Solusi Asyik, Kurangi Sampah Plastik

doc tzu chi

Membawa kantong belanja sendiri merupakan salah satu cara Erina, relawan Tzu Chi untuk mengurangi dan meminimalisir penggunaan kantong plastik.

Lead:

Praktis, murah, dan mudah mendapatkannya membuat kantong plastik menjadi “teman setia” saat berbelanja. Sayangnya, kantong yang bahan utamanya terbuat dari minyak bumi ini hanya selintas saja mampir di genggaman. Sekali pakai, lalu terbuang, sayang. Padahal, butuh ratusan tahun agar plastik bisa terurai secara alami. Hadirnya produk kantong plastik ramah lingkungan bisa sedikit memberi angin segar, meski langkah utama adalah di dalam pikiran kita: kurangi dan bahkan hindari menggunakannya.

Pagi itu rutinitas Erina Fabiand berjalan seperti biasa. Setelah mengantar kedua cucunya, Jos Hartanto (9) dan Kim Je Ha (8) di Sekolah Tzu Chi Indonesia, Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara, wanita berusia 58 tahun ini bergegas kembali menuju mobilnya. Hari ini kebetulan ia harus kembali berbelanja. Biasanya Erina berbelanja di Pasar Kopro, Grogol, Jakarta Barat, namun kali ia memilih belanja di sekitar lingkungan sekolah cucunya. Ada beberapa bahan makanan tambahan yang harus dibelinya.

Setelah beberapa menit berkendara, sampailah ia di Fresh Market, sejenis pasar tradisional yang dikelola secara modern di daerah Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Dengan cekatan ia membuka pintu belakang mobilnya. Tampaklah dari luar satu keranjang plastik dorong (troli) berwarna merah dan satu boks es di dalamnya. “Barang-barang ini saya simpan terus di mobil, biar kalo belanja nggak usah capek-capek bawa. Kalo pake keranjang ini kan tinggal tarik aja,” ujarnya tersenyum. Sementara boks es digunakan agar barang belanjaan bisa lebih awet dan tahan lama.

Dengan troli, gerakan Erina lebih cepat dan lincah. Dalam hitungan menit ia sudah sampai di lantai dua, dan segera berkeliling mencari bahan makanan yang akan dibelinya: sawi, lobak, daun bawang, jamur kancing, dan beberapa bumbu. Yang pertama dihampiri adalah kios sayuran. Setelah memilih, Erina pun segera membayar. “Nggak usah diplastikin, Bu,” ujarnya. Sang pedagang pun urung memasukkan sawi dan lobak ke dalam kantong plastik kresek. Begitu pula saat membeli bahan lainnya, sebisa mungkin Erina tidak membawa pulang kantong plastik ke rumah. “Kecuali kayak ini (kwetiau) yang dah dibungkusin,” tunjuknya. Bahan-bahan makanan itu pun masuk semua ke kantong belanja. Erina, relawan Tzu Chi yang juga aktif di DAAI Mama (relawan pemerhati pendidikan) ini pun segera membawanya ke mobil.

Setelah tiba di parkiran, barang belanjaan itu berpindah ke kotak es di bagasi mobilnya. Uap es langsung keluar begitu Erina membuka wadah itu. Setiap akan berbelanja, Erina memasukkan beberapa kotak es batu agar keawetan bahan makanan yang dibeli lebih terjaga. “Sampai sore, ini masih segar,” terangnya.

doc tzu chi

Merasa prihatin dengan “banjir sampah plastik” membuat Kevin Kumala dan rekannya memproduksi berbagai produk plastik yang ramah lingkungan.

Berawal dari Keprihatinan

Kesadaran Erina untuk meminimalisir penggunaan kantong plastik tumbuh perlahan. Sebelumnya ia juga seperti mayoritas ibu-ibu lainnya yang sudah terbiasa dan termanjakan dengan kemudahan memperoleh kantong plastik. Mulai dari berbelanja di supermarket, minimarket, dan pasar tradisional, semua berbonuskan kantong yang bahan baku utamanya berasal dari minyak bumi ini. “Dulu kalo pedagang kasih kantong plastik ya saya ambil, tetapi tetap dimasukin ke kantong belanja,” terang Erina. Setelah mendengar ceramah Master Cheng Yen tentang bahaya kantong plastik, wanita kelahiran Jakarta ini pun memutuskan untuk stop menerima “hadiah” cuma-cuma dari pedagang ini. “Saya tergerak karena melihat tayangan video tentang gunungan sampah plastik dan juga yang menyebar ke laut. Apalagi sampah plastik ini kan tidak bisa terurai secara alami. Butuh waktu ratusan tahun untuk bisa terurai,” jelasnya.

Erina juga berbagi cerita, tatkala masih kecil, ia kerap melihat ibunya membawa tas keranjang saat belanja. “Sebenarnya kebiasaan dulu itu dah bagus. Cuma karena sekarang kantong plastik gampang didapat, jadi kemana-mana kita lenggang kangkung aja. Setiap belanja pasti ‘bonus’ kantong plastik,” terangnya.

Meski sadar tidak bisa terbebas 100 persen dari penggunaan kantong plastik, Erina yakin apa yang dilakukannya bisa berdampak positif bagi lingkungan. “Kalau satu orang mengurangi satu kantong plastik setiap hari maka dalam setahun bisa 360 kantong plastik terselamatkan. Kalau dilakukan oleh banyak orang, tinggal kalikan saja. Sampah plastik pasti berkurang,” tegasnya.

Bahaya Kantong Plastik

Indonesia menduduki peringkat kedua dunia sebagai negara penghasil sampah plastik, setelah Tiongkok. Setiap menit, masyarakat menggunakan kantong plastik lebih 1 juta. Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebutkan dari 100 toko atau anggota Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), penggunaan kantong plastiknya mencapai 10,95 juta lembar setahun. Ini setara dengan 60 kali luas lapangan sepak bola. Padahal lebih dari 50 persen kantong plastik hanya dipakai sekali dan langsung dibuang. Hanya sekitar 5 persen yang benar-benar didaur ulang. Padahal plastik adalah salah satu bahan yang sulit terurai (butuh waktu lebih dari 100 tahun untuk terurai secara alamiah).

Sampah plastik juga mengancam kehidupan makhluk hidup, seperti mengganggu rantai makanan, mencemari air tanah, tanah, menyebabkan polusi udara, dan bahkan membunuh hewan. Plastik yang termakan hewan ataupun tanah yang tercemar pada akhirnya berujung juga mempengaruhi manusia. Seperti ayam, ikan, dan produk-produk pertanian lainnya.

Salah satu cara untuk mengurangi penggunaan kantong plastik adalah dengan membangun kesadaran masyarakat, misalnya dengan menggalakkan kembali penggunaan tas belanja. Yayasan Buddha Tzu Chi yang mengusung Misi Pelestarian Lingkungan dengan program 5 R (Re-think: memikirkan kembali, Reduce: mengurangi, Re-use: menggunakan kembali, Repair: memperbaiki, dan Recycle: mendaur ulang) mengajak para relawan dan masyarakat untuk melakukan kebiasaan baik ini: membawa tas atau kantong belanja yang bisa dipakai secara terus menerus. Saat berkegiatan relawan juga diwajibkan untuk membawa alat makan sendiri. Cara ini akan dapat mengurangi penggunaan kantong plastik, dan perlengkapan makan sekali pakai.

Selain kesadaran masyarakat, cara lain adalah dengan menerapkan kebijakan plastik berbayar dan juga memakai kantong plastik ramah lingkungan (bisa terurai secara alami dalam waktu 3 – 6 bulan). Meski kebijakan dari pemerintah yang hanya berlangsung kurang dari setahun ini tak berjalan efektif, setidaknya kebijakan plastik berbayar membuat minimarket tidak “enteng” memberikan kantong plastik. Di lain pihak, kantong plastik ramah lingkungan bisa menjadi alternatif saat penggunaan kantong plastik tak bisa dihindari. 

doc tzu chi

Salah satu  cara mengurangi penggunaan kantong plastik maupun wadah plastik adalah dengan membawa alat makan sendiri. Membawa peralatan makan sendiri, selain ramah lingkungan juga membuat kebersihan dan kesehatan kita lebih terjaga.

I’m Not Plastik

Adalah Kevin Kumala, bersama rekannya David Rosenqvist yang memproduksi produk ramah lingkungan dari bahan dasar terbarukan. Produk-produknya berupa kantong plastik (shopping bag), sedotan, mangkuk sup, gelas kopi sekali pakai, alat-alat makan, styrofoam, dan juga jas hujan (ponco). Semua produk tersebut bisa terurai. Jangka waktunya bervariasi, dari 90 sampai 180 hari setelah barang tersebut dibuang.

Pada tahun 2014, Kevin Kumala bersama David Rosenqvist membuka usaha produksi produk ramah lingkungan dari bahan dasar terbarukan. Produknya dinamakan Avani dengan tagline "We Go Eco". Avani hadir menjawab kecemasan, kekhawatiran, dan keprihatinan akan kondisi sampah plastik yang sulit terkontrol.

“Awalnya saat tahun 2009 saya ke Bali. Kebetulan saya hobi diving dan surfing. Saya prihatin melihat Bali yang tadinya lautan yang indah dan pantai yang bersih berubah menjadi lautan plastik,” kata Kevin. Kondisi ini juga membuatnya melihat sebuah “peluang”.  “Terkadang peluang justru tercipta ketika kita (manusia) dilanda rasa frustasi akibat suatu masalah yang menimpa. Limbah plastik salah satunya,” tegasnya.      

