa

Kamar yang disediakan Suang Ing untuk pasien Tzu Chi terletak di sebelah ruang santai, berdekatan dengan ruang cuci dan kantor pengelola. Lokasi itu merupakan area yang paling banyak dilalui para mahasiswa.

“Kadang-kadang mahasiswa akan bertanya mengapa saya membawa pasien untuk tinggal di sini, saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa merupakan berkah bagi kita ketika bisa membantu orang lain dan memberi mereka kenyamanan,” kata Suang Ing, “kita harus menghargai jalinan jodoh ini.”

Namun, ada seorang pasien kasus yang membuat para mahasiswa ini ketakutan, yaitu Suriana yang datang dari Pekanbaru.

Ketika berusia lima tahun, Suriana tidak sengaja menjatuhkan lampu minyak dan menyebabkan tubuhnya terbakar. Luka bakar mengakibatkan kulit dagu dan dadanya menempel, sehingga mulutnya tidak bisa membuka dan menutup dengan sempurna. Selain penampilannya membuat orang merasa ngeri, saat ingin makan sedikit saja, Suriana juga kesulitan. Dia ditemukan oleh relawan pada sebuah baksos kesehatan, lalu dibawa ke Jakarta untuk pemeriksaan lanjutan dan operasi.

Sadar akan penampilannya yang menakutkan, Suriana selalu bersembunyi di dalam kamar dan tidak berani keluar. Namun, dia tetap harus pergi ke toilet dan kamar mandi. Ketika dia keluar, para mahasiswa akan ketakutan dan kabur meninggalkan tempat itu.

Suriana telah menjalani empat kali operasi di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Dia selalu tinggal di rumah kos Suang Ing sebelum dan sesudah operasi. Sekarang, bagian kulitnya yang menempel telah dipotong, sehingga dia dapat menggerakkan kepalanya dengan bebas. Penderitaan yang merundungnya selama lebih dari dua dekade akhirnya hilang total.

“Sudah menjadi orang normal!” Suang Ing berseru gembira.

Hilangnya “Paruh Bebek” Fatmi

“Sekarang masih ada pasien lain di rumah kos saya, namanya Fatmi, seorang gadis berusia 24 tahun yang juga berasal dari Pekanbaru. Dia mengidap tumor bibir sejak lahir. Semakin dewasa, tumornya semakin besar, kedua bibirnya terlihat seperti Donal Bebek, membuatnya merasa sangat malu, sering menutupi wajah, dan takut bertemu orang lain,” tutur Suang Ing.

Pada bulan Agustus 2001, Tzu Chi menemukan Fatmi saat kegiatan baksos kesehatan di Pekanbaru. Setiap kali datang ke Jakarta untuk menjalani operasi, dia bersama ibunya salalu menetap di rumah kos Suang Ing. Pengobatannya diperkirakan selesai setelah dua atau tiga kali operasi.

Fatmi telah menjalani operasi pada Oktober 2001, Agustus 2002, Agustus 2003, dan Agustus 2004. Setiap kalinya, dia akan tinggal selama satu bulan sebelum operasi dan dua bulan setelah operasi.

“Senang sekali berada di sini, rasanya seperti rumah sendiri,” ujar Fatmi sambil tersenyum. Ibu Fatmi berjualan sayur di pinggir jalan di kampung halamannya. Dia memiliki dua belas anak, dan Fatmi adalah anak kedelapan. Dia berkata, “Kami tidak punya uang untuk berobat ke dokter. Walaupun bisa, dokter juga memandang rendah kami.”

Fatmi sudah empat kali menginap di rumah kos itu dan sudah mengenal dekat karyawan di sana. Setiap kali datang ke Jakarta, rasanya seperti pulang ke rumah ibunya.

“Paruh bebek” Fatmi telah hilang, bibirnya sudah normal kembali, tetapi dia masih memakai perban setelah menjalani operasi. Dia selalu menutupi mulutnya dan tertawa tanpa henti.

Sambil menunjuk Suang Ing, saya bertanya pada Fatmi, “Siapa beliau?”

“Mama!” jawab Fatmi dengan manis.

Selama Masih Sehat, Saya Bersedia Melakukan Apa Saja

Setelah pembangunan Perumahan Cinta Kasih Tzu Chi di Cengkareng, Jakarta rampung, beberapa unit dibiarkan kosong untuk sewaktuwaktu digunakan sebagai tempat tinggal sementara bagi pasien yang datang berobat dari kota lain. Dengan adanya tempat itu, misi “Rumah Singgah Virginia Kusuma” untuk sementara dapat dikatakan selesai.

“Hanya saja, beberapa pasien lama tetap lebih terbiasa tinggal di sini,” kata Suang Ing sambil tersenyum.

Suang Ing berkecimpung dalam dunia bisnis, seringkali harus melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Di mana pun beliau berada, ponselnya selalu aktif untuk menerima telepon ataupun pesan singkat yang masuk. Baginya, menjalankan aktivitas Tzu Chi tidaklah mengenal batasan ruang dan waktu, karena menjadi relawan telah menjadi bagian dari kehidupannya.

“Selama masih sehat, saya bersedia melakukan apa saja,” ujar Suang Ing, “Tzu Chi adalah sebuah tempat pelatihan diri dan saya sangat menghargainya.”

Dari seorang “ibu kos” yang mengumpulkan uang sewa dari para mahasiswa, hingga menjadi “ibu asuh” yang memperhatikan dan merawat pasien, Suang Ing telah bersumbangsih dengan menyediakan rumah kos yang ia gunakan untuk menghasilkan uang agar pasien dan keluarganya yang datang dari jauh demi mencari perawatan medis dapat memiliki tempat berteduh. Sumbangsih nyata tanpa pamrih ini adalah pendidikan budaya humanis terbaik bagi para mahasiswa yang tinggal di rumah kos tersebut.

Penulis: Chen Mei-yi (Tzu Chi Taiwan) | Alih Bahasa: Nagatan
Cara untuk mengarahkan orang lain bukanlah dengan memberi perintah, namun bimbinglah dengan memberi teladan melalui perbuatan nyata.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -