Suatu Sore Bersama Nisya
Tak ada yang dapat menghalangi kegigihan Nisya untuk menggapai cita-citanya meraih masa depan gemilang. Meski kedua matanya tak dapat melihat, mata hatinya jernih. Siswi Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi ini mampu berdamai dengan dirinya, dan menjalani hari-hari dengan penuh semangat.
*****
Gerbang Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi sore itu ramai dengan siswa-siswi yang hendak pulang. Sebagian tampak menunggu jemputan, sebagian lagi tengah memesan ojek daring melalui gawai mereka. Semua tampak riuh dengan kesibukan masing-masing.
Nisya, siswi SMA Kelas 12 ini pun biasanya pulang dengan ojek daring. Namun hari itu saya menawarkan untuk menjemput, sekaligus ingin tahu potret kesehariannya.
“Nisya, kakak sudah sampai, Nisya di mana?” tanya saya di ujung telepon karena saya merasa kesulitan mengenali Nisya di antara kerumunan siswa.
“Aku di pos Kak, dekat ATM Bank Sinarmas,” jawabnya.
“Oke kakak ke situ,” kata saya.
“Nisya… maaf ya sedikit telat,” saya menyapanya.
“Enggak apa-apa Kak,” jawab Nisya yang hari itu berseragam khas Pramuka.
Saya menggandeng tangan Nisya untuk berjalan ke luar gerbang sekolah menuju mobil. Mobil kami langsung meluncur ke sebuah Bimbingan Belajar (Bimbel) WWW di Jalan Perancis di Kosambi, Tangerang. Hari itu Nisya hendak belajar mata pelajaran akuntansi.
Di perjalanan menuju Bimbel, Nisya bercerita bahwa ia baru saja mendaftar beasiswa ke Tzu Chi University di Taiwan. Meraih beasiswa kuliah, terutama di luar negeri memang menjadi salah satu cita-citanya. “Kemarin kan Tzu Chi University presentasi, aku tertarik deh kuliah di sana,” ujarnya penuh semangat.
Sebenarnya Nisya ingin mengambil jurusan Komunikasi, tapi tahun ini program beasiswa yang ditawarkan hanya tiga jurusan. Ia pun menjatuhkan pilihan di jurusan Child Development yang mempelajari tentang perkembangan anak.
Beberapa persyaratan sudah Nisya penuhi termasuk nilai rata-rata yang harus di atas 75. Tinggal satu tahap lagi, yaitu wawancara. Nisya pun mengikuti les Mandarin agar bahasa Mandarinnya lebih lancar.
Rina guru sekolah Nisya mendampingi mengikuti undangan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu RI). Pada forum ini Nisya memberi masukan agar cetakan kertas surat suara braile dapat dicetak lebih tebal.
Nisya sangat berharap bisa diterima. Selain memang sekolah atau kampus Tzu Chi dikenal bagus, Nisya sudah familiar dengan lingkungan Tzu Chi yang menerapkan budaya humanis. Sebuah budaya yang tak hanya sarat etika, tapi juga membuat Nisya merasa keberadaannya diterima dan dihargai.
Mencari kampus yang ramah terhadap difabel, khususnya tunanetra, nyatanya tak mudah. Beberapa kampus yang telah Nisya hubungi, menolaknya. Bukan karena ia tunanetra, tapi lebih karena pihak kampus khawatir tak bisa memfasilitasinya.
“Karena nyari kampus yang mau menerima aku kan susah. Cari sekolah aja susah, Nesya ketemunya di sini,” kata Nesya.
Di Sekolah Cinta Kasih Tzu Chi Cengkareng, Nisya merupakan murid pertama yang tunanetra. Rina Maharani Yoniton, Guru Bimbingan Konseling, masih ingat betul pertama kali Nesya datang untuk tes dan wawancara.
“Awalnya kami khawatir karena kami belum pernah menangani anak inklusi tunanetra. Tapi setelah bicara dengan orang tuanya dan melihat kesungguhan anaknya juga, ya pasti mau menerima,” ujar Rina.