Kevin yang berlatar Sarjana Biologi dan Sarjana Kedokteran di Amerika ini kemudian mulai melakukan riset untuk menciptakan sebuah produk “plastik” yang ramah lingkungan atau yang disebut bioplastik. Sejatinya ini bukanlah produk baru karena di Eropa sejak tahun 1990-an sudah ada perusahaan yang memproduksi bioplastik. Hanya saja bahan-bahannya berasal dari jagung, kedelai, dan serat bunga matahari. “Bahan-bahan itu sangat mahal di sini. Akhirnya kita coba komposisi bahannya yang asli Indonesia dan murah, yakni singkong,” terang Kevin. Akhirnya terciptalah bahan dasar bioplastik ini, yakni pati singkong dan minyak sayur.  

Selama 4 tahun melakukan riset dan penelitian, Kevin bersama 8 orang Tim RnD-nya (Research and Development) terus berupaya menciptakan bioplastik yang bisa menjadi kompos (pupuk organik tanah) dan juga aman jika termakan oleh hewan. Kevin bahkan mendatangkan ahli dari Perancis sebagai Leading RND-nya. Kerja kerasnya ini terganjar dengan sertifikasi (dukungan) dari sebuah lembaga di Belgia, Wil Research yang menyatakan jika produk Avani sangat aman bagi lingkungan.

Selain urusan ramah lingkungan, masalah kekuatan dan fungsi utama juga menjadi tantangan tersendiri bagi Kevin dan timnya. “Kekuatan kantong plastik yang kita produksi itu 85 % dibanding kantong plastik biasa,” akunya. Jadi secara fungsi bisa menggantikan fungsi kantong plastik biasa.

Tahun 2011 produksi bioplastik pun dimulai. Ada 50 – 60 orang pekerja yang terlibat di dalamnya. Namun bioplastik ini belum bisa diproduksi secara massal lantaran produknya masih dirasa belum sempurna. Tiga tahun kemudian barulah produk ini mulai diproduksi secara massal dan dipasarkan. Namun, pria yang mengambil gelar S2 Manajemen di sebuah universitas di Jakarta ini mengaku jika pemasarannya masih diperuntukkan untuk pasar di luar negeri. “Jadi, 90 persen bisnis kami adalah ekspor,” ungkap Kevin.

Menurut Kevin, kesadaran dan edukasi akan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan menjadi tantangan utama pemasaran bioplastik di Indonesia. Secara harga, bioplastic hanya selisih 20 persen dari harga kantong plastik biasa. Selain memproduksi kantong plastik, Avani juga melakukan diversifikasi produk, seperti gelas, sedotan, mangkuk, dan piring. “Kita bergerilya secara marketing ke hotel-hotel dan café agar produk-produk kita ini bisa diserap oleh mereka,” terang Kevin, “kalau awal 2016, kita produksi 0,2 ton sehari. Puji Tuhan sekarang kita bisa 4 ton sehari.”

Belakangan, banyak muncul klaim produk kantong plastik ramah lingkungan yang dipakai oleh supermarket atau minimarket di Indonesia. Padahal menurut Kevin, plastik-plastik ini tidak benar-benar ramah lingkungan. Benar, plastik ini akan hancur di dalam tanah dalam beberapa bulan, tetapi pecahan atau seratnya tidak benar-benar terurai, alias masih plastik. “Dan justu ini akan menimbulkan masalah baru. Saat pecahan-pecahan plastik ini dikonsumsi hewan, ujung-ujungnya masuk ke piring manusia. Manusia yang makan plastik,” terang pria yang sejak tahun 2010 memutuskan kembali ke tanah air. Bali menjadi rumah kedua bagi Kevin selain Jakarta, karena di Pulau Dewata inilah 80 persen kegiatan pemasaran dilakukan. “Bali menjadi sarana promosi yang efektif untuk pemasaran produk ini,” ujar Kevin.

Meski begitu, Kevin masih menyimpan harapan suatu hari nanti produknya bisa diterima dan menjadi pilihan masyarakat Indonesia. Harapan ini menurutnya ada pada generasi muda. Ada banyak hal positif yang dimulai oleh energi muda ini di Indonesia, seperti Car Free Day, Fix Gear, Lari Maraton, dan lainnya. “Saya percaya gelombang berikutnya adalah gerakan yang sustainable, era Go Green akan pesat,” ungkapnya.