Apalagi dengan teknologi di ponsel dan laptop ternyata membantu Nesya dalam belajar. “Jadi saya mengajak bapak ibu guru untuk, ‘ini kita punya anak yang spesial nih, yuk kalau misalnya dikasih tugas, jangan disamakan. Terutama tugas menggambar ya, kalau soalsoal menggambar itu kan dia tidak bisa. Diganti dengan tugas yang lain. Gantinya bisa membuat cerita deskripsi atau narasi,” terangnya.
Itu dari sisi guru, dari sisi siswa, pihak guru selalu mengajak mereka untuk belajar lebih toleran dan bisa menerima kondisi orang lain.
“Jadi kalau di kelas itu dia tetap ada yang menemani. Bahkan waktu kami visit kampus yang diundang untuk belajar langsung workshop di kampus, itu Nesya tetap ikut. Jadi ada temannya yang gantian untuk mendampingi,” terang Rina lagi.
Rina pun sangat bangga kepada siswa-siswi Sekolah Cinta Kasih yang sangat bisa menerima kehadiran Nisya di tengah mereka. Temantemannya bahkan selalu berusaha membantu Nisya agar dapat menjalani hari-hari di sekolah dengan baik.
Lalu lintas sore itu benar-benar macet. Mobil kami baru tiba di lokasi Bimbel pukul 16.15 WIB, telat 15 menit dari waktu Bimbel Nisya yang adalah 16.00 hingga 17.30 WIB. Guru Bimbel Nisya, Wahyu Winoto menyambutnya dan mempersilahkan Nisya membuka laptopnya. Hari itu Nisya belajar akuntansi, dengan tema cara membuat jurnal khusus.
Kemauan belajar Nisya yang tinggi tak pelak membuat Wahyu bersimpati. Ia pun berupaya membantu dan menyemangati Nisya. Di luar jam belajar Bimbel, Wahyu kerap berkomunikasi dengan Nisya tentang materi. Misalnya untuk pelajaran akuntansi, Wahyu mengingatkan Nisya untuk menyiapkan kolom-kolom terlebih dulu supaya ketika pertemuan Bimbel berikutnya, Nisya dapat lebih mengerti materinya.
“Nisya hebatnya dia termasuk cepat. Niat belajarnya tinggi. Jadi saya akan bantu dia semaksimal mungkin,” ujar Wahyu usai jam Bimbel berakhir.
Berdamai dengan Diri Sendiri
Warna jingga menyembur dari arah matahari terbenam. Mobil kami melanjutkan perjalanan mengantar Nisya pulang ke rumahnya di Tanjung Pasir, Teluk Naga. Jika dari pagi hingga sore, hari-hari Nisya berjalan lancar, saya penasaran apakah dia juga mengalami hal-hal tak mengenakkan terkait kondisinya.
Usai belajar di sekolah, Nisya lanjut mengikuti bimbingan belajar.
Kata Nisya, jarang memang, tapi pernah. Waktu itu ia bersama teman sedang ada di pusat perbelanjaan. “Jadi aku lagi jalan, ada yang bilang ‘eh kok jalan sambil tidur’,” Nisya sendiri tak tersinggung, biasa saja, katanya. Nisya memang sudah bisa menerima kondisinya.
“Menurut aku, aku kayak gini itu sudah memang karma yang harus aku terima. Dan juga masih banyak yang lebih parah dari pada aku di luar sana. Jadi aku ikhlaskan saja,” katanya.
“Yang penting sekarang sudah banyak juga yang sayang sama aku, dan peduli sama aku. Orang tua aku, teman-teman aku, karena setiap kali aku berada di lingkungan baru aku selalu mendapat perlakuan yang baik,” sambungnya.
Nisya sendiri terlahir prematur, dengan mata kanan yang belum berkembang sempurna, yakni masih tertutup selaput. Bersyukur, mata kirinya bisa melihat, hingga suatu hari terjadilah sebuah insiden. Saat Nisya berusia 2,5 tahun, mata kirinya tercolok pensil oleh tetangganya, yang juga sama-sama masih kecil.
“Jadi waktu itu orang tua anak ini minta tolong benerin handphone ke mama. Trus anaknya main sama aku, trus anak itu ternyata pegang pensil dan aku lari-lari, trus jatuh, trus kecolok sama dia,” cerita Nisya.