Ada alasan kuat optimisme tentang hal ini, dimana Avani menawarkan satu konsep “Replace” (menggantikan) kebutuhan masyarakat yang terkadang sulit dihindari pemakaiannya. “Yang sering disosialisasikan itu konsep 3 R (reduce: mengurangi, Reuse: menggunakan kembali, Recycle: mendaur ulang -red). Namun di tengah kesibukan kita, khususnya mereka yang tinggal di perkotaan, untuk menerapkannya seratus persen sangat sulit,” terang Kevin. Dengan me-Replace, praktik ramah lingkungan menjadi lebih simple dan mudah. “Tujuan kita memberikan ini ke pelaku usaha sebagai kontribusi sosial mereka untuk me-replace barang-barang plastik menjadi barang baru, plastik yang berbahan baku nabati,” ujarnya.

Kevin berharap pemerintah juga konsisten dalam menerapkan kebijakan yang pro lingkungan. “Dengan begitu maka Indonesia bisa terbebas dari daftar negara penghasil polutan plastik terbesar kedua di dunia,” ujarnya. Dan yang tak kalah pentingnya adalah sosialisasi dan edukasi di masyarakat, baik melalui penyuluhan, seminar, maupun publikasi melalui media massa. “Media-media yang humanis, seperti DAAI TV, Majalah Tzu Chi, dan lainnya harus terus mensosialisasikan ini. Ujung-ujungnya, kita pelu berkolaborasi secara massal untuk menggerakkan ini ke masyarakat,” tegasnya.

doc tzu chi

Menurut Jessica Hanafi, Ph.D, Dosen Teknik Industri di Universitas Pelita Harapan, penggunaan kantong plastik sebenarnya tidak berbahaya, namun sebaiknya setiap orang bijak dalam pemakaiannya.

Sebuah Solusi

Menurut Jessica Hanafi, Ph.D, Dosen Teknik Industri di Universitas Pelita Harapan yang juga Pengurus (External Relations) Indonesia Life Cycle Assesment Network (ILCAN), kesadaran masyarakat untuk menghemat penggunaan kantong plastik masih sangat rendah. “Hanya kalangan-kalangan tertentu yang memang peduli terhadap lingkungan yang mulai merasakan perlunya mengurangi penggunaan kantong plastik,” ujarnya.   

Sebenarnya penggunaan kantong plastik sendiri menurut Jessica tidak berbahaya. Permasalahan utamanya lebih ke apa yang dilakukan setelah kantong plastik tersebut digunakan. Jika plastik yang digunakan dijadikan satu dengan sampah organik maka nantinya kantong plastik tersebut akan bergabung dengan sampah-sampah lainnya di Tempat Pembuangan Sampah Akhir (Landfill). Apalagi budaya membuang sampah secara sembarangan yang masih marak di masyarakat. Ini membuat sampah plastik terbuang ke sungai dan akhirnya menyebar di laut. “Itu yang akan sangat berbahaya bagi lingkungan, dapat menyebabkan banjir, sampah longsor, dan lainnya karena tidak dapat terurai,” terang Doktor of Philosophy (Ph.D) di bidang Teknik Siklus Hidup Sekolah Teknik dan Teknik Manufaktur University of New South Wales, Sydney, Australia ini.

Menurutnya, jika menggunakan kantong plastik, pisahkanlah dari sampah bekas makanan (organik). Kalau belum bisa komit memisahkan sampah plastik, cara terbaik ya kurangilah penggunaannya. “Plastik yang terseret ke sungai dan ke laut akan dikonsumsi oleh ikan dan binatang laut lainnya. Ikan-ikan tersebutlah yang kita makan. Jadi, apakah kita mau makan plastik?” tegasnya.

Namun, jika plastik tersebut digabungkan dengan material-material lain yang bisa didaur ulang maka tidak berbahaya. Bahkan akan mengurangi penggunaan sumber daya. “Jadi keypoint-nya adalah bagaimana mengelola sampah plastik, not necesarilly stop menggunakan bahan plastik,” tegasnya.  

Menurut Jessica, kebiasaan masyarakat zaman dahulu untuk membawa kantong plastik sendiri saat belanja perlu digalakkan kembali. Cara ini efektif untuk meminimalisir penggunaan kantong plastik. Ia pun menyambut baik gerakan relawan Tzu Chi dalam misi pelestarian lingkungan, dimana salah satunya adalah membawa kantong belanja dan alat makan sendiri. “Apalagi jika bisa ditanamkan dari anak-anak. Ini akan berdampak sangat luas. Tidak jarang orang tua juga jadi termotivasi. Dan lagi pendidikan mengenai peduli lingkungan harus ditanamkan sedini mungkin. Semoga Tzu Chi dapat menjadi contoh bagi organisasi-organisasi lain, khususnya institusi pendidikan,” ujar Jessica.

Penulis: Hadi Pranoto, Fotografer: Arimami SA. 

Bekerja untuk hidup sangatlah menderita; hidup untuk bekerja amatlah menyenangkan.
- Kata Perenungan Master Cheng Yen -