Darah mengucur dari mata kiri Nisya, ia sampai pingsan. Nisya dilarikan ke RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta. Nisya bahkan kekurangan darah dan butuh donor darah. Saat itu sang ibu,Tuti sedang hamil sehingga tak bisa mendonorkan darahnya.
Mata kanan Nisya yang tertutup selaput, dan sejatinya bisa dioperasi pun akhirnya terdampak oleh mata kiri yang tercolok tersebut. Harapan untuk dapat melihat ini pun pupus karena syarat di belakang bola mata Nisya akhirnya menipis.
Selalu Mendukung Nisya
Hari sudah malam, mobil kami akhirnya tiba di depan rumah Nisya di Jalan Raya Tanjung Pasir. Donny, ayah Nisya langsung menghampiri anak sulungnya yang begitu ia sayangi itu dan membawakan tas ransel yang semula digendong Nisya.
Nisya melenggang tanpa terbentur satu apapun. Rupanya Nisya sudah hapal seluk beluk rumahnya. Tuti sang ibu, juga kedua adiknya pun segera menyambutnya. Nisya lalu bergegas untuk mandi menghilangkan penat dari aktivitas yang padat hari itu.
Bertemu dengan Tuti, saya tak dapat menahan rasa penasaran bagaimana ia mendidik Nisya sehingga bisa menerima kondisinya, tetap ceria, dan punya keinginan kuat untuk maju.
Selain menuntun Nisya melalui ajaran agama, orang tua Nisya selalu mengingatkan Nisya bahwa keluarga tak pernah malu memilikinya, justru sangat bangga.
Sebagai orang tua, tentu saja Tuti awalnya hancur dengan kondisi mata Nisya. Apalagi saat itu mata kiri Nisya normal dan berfungsi dengan baik. Tuti juga menyesali dan mempertanyakan mengapa Tuhan memberikan cobaan berat pada Nisya. Namun kemudian Tuti mencoba melihat dengan sudut pandang yang lain.
“Tapi saya balik lagi, ada orang lain lebih parah dari saya, seperti para penyandang tunadaksa. Akhirnya saya syukuri walaupun saya dikasi cobaan, tapi anak saya lebih ringan dibanding yang lain. Jadi saya tidak melihat kekurangan Nisya. Sebelum saya menguatkan dia, saya harus kuat dulu. Sebelum dia menerima diri dia, saya harus menerima dia apa adanya,” ujar Tuti yang seorang ibu rumah tangga ini.
“Aku selalu bilang ke Nisya, Tuhan itu lebih sayang sama dia, dibanding kita orang yang lengkap. Karena dia diciptakan ini, satu dia sudah menebus karmanya. Sekarang tinggal memperbaiki lagi supaya karma yang lalu itu lebih berkurang lagi,” kata Tuti yang mendidik Nisya dengan nilai-nilai Buddha.
Tuti dan Donny juga selalu memupuk rasa percaya diri Nisya dengan kerap membawanya bertemu banyak orang.
“Ke tempat bermain, ke mana pun saya bilang ‘Mimi sama Pipi enggak pernah malu punya anak kayak kamu. Kenapa kamu mesti malu,” ujarnya.
Begitulah orang tua hebat ini menguatkan mental Nisya. Tuti juga mengingatkan Nisya untuk mudah memaafkan.
“Ikhlasin saja, kalau penuh dendam yang kamu dapat apa? Kan tidak ada. Kamu ikhlaskan, kamu akan menuai karma baiknya,” nasehatnya.
Tak terlalu susah bagi Tuti untuk memberikan pengertian ini. Ia pun sangat bangga dengan anak sulungnya yang tumbuh menjadi anak yang baik dan memiliki hati yang luas.
“Kami support dia sampai kapanpun. Selama kami masih hidup,” kata Tuti. Nisya yang duduk di sampingnya tampak tersenyum.
Malam semakin gelap. Saya pun pamit pulang. Perjalanan hari itu sarat pelajaran hidup. Bagi saya Nisya memang istimewa. Hatinya sungguh seluas samudera.
Penulis dan Fotografer: Khusnul Khotimah